Bab 1 - Saya Dokter, siapa kamu?
بسم الله الر حمن الر حيم
Cast
https://youtu.be/CW0Ogrl3WKM
Trailer
https://youtu.be/XYwLVgwfPOc
***
BUKAN CERITA RELIGI BIASA. BAKAL SERU POKONYA HEHE...
Salam kenal semua aku Mellyana Dhian, panggil aja Mel atau Mellyana. Salah satu tulisanku yang mungkin kamu tahu adalah Diaku Imamku. Itu loh yang kemarin seriesnya yang mau Yuki Kato. Tau gak?
Kalau gak, yaudah sih, gak perlu kenal aku yang penting kenal karyaku. Eh, tapi kalau kita bisa deket, why not?
KALAU GAK ADA HALANGAN AKU BAKAL UPDATE CEPET. VOTE YUK!
1. SABTU AJA
2. SABTU DAN SENIN
***
Ini bukan prihal gadis berhijab harus berakhlak baik, namun prihal seorang wanita tidak seharusnya melupakan kodrat. Karena semua orang harus belajar untuk tidak melupakan batasan.
~Pangeran Hati~
***
"Cie, akhirnya mau lulus juga kita, Bro. Ada Kak Anza tuh," Senggol lelaki bernama Arsa.
Yang disapa baru saja menutup berita pembunuhan dari lapak internet, hendak duduk di posisi sesuai saat geladi bersih. Tangan kanannya membawa map bertuliskan sumpah dokter. Tubuhnya rapi dibalut toga.
Dia Iqbal Danugraha. Lelaki bertubuh jangkung, kulit putih bersih, bentuk wajah oval dengan agak kotak dibagian dahi, rambut lurus dibelah kanan, gigi rapi nan bersih, berlesung pipi indah, mata standar orang Asia Tenggara dengan bola mata hitam kecokelat-cokelatan. Dia Iqbal Danugraha anak kedua dari Kyai Haji Lukman—pengasuh pondok pesantren ternama—yang sebentar lagi resmi menjadi seorang dokter.
"Terus kenapa kalau ada Kak Anza?"
"Kita anak kedokteran tahu kali kalau kalian deket."
"Dia terlalu tinggi buat gue gapai." Lagipula Iqbal tidak yakin apakah rasa yang tumbuh itu benar-benar cinta. Sebab rasanya tidak seperti dia menyayangi Aisya.
"Gue kasih kalimat bijak. Kalau lo ngerasa gak mampu dapatin dia. Ya kejar. Kalau masih gak bisa, ya kejar. Atau kalau lo masih cinta sama kakak ipar lo. Mending tikung aja. Kutunggu jandamu."
"GILA!"
Iqbal duduk di sisi kanan Arsa. Salah satu teman koas yang pernah berjuang bersama di stase bedah. Lalu lafaz itu akhirnya membuat yang berikrar merinding, sementara keluarga mereka terenyuh bangga. Perjuangan mereka mencari biaya untuk pendidikan anaknya tidak sia-sia, meski banting tulang. Anaknya sebentar lagi menjadi dokter. Profesi mulia yang dicapai dengan penuh keringat pengorbanan. Empat tahun perkuliahan, 2 tahun koas, kemudian melalui tahap UKDI (Ujian Kopetensi Dokter Indonesia), belum lagi ada satu tahun kedepan menjalani program penempatan atau internship.
Demi Allah saya bersumpah, bahwa:
1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.
2. Saya akan menjalankan tugas dengan cara yang terhormat dan bersusila sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.
3. Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur profesi kedokteran.
4. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya.
5. Saya tidak akan menggunakan pengetahuan saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam.
6. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan.
7. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.
8. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien.
9. Saya akan memberi kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya.
10. Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara kandung.
11. Saya akan mentaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
12. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.
(Dikutip dari wikipedia Indonesia)
Selang beberapa menit Iqbal berdiri di podium guna sambutan sebagai lulusan terbaik angkatannya.
***
"Iqbal, tolong bantu saya mencari pasien saya." Suara Prof. Dr. Syarif Perdana Sp.KJ tampak berat, hembusan napasnya yang tidak beraturan terdengar jelas ditelepon.
"Dimana, Prof?"
"Kata salah satu rekan saya, dia biasa kabur ke klub. Coba kamu cek ke klub prima, tapi kamu harus benar-benar menyamar karena dia pasien rumah sakit jiwa yang pandai berperilaku serta berpenampilan layaknya orang normal. Tolong bantu saya."
Klub malam, ini alasan yang membuat Iqbal tidak segera mengiyakan. Dia melihat jam tangan, sudah pukul 22.00 padahal esok sebelum subuh ia harus dalam perjalanan kembali ke Desa Gua, tempat ia melaksanakan internsip. Sebenarnya masalah utamanya bukan waktu, namun lebih condong ia belum pernah menginjakan kaki di tempat maksiat itu. Membayangkan saja tidak berani.
"Bagaimana Iqbal?" tanya Prof. Syarif karena Iqbal tak kunjung mengonformasi permintaannya.
Bismillah, Iqbal yakin kalau niatnya karena Allah pasti Allah memudahkan. Semoga saja Allah melindunginya dan apabila dosa Allah mengampuninya. "Baik Prof, akan saya usahakan semaksimal yang saya bisa. Bagaimana ciri-cirinya?"
"Laki-laki, tingginya kira-kira 170 cm, rambutnya hitam, terakhir memakai baju merah kotak-kotak hitam bawahan jeans semata kaki."
"Ada fotonya, Prof?"
"Ada. Segera saya kirim."
"Baik, Prof."
"Terima kasih Iqbal."
"Sama-sama, Prof. Ini belum seberapa ketimbang kebaikan Profesor."
Syarif menganggap Iqbal anaknya sendiri, kalau Iqbal ada kesusahan dalam mengerjakan sesuatu Syarif bersedia membantu dan meminjamkan buku-buku kedokterannya, padahal buku itu mahal harganya. Itulah yang membuat keduanya akrab. Syarif memang kagum dengan kepribadian Iqbal, dia berprestasi dan rendah hati. Apalagi sopan santunnya pantas diacungi dua jempol. "Kamu berlebihan, Iqbal."
"Hehe... Iqbal bicara apa adanya, Prof. Ada yang bisa Iqbal bantu lagi?"
"Jadilah menantu saya," jawab Syarif enteng. Tentunya tidak seenteng jawaban Iqbal nantinya. Beberapa detik dari Syarif melontarkan kata itu saja Iqbal masih diam. "Kok diam."
"Ah, itu."
"Anak saya kurang cantik sama shalehah?" kekeh Syarif.
Iqbal tidak bersuara, terlebih tampaknya Syarif tengah bicara dengan seseorang. Iqbal perkirakan dosen idolanya itu tengah diajak bicara oleh asisten dosennya. Bersyukur pun dirasa Iqbal ketika Syarif pamit karena ada sesuatu yang mendesak. Allah menolongnya dari pertanyaan super canggung untuk dijawab.
Setelah Syarif menutup telepon, Iqbal bergegas pamit kepada orangtuanya untuk mencari pasien Prof. Syarif. Dia melupakan pertanyaan sang dosen. Jujur saja ia belum bisa melupakan gadis yang kini berstatus kakak iparnya. Iqbal akui move on memang sulit.
Iqbal memandang spion, mengacak-acak rambut serta memerhatikan penampilan. Ia juga menyemprotkan alkohol pada jaket jeans bermerek yang ia pakai agar tidak menimbulkan kecurigaan. Merasa pantas, mobil Iqbal melaju ke klub prima. Tidak lupa ia sempatkan mampir ke warung kecil pinggil jalan untuk membeli rokok. Tidak tahu merek rokok, ia pun membeli asal.
Sampai di depan klub, Iqbal menyodorkan tiga lembar uang seratus ribuan supaya ia tidak perlu masuk ruang pemeriksaan. Dia akan ditangkap jika ketahuan membawa suntik obat penenang. Apalagi kalau penjaga sampai melihat identitas serta isi dompetnya.
Memasuki lorong ia merasa kebinggungan mencari lelaki yang prof. Syarif maksud. Pertama ia berjalan ke toilet. Kedua, ia menuju ruangan tempat para pengunjung party. Sangking padatnya dokter muda itu sulit berjalan. Hingga lima belas menit berlalu, ia tidak menemukan lelaki yang ia cari.
Brug. Tubuh Iqbal hampir tersungkur saat seorang pria dewasa yang tengah mabuk menubruknya dari belakang. Pria itu merangkal gadis berhijab. Hati Iqbal tertohok, gadis berhijab bagaimana bisa berada di klub seperti ini? Ditambah dalam keadaan mabuk.
Iqbal cukup terguncang. Islam memang baik, pemuluknyalah yang membuat padangan orang lain terhadap Islam menjadi buruk.
"Mencari siapa?" tanya gadis berhijab tadi. Pelangannya sudah lari ke tengah untuk menari dengan perempuan lain.
"Kamu kenapa di sini?" Sepertinya Iqbal tidak menahan untuk tidak menasehati gadis di depannya.
Alih-alih menjawab, ia malah mengenalkan diri. "Insyra Fairuz. Senang bertemu dengan Anda."
"Kenapa kamu di sini?"
Dia tersenyum masam. Sejak pertama Iqbal melihat perempuan itu memang tidak tersenyum ramah selayaknya 'pelayan' lainnya yang ramah terhadap 'pelanggan'. Perempuan itu terkesan dingin, acuh tak acuh terhadap keadaan sekitar.
"Itu dia." Jarinya menelunjuk lelaki berbaju merah kotak. Mata Iqbal terbelalak, bagaimana perempuan itu tahu maksud kedatangannya? Tanpa menunggu aba-aba dari Iqbal, Syra berjalan menuju si lelaki. Ia tampak menyengol, jangan lupakan ekspresi datarnya. Meskipun tidak seramah yang lain, kecantikannya cukup mengoda para pengunjung termasuk pasien Prof Syarif. Syra membawa lelaki itu keluar. Iqbal mengikuti cukup jauh supaya tidak menimbulkan kecurigaan penjaga klub ataupun lelaki itu sendiri.
"Siapa namamu cantik?" goda sang lelaki. "Kenapa saya diajak ke sini?"
Syra menyilangkan tengan di depan dada. Tidak mengubris, wajahnya sangat datar. Ketika si lelaki mencolek pipi, Syra memplintir tangan hingga lelaki itu mengaduh kesakitan.
Iqbal bergerak cepat, menyuntikan obat penenang. Detik berikutnya lelaki itu pingsan. Syra tidak mengatakan apapun, ia memilih pergi mengunakan mobil miliknya yang terparkir di dekat mobil Iqbal.
"Pak tolong bantu saya memasukan lelaki ini ke mobil," pinta Iqbal kepada bapak-bapak penjual nasi goreng kaki lima yang tengah lewat.
"Dia mabuk ya Mas?"
"Iya, Pak. Adik saya ini memang bandel," ia terpaksa mengakui lelaki ini adiknya supaya tidak menimbulkan kecurigaan.
"Hey! udah ketemu ya. Tadi gue gak sengaja liat foto yang lo pegang makanya gue tau. Kalau kita ketemu lagi kita harus bermalam besama."
"Amit-amit zina." Sampai di dalam mobil, Iqbal menatap mobil Syra yang sudah menjauh. Hati Iqbal tertarik mengambil buku kecil yang jatuh tergeletak di dekat parkiran mobil Syra.
Duh, bukunya ketinggalan lagi. Batin Iqbal.
Baru membuka halaman pertama, Iqbal teralih ke telepon dari Syarif. "Iya Prof. Saya sudah menemukannya. Dua belas menit lagi sampai rumah sakit, inshaallah."
Sampai dipersimpangan jalan dekat klub, Iqbal melihat mobil Insyra dicegat dua mobil. Sempat ingin turun, namun urung karena tidak ingin ikut campur. Siapa tahu itu mobil papa gadis itu yang marah karena kelakuan anak perempuannya.
Setiba di rumah sangking penasarannya, Iqbal tergugah untuk membuka buka yang ditinggalkan si wanita.
Aku tersisihkan, seperti bunga yang dibuang ketika layu. Aku tahu aku berbeda, namun apa aku harus jauh dari pohonnya?
Syanum.
Tangan Iqbal membuka lembar berikutnya. Dilembar itu Iqbal harus jeli, sebab tulisannya terlihat seperti anak-anak baru belajar menulis.
Aku pengen beli mainan baru. Plis Syanum belikan aku boneka berbie dan rumahnya. Kalau enggak mau nurutin aku ngambek! Aku marah sama Syanum.
Feli
"Feli? Satu diary dua orang pemilik?" Iqbal bertanya-tanya dalam hati. Untuk menjawab rasa penasarannya, ia membuka lembar berikutnya.
Akan kubunuh semua yang menyakitimu. Izinkan aku menguasai tubuhmu Syanum !!!!
Insyra
Iqbal teringat sebuah penyakit jiwa. "Berkepribadian ganda?"
Lelaki berumur 24 tahun itu menduga Insyra, Feli, dan Syanum adalah satu orang yang sama. Dimana ia mengidap kelainan mental yang biasa disebut kepribadian ganda atau Dessociative Identitiy Disorder. Seseorang yang mengidap kelainan ini akan menunjukan dua atau lebih kepribadian. Masing-masing dari mereka memiliki umur, sifat, identitas yang berbeda dikarenakan kepribadian individunya terpecah. Biasanya antara satu kepribadian dengan kepribadian yang lain tidak saling mengenal, sifat mereka pun saling berlawanan.
"Cewek yang tadi punya kepribadian ganda? Penyakit mental paling langka."
Assalamualaikum...
Ini hasil revisian terbaru, semoga lebih kena.
Aku sarankan kalian baca lagi, takutnya kalau engga, kalian gak paham alurnya. Revisiannya kadang ada di setiap paragraf. Satu kata pun bisa mengubah alur. Jadi, jangan lewatkan 🤗
Kalau dulu ini cerita Iqbal waktu koas, sekarang enggak. Iqbal udah intership, program harus dilalui seorang dokter sebelum membuka klinik.
Dan ada tokoh baru bernama Arsa. Kalian bisa tepak karakter ini gak? Semoga bisa lebih berwarna dengan adanya Arsa 😝
Sekian ceramah panjangnya.
Jangan lupa baca ceritaku yang lain :)
Terima kasih kepada pembaca setia.
Mel~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top