MENGHABISKAN WAKTU DENGANMU
RON (Remain Over Night) atau pesawat tinggal untuk bermalam. Mega mendapat rest period 16 jam di pulau Lombok. Mulai ia memarkirkan pesawat hingga nanti ia kembali duduk di pesawat. Rest period yang terbatas dimanfaatkan Mega mengajak Ilyana berkeliling dan menghabiskan waktu bersama di pantai Kuta, Lombok dengan waktu tempuh hanya kurang lebih 30 menit dari bandara LIA (Lombok Internasional Airline).
Matahari senja berangsur-angsur pulang ke peraduan. Namun datangnya gelap tak menghambat warga desa Kuta, penduduk suku Sasak untuk tetap melancarkan upacara Bau Nyale. Yaitu sebuah acara perburuan cacing laut. Upacara yang hanya diselenggarakan satu tahun sekali, sekitar bulan Februari dan Maret. Banyak wisatawan dari lokal maupun internasional yang mengikuti acara itu termasuk Mega dan Ilyana.
"Hubby, aku geli. Nggak mau!" pekik Ilyana risih melihat cacing-cacing laut yang sedang bermunculan di permukaan air laut.
Mega terus menggoda istrinya, menakuti Ilyana dengan cacing panjang yang hidup di lubang-lubang batu karang di bawah permukaan laut. Bentuknya yang panjang, kecil, dan licin membuat Ilyana geli. Mereka turun ke laut ikut mencari cacing laut bersama warga setempat dan para turis dari mancanegara.
"Hayoooo, hiiiiiii." Mega menyodor-nyodorkan cacing ke depan wajah Ilyana.
"Hubby!" sentak Ilyana geli menepis tangan Mega.
Mega justru tertawa puas berhasil menggoda istrinya.
"Gitu aja takut," cibir Mega memasukkan cacing buruannya ke ember kecil.
"Bukannya takut, Hubby. Tapi aku geli," bantah Ilyana. "Ayo naik, sudah petang nih! Aku kedinginan." Ilyana memeluk dirinya sendiri. Tubuhnya basah kuyup, tak berbeda dengan Mega yang juga basah.
Sejak siang sesampainya mereka di bandara LIA, setelah meletakkan koper di hotel, Mega lantas mengajak Ilyana ke pantai Kuta. Menikmati panorama Kuta, Lombok yang tak kalah menariknya dengan Kuta di pulau Bali. Hanya saja jika di Kuta, Bali ramai dan banyak pengunjung, berbeda dengan Kuta, Lombok. Di sana sangat sepi pengunjung, terlebih lagi pada hari kerja kecuali hari festival Bau Nyale . Namun itulah yang menjadi nilai tambahan dari pantai Kuta, Lombok.
"Ayo!" Mega merangkul Ilyana mengajaknya ke tepian. "Cacingnya mau buat apa?" tanya Mega menjinjing ember kecil berisi cacing laut.
"Buang sajalah, siapa juga yang mau masak? Kamu mau makan cacing itu?" tanya Ilyana geli melihat cacing-cacing panjang bewarna hijau kecoklatan seperti lumut.
"Kalau bisa masaknya enak tahu, Love. Kita coba yuk, bawa pulang," goda Mega menaik turunkan kedua alisnya.
"Ogah!" tolak Ilyana melepaskan tangan Mega yang merangkul bahunya.
Dia berjalan mendahului Mega.
"Love!" seru Mega mengejar. Dia menyamakan langkah kakinya dengan Ilyana. "Aku bercanda, Love," rayu Mega tak mau Ilyana ngambek.
Ilyana melebarkan langkahnya meninggalkan Mega. Namun Mega terus mengejar dan berusaha merayu mengembalikan suasana hati istrinya agar bahagia.
"Terserah! Mau kamu buang atau mau kamu masak. Tapi aku nggak mau masakin!" tegas Ilyana mendekati mobil yang mereka sewa.
Mega galau, antara penasaran dengan rasa cacing tersebut jika sudah diolah menjadi makanan dan berpikir jika memang ia ingin memasak, di mana tempatnya? Ia bingung, mengacak rambutnya asal.
"Ya sudah, aku kasih ke warga saja ya?" ucap Mega mengalah.
"Terserah kamu, Hubby. Aku mau mandi dulu." Ilyana mengambil baju di dalam mobil, sedangkan Mega memberikan cacing hasil buruannya kepada seorang warga yang lewat di samping mobilnya.
Mereka pun membersihkan badan di tempat yang sudah disediakan.
***
"Aku merasakan seperti mempunyai pantai pribadi," celetuk Ilyana setelah mereka berpakaian rapi dan berjalan di bibir pantai tanpa alas kaki sembari bergandengan tangan menikmati ketenangan menyongsong malam.
"Kenapa?" tanya Mega menggenggam erat tangan istrinya seolah dia tak ingin melepaskannya.
"Soalnya di sini hanya ada sedikit pengunjung dan cuma ada beberapa penjual pernak-pernik khas Lombok yang hilir mudik menawarkan songket Sasak. Itupun sebelum tadi warga datang mencari cacing. Cocok yang pengin menghilangkan kepenatan setelah rutinitas sehari-hari. Seperti kamu, Hubby," jelas Ilyana melempar senyuman terbaiknya.
Mega membalas senyuman Ilyana, mereka terus menyusuri bibir pantai Kuta di bawah remang rembulan langit Sasak. Pasir putih serta lautan biru membentuk setengah lingkaran dan berkelok, dikelilingi oleh hijaunya perbukitan menambah keindahan pantai itu.
Butiran pasir yang khas, ukuran relatif besar, dan berbentuk seperti merica yang tidak didapati di pantai-pantai lain menjadi keunikan tersendiri. Sehingga apabila berjalan menyusuri pinggir pantai tanpa alas kaki akan merasakan sensasi yang berbeda dan nyaman ketika menginjak pasir pantai.
"Makan yuk!" ajak Mega.
"Makan apa? Kalau makan cacing tadi aku nggak mau loh." Ilyana was-was jika Mega mengajaknya makan olahan cacing laut.
"Nggak dong, kan tadi cacingnya aku kasih ke orang. Di sini paling terkenal plecing kangkung. Katanya sih kangkung di Lombok itu khas, berbeda dengan kangkung di daerah lain," ujar Mega merangkul Ilyana memberikan dia kehangatan.
Angin semilir yang menerpa tubuh mereka menusuk tulang hingga gigil. Meski memakai baju hangat namun angin laut sungguh kejam tanpa memandang bulu ia menerkam siapa saja yang menantangnya.
"Masa sih?" sahut Ilyana tak percaya.
"Mau coba?" tawar Mega.
"Ayo!" Ilyana mengangguk mantap.
Dengan senang hati Mega mengindahkan kesediaan Ilyana. Mereka mencari restauran yang menyediakan makanan khas Lombok. Suasana gazebo pinggir pantai yang tenang, santai, ditambah alunan musik jazz semakin membuat restoran out door itu terasa romantis.
"Hubby, kamu pesan apa itu?" tanya Ilyana melihat pesanan Mega berbeda dengannya.
"Ini ares, sayur khas Lombok juga. Yang dibuat dari pelepah pisang atau gedebok pisang yang masih muda," jawab Mega menyendok sayur berbumbu kuning lalu dituang ke atas nasinya.
"Hah?! Pohon pisang muda?" ulang Ilyana tak percaya. "Sepet dong," imbuh dia membayangkan rasanya yang sepat seperti pisang mentah.
"Ya nggak dong. Kamu mau coba?" Mega mengulurkan sendoknya ke depan mulut Ilyana.
Dengan ragu Ilyana pun mencobanya. Pertama mengunyah dia masih ragu dan terasa aneh, tapi semakin lama ia suka dengan rasanya yang khas, pedas, dan gurih.
"Enak, nggak ada rasa sepetnya sama sekali," ucap Ilyana.
"Permisi, pesanan ayam taliwang dan kelaq sebie-nya." Seorang pelayan wanita menurunkan pesanan susulan.
"Kel... apa tadi?" tanya Ilyana asing dengan nama masakan itu.
Pelayan wanita itu tersenyum lantas menjelaskan, "Ke-laq se-bie, Nona. Ini juga salah satu makanan khas Lombok yang menjadi pesanan favorit pengunjung restauran ini. Yang suka makan pedas cocok, soalnya makanan ini paling pedas karena bahan utamanya cabe rawit hijau."
Ilyana mengaduk-aduk kelaq sebie dan melihat isinya.
"Kuahnya santan ya? Ini dicampur apa lagi?" tanya Ilyana bertubi-tubi.
Mega menggelengkan kepala, kebiasaan Ilyana muncul. Terus bertanya sampai puas dan berhenti jika sudah mendapat jawaban sesuai dengan keinginannya.
"Iya, Nona. Sama ikan tongkol disuir-suir, terong, dan kacang panjang," terangnya halus dan sopan.
"Sudah ya, tanya-tanyanya? Waktunya kita makan," sela Mega. "Kita harus menghabiskan ini semua," imbuh dia.
"Semua?!" pekik Ilyana.
Matanya membulat, bagaimana ia bisa menghabiskan makanan sebanyak itu hanya berdua saja dengan Mega? Padahal plecing kangkungnya saja belum dia makan.
"Terima kasih," ucap Mega memberikan uang tips lantas pelayan itu pergi meninggalkan mereka.
"Oh my God, Hubby. Aku bisa gendut ini. Apalagi ini bersantan, masya Allah. Gimana habisinnya?" seru Ilyana bingung mana yang akan ia makan lebih dulu.
Mega dan Ilyana menikmati makan malam di gazebo pinggir pantai Kuta, Lombok. Meja berkaki rendah di hadapan mereka penuh dengan makanan khas Lombok. Mega hanya tersenyum lalu meletakkan sendoknya dan mematahkan paha ayam taliwang.
"Jangan bingung, tinggal makan saja. Paling enak makan pakai tiga jari, sunah Rassul." Mega menjimpit nasi serta ayamnya, lalu ia sodorkan ke mulut Ilyana. "Aaaa," titah Mega supaya Ilyana membuka mulut.
Ilyana speechless menatap Mega, pasalnya baru kali ini dia disuapi Mega dengan tangannya langsung.
"Love," panggil Mega lembut menyadarkan Ilyana. "Buka mulutnya, kok malah bengong," timpal Mega.
Tanpa melepas tatapannya, Ilyana membuka mulut. Suapan pertama menyejukkan hati dan jiwanya. Sungguh sangat berbeda rasanya makan langsung dari tangan pria yang melindungi serta mencintai dengan tulus. Perasaan campur aduk antara haru dan bahagia.
"Enak?" tanya Mega, Ilyana tersenyum dan mengangguk bahagia.
"Sering-sering aja begini, Hubby. Bakalan habis banyak pasti aku makannya," ujar Ilyana menunggu suapan selanjutnya.
Dengan telaten dan sabar Mega menyuapi Ilyana serta dirinya sendiri. Sambil bercerita dan berbincang ringan, mereka menghabiskan makanannya.
"Hubby, aku boleh tanya sesuatu?" tanya Ilyana setelah mereka menghabiskan makanan di meja.
"Tanya saja," jawab Mega mencuci tangannya dengan air perasan jeruk nipis.
"Kenapa sih Kak Herman epaulets-nya masih 3, sedangkan kamu sudah 4? Bukankah Kak Herman itu senior kamu waktu masih kuliah dulu?" tanya Ilyana polos.
Mega malah terkekeh, dia mengelap tangannya dengan tisu kering lantas bersandar di tiang gazebo. Epaulets atau bar (badge) adalah lencana atau tanda pangkat di pundak.
"Mulaaaai," seloroh Mega mengerling Ilyana.
Dia tahu, setiap istrinya memulai dengan pertanyaan seperti itu, Mega harus siap menjelaskan sampai Ilyana benar-benar paham dan tahu. Jika tidak dijawab, sudah pasti dia akan terus mengejar dan selalu menanyakannya.
"Aaaaa..., Hubby. Jangan menatapku seperti itu. Aku kan penasaran, wajar dong kalau bertanya pada orang yang lebih tahu," rengek Ilyana merajuk dan merayu mendekati Mega melendot di dadanya.
Mega mendekap tubuh mungil istrinya, menempelkan pipi dia di pucuk kepala Ilyana.
"Kamu pernah melihat airman di bahunya ber-badge berapa saja?" Mega malah balik bertanya seraya mengelus rambut panjang Ilyana sayang.
"Mmm... selama ini sih yang pernah aku temui bar 1, 2, 3, dan 4. Tapi aku nggak paham," jawab Ilyana manja bersantai di dada bidang suaminya.
Rasanya nyaman dan tenang dapat bersandar di tubuh orang tercinta.
"Badge 1 garis itu, berarti calon pilot atau disebut juga kadet pilot. Jadi siswa yang masih belajar di sekolah penerbangan. Kalau yang 2 garis namanya Second Officer (SO). Pilot yang sudah lulus sekolah penerbangan tapi masih dalam tahap training di suatu maskapai penerbangan dengan jumlah jam terbang masih sekitar 100 jam. Kalau yang 3 garis itu First Officer (FO), yang menjadi tangan kanan atau asisten kapten dalam menerbangkan pesawat, umumnya memiliki jam terbang antara 100–1.500 jam. Kalau 4 garis ...."
"Kapten!" pekik Ilyana menyahut keras dan yakin.
Mega tersenyum dan berkata, "Hapal banget?"
"Iya dong, kan badge kamu 4 garis," ucap Ilyana menekan pipi Mega menampakan mimik lucunya.
"Artinya?" tanya Mega.
"Artinya kamu adalah kapten, pemimpin tertinggi di pesawat yang sedang kamu terbangkan." Ilyana berucap bangga.
"Iya sih, benar. Tapi tidak semua orang langsung semudah itu mendapatkan badge 4. Mereka harus memiliki jam terbang 1.500 jam dan telah lulus tes ATPL (Airline Transport Pilot License). Mencapai itu tidak mudah, makanya tidak memandang tua atau muda, asal orang itu jam terbangnya cukup dan sudah mengantongi senjata ampuh ATPL, sudah pasti badge 4 di pundaknya."
"Tapi kan Kak Herman lebih tua dari kamu, kenapa sampai sekarang dia masih badge 3?" tanya Ilyana masih sangat penasaran.
"Love, di perusahaan mana pun jabatan tidak mengenal itu senior atau junior kita saat sekolah atau kuliah dulu. Bisa saja di dunia bekerja yang dulu kamu di sekolah menjadi senior, tapi di saat kerja kamu menjadi bawahan juniormu. Begitupun di penerbangan, pelaut, TNI, polisi, dan lain-lain. Siapa cepat mendapatkan senjata ampuh berupa semacam ijazah atau sertifikat syarat kenaikan pangkat, yang tadinya junior bisa menjadi senior. Jadi, jangan menilai segala sesuatu dari usia. Usia bukan menjadi patokan atau tolak ukur segalanya," ujar Mega mengelus pipi Ilyana dengan ibu jarinya.
Mendengar penjelasan Mega, mata Ilyana semakin berat dan sepet.
"Hubby, aku ngantuk," lirih Ilyana, matanya sudah sangat berat.
Mega menyunggingkan senyum. "Balik ke hotel, yuk!"
Dia menegakkan tubuh Ilyana.
"Gendong, aku lemes, kenyang, ngantuk," rengek manjanya.
Wajahnya kusam, matanya merah terlihat sangat kantuk.
"Iya, tapi aku bayar ini dulu ya?" izin Mega turun dari gazebo.
"Cepat."
"Iya bawel. Tunggu sebentar, jangan tidur dulu," pesan Mega lantas berlari kecil masuk ke ruangan membayar makanannya.
Selesai membayar, Mega kembali ke gazebo. Ilyana sudah tergeletak, meringkuk, tidur miring. Mega menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Dasar!" cibir Mega dengan susah payah menegakkan tubuh Ilyana dan menggendongnya di punggung.
Melewati jalan berpasir, Mega menahan beban di punggungnya menggendong Ilyana yang ketiduran sampai di mobil.
###########
Siapa yang dari Lombok? Aku sangat merindukan pulau Lombok.😩😭
Terima kasih atas vote dan komentarnya. 😊
Selamat malam, mimpi indah semuanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top