SAYAP PATAH

-POV ILYANA-

Cinta Yang Hilang
—Puisi—

Tersenyumlah saat kau mengingatku
Karena saat itu aku sangat merindukanmu

Dan menangislah saat kau merindukanku
Karena saat itu aku tak berada di sampingmu

Tetapi pejamkanlah mata indahmu itu
Karena saat itu aku akan terasa ada di dekatmu
Karena aku telah berada di hatimu untuk selamanya

Tak ada yang tersisa lagi untukku
selain kenangan–kenangan yang indah bersamamu

Mata indah yang dengannya aku biasa melihat keindahan cinta
Mata indah yang dahulu adalah milikku
Kini semuanya terasa jauh meninggalkanku

Kehidupan terasa kosong tanpa keindahanmu
Hati, cinta, dan rinduku adalah milikmu
Cintamu tak kan pernah membebaskanku
Bagaimana mungkin aku terbang mencari cinta yang lain
Saat sayap–sayapku telah patah karenamu

Cintamu akan tetap tinggal bersamaku
Hingga akhir hayatku dan setelah kematian
Hingga tangan Tuhan akan menyatukan kita lagi

Betapa pun hati telah terpikat pada sosok terang dalam kegelapan
yang tengah menghidupkanku sinar redupku
Namun tak dapat menyinari dan menghangatkan perasaanku yang sesungguhnya
Aku tidak pernah bisa menemukan cinta yang lain selain cintamu
Karena mereka tak tertandingi oleh sosok dirimu dalam jiwaku

Kau tak kan pernah terganti
bagai pecahan logam mengekalkan
kesunyian, kesendirian, dan kesedihanku
Kini aku telah kehilanganmu

*Kutipan puisi dari lirik Cinta Yang Hilang

Aku diam menatap kosong menerawang jauh ke depan. Ruangan ini sunyi, seperti tak ada kehidupan selain aku. Begitu banyak yang aku alami beberapa hari ini, rasanya aku ingin menyusul Aliandra. Bagaimana aku bisa melangkah dan menjalani masa depan tanpa dia? Dia sudah membuatku terikat dan sangat sulit untuk dilepaskan. Hatiku hampa, tidak memiliki semangat hidup.

Pintu ruang perawatanku terbuka, Kapten Mega masuk. "Tan," panggilnya pelan mengguncangkan bahu Mama Chusnul yang tidur di sofa.

Mama Chusnul bergerak dan terbangun.

"Ada apa, Li?" tanya Mama Chusnul parau.

"Maaf, aku harus balik ke Jakarta. Besok sudah dinas lagi, kalau ada libur panjang Insya Allah aku ke sini," ucapnya pelan dan sangat lembut.

Sejak Aliandra ditemukan tidak ada yang bisa tidur tenang dan duduk santai. Baru malam ini aku melihat Mama bisa tidur.

"Oh gitu? Ya sudah, kamu hati-hati dan jangan lupa selalu berdoa. Apa pun yang terjadi selalu ingat Allah ya?" pesan Mama Chusnul terlihat sayang pada Kapten Mega. Dia membelai wajah Kapten Mega dan mengelus kepalanya sayang.

Aku memerhatikan mereka dari tempatku berbaring. Jarum infus masih menancap di tanganku. Kapten Mega membantu Mama Chusnul berdiri, lalu mereka mendekatiku.

"Aruna, Ali mau pulang dulu ke Jakarta," kata Mama Chusnul menyentuh lenganku.

Aku mengangguk lemas, sangat sulit bibirku untuk dibuka apalagi melempar senyum. Mengeluarkan sepatah kata saja rasanya sangat malas.

"Saya pulang dulu ya? Semoga cepat sembuh," ucapnya tersenyum ramah.

Dengan wajah datar aku balas menganggukkan kepala lalu memalingkan tatapan melihat Mama yang tertidur di sebelahku dengan posisi duduk.

"Tan, nggak ada waktu mampir ke rumah. Aku langsung ke bandara ya? Salam buat Om David sama Om Firman," timpalnya setelah menjabat dan mencium tangan Mama Chusnul.

"Iya nanti Tante sampaikan. Kamu pokoknya fokus dan konsentrasi kalau bekerja ya?" sahut Mama Chusnul lembut mengelus lengan Kapten Mega.

Papa Firman dan Papa pulang bersama Sidni karena malam ini ada tahlilan di rumah. Yang menjagaku sedari tadi Mama dan Mama Chusnul serta Kapten Mega.

Kapten Mega menatap Mama, mungkin dia tidak tega membangunkannya, jadi dia tidak berpamitan dengan Mama.

"Assalamualaikum," ucapnya.

"Waalaikumsalam," jawab Mama Chusnul dan aku menjawab dalam hati.

"Ali," panggil Mama Chusnul saat Kapten Mega hampir membuka pintu.

"Iya." Kapten Mega membalikkan badan.

Mama menghampiri dan memeluknya, dia menangis lantas Kapten Mega membalas pelukannya. Aku teringat Aliandra dan tiba-tiba  air bening kembali meleleh tak dapat aku tahan. Mungkin saja Mama Chusnul teringat Aliandra, sosok Kapten Mega sudah dianggapnya seperti anak sendiri.

"Jaga kesehatan kamu, jangan sampai sakit ya? Kalau libur atau sedang dinas ke Jayapura mampir ke rumah. Kamu harus tabah, pasti Allah menyiapkan pengganti Dinda. Kamu masih muda, jangan menutup diri," pesan Mama mengguncangkan perasaanku.

Aku hampir lupa, bukan hanya aku yang kehilangan. Ternyata ada orang yang seharusnya lebih sedih daripada aku. Kapten Mega sudah kehilangan istri yang sangat dia cintai dan sahabat baiknya. Tapi dia terlihat kuat dan bisa menerima kenyataan.

"Tante, jangan khawatir. Pasti aku akan datang ke sini kalau ada waktu luang. Jaga kesehatan Tante, Insya Allah aku ikhlas dan merelakan kepergian Dinda," ucap Kapten Mega tegas.

Entah itu hanya di bibir atau memang hatinya sudah benar ikhlas dan rela. Tapi melihat mata sendunya, aku dapat merasakan jika sebenarnya dia juga sangat berduka.

Aku memalingkan wajahku ke arah lain, mengeluarkan sesak di dada, menangis tanpa bersuara. Kenapa sangat berat menerima kenyataan ini? Bagaimana masa depanku nanti? Semua masih abu-abu tak ada harapan di diriku.

***

Dua hari aku menginap di rumah sakit dan tadi pagi dibawa pulang ke rumah orang tua Aliandra. Papa Firman tidak mengizinkan kami menginap di hotel.

Kesedihanku bertambah saat berbaring di tempat tidur Aliandra. Kamar yang tidak begitu luas, banyak hiasan miniatur pesawat di buffet kaca kecil samping meja belajar. Memang kamar ini sudah lama tidak ditempati pemiliknya, tapi masih terawat dan banyak barang-barang yang tersimpan.

Aku tertarik saat mataku melihat bingkai foto yang berdiri di meja belajar. Aku bangkit dari tempat tidur dan menggapai bingkai itu. Ternyata benar Kapten Mega sahabat baik Aliandra. Di dalam bingkai terdapat beberapa foto yang memperlihatkan keakraban mereka. Sepertinya foto ini diambil saat mereka masih sekolah.

"Kak Aruna," panggil Sidni.

Aku menoleh ke arah pintu, dia menghampiriku yang sedang duduk di kursi meja belajar Aliandra.

"Kakak sedang apa?" tanya Sidni berdiri di belakang dan memegang kedua bahuku.

"Sedang melihat-lihat saja," jawabku meletakkan bingkai foto itu ke tempat asalnya.

Sidni duduk di tempat tidur, dia terus menatapku sampai aku malu dan salah tingkah.

"Jangan menatapku seperti itu," tegurku tidak nyaman diperhatikan Sidni intens.

"Kakak itu cantik, Kak Langit nggak salah pilih," puji Sidni tetap memandangku penuh arti.

Aku tersenyum tipis menarik kursi lebih mendekat padanya dan menggapai kedua tangan dia.

"Kamu juga cantik," balasku memuji. "Mmm... Sidni, apa aku boleh bertanya sesuatu?" timpalku ragu.

"Boleh, tanya apa, Kak?"

"Sejak kapan Kak Langit berteman dengan Kapten Mega?" tanyaku penasaran.

Entah mengapa hatiku sangat penasaran dengan masa lalu mereka. Selama aku dekat dengan Aliandra, dia tidak pernah membahas Kapten Mega dan memberitahuku jika dia memiliki sahabat baik.

"Sudah lama, Kak. Saat mereka masih SMP sampai kuliah bareng dan kerja di perusahaan yang sama. Mereka saling mendukung, Kak. Waktu papanya Kak Ali meninggal Kak Langit yang menemaninya. Tidur di rumahnya dan menghibur dia," cerita Sidni.

"Kak Ali?? Kok dipanggilnya Kapten Mega?" tanyaku bingung.

"Iya. Kapten Mega itu panggilan dia kalau sedang dinas. Kalau di lingkungan keluarga dan orang terdekat rata-rata memanggilnya Ali. Kan nama panjangnya Ali Mega Wirandra," jelas Sidni.

"Ooooh." Aku menganggukkan kepala. "Baru tahu," timpalku.

"Emang selama pacaran sama Kak Langit, Kakak nggak dikenalkan sama Kak Ali?"

"Nggak. Mmm... mungkin belum sempat," jawabku sedih jika teringat bahwa Aliandra sudah pergi meninggalkanku selamanya.

"Nggak apa-apa, yang penting kan sekarang sudah kenal. Kak Ali baik kok, Kak. Cuma orangnya sedikit pendiam, kayak Kak Langit. Mereka kalau jalan bareng kayak orang kembar." Sidni terkikik menutup mulutnya.

Hanya ini yang sekarang dapat kulakukan. Mengenangnya dan bertanya masa lalunya pada orang-orang terdekat. Kenapa ini tidak terjadi saat dia masih ada? Kenapa baru sekarang aku bisa berkumpul bersama keluarganya dan yang paling menyedihkan sudah tidak ada dia.

"Eh, panjang umur. Kak Ali telepon, Kak," seru Sidni saat aku sibuk melamun.

Aku hanya tersenyum dan dia langsung menerima panggilannya.

"Halo," jawab Sidni setelah menempelkan ponselnya di telinga.

Aku tidak mendengar apa yang dibicarakan orang di seberang sana.

"Alhamdulillah, sudah keluar tadi pagi, Kak. Kakak sekarang di mana?"

Sembari menunggu Sidni selesai menelepon, aku menarik buku yang tersusun rapi di atas meja. Aku membukanya dan ternyata ini adalah buku catatan sekolah. Bibirku tersenyum saat melihat foto Aliandra remaja memakai seragam putih di saku dadanya tertempel almamater sekolah dan OSIS Sekolah Menengah Atas. Aku membaca biodatanya.

Aku balik kertas itu satu per satu dan berhenti di halaman di mana ada foto Kapten Mega. Aku baca biodatanya, benar saja nama panjangnya Ali Mega Wirandra. Tahun lahirnya sama dengan Aliandra, hanya beda bulan lebih tua Kapten Mega.

"Kak, dapat salam dari Kak Ali. Dia tanya mau balik ke Jakarta kapan? Katanya mau dibantu carikan tiket," ujar Sidni setelah selesai menelepon.

Aku menutup buku catatan sekolah Aliandra lalu memutar tubuhku menghadapnya.

"Belum tahu," jawabku masih berat meninggalkan rumah ini.

Hampir dua minggu sejak kabar jatuhnya pesawat yang dimanuver Aliandra aku membolos bekerja. Entah apakah aku masih dipekerjakan atau malah sudah dipecat? Aku sampai tidak memikirkan itu.

"Ya sudah, nanti aku bilang sama Kak Ali. Kasihan dia," imbuh Sidni.

Aku mengerutkan dahi menatapnya bingung.

"Kenapa?" tanyaku heran.

"Ya kasihan saja sama Kak Ali. Baru menikah beberapa bulan lalu sekarang sudah duda. Takdir tidak ada yang tahu, Kak. Kak Aruna harusnya bersyukur karena Allah memberikan kesempatan buat Kakak menikmati karunia-Nya di dunia ini. Coba bayangkan apa yang terjadi kalau Kakak waktu itu ikut satu penerbangan sama Kak Langit?

"Apa nggak semakin membuat Mama sesak dada? Kasihan juga Om David dan Tante Berlin. Mama kuat karena ada Kakak, sudah lama Mama pengin melihat Kak Langit menikah dan punya menantu," cerita Sidni menyesakkan dadaku.

Kepalaku seketika pusing, aku menarik napas panjang, dan rasanya hatiku nyeri sangat amat sakit. Pandanganku mengabur, air bening menetesi tanganku.

"Kak, maaf aku salah bicara ya?" ucap Sidni takut ingin menyentuhku.

Aku menggeleng cepat dan langsung memeluknya menangis meluapkan sesak yang mengganjal di dada. Entah apa yang sedang aku alami, aku kehilangan arah hidupku. Pegangan hidupku runtuh, mampukah aku berdiri sendiri?

########

Masih berduka Ilyana. Sabar, Ly. Tabahkan hatimu, memang sulit menerima kenyataan.

Makasih buat vote dan komentarnya.

Ada yang masih belum menerima Aliandra meninggal?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top