MENDUNG PEMBAWA LARA

Langit gelap, guntur bergemuruh, petir mengkilat dan angin kencang. Suasana semakin mencekam dengan jeritan tangis menyayat hati. Tubuhnya tersungkur di lantai air matanya banjir tidak terbendung lagi.

"Mama!!! Bangunkan aku dari mimpi buruk ini!!!" teriaknya di lantai meringkuk menangis mengeluarkan sesak dalam dada.

Semua orang bingung, dengan cara apalagi agar membuatnya berhenti menangis. Suasana duka menyelimuti kediaman David. Kabar mencengangkan datang dari orang tua Aliandra. Mereka memberi kabar bahwa pesawat yang dimanuver Aliandra jatuh di laut menuju ke bandara udara internasional Schiphol, Belanda.

"Mama!!! Aku nggak mau mimpi seperti ini. Mimpi ini sangat buruk. Bangunkan aku, Ma!!! Pa!!!" Ilyana terus berteriak menangis histeris menyayat hati.

Kedatangan orang tua Aliandra yang awalnya berencana akan melamar Ilyana, malah justru membawa berita duka.

"Aruna, tenanglah," pinta Berlin menegakkan tubuh Ilyana yang lemas dan memeluknya.

Orang tua Aliandra juga sangat terpukul atas berita tersebut. Ketika mereka sampai di apartemen anaknya, telepon dari kantor mengejutkan dan membuat dunia mereka seketika terasa runtuh dan gelap.

"Assalamualaikum," ucap Fluor terburu-buru masuk ke dalam rumah.

"Waalaikumsalam," jawab mereka bersamaan.

"Ilyana!" Fluor langsung memeluk Ilyana yang sesenggukan menggelesot di lantai. "Kamu yang sabar ya? Kamu harus tabah," bisik Fluor menangis mengelus kepala Lyana.

Karena Ilyana tak juga berhenti menangis, David menghubungi Fluor memintanya datang ke rumah. Berharap dia dapat menenangkan putrinya.

"Nggak!!! Ini pasti berita hoax!" Ilyana menegakkan tubuh Fluor dan menatapnya sendu. "Kita harus ke bandara, aku mau tanya kebenarannya. Aku tahu dia pintar membawa pesawat, jadi nggak mungkin pesawatnya jatuh."

Tanpa menunggu jawaban Fluor, Ilyana lantas berdiri dengan sempoyongan. Dia menarik Fluor mengajaknya pergi. Fluor menatap David dan Berlin bergantian, mereka menganggukkan kepala.

"Ayo, Fluor!!!" teriak Ilyana meninggikan suaranya.

"Iya, ayo!" Fluor pun mengikuti Ilyana ke luar rumah.

Berlin bersandar di dada David dan menangis memecahkan beban yang menghimpit di dadanya.

***

Suasana di bandara internasional sangat ramai bukan hanya pengunjung yang akan bepergian atau yang baru datang melainkan keluarga korban jatuhnya pesawat boeing 737 Rajawali Airline.

Ilyana berlari mendekati segerombolan orang yang sedang mengelilingi seorang petugas bandara. Dia menyusup menyingkirkan orang-orang yang juga ingin mencari kabar berita mengenai jatuhnya pesawat jurusan ke bandara udara internasional Schiphol. Seseorang itu menginformasikan kabar terbaru, lantas dia menempelkan kertas di papan informasi. Ketika semua orang maju Ilyana justru mundur mengejar petugas itu.

"Pak!" pekiknya.

Petugas itu berhenti dan memutar tubuhnya.

"Iya, ada yang dapat saya bantu?" tanya dia sopan.

"A...a...apa pesawat itu yang dimanuver Kapten Langit?" tanya Ilyana dalam hati berdoa dan berharap jawaban orang itu 'bukan'.

"Iya. Kapten Langit dan juga Kapten Bastian. Badan pesawat masih kami lacak tepatnya di perairan mana mereka jatuh," jelasnya.

Tubuh Ilyana melunglai, Fluor menangkap dan langsung mendekapnya. Tangisannya pecah menyayat hati siapa pun yang mendengar.

"Pak bagaimana bisa terjadi?" tanya Fluor dengan suara parau dan bibirnya bergetar menahan tangis.

"Cuaca saat menuju ke bandar Schiphol tiba-tiba memburuk. Ketika pesawat terbang di ketinggian 40.000 feet Kapten Langit mengirim suara bahwa pesawat mereka masuk di awan cumulonimbus dan terjebak di sana dengan banyak petir. Setelah itu kami tidak lagi dapat berkomunikasi." Penjelasan singkat itu merobek hati Ilyana.

Pandangannya berkunang-kunang dan akhirnya tak sadarkan diri.

"Ilyana!!!" pekik Fluor tidak kuat menahan beban tubuh sahabatnya.

Petugas yang tadi langsung membantu Fluor mengangkat Ilyana ke ruang kesehatan bandara.

Awan yang begitu indah, lembut seperti kapas, tenang, sewaktu-waktu bisa berubah menjadi momok yang sangat menakutkan bagi seorang penerbang. Tuhan tidak menjanjikan langit selalu tenang dan cuaca selalu bagus. Tapi Dia menjanjikan bandara adalah tempat yang sangat indah bagi airman.

***

Wajah tampannya sangat tegang, setelah mendengar berita jatuhnya pesawat yang dinaiki istrinya, Kapten Mega masih dapat profesional bertugas membawa kembali pesawatnya bertolak dari Belanda. Sudah dua hari dia belum juga mendapatkan kabar mengenai keberadaan istrinya.

Hujan yang mengguyur burung besi diiringi langit gelap sedikit membuatnya was-was dan takut. Perasaan yang wajar bagi seorang pilot menjalankan pesawat dalam cuaca yang tidak menentu terutama saat hujan turun. Sebuah kondisi yang perlu mendapat perhatian khusus. Hal apa pun dapat terjadi di tengah mengudara. Hati risau namun harus tetap tenang karena ratusan nyawa dipikul di bahunya.

"Kapten, kopinya." Kopilot yang bertugas dengannya menawarkan kopi panas yang baru saja pramugari antar.

"Terima kasih, Kap." Dia menerimanya.

Meskipun pikiran kacau dia tetap harus berkonsentrasi dan bersiaga. Dia pasrah apa pun yang terjadi pada istrinya memang itu jalan yang Tuhan gariskan untuknya. Terima atau tidak terima, dia harus tetap menerimanya karena Tuhan yang berkehendak.

***

Sudah dua hari Ilyana berada di apartemen Aliandra. Kabar mengenai kekasihnya tidak kunjung datang. Dia berbaring pilu di tempat tidur yang biasa Aliandra tempati. Aroma tubuhnya yang khas tertinggal di ruangan itu semakin membuat Ilyana sedih. Dia terus menangis memeluk seragam putih kebanggaan Aliandra.

Air matanya seperti tak ada habisnya, selalu meleleh membasahi bantal. Matanya sembap, hidungnya tersumbat. Biarpun kepala pusing dia tidak menghiraukannya, di otaknya hanya berputar bagaimana kabar pria yang sudah mewarnai hidupnya beberapa bulan terakhir.

"Aruna." Chusnul, mama Aliandra menghampiri dan mengelus kepalanya lembut. "Makan yuk!" ajak dia.

Ilyana tidak menjawab, dia malah mengeratkan seragam Aliandra yang dipeluknya. Chusnul sangat sedih melihat kehancuran wanita yang rencananya akan dinikahi putranya.

"Kamu belum makan, sudah dua hari perutmu tidak kemasukan apa pun. Bagaimana kalau kamu sakit?" Chusnul terus membujuknya, namun setiap diajak berbicara siapa pun hanya air mata yang keluar dari Ilyana.

Chusnul menoleh ke arah pintu, dia melihat suaminya mengisyaratkan agar tidak memaksanya. Chusnul pun paham, dia menganggukkan kepala.

"Mama ke luar dulu ya? Beristirahatlah." Chusnul mencium pelipis Ilyana. Dia sengaja membahasakan Ilyana untuk memanggilnya 'Mama'. Karena biarpun Ilyana belum menjadi istri dari putranya, tapi Chusnul tahu Aliandra sudah berniat tulus menjadikannya istri.

Ciuman dari Chusnul semakin menggores hati Ilyana, sangat perih, pedih, dan sakit. Ingatannya berputar-putar seperti kaset yang rusak mengenang masa-masa indah ketika dirinya bersama Aliandra.

Chusnul ke luar kamar, di ruang tengah ada David dan Berlin yang setia menunggu putrinya. Namun Ilyana tidak sedetik pun mau ke luar.

"Bagaimana keadaannya, Mbak?" tanya Berlin menggapai tangan Chusnul supaya duduk di sampingnya.

Chusnul melelehkan air matanya, biarpun dia berusaha tabah tetaplah hatinya hancur. Ibu mana yang bisa dengan mudah merelakan kepergian anak kandungnya? Itu sangat sulit!

"Masih sama seperti kemarin. Dia cuma melamun, terus menangis memeluk seragam Langit," jawab Chusnul menusuk kalbu Berlin.

"Aku takut kalau dia terus begitu jiwanya akan terguncang," timpal Berlin menutup wajah dan memecahkan tangisannya.

"Ma, jangan bicara yang tidak-tidak," sahut David.

Chusnul mengelus punggung Berlin dan mengarahkan kepalanya agar bersandar di dada dia. Chusnul memeluk yang harusnya akan menjadi calon besannya.

"Kita harus bisa kuat di depan Aruna. Kalau kita memperlihatkan kesedihan yang ada dia akan semakin sedih." Firman papa Aliandra menasihati. "Oh iya, Ma. Coba kamu hubungi Mega. Apa istrinya sudah ditemukan?" titah Firman.

"Iya, Pa." Chusnul menegakkan tubuh Berlin lantas mengambil ponselnya.

Dia menghubungi sahabat dari putranya. Mereka sudah sangat dekat, sampai-sampai keluarga Aliandra menganggap Mega bagian dari keluarga. Setelah menghubungi dan menanyakan kabar, Chusnul kembali duduk bergabung di ruang tengah.

"Bagaimana?" tanya Firman.

"Sekarang sedang proses pemakaman. Istrinya sudah ditemukan. Apa kita akan ke rumahnya?" tanya Chusnul.

"Iya, kita harus ke sana. Setidaknya mengucapkan bela sungkawa," sahut Firman.

"Tidak apa-apa kalian pergi saja, biar Aruna kami yang menjaga," sela David.

"Baik. Pak David, kalau ada informasi mengenai Langit segera hubungi kami," pinta Firman sebelum beranjak dari duduknya.

"Itu pasti," jawab David.

Chusnul dan Firman pun bersiap-siap melayat ke kediaman Mega.

***

-POV ILYANA-

Duniaku gelap tanpa dia, langit terasa runtuh menimpaku saat kabar yang sangat tidak aku harapkan terdengar di telinga. Aku tak berdaya, apa yang akan terjadi di masa depanku jika tanpa pangeran burung besiku?

Sudah empat hari aku berdiam diri tanpa melakukan apa pun di kamar ini. Kabar Aliandra tidak kunjung datang. Di mana dia sebenarnya? Tuhan, apa yang sedang Engkau rencanakan untuk hidupku? Engkau tega merenggut sumber kebahagiaanku, apakah Engkau tidak melihat betapa hancurnya aku? Takdir-Mu sangat menyiksaku.

Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan lemas membuka lemari Aliandra. Aku usap semua pakaian yang menggantung. Dia pria yang rajin dan suka kebersihan. Terlihat dari tempat tinggalnya yang rapi dan wangi. Biarpun dia sibuk dan menempati apartemen ini sendiri, tapi tempat ini terawat dengan baik.

"Kamu di mana? Aku menunggumu di sini." Aku berbicara sendiri sambil memeluk bajunya.

########

Duaaaar!!!!
Mewek aku ngetik ini. 😩😥
Semoga segera ditemukan. Aamiin.

Terima kasih untuk vote dan komentarnya. 🙏🙏🙏🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top