Bab 11 - Harapan Hidup
Cahaya kehidupan semakin terang jika kau menjemput hidayah, kini ada dua pilihan. Mau menjemput atau diam dan membiarkan maut lebih awal menjemput.
~Pangeran Hati~
***
Arsa menoel-noel bahu Iqbal sambil tertawa, sementara tangan kirinya memukul-mukul meja. Entah apa yang dilihat pada layar ponsel. Biasanya kalau main ML dia marah-marah, tapi malah ketawa. Masak iya heronya goyang dumang?
Sadar diperhatikan, Arsa melirik Iqbal.
"Kenapa sih?"
"Hahaha... Ini ada postingan lucu banget. Gue tanya deh masa lo, seberapa sering lo pipis di kolam renang?"
"Gak pernah. Palingan ke kamar mandi dulu terus nyemplung lagi."
Tangan Arsa menjelaskan seperti dosen di depan kelas. "Riset menunjukan 3 dari 10 orang mengaku sesekali pipis di kolam renang, tapi sisanya bilang sering. Jadi, lo renang bareng pipis haha..."
Mulut Iqbal melongo. Kayak gitu aja lucu? Hmmm B aja sih menurut Iqbal. "Udah jam 4 mau pulang enggak? Aku gak jamin kamu bisa sampe villa kalai harus jalan sendiri dari puskemas." Yuhu, Arsa sering mainan ponsel di jalan, kemungkinan dia hapal jalan itu hanya kecil.
"Pulang, gue mau lari terus mandi. Belum mandi gue seharian."
Iqbal tidak menyangka kalau Arsa belum mandi bisa sePD di depan orang-orang. Sok kegantengan di puskesmas, misalnya. Tubuh Arsa hampir mendekati atlet, hanya saja wajahnya masih dikelilingi jerawat. Sering pakai obat herawat, tapi tidak cocok.
"Tadi pagi gue mau mandi, lihat kaca masih cakep kupustuskan mandinya dijamak aja."
"Udah kayak salat aja, Bang!" Iqbal berpamitan kepada karyawan puskesmas. "Tolong bawakan termometer, Sa."
Entah ada ikatan bantin atau gimana, baru Iqbal keluar seorang bocah kira-kira berusia 5 tahun digendong oleh sang ibu. Ibu itu sambil menangis sangking khawatirnya kepada anak semata wayang. "Dokter tolong saya, anak saya sakit."
Iqbal bersikap cakap dengan membantu mengarahkan si ibu menidurkan anaknya ke exsamination, Iqbal mengambil stetsokop lalu memeriksa si bocah. "Sa tolong priksa suhu tubuhnya!"
Arsa bergerak cepat mengambil termometer. "Tiga puluh sembilan," ucap lelaki berambut keriting itu setelah melihat dua angka pada termometer.
"Kemarin panas, terus enggak, hari ini panas lagi, Dok," adu sang ibu.
"Makannya gimana Bu?" tanya Arsa.
"Gak mau soalnya muntah juga diare."
"Double IV line. Tangan kanan infus IV line Asering dan tangan kiri infus IV line Nacl 0.9 %," perintah Iqbal kepada suster Hifza yang baru muncul, sementara Hifza merawat si bocah, Iqbal mengajak sang ibu ke meja kerjanya.
"Anak saya sakit apa, Dok."
"Demam berdarah, Bu. Anak ibu harus rawat inap di puskesmas. Boleh dikompres dengan air biasa sama makannya jangan lupa dijaga. Sedikit tidak apa apa asalkan sering. Kalau boleh tahu makanan kesukaan anak ibu apa?"
"Dia suka ayam, tapi," ia memberi jeda. Wajahnya tampak semakin sedih. "saya sedang tidak ada uang untuk membeli ayam."
Iqbal melirik Arsa, dikulkas ada ayam. Iqbal tidak masalah makan apa adanya, kalau Arsa harus ayam.
"Di penginapan kami masih ada sedikit ayam. Nanti ibu ke sana ya."
Mata si ibu berbinar. "Kalian baik sekali."
"Segala kebaikan milik Allah, Bu." Itu bukan kalimat yang keluar dari mulut Iqbal, melainkan dari Arsa. Bangga sekali bisa memfotokopi kutipan bijak dari partner-nya. Kepala Iqbal refleks menggeleng lemah kalimatnya baru saja dikutip.
"Ini resep obat bisa ditebus di apotek puskesmas. Ada penambah darah karena trombositnya rendah."
"Baik, Dok."
Di tempat yang berbeda, seorang gadis pemilik bibir merah natural memasang senyum indah. Ia meletakan ponsel, meraih tas, membuka wadah make up. Supirnya yang melirik dari spion mobil mengerutkan dahi, nona mudanya lebih sering mengeluarkan buku, bukan alat make up. Sejak perjalanan menuju Desa Gua wajah gadis itu memang tampak berseri-seri.
"Ada yang beda nih sama Nina Syanum." Arman, kini berani mengoda Syanum setelah belasan tahun lamanya.
Syanum masih diam.
"Saya ikut senang loh, Non." Nona muda maksudnya.
Dia tidak menimpali, hanya saja ekspresinya tidak berubah. Dia tidak peduli kata si supir yang penting dia bahagia.
"Semoga apa yang membuat Nona Syanum tersenyum mendapat ridho Allah."
"Aamiin," jawab Syanum. Kata Profesor Syarif, setiap sesuatu yang mendapat keridhoan Allah akan mendatangkan pahala setiap jangkah kaki. Ketentraman hati pun akan didapat.
Sampai gerbang selamat datang Desa Gua yang bercat merah putih serta tulisan hari kemerdekaan masih tertera di sana—mungkin warga desa sayang menghancurkannya—, tangan Syanum menekan tombol agar kaca mobil terbuka, kepalanya ia keluarkan sedikit ke luar. Gadis itu tersenyum lebih lebar dari yang tadi.
Heran, Arman menegok spion kanan. Ada dokter muda yang tengah berjalan menyusuri kebun buah naga milik pengusaha asal China.
"Boleh saya turun di sini?"
"Hah?" Kalau mengizinkan bisa-bisa Arman kena hukuman Margaretta.
"Aku mau turun."
"Jangan sudah sore, sebentar lagi adzan maghrib berkumandang."
Mobil terus melaju nelewati kedua lelaki bercelana hitam polos, mood Syanum langsung buruk.
"Maaf Nona. Saya tidak mempunyai kuasa untuk mengizinkan Nona."
***
Pada kesempatan ini Iqbal dipersilakan menjadi muazin salat maghrib. Para penduduk desa tercenggang mendengar suara merdunya. Panggilan Allah serta penduduk langit semakin indah ketika dilantunkan oleh dokter muda itu. Orang yang terbuka hatinya pasti bergetar mendengar seruan illahi.
"Subhanaallah. Merdu sekali suara muazin," puji Bibi.
Syanum menutup buku, menoleh ke arah asisten rumah tangga, mengganguk sebagai simbol persetujuan.
"Ke masjid yuk, Bi."
"Apa boleh?"
"Bibi yang akan membantu Syanum," kata Syanum seraya berbisik.
"Baiklah. Bibi coba."
Mereka sempat dicegat di pelataran rumah oleh penjaga, namun Bibi berhasil meyakinkan penjaga bahwa ia bisa menjaga Syanum. Keselamatan Syanum dan jaminan Syanum tidak akan kabur ada ditangan Bibi.
Syanum tampak bahagia. "Terima kasih, Bibi. Akhirnya aku bisa keluar tampa penjaga menyebalkan itu. Salat jamaah adalah salah satu dambaan Syanum. Dari buku yang pernah Syanum baca, jamaah itu tanda orang beriman. Dia peka kalau dipanggil Allah. Bayangkan saja satu langkah menuju masjid saja sudah kebaikan. Kelak kalau Syanum punya suami, Syanum mau lelaki yang menjaga salat jamaah di masjid."
Terlihat kelas perbedaan Syanum. Biasanya ia lebih diam, tetapi kini mulai berintraksi selayaknya orang normal.
"Pak Ujian, suami ibu sering salat di rumah."
"Diingeting dong, Bi. Lelaki yang salat di masjid namanya lelaki shaleh. Kalau salat di rumah namanya lelaki shalehah haha..."
"Nona bisa aja."
Bertepatan kaki Syanum menginjak lantai bertuliskan batas suci, Iqbal selesai mengumandangkan adzan. Usai salat qobliyah maghrib, seorang bapak berpeci hitam menghampiri. "Mas Iqbal?"
Iqbal tersenyum seraya mengangguk sopan. "Iya benar, Pak."
"Saya dapat amanat dari imam masjid, selain menjadi muazin kamu disuruh menjadi imam karena Pak Sofyan sakit. Selama beliau jatuh sakit, Mas Iqbal diminta menggantikan."
Mulut Iqbal membentuk huruf o kecil, dahinya berkerut. "Kenapa saya?"
"Wah, saya gak tau mas. Mungkin bacaan Al-Qur'an Mas Iqbal the best."
Tangan Iqbal menepuk bahu si bapak, Iqbal memang selalu berusaha akrab dengan siapapun. Dia tidak peduli dibilang SKSD kepanjangan dari Sok Kenal Sok Dekat. Tidak penting mendengarkan ocehan orang, kalau menurutnya baik ia akan melakukannya selagi tidak melenceng dari syariat Islam.
Tiga menit kemudian, Iqbal iqomah. Ia maju ke tempat imam. Jantungnya berdebar, lebih deg deg an ketimbang sidang sekripsi. Jika sidang berhadapan dengan ciptaan Allah, kini ia menjadi pemimpin berhadapan dengan Maha Pencipta. Beban, tapi harus dilaksanakan dengan ikhlas.
Dari jelah satir-papa pembatan akhwat dan ikwan, Syanum melihat lelaki berpostur sama dengan Iqbal maju ke tempat imam. Dan Syanum semakin yakin kalau ia benar Iqbal, saat lelaki itu menoleh merapikan shaf salat.
Gerakan demi gerakan Syanum senantiasa melakukan dengan khusyuk. Sebenarnya Syanum ingin ikut belajar mengaji dengan gadis berhijab yang ia tahu bernama Hifza, namun dilarang Bibi. Takut-takut susah mendapat izin salat berjamaah lagi kalau berlama-lama di luar.
***
Maaf ya kemarin gak bisa up.
Makasih sahabat surga yang masih setia baca PH. Vote komen ya hehe...
Al-Qur'an sebaik-baiknya bacaan. Semoga cerita ini tidak melalaikan kita dari kewajiban.
Mel~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top