PROSES MENUJU KEBAHAGIAAN
Duduk, menunduk, menunggu, itulah yang Mega lakukan sekarang. Dia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. 20 menit lagi pesawat menuju ke Belanda akan take off. Tapi Ilyana belum juga datang. Mega menghela napas dalam, akhirnya dia tidak dapat lagi menunggu.
"Sorry Langit, gue nggak bisa ajak dia," ucap Mega sedih dan menyesal. Ternyata tidak mudah meyakinkan hati yang masih terluka.
Mega pun masuk ke boarding gate, senyum ramah pramugari yang rata-rata sudah mengenalnya menyambut.
"Loh Kapten Mega? Mau ke Belanda?" tanya seorang pramugari berparas cantik dengan senyum menawan namun tidak mampu menggetarkan hati Mega.
"Iya," jawab Mega singkat dan tersenyum tipis.
Dia melenggang masuk ke kabin bisnis sesuai tiket yang dia pesan. Mega duduk di dekat jendela, lagi-lagi dia melihat jam tangannya.
"Lima menit lagi kamu tidak datang, berarti kamu tidak ikut denganku," lirih Mega dengan perasaan berat.
Dia memejamkan mata, dalam hati berdoa semoga Ilyana bisa ikut bersamanya. Namun sampai pengumuman tutup pintu pesawat, Ilyana tidak juga muncul. Mega menghela napas panjang, entah kenapa hatinya sangat sedih. Ingin marah, tapi dia tidak tahu sebabnya apa. Dia mengepalkan kedua tangan menahan sesak di dada, sakit dan seperti ada sesuatu benda yang mengganjal di dalam dadanya. Mega menjedotkan kepalanya di sandaran kursi. Dia memicingkan mata rapat menahan emosi.
"Apa aku boleh duduk?"
Suara itu ...??? Dengan cepat Mega membuka mata, seperti mendapat kesejukan di padang Sahara bibirnya tertarik menciptakan seluas senyum.
"Sini." Mega berdiri memberikan tempat duduknya untuk Ilyana.
Dia dapat bernapas lega, akhirnya yang ditunggu datang di saat yang tepat.
"Kenapa bisa terlambat?" tanya Mega dalam hati ada sebuah rasa yang mengusik ketenangannya.
"Maaf ya? Aku hampir lupa," ucap Ilyana lalu dia memainkan ponselnya. Ilyana mengirim pesan pada Fluor agar dapat menghendel pekerjaannya selama dia cuti.
Pengumuman agar penumpang mematikan ponsel terdengar nyaring di kabin. Namun Ilyana seperti tak menghiraukannya.
"Bisa mematikan ponselnya?" pinta Mega sembari mengenakan sambuk pengamannya.
Ilyana melirik sekilas, dia menyalakan memode pesawat. Pesawat berjalan menuju runway. Akhirnya burung besi pun lepas landas mengudara ribuan kaki di atas permukaan air laut.
"Kenapa sih setiap terbang harus mematikan ponsel?" gerutunya bernada kesal.
Mega melirik dan tersenyum, baru kali ini dia mendengar Ilyana bicara dengan kalimat lumayan panjang.
"Karena banyak hal, salah satunya mengacaukan berbagai fungsi pesawat," sahut Mega.
"Contohnya?" tanya Ilyana menatap Mega sekilas lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela.
"Mmm... jadi begini." Mega menyerongkan duduknya sedikit menghadap Ilyana. "Intervensi gelombang radio yang berasal dari HP itu bisa mengacaukan berbagai fungsi pada pesawat. Misalnya gangguan komunikasi pilot dengan menara kontrol ATC," jelas Mega singkat.
Ilyana memutar kepalanya menoleh Mega. Dia mengernyitkan kening lantas bertanya, "A-T-C apaan?"
Mega terkikih, ternyata Ilyana cerdas juga. Pertanyaannya mendetail dan sepertinya dia teman yang asyik diajak mengobrol. Kemungkinan perjalanan 14 jam tidak akan terasa jika dia terus mengobrol dengan Ilyana. Pikir Mega.
"ATC itu kepanjangan dari Air Traffic Control."
"Apa itu? Gunanya apa?" sahut Ilyana cepat terus bertanya dan mendesak Mega.
Mega suka caranya bertanya yang ingin mengetahui banyak hal mengenai pekerjaannya.
"Kamu ternyata cerewet juga ya?" ledek Mega mulai berani terbuka dan menggoda.
"Ck, emang tanya nggak boleh," decak Ilyana melipat tangan di depan dada dan melengoskan wajahnya menatap ke luar jendela.
Burung besi itu mengudara di atas ketinggian puluhan ribu kaki dari darat. Cuaca cukup baik, tidak berawan dan langit cerah. Ilyana melihat daratan seperti peta mini 3 dimensi, sangat jelas sungai yang membelah dua daratan dan lautan lepas yang biru.
"Gitu aja marah," gumam Mega.
"Nggak! Cuma kesel aja, ditanya serius jawabnya begitu," sahut Ilyana judes.
"Iya, maaf," ucap Mega. "ATC itu menara kontrol. Semua pilot harus selalu berkomunikasi dengan ATC untuk mendapatkan bimbingan tentang arah, ketinggian, posisi pesawat, dan lain di sekitarnya. Kalau ada sinyal HP bisa menganggu navigasi penerbangan, akan membuat titik-titik navigasi menjadi tidak akurat. Bisa juga mengganggu pengaturan udara dalam kabin ini," lanjut Mega menjelaskan.
Ilyana menoleh, dia tertarik mendengar dan akan banyak bertanya seperti saat dulu bersama Aliandra. Entah mengapa semenjak mengenal Aliandra, dia sangat mencintai penerbangan. Ilyana meluruskan kakinya, duduk santai memiringkan tubuhnya menghadap Mega. Punggungnya diganjal dengan bantal kecil.
"Loh??? Sebentar," sela Ilyana terlihat bingung. "Maksudnya mengatur udara di kabin ini??? Emang udara yang kita hirup sekarang udara buatan gitu???"
Mega menganggukkan kepala mengiyakan ucapan Ilyana. "Yaaa karena secara teknis ada bleed air yang menghasilkan udara. Di atas ketinggian 10 ribu kaki tekanan atmosfir sangat kecil, jadi kita nggak bisa bernapas dengan normal."
Mendengar penjelasan Mega sejenak Ilyana terbengong. Dia baru tahu ternyata selama ini saat menaiki pesawat yang dia hirup adalah oksigen buatan mesin. Tidak semua orang menyadari hal itu.
"Ooooh begitu? Baru tahu aku. Terus kalau misalkan HP standby gimana? Yang penting kan nggak dimainin?" Wajah Ilyana sedikit memancarkan cahaya saat mengobrol dengan Mega.
"Mmm... tetap saja bisa mengganggu. Kan masih bisa memancarkan sinyal elektromagnetis."
"Banyak banget aturannya, gimana kamu dulu belajarnya? Nggak pusing tuh hapalin begituan?"
Mega terkekeh geli, dia mengerling Ilyana dan mengacak rambutnya gemas.
"Semua kalau dihafal pasti akan hilang. Pelajari dan dipahami pasti akan selalu ingat," jawab Mega sabar dan sangat lembut.
Dari caranya berbicara sosok Mega itu pria yang penyayang dan berhati lembut. Penyabar, sikapnya tenang dan melindungi. Pasti semua wanita yang dekat dengannya merasa aman serta nyaman.
"Iya juga sih. Semua tergantung dari pemahaman masing-masing. Tapi kalau otak sumbu pendek biarpun dijelasin 1000 kali tetep saja dodol nggak bakalan paham. Yang ada malah puyeng 7 keliling," cibir Ilyana mengeluarkan sifat aslinya yang bawel dan cerewet.
"Ya kan setiap orang memiliki daya pikir sendiri-sendiri. Nggak bisa disamaratakan begitu." Mega meluruskan kakinya dan berdasar miring menghadap Ilyana.
"Terus lanjutkan yang tadi," tuntut Ilyana masih ingin banyak tahu mengenai pekerjaan yang sudah merenggut nyawa orang yang dicintainya.
"Yang tadi apa?" tanya Mega pura-pura lupa.
"Ck, dasar pelupa," cibir Ilyana. "Yang tadi loh, kalau HP standby," terang Ilyana mengingatkan.
"Ooooh itu? Pokoknya intinya selama HP masing memancarkan sinyal, itu membahayakan keselamatan pesawat. Sekalipun HP standby tidak berfungsi tapi dia terus memancarkan gelombang elektromagnetik kan?"
"Kalau mematikannya pas take off dan mengaktifkannya pas landing bagaimana? Kan flight-nya nggak tinggi?"
"Justru itu lebih membahayakan.
Karena HP dekat dengan BTS, jaringan akan menciptakan tenaga dalam tingkat tertentu yang lebih membahayakan keselamatan penerbangan. Karena saat landing dan take off banyak komunikasi radio di kokpit. Sudah ah tanya yang lain, masa tanya itu mulu?" sela Mega lelah menjawab pertanyaan Ilyana yang tidak ada habisnya.
"Tanya apa?" Ilyana memanyunkan bibirnya.
"Terserah, apa saja," jawab Mega memerhatikan lekuk wajah Ilyana.
Kedua matanya indah, hazel-nya memikat, bulu matanya lentik, hidungnya mancung, dan bibirnya merah delima. Cantik dan manis dengan make up natural. Dalam hati Mega mengagumi paras Ilyana.
Bukannya bertanya Ilyana malah diam memerhatikan Mega. Wajahnya mengingatkan dia pada Aliandra meski tak sama tapi mereka mirip. Bibirnya anti nikotin merah segar, matanya tajam tapi menyirakatkan kedamaian, rahangnya kukuh, hidungnya mancung, dan parasnya bersih terawat. Beberapa menit mereka sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Hening, merenung lama kelamaan terciptalah rasa canggung.
"Kamu pernah jalan-jalan ke Belanda?" tanya Mega daripada tidak ada obrolan membuatnya salah tingkah diperhatikan Ilyana intens.
"Pernah dulu sama temen-temen kantor."
"Main ke mana saja?"
"Mmm... ke mana-mana," jawab Ilyana cepat.
"Paling betah main ke mana?"
Ilyana berpikir mengingat-ingat. "Nggak ada yang bikin betah, soalnya kalau lagi asyik main ada aja gangguannya. Pekerjaanlah, panggilan dari bos, ini dan itu."
"Coba main ke hati saya, siapa tahu kamu betah," ucap Mega spontan menatap mata indah Ilyana.
Ilyana membalas tatapannya, tiba-tiba jantungnya berdebar-debat seperti dulu saat pertama kali melihat Aliandra.
"Bercanda, jangan dianggap serius," sela Mega takut jika Ilyana akan tersinggung dengan ucapannya.
Ilyana tersenyum kecut, bisa-bisanya jantungnya bermain-main.
"Ali," panggil Ilyana pelan.
"Hmm," sahutnya bergumam.
"Jujur, aku paling nggak nyaman kalau berkomunikasi sehari-hari memakai bahasa semi formal. Berasa ada jarak dan perbedaan," ungkap Ilyana.
"Maaf, keseharian sudah terbiasa berkomunikasi seperti itu. Tapi it is okay, nggak masalah kalau maunya kamu begitu."
Ilyana tersenyum dan berucap terima kasih karena Mega mau mengimbanginya.
"Permisi, Kapten Mega." Seorang pramugari mendekat berdiri di samping Mega membawakan makanan.
"Eh!" Mega terkejut dan langsung menegakkan duduknya.
"Maaf mengganggu," ucap pramugari itu tersenyum penuh arti seraya melirik Ilyana.
"Ah nggak ganggu kok," sahut Mega menggaruk kepala sungkan, seperti sedang kepergok melakukan sesuatu padahal tidak.
"Ini minuman hangatnya." Pramugari itu menurunkan cangkir kopi di meja khusus.
"Makasih ya?" ucap Mega tersenyum ramah.
"Iya, Kap," balasnya tersenyum simpul lantas berlalu.
"Kamu mau pesan sesuatu?" tanya Mega menawari Ilyana.
"Nggak, aku ngantuk. Masih lama ya?" tolak Ilyana mencari posisi nyaman.
"Masih, kita naik pesawat yang langsung ke Belanda tanpa transit. Tidurlah," titah Mega membenarkan selimut Ilyana.
Ilyana memejamkan mata mengeratkan selimutnya. Mega mengambil buku dari tas, dia pun membaca buku seraya menjaga tidur Ilyana. Belum juga tertidur pulas guncangan pesawat terasa jelas, membuat Ilyana terkejut dan memekik ketakutan. Beberapa orang menoleh ke arah mereka, Mega menenangkan Ilyana.
"Ssssst, kamu ke napa?" tanya Mega mengelus rambut Ilyana cemas.
Wajahnya pucat dan napasnya tersengal-sengal seperti habis berlari jauh.
"Maaf, aku terkejut. Apa itu tadi? Kenapa getarannya terasa kencang?" Ilyana panik memegang dadanya yang berdebar-debar kencang dan dia ketakutan.
Tanda untuk menggunakan sabuk pengaman menyala. Ilyana menegakkan tubuhnya dan Mega membantu dia memakaikan sabuk pengaman.
"Ada apa sih ini? Aku takut," rengek Ilyana parau ingin menangis, perasa takut menguasai tubuhnya.
Sebenarnya dia masih sedikit trauma jika naik pesawat. Apa yang terjadi pada Aliandra meninggalkan bekas yang sulit dihilangkan.
"Kamu tenang saja, turbulensi biasa terjadi." Mega menggenggam tangan Ilyana yang terasa dingin dan gemetar. Wajahnya pucat pasi. "Jangan takut, ada aku di sini," timpal Mega menenangkan.
"Masa sih keadaan cerah, langit bersih dan tidak berawan begini bisa turbulensi?" gumam Ilyana kecil menggerutu antara cemas dan takut.
"Eh jangan salah, turbulensi udara cerah itu lebih ekstrem," sahut Mega.
"Masa sih?" tanya Ilyana semakin panik dan tidak percaya. Dia melingkarkan tangannya erat di lengan Mega.
Lagi-lagi turbulensi terasa kencang, Ilyana mengeratkan gandengannya di lengan Mega dan menyembunyikan wajahnya di balik punggung lebarnya.
"Jangan khawatir, jangan takut, dan jangan panik. Kayak pertama kali naik pesawat aja? Serahkan sama kapten, dia tahu apa yang harus dilakukan," ucap Mega santai karena dia sudah sangat paham medan yang setiap saat dan sewaktu-waktu bisa terjadi di penerbangan.
"Kamu mah enak, pilot jadi tahu. Kan aku penumpang biasa, wajar dong kalau punya kecemasan? Gimana kalau pesawat ini ja---"
"Nggak!" sahut Mega cepat sebelum Ilyana menyelesaikan kata-katanya. "Semua pesawat sudah dirancang untuk menghadapi guncangan-guncangan, termasuk guncangan besar seperti angin kencang dan badai. Turbulensi sudah biasa terjadi dalam dunia penerbangan," timpal Mega merengkuh bahu Ilyana dan mengarahkan kepalanya supaya bersandar di dada dia.
Nyaman dan tenang, begitulah perasaan mereka. Ilyana mendengar detak jantung Mega, debarannya berpacu kencang. Bibirnya tersenyum geli mendengarkan ritme jantung orang yang seperti sedang jatuh cinta.
Perlu melewati beberapa proses untuk mengenal cinta. Meskipun sangat sulit dan sakit. Tidak harus menjadi cinta pertama untuk menjadi pemenang. Karena cinta yang lain sudah mengajarkan kita banyak hal, supaya dapat menjaga baik-baik pilihan terakhirnya. Kesempurnaan cinta terletak pada sejarah sebelum kemenangan tergenggam.
###########
Uhuk uhuk uhuk
Ya Allah, begini amat ya?
Nantikan bulan tiga akan liris Pangeran Burung Besi versi baru. Jangan sampai ketinggalan PO-nya, ya?😘
Terima kasih untuk vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top