KEPUTUSAN TERBAIK

Ilyana POV

Setelah berpikir keras, merenung dan meminta pendapat banyak orang, akhirnya aku mengambil keputusan. Aku memilih menikah dengan Ali dan menolak tawaran emas yang sebenarnya sudah aku nanti-nanti lama. Tapi aku percaya rizki Tuhan tidak akan pernah tertukar. Contohnya Fluor, setelah hamil suaminya melarang dia bekerja lagi di kantor, walhasil dia malah membuka usaha sendiri. Sekarang Fluor sudah menjadi owner percetakan, justru usahanya semakin berkembang dan ramai.

Bismillah, niat yang baik Insya Allah akan menghasilkan yang terbaik juga. Aku menunggu jawaban pesan dari Ali. Aku pikir Ali akan membantuku menyiapkan pesta pernikahan yang akan kami adakan setelah ijab kabul. Nyatanya tidak! Dia menyerahkan semuanya padaku. Ali maunya terima bersih. Dan yang membuatku semakin kesal di acara pernikahan kami nanti, dia hanya mendapat cuti 3 hari.

Itu pun cuti spesial, cuti dadakan karena keperluan yang sangat penting. Di maskapai dia, satu tahun mendapatkan 2 kali cuti, itu saja pengajuannya satu tahun sebelumnya. Sedangkan cuti Ali tahun ini sudah habis. Ternyata pekerjaannya sangat ketat dan tidak bisa seenaknya sendiri membolos seperti yang sering aku lakukan.

Aku sedang berada di percetakan Fluor mengambil undangan yang sudah selesai cetak dan menunggu undangan spesial untuk teman-teman Ali. Ini juga menanti jawaban jumlah pasti yang akan Ali undang. Setelah beberapa hari bingung memilih disain undangan akhirnya aku memutuskan mengambil disain undangan seperti boarding pass.

Undangannya unik, simpel hanya selembar kertas tebal full color yang hampir menyerupai tiket pesawat. Sampul luarnya juga simpel hanya gambar pesawat, teruntuk siapa undangan itu, namaku dan Ali, serta denah gedung tempat kami resepsi.

"Gimana, Ly?" tanya Fluor menghampiriku yang duduk di kursi kayu menunggu balasan pesan Ali.

"Belum dibalas, Fluor," jawabku kesal memanyunkan bibir.

"Sabar, mungkin sedang terbang. Nanti kalau sudah landing pasti balas," ujar Fluor menenangkan perasaanku.

"Huum," gumamku manggut-manggut seraya memerhatikan layar datarku berharap Ali segera membalasnya.

"Undangannya mau sekalian dikemas plastik atau mau begini saja, Ly?" Fluor mengecek tumpukan undangan yang ada di atas meja kayu.

"Menurut lo bagusnya gimana, Fluor?" Aku meminta saran pada ahlinya daripada aku memutuskan sendiri jadinya tidak patut.

"Begini saja juga sudah bagus, Ly. Terus yang undangan khusus itu rencananya mau lo bagaimanain?" tanya Fluor duduk di sebalahku.

"Rencananya undangan yang buku agenda itu khusus untuk teman-teman Ali sesuai sama profesi mereka. Kan mau aku kasih suvenir sekalian," jelasku.

"Emang apa suvenirnya?"

"Boneka teddy bear lengkap dengan tuksedo pilot dan petnya," terangku sesekali melihat layar ponsel.

"Wuiiiiiiih gila, mahal tuh pasti," seru Fluor melebarkan matanya terkejut.

"Kemarin sih katanya 1 boneka seharga 40 ribu, itu saja sudah harga grosir. Tambah perlengkapannya jadi 50 ribu. Kalikan saja orang khusus yang akan diundang Ali."

"Buset, yakin harganya segitu? Gila lo, nggak tanggung-tanggung," umpat Fluor terkejut mendengar harga satu suvenir khusus ditambah undangan disain buku agenda kecil nan tebal.

"Huum, yakin. Kenapa nggak, Fluor? Semua hal harus dikerjakan secara total, jangan tanggung-tanggung. Ini pernikahan impian gue sejak kecil. Pernikahan yang pertama dan berharap untuk yang terakhir kalinya. Pesta yang mewah dan glamor. Buat apa selama ini gue kerja jungkir balik kalau hasilnya bukan untuk bersenang-senang? Kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang, kalau uang habis sih bisa dicari lagi. Ya nggak?" ujarku menaik turunkan kedua alis tersenyum lebar padanya.

"Iya sih, bener juga. Sampai dibela-belain jomblo bertahun-tahun dan rela menyandang perawan tua kan ya?" Fluor tertawa puas mengejekku lantas aku memukul lengannya menggunakan gulungan kertas yang sudah tidak terpakai.

"Sialan lo!" umpatku kesal, tapi benar juga yang Fluor katakan.

Dia semakin tertawa lepas, seandainya sedang tidak hamil sudah aku banting nih anak.

"Nggak menyangka ya, Ly. Jodoh lo duren," imbuhnya diiringi candaan dan gelak.

"Biarin, malah sudah berpengalaman. Wlek!" bantahku menjulurkan lidah. Dia semakin terpingkal hingga memegangi perutnya yang buncit.

Bibirku mengembang ketika layar datarku menyala. Bergegas aku menggeser tombol hijau, menerima panggilan dari belahan jiwaku.

"Assalamualaikum. Ada apa, Love?" tanya dia lembut yang dapat selalu menghangatkan perasaanku.

"Waalaikumsalam. Bagaimana? Sudah bikin daftar temen-temen kamu yang mau diundang belum? Jadinya berapa?" tanyaku bahagia karena Ali tidak jadi membatalkan pernikahan kami.

Entah apa yang akan terjadi jika aku memilih mempertahankan karirku. Mungkin aku sekarang tidak sedang mengurus acara pernikahan kami dan tidak duduk di percetakan Fluor mengambil undangan pernikahanku dan Ali.

"Aku belum sempat mendata. Besok ya kalau aku libur? Kalau sekarang masih sibuk," katanya terdengar lemas.

"Kamu kenapa, Hubby? Kok lemes begitu nada bicaranya?" tanyaku khawatir.

"Nggak ada apa-apa. Cuma letih, biasalah."

"Sudah makan?"

"Sudah tadi di pesawat. Mungkin karena cuaca hari ini panas, di badan bikin lemes. Nggak enak, mau ngapa-ngapain malas."

"Emang kamu sekarang lagi di mana?" tanyaku mencemaskan kesehatannya.

"Ada di crew lounge, nunggu pesawat selanjutnya. Aku akan flight ke Surabaya. Oh iya, besok pagi aku flight ke Belanda," ujarnya membuat jantungku berdegub-degub tak tenang.

Aku terdiam mengingat kenangan menyedihkan 8 bulan yang lalu. Di saat kejadian naas menimpa pesawat yang dimanuver Aliandra.

"Love?" seru Ali menyadarkanku.

"Maaf, harus ya berangkat ke Belanda?" tanyaku was-was mengkhawatirkan keadaannya.

Perasaanku menjadi kalut dan berpikir negatif. Bagaimana jika ...? Ah! Kenapa aku sulit sekali berpikir positif ketika Ali dinas jauh?

"Love, jangan mulai deh. Ini tugas yang harus aku jalankan. Mana bisa aku membatalkan tugas tanpa ada alasan yang sangat penting. Jangan khawatir, sebagai pilot aku tahu apa yang harus dilakukan jika terjadi sesuatu. Kalau memang terjadi, itu sudah kehendak-Nya," ujar Ali enteng tanpa memikirkan perasaanku yang berkecamuk dan tak tenang memikirkannya.

"Ish, kamu kok ngomongnya begitu sih?" Aku kesal padanya, dengan mudahnya dia berbicara seperti itu.

Apakah dia tidak berpikir jika berucap seperti itu ada perasaan yang terluka? Aku takut kehilangan untuk yang kali kedua.

"Ya aku minta maaf. Kamu sudah makan belum?"

"Aku diet."

"Badan kecil begitu diet! Makan dulu biar nggak sakit," bujuk Ali memaksa.

"Kalau aku makan, terus entar pas hari H kita menikah kebaya dan gaun pengantinnya nggak muat gimana? Pokoknya aku mau menjaga bentuk tubuhku biar stabil. Oh iya Hubby, sepulang kamu dari Belanda kita fitting baju ya? Tuksedo buat ijab kabul sudah selesai dan busana resepsi kamu juga belum dicoba."

"Iya, nanti kalau aku day off kita fitting ya? Bagaimana gedungnya? Sudah fix?"

Aku senang dia menanyakan persiapan pernikahan kami. Biasanya dia cuek dan terkesan masa bodoh, semua diserahkan padaku. Begitulah seorang pilot, hanya memikirkan yang penting-penting saja, tidak mau mengurus hal remeh temeh begini.

"Sudah fix. Tinggal mengurus katering, terus fitting baju dan sebar undangan," terangku menahan rindu yang menyesakkan dada.

Perasaanku campur aduk, tidak sabar ingin duduk di pelaminan bersama pangeran burung besiku.

"Alhamdulillah kalau begitu. Kalau uang yang aku kirim kemarin kurang bilang ya? Jangan sungkan."

"Iyaaaa, Hubby. Kamu tenang saja. Masih sisa kok yang kamu kirim kemarin. Kita kan sudah sepakat, untuk biaya pernikahan akan memakai uangku dan uang kamu. Yang kamu kirim kemarin saja belum habis, aku malah yang belum mengeluarkan uang sama sekali," jelasku sebal karena Ali tidak adil. Katanya biaya pernikahan akan kami tanggung bersama, tapi sejauh ini tabunganku belum berkurang sedikit pun.

"Ya sudah nggak apa-apa. Sama saja, mau pakai uangku atau uang kamu yang penting acara terselenggara sesuai harapan dan lancar tanpa halangan apa pun. Maaf ya aku nggak bisa menemani dan membantumu menyiapkan pernikahan kita? Kamu jangan sampai lupa salat dan makan. Pokoknya aku nggak mau denger kamu sakit. Aku mau persiapan boarding geat dulu. Kamu hati-hati ya kalau ke mana-mana," pesannya protektif.

"Iyaaaa. Kamu juga jaga kesehatan, hati-hati kalau manuver pesawat, dan jangan lupa berdoa."

"Iya bawel. Sudah ya? Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Kami akhiri panggilannya. Aku melirik Fluor yang tersenyum penuh arti padaku.

"Kenapa?" tanyaku heran seraya memasukkan ponsel ke dalam tas.

"Nggak ada apa-apa. Seneng aja lihat lo sekarang. Rajin beribadah, hidup lo juga lebih teratur," puji Fluor menyanjung perasaanku.

Aku tersenyum malu-malu. "Itu karena ketularan disiplinnya pilot. Mau nggak mau gue harus mengikuti cara hidup dia serta cara berpikir mereka. Senangnya, kalau dia pulang membawa cerita yang tidak pernah ada habisnya untuk dibahas," jawabku menerawang senyuman Ali yang menawan, tampan dan gagah mengenakan PDH putih hitam lengkap dengan tuksedo hitam seragam pilotnya.

"Gue suka gaya lo sekarang. Pertahankan begini ya?" Fluor merangkul bahuku dan kami saling melempar senyuman terbaik.

Begitulah hidup mendampingi seorang penerbang. Rela menahan rindu, tidur berselimut rasa cemas dan tidak tenang karena memikirkan keadaan belahan jiwa yang entah ke mana ia terbang, serta menantinya kembali pulang dalam keadaan sehat.

#########

Siap-siap sebar undangan. Hehehe
Mohon maaf ya sekarang aku update-nya lama. Ini karena situasi tidak mendukung. Mohon pengertiannya.

Terima kasih untuk vote dan komentarnya. Love you all. Marhaban ya ramadhan. Mohon maaf lahir batin ya? Selamat menunaikan ibadah puasa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top