SILANG PENDAPAT
Mahar uang disain 3D airways jenis boeing 747-400 menjadi pilihan Mega sebagai penghantar lamaran. Serta peningset seperti tas dan sepatu sesuai pilihan Ilyana, make up yang sering Ilyana gunakan, ditambah perlengkapan mandi yang dihias sedemikian rupa sehingga terlihat manis dan cantik. Lamaran dilaksanakan ketika Mega day off agar tidak mengganggu jadwal dinasnya. Saudara dari almarhum papanyalah yang membantu melamar Ilyana.
"Aku pulang ya?" bujuk Mega menatap Ilyana lembut, yang berdiri di ambang pintu. Dia masih mengenakan kebaya modern dengan bawahan rok span batik. Bibirnya manyun, dia belum rela ditinggal.
Mega mengusap pipi Ilyana dengan punggung tangannya. "Jangan ngambek dong."
"Aku kesel sama kamu," rajuknya manja melendot di kusen pintu.
"Aku harus pulang, ini sudah jam setengah 11. Nggak enak sama tetangga, keluargaku sudah pulang dari tadi. Jangan seperti ini, kamu harus membiasakan diri aku tinggal," ujar Mega sekilas mengingatkan Ilyana dengan kata-kata Aliandra dulu.
Dia menatap Mega lekat, bibirnya mengingatkan Ilyana pada masa lalu. Tangan Ilyana tidak sadar terulur dan meraba bibir merah yang tidak pernah tersentuh nikotin itu.
"Kata-katamu sangat mirip dengannya," gumam Ilyana. Matanya berkaca-kaca, rindu kepada Aliandra tiba-tiba memenuhi rongga dadanya.
Mega paham yang dimaksud Ilyana, dia menghela napas dalam lantas memegang kedua tangan Ilyana. Dia menatap ke dalam mata yang menyiratkan rindu mendalam.
"Wajar saja kalau ucapanku mirip dengannya, karena keinginan seorang airman hampir semua sama. Seorang pilot menginginkan pendamping yang kuat iman dan tangguh menghadapi apa pun. Siap tidak siap kamu harus menyiapkan diri melepaskan pasanganmu terbang bebas melaksanakan tugasnya." Mega menangkup wajah Ilyana menatap kedua bola matanya lekat.
"Tugas istri airman di rumah, mendoakan belahan jiwanya yang terbang ribuan kaki dari permukaan laut agar selamat membawa burung besi sampai tempat tujuan dan kembali dalam kondisi sehat. Dan lagi, dia harus bisa menciptakan keadaan rumah yang nyaman ketika pangeran burung besinya pulang," sambung Mega.
Ilyana terpana mendengar setiap ucapan yang terlontar dari bibir manis Mega. Kata-katanya sederhana namun mampu menampar keegoisannya yang selama ini masih bersikeras ingin mempertahankan karirnya.
"Apa kamu menginginkan aku untuk berhenti bekerja?" tanya Ilyana tersinggung dengan ucapan Mega.
Mega tersenyum lantas menjawab, "Kamu sudah dewasa dan bisa memilih mana yang lebih penting, aku atau karirmu. Kalau boleh aku meminta, aku ingin setiap pulang bekerja selalu disambut hangat oleh senyuman terbaik istriku. Hal sederhana tapi mampu melunturkan rasa lelahku."
Ilyana tersipu dan tersanjung. Pipinya memerah, baru juga calon istri namun Mega mengatakan hal tersebut seolah Ilyana sudah menjadi istrinya.
"Sudah ya, aku pulang," ucap Mega mengecup singkat kening Ilyana.
"Besok kamu berangkat dinas pukul berapa?" tanya Ilyana mengikuti Mega berjalan ke pelataran mendekati mobilnya.
"Aku berangkat dini hari. Kenapa?" tanya Mega membuka pintu mobil lantas masuk namun pintu dibiarkan terbuka. Ilyana berdiri di samping Mega.
"Nggak apa-apa," jawabnya menunduk menggigit-gigit bibir bawahnya. Dia bersikap seolah seperti sedang menahan sesuatu dan menginginkannya namun sungkan untuk mengatakan.
Bibir Mega tersungging dia mengerti sikap Ilyana yang gusar, sedang menahan sesuatu. Mega menarik pergelangan tangannya pelan, Ilyana membungkuk dan wajahnya sangat dekat dengan wajah Mega.
"Jangan ditahan-tahan. Kamu menginginkan apa? Kalau aku sanggup pasti aku turuti. Bicaralah," paksa Mega lembut mengusap ujung bibir Ilyana.
Ilyana mencebikan bibir lalu menegakkan tubuh seraya menunduk malu memainkan jari-jari lentiknya, menghilangkan rasa sungkan.
"Aku pengin bahas rencana pernikahan kita. Bagaimana konsep resepsi kita nanti, undangan, souvenir, gaun dan anggaran pernikahan kita."
Mega tertawa lepas sampai mendongakkan kepalanya. Ilyana mengerutkan kening heran dan bingung. Apakah dia salah berbicara begitu? Tidak salah kan jika Ilyana berpikir sampai ke arah sana? Bukankah nantinya itu juga akan dibutuhkan?
"Sini!" Mega menarik Ilyana hingga pantatnya mendarat di paha sebelah kanan dia.
Mega memeluk perut ramping Ilyana dari belakang dan mengecup punggungnya yang masih terlapis baju kebaya, membuat darahnya berdesir hangat dari ujung kaki hingga ujung kepala. Geli-geli seperti banyak semut kecil yang menjalar keseluruh tubuhnya.
"Aku mau bicara sesuatu sama kamu," ucap Mega terdengar serius.
Ilyana memutar tubuhnya menyerong ke samping agar dapat menatap jelas wajah tampan Mega.
"Kamu jangan bikin aku deg-degan. Mau bicara apa sih, kayaknya serius amat? Wajahnya biasa aja, aku takut kalau kamu memasang wajah galak." Ilyana takut, jantung berdebar abnormal.
Sebelum berucap Mega menghela napas dalam. Dia mengeratkan pelukannya, takut jika Ilyana tidak menyetujui keinginannya dan akan marah setelah mendengar pendapatnya.
"Mmm... begini." Mega menengadahkan wajahnya menatap kedua manik mata Ilyana dalam. Dengan perasaan tak sabar Ilyana menunggunya berucap.
"Apaan sih? Kamu bikin aku penasaran," desak Ilyana tidak sabar.
Mega menyandarkan kepalanya manja di lengan Ilyana.
"Aku kan pernah menikah dan dulu juga mengadakan pesta resepsi besar-besaran. Kalau aku boleh meminta, seandainya kita tidak mengadakan resepsi besar-besaran bagaimana? Yaaa... kita undang saja keluarga besar dan teman-teman terdekat." Mega was-was dan takut jika Ilyana tidak dapat menerima usulannya.
Deg!
Ucapan Mega meruntuhkan impian Ilyana yang sejak kecil menginginkan resepsi besar-besaran dengan tema yang mewah dan glamor. Dia menatap Mega dingin dan tak setuju.
"Itu kan kamu! Sedangkan aku belum pernah merasakan itu," bantah Ilyana. Hatinya bergemuruh panas dan nyeri.
"Iya, tapi aku malu kalau pernikahan keduaku dirayakan besar-besaran. Apa kata teman-temanku nanti? Dinda meninggal belum ada satu tahun, tapi aku sudah menikah dan mengadakan pesta besar-besaran. Seolah-olah kita sudah memiliki hubungan sebelum Dinda dan Langit meninggal. Aku cuma menghindari omongan negatif tentang kita," jelas Mega berharap Ilyana mengerti dengan kekhawatirannya.
Ilyana memberontak meminta Mega melepaskan tangannya yang melingkar di perut. Namun Mega bersikeras menahan dia agar tidak lepas dari pelukannya.
"Lepasin aku!" pinta Ilyana meninggikan suaranya yang parau menahan tangis.
"Nggak! Aku nggak akan melepaskan kamu," tolak Mega mengunci erat tubuh Ilyana.
"Kamu egois kalau berpikir seperti itu! Kamu cuma memikirkan perasaanmu sendiri tanpa memikirkan keinginanku. Awas! Lepasin!" Ilyana memaksakan diri ingin lepas dari Mega.
"Kamu pernah berpikir, bagaimana omongan orang di luar sana? Mereka mengira kita selingkuh dan aku menghianati istri dan sahabatku," terang Mega.
"Mereka tahu apa!!!" bentak Ilyana mengejutkan. Mata Mega terbelalak, air mata Ilyana berurai dan berlomba-lomba membasahi pipinya.
Mega mengusap wajah kasar dan menyandarkan tubuhnya keras. Memanfaatkan Mega yang lengah, Ilyana pun berdiri dari pangkuannya.
"Belum apa-apa sudah egois!" gerutu Ilyana lantas pergi meninggalkan Mega begitu saja.
"Ly!" pekik Mega ingin mengejar namun Ilyana sudah berlari masuk ke rumah dan menutup pintunya keras.
Kepala Mega cenat-cenut, pusing memikirkan Ilyana. Berbeda pendapat menjadi hal yang wajar dalam sebuah hubungan. Perselisihan adalah bumbu-bumbu cinta supaya hubungan lebih sedap dan harmonis. Apalagi menjelang pernikahan, sudah pasti banyak hal yang akan memancing perdebatan karena perbedaan keinginan.
Mega hanya ingin menjaga nama baiknya dan juga Ilyana. Namun sepertinya Ilyana belum memahami hal itu.
Orang tidak pernah tahu bagaimana perjalanan kisah kita. Dalamnya cerita kita dan bagaimana perjuangan kita. Yang mereka tahu hanyalah dari sisi luar dan melihat hasil usahanya. Gagal dicaci, berhasil banyak yang iri. Begitulah kacamata pemandangan orang yang tidak pernah mengerti perjalanan hidup kita.
Dengan perasaan kesal Mega meninggalkan pelataran rumah David.
***
Hawa sejuk dan udara bersih terhirup dalam Ilyana sampai menembus paru-parunya. Hatinya pilu, pikirannya kalut memikirkan rencana pernikahannya dengan Mega. Keraguan datang singgah di hatinya.
"Ya Allah, kenapa Engkau ragukan keputusanku setelah lamaran dilaksanakan? Apakah Ali memang pilihanku? Ataukah ia hanya sesaat hadir dalam hidupku? Bagaimana hamba menghapus keraguan ini?" Ilyana mengusap wajahnya yang penuh peluh.
Usai salat Subuh ia berolahraga di balkon kamar. Ilyana melakukan yoga berusaha menghilangkan keraguan dalam hati. Sejak perdebatan itu Mega tidak menghubunginya, Ilyana merasa tak diacuhkan.
"Arunaaa!" panggil Berlin melengking sambil mengetuk pintu kamar.
"Iya, Ma," sahut Ilyana berjalan membukakan pintu.
Berlin masuk setelah pintu terbuka lebar.
"Ada Fluor tuh di bawah," ucap Berlin menunjuk ke lantai bawah.
"Tumben pagi begini sudah ke sini?" gumam Ilyana mengelap keringatnya dengan handuk kecil.
"Mungkin ada kepentingan, sudah sana temui dulu." Berlin ke luar kamar diikuti Ilyana.
Mereka turun ke bawah, Berlin langsung ke dapur sedangkan Ilyana menemui Fluor yang menunggunya di ruang tamu.
"Fluor," panggil Ilyana.
Fluor mendongakkan kepala, matanya sembap dan hidungnya merah. Dia menghampiri Ilyana dan berhamburan memeluk sahabat baiknya. Ilyana bingung Fluor menangis sesenggukan memeluknya erat.
"Lo kenapa?" tanya Ilyana meregangkan pelukan Fluor dan menghapus air matanya.
"Ly, tolongin gue," ucap Fluor sesenggukan.
Melihat wajah khawatir sahabatnya perasaan Ilyana semakin berkecamuk.
"Oke, lo tenang dulu. Ayo duduk." Ilyana merangkul dan mengajak Fluor duduk. "Ceritain ke gue, apa yang terjadi sampai lo menangis begini?" tanya Ilyana menyeka pipi Fluor dengan telapak tangannya.
"Ly, Didit." Fluor kembali memecahkan tangisannya.
"Iya, ada apa dengan suami lo?" tanya Ilyana bingung, mengguncang bahu Fluor yang menangis terisak-isak.
"Gue dapat telepon dari kantornya, katanya Didit kecelakaan di Malaysia. Please, bantuin gue. Gue harus secepatnya sampai di sana, Ly. Pagi ini juga, please." Fluor memohon, tangannya dingin dan gemetar meremas tangan Ilyana.
"Oke, oke, tunggu sebentar. Gue telepon Ali dulu. Semoga ada jadwal penerbangan pagi ini ke Malaysia. Lo di sini dulu, gue ambil HP." Ilyana berlari ke kamar mengambil ponselnya.
Dia melupakan gengsi demi sahabatnya yang sedang membutuhkan pertolongan. Biasanya jika sedang marah atau ngambek, Ilyana tidak mau menghubungi Mega duluan. Dia menunggu Mega yang lebih dulu menghubunginya. Setelah nomor Mega dia dapatkan, ia segera menghubunginya.
"Halo, assalamualaikum," sapa Mega dari seberang.
"Waalaikumsalam. Kamu lagi di mana?" tanya Ilyana seraya menuruni tangga berjalan ke ruang tamu.
"Lagi di Bandara Pontianak. Kenapa?" jawab Mega, terdengar berisik dari seberang.
"Bisa carikan tiket pesawat ke Malaysia pagi ini juga nggak?"
"Kamu mau ke mana?" pekik Mega meninggikan suaranya.
"Aku mau ke Malaysia," jawab Ilyana mendaratkan pantatnya di sebelah Fluor.
"Ya Allah, Love. Tega banget sih ninggalin aku. Ngambek begitu aja sampai mau kabur ke Malaysia."
"Hidiiiih, siapa juga yang mau kabur ke Malaysia? Orang aku mau ngantar Fluor."
"Oh, kirain," ujar Mega lega.
"Cepetan! Ada nggak!" bentak Ilyana galak.
"Ya Allah, marah sih marah, tapi jangan bentak begitu. Dosa tahu bentak calon suami," tegur Mega.
"Iya, maaf. Aku masih sebel sama kamu. Gimana? Bisa nggak cariin tiketnya? Dua saja," mohon Ilyana serius.
"Sebel kok bilang-bilang," goda Mega sengaja menangguhkan amarah Ilyana. "Iya, nanti aku tanyakan dulu ya? Sabar," sambungnya.
"Bener loh, aku tunggu."
"Nunggu apa? Nunggu aku pulang? Besok lusa baru aku day off," sahut Mega melenceng dari pembahasan.
"Iiiiih! Bodoh ah!" sahut Ilyana semakin sebal tapi di hatinya bahagia karena Mega menggoda.
Ilyana pikir Mega marah seperti dia, karena tidak menghubunginya sama sekali sejak kemarin malam.
"Calon pengantin nggak boleh ngambekan. Entar keriput wajahnya, kalau didandani jelek loh," seloroh Mega terkikih dari seberang.
"Aaaah, kamu nih! Sudah ah! Cariin tiketnya sekarang. Bercandanya entar aja kalau ketemu. Sekarang bukan waktunya. Aku tunggu ya? Se-ce-pat-nya!" ujar Ilyana menekan kata terakhir.
"Siap Komandan! Laksanakan tugas!"
Perasaan Ilyana menghangat, kedua ujung bibirnya tertarik membentuk seperti bulan sabit.
"Assalamualaikum," ucapnya Mega.
"Waalaikumsalam."
Panggilan pun terputus.
"Bagaimana?" tanya Fluor tak sabar.
"Lo tenang dulu, Ali sedang mencarikan tiketnya." Ilyana merangkul bahu Fluor dan memberikannya semangat supaya tabah menghadapi cobaan yang sedang menimpa rumah tangganya.
#########
Hal wajar sih kalau mau nikah begitu. Lihat saja nanti, siapa yang akan mengalah. Ilyana? Ataukah Mega?😏
Terima kasih untuk vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top