KEHANGATAN

Canggung, sungkan, dan bingung bersikap. Mereka sama-sama diam menatap ke atas sembari berbaring bersebelahan.

"Ly," panggil Mega memecah keheningan.

"Iya," sahut Ilyana pelan.

"Kamu nyaman nggak?" tanya Mega memutar kepalanya menatap dia seperti ada rasa yang tertahan dalam hati.

Ilyana membalas tatapannya dan tersenyum tipis.

"Mmm...." Ilyana bergumam dalam hati sebenarnya kurang nyaman berada di satu ruang sempit bersama pria yang sudah pernah menikah.

"Kalau kamu nggak nyaman aku bisa mencarikan hotel atau Bed & Breakfast sekarang juga." Mega ingin beranjak dari rebahannya.

"Nggak perlu!" cegah Ilyana menahan tangannya setengah bangkit.

Mega melihat tangan Ilyana memegangi lengannya. Ada sebuah kehangatan tersendiri yang muncul dari hatinya.

"Maaf," ucap Ilyana tak enak hati lantas menurunkan tangannya. Mega tersenyum lebar. "Ini sudah larut malam, lebih baik besok saja kita mencari hotel atau Bed & Breakfast. Sementara kita menginap di tenda ini," lanjut Ilyana.

"Kamu yakin?" tanya Mega.

Ilyana menganggukkan kepala. "Iya, yakin."

"Ya sudah, kamu pakai selimutnya." Mega menyelimuti Ilyana sebatas perut lantas dia kembali berbaring menahan detak jantung yang tidak beraturan.

Mereka sama-sama terdiam, menahan debaran jantung yang berjalan abnormal. Tak hanya itu saja, semakin lama rasa canggung dan sungkan menyelimuti tenda sempit itu.

Sesampainya di Texel karena kesyikan berjelajah ke pedesaan mereka lupa waktu. Jalan kaki melihat-lihat alam bersih yang sangat terjaga serta tertata rapi, hamparan laut dan burung-burung liar berterbangan membuat hati mereka terhibur. Walhasil ketika senja tiba mereka tidak sempat mencari penginapan. Tempat yang paling dekat dengan posisi mereka untuk bermalam adalah penginapan tenda yang sengaja disewakan oleh warga setempat.

Tenda-tenda itu berdiri di tepi danau dan padang sabana, hamparan rumput hijau yang tidak banyak pepohonannya, terasa lebih dekat dengan alam. Fasilitas yang disediakan di dalam tenda cukup nyaman. Tanpa cape-cape membawa barang banyak untuk camping, di tempat itu sudah tersedia. Kasur udara lengkap dengan bantal dan selimut.

Angin di luar bertiup kencang, semakin larut malam udara bertambah dingin. Ilyana memeluk dirinya sendiri dan mengusap-usapkan tangannya di lengan. Mega menyadari hal itu.

"Kamu kedinginan?" tanya Mega.

Ilyana tak menjawab, dia menaikkan selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya kecuali kepala. Mega tersenyum ketika Ilyana memunggunginya. Tanpa ada niat jelek, Mega mendekat menghapus jarak di antara mereka. Dia memeluk Ilyana dari belakang. Ilyana terkejut dan ingin memberontak namun tangan Mega sudah mengunci tubuhnya erat.

"Aku yang kedinginan, dengan cara begini tubuh kita akan sama-sama hangat. Jangan banyak bergerak, tidurlah," titah Mega memejamkan mata mendekap tubuh mungil Ilyana.

Entah mengapa tubuh Ilyana kaku dan dia seperti robot tidak bisa bergerak. Bibirnya juga mengatup rapat, dia melihat satu tangan Mega melingkar di bawah leher atas dada dan yang satu mengunci perutnya. Nyaman, ada sesuatu yang hilang telah kembali. Dia melemaskan tubuhnya mencari posisi yang nyaman dan meletakkan kepalanya di atas lengan kekar Mega.

"Selamat malam," ucap Mega sedikit berbisik.

"Malam," balas Ilyana lantas mereka sama-sama membuka gerbang mimpi.

***

Dingin menembus tenda menusuk ke tulang. Sinar matahari sudah terlihat meski jam baru menunjukan pukul 05.00 waktu setempat. Sepasang anak manusia masih meringkuk berpelukan. Keduanya sudah nyaman dan hangat.

"Ehmmmmm." Ilyana menggeliat tapi tangan Mega malah mengeratkan pelukan di perut rampingnya.

Dia baru teringat bahwa semalaman ada orang yang memberikannya kehangatan. Dia menoleh ke kebelakang, Mega masih memejamkan mata indahnya. Senyum tipis terukir di bibir Ilyana. Napas Mega masih teratur dan wajah polosnya menambah kesan tersendiri.

Ilyana perlahan ingin melepaskan diri dari Mega, tapi tangannya sangat erat memeluk dia.

"Aku kedinginan," gumam Mega lirih.

Ilyana mengurungkan niat, dia tidak jadi mengangkat tangan Mega dari atas perutnya. Dia pun membagi selimutnya dengan Mega. 5 menit menunggu tidak ada pergerakan dari Mega, 10 menit sampai akhirnya Ilyana kembali memejamkan mata. Dia memenyembunyika wajahnya di sela-sela dada bidang Mega dan meringkuk dalam pelukannya.

Ketika Ilyana sudah kembali terlelap, mata Mega mengejap. Perlahan dia membuka matanya menyesuaikan pandangan. Setelah jelas dia menggeliat dan merasa tangan kirinya berat. Mega teringat lengan kirinya dipakai bantalan Ilyana. Pegal dan semutan, jika langsung ditarik Mega takut Ilyana kaget dan terbangun.

"Hai." Mega membangunkannya pelan mengelus pipinya dengan punggung tangan lembut.

Ilyana bergeming, Mega tersenyum kecil dan mengelus rambutnya. Sangat pelan dia mengangkat kepala Ilyana dan menarik tangannya. Setelah bebas, dia meregangkan otot tangannya yang kaku karena semalaman digunakan bantalan kepala Ilyana.

"Hai, sudah pagi. Bangun," bisik Mega mengelus pipi Ilyana yang kenyal dan lembut seperti kulit bayi.

"Mmm...." Ilyana bergumam malas.

"Ayo dong bangun," bujuk Mega.

Ilyana bergerak menggeliat dan menguap. Dengan sigap Mega menutup mulutnya yang terbuka lebar.

"Pagi," sapa Mega setelah Ilyana membuka mata.

"Males," sahutnya menarik selimut.

"Eits, sudah pagi." Mega mencegah tangan Ilyana yang ingin menutup seluruh tubuhnya dengan selimut lantas ia melihat jam di tangannya. "Kelewatan Subuh," gumam dia.

"Emang sekarang pukul berapa?" tanya Ilyana terlalu sayang meninggalkan kehangatannya.

"Pukul setengah 7. Ayo bangun." Mega memaksa menarik selimut Ilyana.

"Aaaa... nggak mauuuuu... masih dingin," rengeknya manja seperti bocah.

"Ya sudah." Mega bangkit dan membuka tenda.

Angin sejuk masuk menerpa tubuhnya, Ilyana mengeratkan selimut.

"Ayo bangun, jangan malas Nona Aruna. Semakin jauh rezeki dan jodoh kalau cewek bangunnya siang," seloroh Mega menarik selimut Ilyana.

"Ya ampuuuuuun, pagi-pagi ngomongin jodoh dan rejeki. Kayak emak-emak zaman dulu aja," cibir Ilyana terpaksa bangun walaupun sangat malas.

Mega terkekeh dan mengacak-acak rambutnya pelan. Dia mengulurkan kedua tangannya membantu Ilyana bangkit. Mereka ke luar tenda, udara bersih dan segar menyambut. Dinginnya pagi dengan hamparan air danau yang jernih menyejukkan mata. Mega menghirup udara dalam-dalam.

"Apa kamu lapar?" tanya Ilyana mendongakkan wajahnya menatap Mega memelas.

Mega tersenyum kecil. "Kenapa? Kamu lapar?"

Ilyana mengangguk manja dengan mimik wajah anak kecil polos dan lugu. Mega sangat gemas melihatnya, karena tidak tahan, akhirnya dia menggemas kedua pipi Ilyana.

"Aaaaaa...," pekik Ilyana dengan suara seperti anak kecil.

Mega tertawa terbahak seraya berlari menghindari tangan Ilyana yang sudah siap memukul.

"Aliiii!!!" seru Ilyana mengejar Mega.

Setelah dekat dia memukul lengan Mega cukup keras, bukannya merasa sakit Mega justru terasa seperti dipijat karena tangan Ilyana yang mungil. Mereka berjalan berdampingan ke kedai pinggir jalan.

"Kalau bahasa Belanda-nya sarapan apa?" tanya Ilyana.

"Mmm... onbijt," jawab Mega. "Kamu mau sarapan apa?" tawar Mega sebelum mereka masuk ke salah satu kedai yang berjejer rapi dan bersih.

"Jangan yang berat-berat," sahut Ilyana.

"Bagaimana kalau onbijtkoek," usul Mega.

"Apaan tuh?"

"Breakfast cake," jawab Mega.

"Owalah bilang aja breakfast cake pakai bahasa Belanda segala. Mana aku tahu," gerutu Ilyana kecil tapi masih terdengar di telinga Mega.

"Ayo!" Mega menarik pelan tangan Ilyana masuk ke kedai klasik berbentuk rumah sederhana namun tertata rapi. "Kamu duduk di sana dulu, aku pesankan," titah Mega menunjuk kursi kayu pojok kedai.

Ilyana mengangguk, dia duduk di sana menikmati pemandangan hamparan rumput hijau dan lahan pertanian penduduk. Banyak kincir angin, terasa kental suasana pedesaan apalagi banyak domba dan sapi milik warga yang dibiarkan merumput liar.

"Lihatin apa?" tanya Mega datang dan duduk di samping Ilyana.

"Tuh, coba di Jakarta sudah pasti hilang sapi sama dombanya," cerca Ilyana menunjuk hewan ternak yang asyik menyebar di padang rumput.

"Jangan samakan sini dan sana dong. Ini dimakan." Mega memberikan bolu gandum bewarna hitam dengan rasa rempah-rempah khas Belanda yang atasnya diolesi mentega serta secangkir kopi panas.

"Makasih," ucap Ilyana.

"Sama-sama. Habis ini mau ke mana kita?" tanya Mega lalu menggigit bolunya.

"Aku pengin lihat pembuatan keju. Kamu tahu nggak aku tuh suka banget makan keju. Setiap datang ke sini selalu pulang tidak pernah lupa membawa keju," cerita Ilyana lalu menggingit bolunya.

"Oh iya?" pekik Mega senang karena Ilyana dengan sendirinya membuka diri padanya.

"Huum. Keju di sini yang terkenal itu kayak keju gouda, keju edam, dan keju leiden. Keju yang dihasilkan pun beragam, mulai dari gewone kaas itu keju biasa, sampai keju berbumbu atau rempah salah satu keju cengkeh Nagelkaas Frisia," sambung Ilyana antusias.

"Bagaimana kalau habis ini kita ke pabrik keju terus lanjut ke pasar keju?" usul Mega.

"Mauuuuuuuu!!!" sahut Ilyana senang dan riang.

"Habiskan dulu terus nanti kita siap-siap menyeberang lagi," perintah Mega lembut dengan sabar dia akan menemani Ilyana dan menjaga wanita yang dicintai sahabat baiknya.

Kesedihan Ilyana kemarin tertutup kebersamaannya dengan Mega. Kehadiran Mega bagaikan penawar kepahitan dalam hidupnya. Kini Ilyana sedikit legowo menerima kepergian Aliandra meski sesungguhnya dalam benak dia belum sepenuhnya melupakannya. Sampai kapan pun kenangannya bersama Aliandra tidak akan pernah terhapuskan.

Merelakan yang sudah pergi untuk selamanya memang sulit. Butuh waktu untuk menyembuhkan luka dan membuka hati kembali. Menyiapkan diri menerima yang lain butuh tenaga dan waktu. Akankah mereka dapat saling menerima???

#######
Terima kasih buat vote dan komentarnya?
________________

Bab terakhir posting, ya? Tunggu Pre-order-nya bulan Maret. Jangan sampai ketinggalan karena akan banyak bonus khusus untuk yang ikutan PO.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top