KESALAHPAHAMAN

Mega melamun di ruang makan, sendiri tak bersemangat. Sisa waktunya cuti dia gunakan untuk bermalas-malasan di rumah. Dia membutuhkan seseorang untuk diajaknya bercengkrama, mengobrol banyak hal, dan berbagi kegundahan. Jika dulu ada Dinda meski dia hanya menjadi pendengar setia tapi Mega dapat mengeluarkan unek-unek hatinya hingga lega. Tapi sekarang yang terjadi semua beban dia tanggung sendiri. Andaikan Aliandra masih ada, Mega sudah meminta saran kepada sahabat baiknya itu.

"Aaaarrrggggh!" Mega mengerang sembari memukul meja dengan kasar bingung meluapkan emosinya.

Karena desakan mertuanya membuat hidup mega tidak tenang. Ponsel yang tergeletak di atas meja bergetar tanda pesan masuk. Nama Ilyana tertera di WhatsApp-nya. Mega pun membuka dan membaca pesan itu.

Apa kamu masih libur?

Perasaan amarahnya seketika menguap setelah membaca pesan Ilyana. Senyum tipis tertarik di kedua sudut bibirnya.

Iya. Aku masih libur. Kamu?

Balasnya, beberapa detik kemudian balasan masuk.

Sama, aku juga masih libur. Besok lusa baru masuk.

Karena tak sabar mengetik balasan akhirnya Mega pun meneleponnya.

"Halo," sapa suara serak dari seberang.

"Kamu sakit?" tanya Mega cemas mendengar suara Ilyana membesar seperti suara kodok.

"Nggak kok, baru bangun tidur," jawab Ilyana terdengar malas.

"Pasti masih selimutan nih," tebak Mega.

"Kok tahu?"

"Tahu dong, kan aku punya CCTV yang tersembunyi di kamar kamu," canda Mega melupakan sejenak masalahnya.

"Ish gombal!" sanggah Ilyana. "Hari ini mau ke mana?" tanya Ilyana menahan debaran jantung yang entah mengapa setiap berbicara dengan Mega selalu berdebar-debar.

"Mmm... ke mana ya? Pengen sih ke luar kota. Tapi nggak ada temennya, males." Mega sengaja memancing Ilyana berharap dia mau menemaninya.

"Emang mau ke mana?"

"Pengin ke Solo. Mungkin!" jawab Mega asal.

"Mau cari apa ke sana?"

"Batik."

"Buat?"

"Seragam."

"Seragam apa?"

"Pernikahan."

"Pernikahannya siapa?"

"Pernikahan kita," jawab Mega asal semakin membuat Ilyana salah tingkah meski Mega tak melihatnya namun dia malu dan menutup wajahnya dengan bed cover.

Ilyana mengulum bibirnya menahan tawa.

"Kok diem?" tanya Mega karena tidak mendengar suara apa pun dari Ilyana.

"Ah kamu ini pagi-pagi sudah gombal. Serius mau ke mana?" elak Ilyana tidak mau terlalu menanggapi godaan Mega.

"Emang kalau aku mau ke mana saja kamu bakalan mau ikut?"

"Tergantung."

"Jangan digantung, sakit tahu digantung itu," seloroh Mega.

"Mati dong kalau digantung," sahut Ilyana cepat.

Mega tertawa terbahak, saat ini hanya bersama Ilyana dia dapat melupakan beban meski hanya sementara.

"Serius ah, mau ke mana? Biar aku bisa siap-siap." Ilyana kali ini bertanya serius.

"Ke KUA terus lanjut ke pelaminan bagaimana?" canda Mega lalu mengulum bibirnya menahan tawa.

"Obral, obral, 10 ribu 3." Ilyana menyahuti dengan candaan. "Gombal bekas, gombal bolong, gombal lusuh," sambung Ilyana hingga terdengar tawa los Mega.

Mendengar tawa Mega membuat perasaan Ilyana ikut bahagia.

"Kamu ini ada-ada saja. Sudah ah! Kamu sekarang bangun dulu, mandi. Dihitung dari sekarang 1 jam lagi aku jemput. 1 jam tepat ya? Aku sudah ada di depan rumah kamu," ujar Mega tak terbantahkan.

"Tapi kita mau ke mana dulu? Jangan ke luar kota ah! Mentang-mentang pilot mainnya ke luar kota. Dalam kota sini aja," pinta Ilyana manja.

"Iya, kita main sekitar sini aja. Cepat waktu terus berjalan. Jangan membuang-buang waktu," titah Mega.

"Oke, aku mandi dulu. Sampai jumpa nanti."

"Oke."

Panggilan terputus. Mega tersenyum kecil lantas dia bersiap-siap.

***

Celana jeans sebatas lutut atasan kaus putih longgar dengan tas kecil selempangan, Ilyana siap bepergian hari ini. Wajahnya cerah dan berseri. Hari yang cerah mendukung rencana Mega dan Ilyana yang ingin menghabiskan waktu berdua.

"Pagi, Ma, Pa," sapa dia dengan senyum merekah menghampiri orang tuanya ke ruang makan.

"Pagi. Mau ke mana kamu? Tumben pagi-pagi sudah rapi, wangi pula," tegur Berlin menuangkan jus buah ke gelas Ilyana.

"Mau pergi sama Kapten Me---"

"Ali???" sahut David cepat memotong ucapan Ilyana. Dia duduk di depan Ilyana menikmati sarapannya.

"Iya, Ali maksudnya," ujar Ilyana mengoleskan selai srikaya di rotinya.

Ting tong

Suara bel rumah bunyi, Ilyana sudah dapat menebak pasti itu Mega.

"Biar aku saja yang buka, Ma," cegah Ilyana saat Berlin ingin berdiri membukakan pintu.

Ilyana lantas berlari kecil ke depan membukakan pintu. Mega berdiri di depan pintu dengan setelan kaus putih yang kebetulan sama warna dengan Ilyana dan jeans biru panjang. Tampan tak terlihat jika dirinya sudah duda.

"Hai," sapanya ramah dengan senyum menawan.

"Hai," balas Ilyana salah tingkah.

"Sudah siap?" tanya Mega melihat Ilyana dari atas sampai bawah.

"Huum, sudah. Sebentar aku pamit dulu." Ilyana masuk ke dalam. "Ma, Pa, aku berangkat ya?"

Ilyana menjabat tangan orang tuanya bergantian dan mencium pipi mereka.

"Nggak diajak sarapan dulu?" tanya David ingin beranjak dari duduknya namun Ilyana cegah.

"Nggak usah, Papa sama Mama di sini saja. Sudah ya aku berangkat. Dada Ma, Pa." Ilyana melambaikan tangan sembari melenggang pergi.

"Hati-hati," pekik Berlin namun Ilyana sudah berlalu.

"Dasar anak itu," gumam David menggelengkan kepala.

"Sabar, Pa. Mungkin saja Aruna dan Ali belum siap kalau ditanya mengenai kedekatan mereka. Makanya Aruna mencegah kita menemui Ali," tebak Berlin mengira-ngira atas sikap Ilyana yang terkesan menghidarkan pertemuan David dan Mega.

"Mungkin, Ma. Tapi apa salahnya sih Papa menemui Ali? Papa juga nggak akan menanyakan itu dulu. Belum pantas, tahu sendiri istrinya juga baru meninggal pasti dia perlu waktu untuk memikirkan hubungan ke arah yang serius." David sedikit menyesalkan sikap Ilyana.

"Sabar dong, Pa. Namanya juga was-was. Mungkin saja mereka sedang sama-sama mencari pelarian mengobati luka di hati. Aruna ditinggal Langit itu hal yang sangat memukul batinnya, dia butuh teman berbagi yang dapat mengerti perasaannya. Kebetulan saja Ali mengalami nasib yang sama seperti Aruna. Dengan begitu mereka akan menjadi teman ngobrol yang cocok dan akan saling mengobati kesedihan," ujar Berlin tersenyum manis dan mengelus lengan David.

"Iya begitulah. Kita lihat saja nanti bagaimana. Kalau jodoh pasti Allah sudah memiliki jalan buat menyatukan mereka," ucap David lantas mengangkat cangkir kopinya dan menyeruput pelan.

Cerahnya sinar mentari pagi ini mendukung suasana hati Ilyana dan Mega. Lagu cinta diputar menemani perjalanan mereka melawan kemacetan ibu kota.

"Kamu sudah sarapan?" tanya Mega menoleh Ilyana sekilas lantas melihat ke depan, deretan mobil memadati jalan.

"Sudah," jawabnya tanpa menoleh malah asyik memainkan ponsel.

Mega tidak suka jika dia berbicara lawannya sibuk memerhatikan yang lain. Walhasil dia merebut ponsel Ilyana dan melihat isinya.

"Ali!" pekik Ilyana ingin mengambil ponselnya namun Mega mencegah tangan Ilyana.

"Aku paling nggak suka kalau lagi bicara dicuekin," ujar Mega lalu mengecek ponsel Ilyana.

"Iya maaf, itu Fluor sahabat aku menanyakan sesuatu," jelas Ilyana.

Mega membaca isi chat mereka, senyum terukir di bibirnya. Isi chat Ilyana dan Fluor tidak jauh membahas dirinya.

"Oh jadi kamu lagi curhat sama dia?" goda Mega menyeringai dengan senyum menggoda.

Ilyana memalingkan wajahnya, dia malu setengah mati karena Mega memergokinya sedang bercerita tentang dia kepada sahabat baiknya. Mega meletakkan ponsel Ilyana di dashboard dan mengelus rambut panjang bewarna pirang kehitaman itu.

"Ke rumahku saja ya?" ujar Mega membelokkan mobilnya masuk ke gang setelah jalanan lancar.

"Mau ngapain?" Ilyana memutar tubuhnya menatap Mega curiga.

"Bantu aku beresin rumah," canda Mega.

"Ish males banget, kirain mau diajak jalan ke mana. Kalau cuma disuruh bantu beresin rumah ngapain tadi aku mandi," gerutu Ilyana cemberut melipat kedua tangan dan membuang wajah menatap ke luar jendela.

"Sengaja, biar kamu terlatih bangun pagi, masa cewek bangunnya siang? Kalau sudah punya suami bisa-bisa suami kamu pagi-pagi cari susu ke rumah tetangga," seloroh Mega disusul tawa kecilnya.

"Beda kali ah! Sekarang kan masih single, bebas mau ngapain aja. Urusan itu nanti kalau sudah menikah bakalan berubah sendiri," bantah Ilyana.

"Tapi kalau sudah kebiasaan susah sembuhnya. Malah bisa-bisa setelah kamu punya suami semakin parah malesnya. Hilangkan kebiasaan buruk itu, mulailah menghargai waktu," nasihat Mega tulus ingin Ilyana lebih baik dan disiplin.

"Iyaaaa," sahutnya seperti terpaksa.

Mega tersenyum tipis. Ketika hampir sampai di depan rumah minimalis dengan halaman asri dan sejuk, mata Mega menyipit. Dia sedikit memperlambat laju mobil.

"Kenapa?" tanya Ilyana ikut menatap ke depan melihat mobil silver terparkir di depan rumah itu.

"Nggak ada apa-apa," jawab Mega.

Jantungnya berdebar-debar bukan lantaran dia jatuh cinta atau salah tingkah karena ada Ilyana, melainkan dia sangat mengenal pemilik mobil itu. Mega menghentikan mobilnya persis di belakang mobil silver itu. Dua wanita berbeda generasi membalikkan badan menanti Mega turun dari mobil.

"Turun yuk!" ajak Mega melepas sabuk pengamannya.

"Ini rumah kamu?" tanya Ilyana mendongakkan kepalanya.

Dari dalam mobil dia melihat rumah berukuran kecil tingkat satu tertata rapi, bersih, dan asri.

"Iya, ayo turun!" Mega lebih dulu turun lalu membukakan pintu untuk Ilyana.

Ilyana turun dari mobil, pandangan kedua wanita yang menunggu Mega tak bersahabat. Mereka menatap Ilyana penuh tanya dan sorot mata tidak suka.

"Ma, Fia," tegur Mega menyalami mereka.

Ilyana tersenyum ramah menganggukkan kepala menyapa mereka. Tapi mereka malah melengos.

"Ly, kenalkan ini mama mertuaku dan adik iparku," ujar Mega memegang punggung Ilyana seperti merangkul.

"Hai, Ilyana." Ilyana mengulurkan tangannya menyalami mereka satu per satu tapi sambutan mereka tidak ramah dan jutek.

"Mmm... ayo kita masuk," ajak Mega mempersilakan Ilyana berjalan lebih dulu diikutinya dari belakang. Nina dan Fia membuntuti mereka.

"Kamu tinggal sendiri?" tanya Ilyana saat Mega membukakan gerbang.

"Huum, setiap hari ada sih yang bersih-bersih tapi nggak nginep. Pagi datang sorenya pulang," jawab Mega tidak nyaman dan sungkan kepergok Nina dan Fia membawa Ilyana ke rumahnya.

Mega membuka pintu rumah, Ilyana melihat-lihat kolam kecil yang ada di samping teras. Banyak ikan-ikan kecil hidup di kolam yang ukurannya sekitar setengah meter itu.

"Mari Ma, Fi, masuk." Mega membuka pintunya lebar.

Nina menatap Mega seolah-olah menuntut penjelasan. Namun Mega tak mengacuhkannya.

"Siapa dia?" tanya Nina penuh selidik sembari menurunkan pantatnya ke sofa.

"Mmm... teman Ma," jawab Mega menunduk dan menggaruk tengkuknya salah tingkah.

Hatinya nyeri mengakui Ilyana sebagai teman. Entah mengapa hatinya seperti tak rela jika hanya menganggapnya sebatas teman.

"Sebentar, Mega buatkan minum dulu," pamit Mega menghindari tatapan aneh Nina dan Fia.

Mega pergi ke dapur membuatkan mereka minum. Sedangkan Ilyana masuk ke ruang tamu duduk bersama Nina dan Fia. Ilyana diam, bingung ingin mengajak mengobrol tapi dia tidak tahu mereka siapa.

"Sudah lama kenal Mega?" tanya Nina sinis.

"Mmm... baru Tan," jawab Ilyana tersenyum sungkan.

"Oh baru? Tapi kok mau diajak main ke rumah? Tahu kan kalau Mega itu duda? Nggak baik loh main ke rumah duda cuma sendiri. Nggak takut?" cibir Nina mengejutkan Ilyana.

Ilyana menatap Nina bingung. "Maksud Tante apa?"

"Kalau kamu wanita baik-baik pasti menolak diajak pria yang baru dikenal main ke rumahnya," sahut Nina ketus.

"Maaf Tan, saya tidak paham dengan maksud Tante," bantah Ilyana merasa tersinggung dengan perkataan Nina.

"Jangan berharap lebih dan jangan percaya kata-kata Mega. Dia sudah punya calon istri. Dan ini calonnya, namanya Fia. Kami sudah sepakat meminta Mega turun ranjang. Dia akan menikahi adik kandung Dinda, yaitu Fia, ini orangnya," tegas Nina menunjuk Fia dengan dagunya dan  menatap Ilyana tajam.

Hati Ilyana seperti diiris sembilu, perih dan sangat sakit. Bunga yang sedang kuncup siap merekah seketika dipatahkan. Hancur lebur hatinya! Mata Ilyana berkaca-kaca menatap Nina dan Fia bergantian. Tubuhnya panas dingin dan hatinya bergemuruh panas. Mega datang ke ruang tamu membawa nampan berisi 4 gelas minuman dingin.

"Maaf aku mau pulang." Ilyana berdiri dan mencangklong tasnya tanpa menatap Mega.

Dia ke luar rumah. Mega terkejut dan langsung mengejarnya.

"Ly!" seru Mega menahan tangan dia.

Ilyana memalingkan wajahnya menahan air mata yang siap meluncur dari pelupuknya.

"Tunggu, aku ambil kunci dulu. Aku antara, kamu ke sini kan sama aku," cegah Mega firasatnya mengatakan pasti Nina sudah mengatakan sesuatu pada Ilyana.

"Nggak perlu, aku bisa pulang sendiri." Ilyana memberontak melepas paksa tangan Mega yang mencengkeram pergelangannya erat.

"Jangan seperti anak kecil!" bentak Mega.

"Awas! Lepas!" Ilyana mendorong kuat tubuh Mega hingga tubuhnya terhuyung ke belakang.

Setelah tangannya bebas dari Mega dia berlari ke luar. Mega mengejar, Ilyana terus berlari sampai ada taksi yang berhenti di depannya. Ilyana masuk ke dalam taksi dan memecahkan tangisannya.

"Ly!!!!" pekik Mega keras mengejar taksi itu.

"Mbak, dipanggil," ujar supir taksi.

"Biarin Pak, jalan saja terus," pinta Ilyana terisak-isak.

Ilyana menoleh ke belakang, Mega berhenti mengejar. Wajahnya sedih seperti tak rela melepaskan dia.

"Aku salah mengenalmu," gumam Ilyana menangis sesenggukan.

#########

Walau badai menghadang, ingat kan kuselalu setia menjagamu ...📢🎤🎤🎵 Wkwkkwkwkwk

Sebelum bahagia kita uji dulu seberapa keseriusan cinta mereka. Hihihihihi

Terima kasih untuk vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top