MENGENANGMU

Mega POV

Otot di tengkukku tegang, badan lelah, dan mata sepet. Dini hari aku membuka pintu rumah, keadaan sunyi, kosong, dan gelap. Jika dulu aku pulang disambut oleh senyuman hangat Dinda, kini semua menghilang. Aku meraba dinding mencari sakelar lalu aku tekan, lampu ruang tamu dan ruang tengah menyala. Sunyi, hanya ada aku dan bayangan masa lalu. Aku mendaratkan pantatku ke sofa di ruang tamu dan melepas sepatu serta melonggarkan dasi. Kusandarkan tubuhku relaks melemaskan otot-otot yang kaku setelah beberapa hari bekerja dan berkonsentrasi memanuver burung besi.

"Astogfirulloh hal adzim." Aku mengusap wajahku dan kutarik ke atas hingga menyibak rambutku ke belakang. Sejenak aku menutup mata dan menyandarkan kepala di sofa melepas penat.

Aku teringat Ilyana, sudah dua hari dia di Malaysia menemani Fluor yang sedang tertimpa musibah. Suaminya mengalami kecelakaan mobil ketika sedang menuju ke kantor rekan bisnisnya. Apakah Ilyana membolos kerja?

Aku mencemaskannya, segera aku merogoh saku celana mencari ponsel lantas meneleponnya. Beberapa detik menunggu akhirnya panggilanku terjawab.

"Assalamualaikum," ucapnya dari seberang.

"Waalaikumsalam," jawabku lemas menahan kantuk dan letih. "Kamu sudah pulang ke Indonesia atau masih di Malaysia?" tanyaku mengkhawatirkan keadaannya.

"Aku sudah di rumah, sampai kemarin sore. Tapi Fluor masih di sana," jawabnya.

"Kenapa nggak bilang aku kalau mau pulang? Kan bisa aku carikan tiket? Terus bagaimana keadaan suaminya Fluor?" tanyaku sedikit kesal karena terkadang Ilyana bandel dan tidak mau menurut padaku.

"Orang kamu aku telepon nggak bisa, ya sudah aku cari tiket sendiri. Buktinya bisa sampai di rumah dengan selamat tanpa kekurangan suatu apa pun," jawabnya enteng tidak memikirkan perasaanku yang sejak kemarin mencemaskannya. "Alhamdulillah sudah melewati masa kritis dan kemarin sebelum aku tinggal sudah sadar tapi katanya sih masih butuh pemulihan. Kamu baru pulang ya?" tanya dia.

"Iya, baru sampai rumah. Kenapa belum tidur? Sudah hampir pukul tiga loh?" tanyaku melihat jam dinding sembari beranjak dari ruang tamu menarik koper dan kubawa ke kamar.

"Habis selesai salat Tahajud, eh kamunya telepon. Kamu jawaban dari setiap doa-doa sepertiga malamku," ujarnya menghangatkan perasaanku.

Bahagianya aku dapat menularkan kebiasaan baik kepada calon istriku. Alhamdulillah, dia bisa meninggalkan kebiasaan buruknya.

"Alhamdulillah. Bobo lagi gih, baru pukul 3," perintahku halus.

"Nanggung, bentar lagi juga Subuh. Kamu tuh yang harus bobo. Tapi mandi dulu, setelah itu salat sunah baru istirahat ya?" titahnya perhatian.

Ini yang aku suka darinya, biarpun terkadang manja dan egois tapi Ilyana wanita yang baik, penyayang, dan penuh perhatian. Pantas Langit sangat mudah mencintainya, apalagi aku yang memang butuh perhatian. Biarpun aku baru mengenalnya tapi aku bisa merasakan bahwa Ilyana adalah sosok wanita yang sederhana, memiliki sifat keibuan, penyayang, periang, dan mudah bergaul.

"Iya, terus kamu mau ngapain sekarang?" tanyaku melepas baju PDH lalu mencari handuk di lemari.

Jika dulu semua keperluanku ada yang menyiapkan, sekarang aku mencari sendiri. Sangat terasa perbedaannya, setelah beberapa bulan hidup satu atap dengan Dinda, dan aku sudah terbiasa dengannya, tiba-tiba kebiasaan itu menghilang. Awalnya aku kesulitan mengembalikan kebiasaanku yang dulu sebelum tergantung padanya. Tapi seiring berjalannya waktu semua kembali seperti semula, biarpun terkadang bayang-bayang Dinda masih menghantuiku yang membuatku sangat merindukannya.

"Aku mau baca tahlil dan yasin buat Langit. Maaf," ucapnya terdengar sungkan.

"Kenapa minta maaf?" tanyaku menggantung handuk di belakang pintu dan melepas celanaku setelah di dalam kamar mandi.

Aku menyalakan pembesar suara lantas kuletakkan ponselnya di samping wastafel.

"Kamu nggak marah kan kalau aku kadang masih sering menyinggung nama Langit?" ujarnya sangat hati-hati.

Aku terkikih kecil. "Buat apa aku marah? Bukan masanya lagi kalau kita itu cemburu-cemburuan. Kita sudah sama-sama dewasa, hal yang semestinya kita lakukan adalah saling menerima dan saling menghargai pasangan. Kalau dipikir-pikir harusnya kita berterima kasih sama Langit."

"Kok begitu?" sahut dia cepat.

"Iya dong. Karena dia, kita bisa bertemu dan saling mengenal. Karena dia juga kita bisa saling menjaga, mengisi kekosongan hati, membasuh luka bersama, dan mengobati kepedihan. Secara tidak langsung, Langit mempertemukan kita untuk saling jatuh cinta di saat sama-sama terluka. Dia mengajarkan kita arti mencintai dan dicintai. Begitupun Dinda, karena dia, aku dapat mengerti arti cinta yang sempurna."

Aku berdiri di depan cermin lebar yang tergantung di tembok atas wastafel. Tubuh kekar nan polos bagian atasku terpantul jelas di dalam sana.

"Maksudnya cinta yang sempurna?" tanya Ilyana terdengar nada bicara curiga.

"Jangan berpikir yang macam-macam dulu," sangkalku. "Kesempurnaan cinta tergantung pada setiap pasangan. Jika kita bisa saling melengkapi, niscaya akan terciptalah kesempurnaan itu. Dinda memiliki kekurangan dan aku menutupinya dengan kelebihanku. Begitupun kita, kamu pasti memiliki kekurangan dan aku akan menutupi kekuranganmu. Sebaliknya, aku memiliki kekurangan dan kamu pasti bisa menutupinya," ujarku tulus agar dia tidak berpikiran yang negatif mengenai maksud perkataanku tadi.

"Oh itu maksud kamu? Kirain!"

"Emang kamu kira apa?" tanyaku sembari mengoleskan pasta gigi di ujung sikat gigi.

"Nggak apa-apa. Cuma aku pikir hanya Dinda cinta sempurnamu. Sudah berkecil hati duluan. Nggak tahunya itu maksud kamu."

Aku tertawa terbahak, inilah kejelekan Ilyana. Pencemburu, mudah tersinggung, dan sangat posesif. Apa jadinya jika dia melihatku berjalan dan bertugas dikelilingi wanita-wanita cantik? Padahal hampir semua pramugari berparas cantik, memesona, dan bodinya proposional.

"Sudah ya? Aku mau mandi dulu. Sudah siap nih. Besok siang jam makan siang aku samperin kamu ke kantor," kataku sebelum menggosok gigi.

"Sekalian bahas rencana pernikahan kita ya?"

"Iya."

"Resepsi," imbuhnya.

Aku menghela napas dalam.

"Jangan memancing emosi, aku malas berdebat. Sudah ah, aku mau mandi dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," sahutnya jutek.

Tut tut tuuuut

Panggilan pun terputus, pasti ngambek lagi. Apa aku salah jika tidak menyetujui kemauannya yang ingin mengadakan pesta pernikahan besar-besaran? Persoalannya bukan masalah biaya, tapi menjaga nama baik kami. Belum ada satu tahun pasangan kami meninggal, apa kata orang nanti?

Ya Allah, kepalaku semakin berat jika memikirkan hal itu. Aku tidak pernah menyesal memilih dan melamar Ilyana secepat ini, tapi yang aku pikirkan adalah ucapan orang lain mengenai kami. Apakah pantas aku yang baru saja ditinggalkan istri lalu tiba-tiba menikahi wanita lain dengan pesta pernikahan yang mewah? Rasanya aneh dan tidak semenggah.

***

Autrhor POV

Mega mengurai kemacetan di bawah sinar gagah sang raja siang. Cuaca panas tak dihiraukannya, dia tegar menerjang panas demi bertemu sang belahan jiwa. Membawa rindu yang memenuhi rongga dada, Mega tidak sabar ingin segera menatap wajah cantik Ilyana. Dia dengan sabar menunggunya di dalam mobil.

Aku sudah menunggu di tempat parkir.

Mega mengirim pesan untuk Ilyana.

Iya, tunggu. 5 menit lagi aku turun.

Balasnya. Mata Mega tak lepas memandang lobi. Wanita yang dia rindukan terlihat ke luar dan berdiri di lobi menyapu pandangan. Setelah melihat mobil Mega, Ilyana pun mendekatinya. Mega membukakan pintu dari dalam.

"Sudah lama?" tanya Ilyana masuk dan duduk di samping Mega.

"Nggak sih, mau makan siang di mana?" tanya Mega menyalakan mesin mobilnya.

"Di restoran depan saja ya? Biar nggak terburu-buru baliknya ke kantor," jawab Ilyana memasang sabuk pengaman.

"Siap!" seru Mega menjalankan mobilnya.

Mobil keluar dari pelataran kantor, Ilyana menyandarkan tubuhnya lemas dan memijat-mijat pelipis. Wajahnya kusam dan murung.

"Kenapa?" tanya Mega lembut menatap sekilas dan mengelus rambutnya sayang.

"Pening," jawab Ilyana memejamkan mata.

Mega diam membiarkan Ilyana beristirahat sebentar. Karena jalan di depan kantor Ilyana satu arah, Mega harus memutar arah mobilnya di ujung jalan agar sampai di restoran seberang kantor.

"Hubby," panggil Ilyana mesra.

"Hmm," gumam Mega sedang berkonsentrasi penuh mengurai kemacetan.

"Aku mendapat tawaran dari kantor."

"Tawaran apa?" Mega mengerutkan keningnya menoleh Ilyana sebentar lalu kembali fokus ke jalanan.

"Naik jabatan," jawab Ilyana menekan-nekan keningnya yang sangat pusing.

"Terus? Kamu akan mengambilnya?" tanya Mega dingin tanpa menatap Ilyana.

Pandangan matanya lurus ke depan, wajahnya berubah datar dan dalam hati berharap Ilyana tidak menerima itu.

"Aku bingung, Hubby. Jabatan General Manager sudah aku impikan sejak dulu. Aku sudah lama bekerja di kantor itu, sejak lulus S2 dan sempat merasakan menjadi karyawan biasa sampai di posisiku sekarang bukan waktu yang sebentar."

"Terus?" respon Mega dingin.

"Aku bingung," rengek Ilyana menunduk galau.

"Kamu sudah dewasa, jadi sudah bisa berpikir mana yang terbaik untuk hidupmu. Terserah kalau kamu masih mau bekerja, tapi keinginanku tidak akan pernah kutangguhkan. Terus bagaimana dengan rencana pernikahan kita?" Mega membelokkan mobilnya ke tempat parkir restoran.

"Kan masih menunggu surat-surat kamu. KK dan KTP kamu saja belum diberikan ke Papa," sahut Ilyana kesal melipat kedua tangan di dada dan melengoskan wajah ke jendela.

"Tadi sudah aku antar ke rumah sebelum menemui kamu," terang Mega melepas sabuk pengamannya.

"Aku pengin mengadakan resepsi," rajuk Ilyana memasang wajah memelas. "Ini pernikahan pertama dan aku harapkan juga yang terakhir kalinya. Aku pengin punya kenang-kenangan berkesan yang tidak akan pernah terlupakan. Punya dokumentasi kebahagiaan kita dan keluarga besar kita supaya dapat kita kenang di hari tua nanti. Please," mohon Ilyana memegang lengan Mega.

Mega diam berpikir keras, dia menghela napas dalam dan menyandarkan punggungnya di sandaran jok. Berpikir, menimbang, dan memilah. Suasana di dalam mobil hening, Ilyana dengan perasaan was-was dan takut menanti jawaban Mega.

"Hubby," seru Ilyana lirih memegang pipi Mega supaya menatapnya. "Jangan marah," pintanya takut.

Wajah Mega datar, tatapannya dingin, membuat Ilyana sedih.

"Pilih salah satu. Kamu pengin resepsi atau menerima jabatan itu? Kalau kamu memilih menerima jabatan, artinya kamu tidak mampu memenuhi keinginanku yang pernah aku katakan setelah acara lamaran itu. Jadi kamu tahu hal apa yang akan aku putuskan setelahnya," gertak Mega tegas menggores luka hati Ilyana. Nyeri dan pikirannya semakin kalut.

Mata Ilyana memanas, hatinya pedih. Apakah Mega tega membatalkan rencana pernikahan mereka?

##########

Nah loh? Ada saja cobaannya. Sabar, sabar, sabaaaaaar. Ini ujian, mohon tenang. Wkwkkwkwkwk lol
Mau nikah saja ujiannya banyak. 😂😂😂

Terima kasih atas vote dan komentarnya. Alhamdulillah ujian si Kakak sudah selesai. Jadi si emak sudah sedikit bisa bernapas lega. Tinggal menunggu hasil dan mohon doanya semoga bisa mendapatkan nilai yang bagus. Setelah itu sibuk lagi mencari sekolah buat Kakak. Mohon bersabar ya? Hihihihihi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top