H-1 THE WEDDING
Menjelang satu hari menikah, Mega masih dinas. Padahal semua persiapan pernikahannya sudah siap. Gedung sudah dihias sedemikian rupa dengan tema musim semi indoor. Karena pernikahan pertamanya dulu tidak melaksanakan pedang pora, kali ini Mega mengambil kesempatan itu. Sebuah kebanggan tersendiri di keluarga, apabila dalam prosesi resepsi pernikahan melaksanakan tradisi militer tersebut. Karena tidak sembarangan orang dapat melaksanakannya.
Pedang pura atau gapura pedang, adalah tradisi pernikahan bagi perwira militer yang dilaksanakan dalam rangka melepas masa lajang. Biasanya sekolah militer AD, AU, AL dan semi militer penerbangan atau kelautan telah menyiapkan tim khusus apabila alumni dari sekolahan tersebut membutuhkan tim pedang pora.
Mega gelisah, terus mondar-mandir tak tenang di ruang crew lounge. Pesawat yang seharusnya ia terbangkan sore ini mengalami trouble engine. Dia terus berdoa dalam hati, berharap semuanya dapat ditangani secepatnya. Penumpang pun mau tidak mau mengalami delay dan lagi-lagi mengomel terus-menerus mendesak ingin segera diterbangkan.
"Kap, tenang dulu. Sini duduk!" Guntur menarik bahu Mega supaya duduk di kursi tunggu ruang crew lounge.
Dia mendaratkan pantatnya di samping Guntur, tetap saja hatinya berkecamuk, khawatir, bagaimana jika sampai besok pagi dia belum sampai di Jakarta? Padahal acara ijab kabul dilaksanakan pukul 10 pagi dan malamnya dilanjutkan resepsi.
"Ya Allah, kenapa ada kendala seperti ini di saat yang sangat penting dalam hidup saya, Kap?" gerutu Mega menahan emosi mengusap wajahnya kasar.
"Berdoalah, semoga malam ini kita bisa kembali ke Jakarta. Apa pun bisa terjadi kalau Allah sudah menghendaki. Ini ujian sebelum kamu menuju kebahagiaan, Kap," seloroh Guntur menghibur temannya supaya tidak terlalu tegang.
"Iya, Kap. Aamiin. Bagaimana penumpang yang seharusnya terbang bersama kita?" tanya Mega malah justru mengkhawatirkan penumpangnya.
"Biasa, pasti banyak yang ngomel dan marah-marah. Sudahlah, jangan dipikirkan. Itu hal biasa kan, buat kita? Mereka tidak tahu apa yang terjadi, wajar kalau marah," jawab Guntur lantas mengambil ponselnya di saku celana. "Kap, sebentar ya? Istri saya menelepon," pamit Guntur beranjak dari tempat duduk. Mega hanya menganggukkan kepala.
Seorang pilot juga sedih jika mengalami delay. Tidak hanya waktu yang mereka buang, tapi banyak hal yang mereka lewatkan. Yang biasanya ia bisa menerbangkan pesawat 2 leg, karena delay, dia harus menunda penerbangan selanjutnya. Belum lagi jika ia memiliki kepentingan seperti Mega. Tidak hanya penumpang yang dirugikan, semua pihak pun rugi, termasuk maskapai.
"Kapten Mega, bagaimana rencana resepsi besok?" tanya seorang pramugari mendekati Mega selepas kepergian Guntur yang sedikit menjauh menerima telepon dari istrinya.
"Acara resepsi malam, paginya ijab kabul, Sya," terang Mega.
"Alhamdulillah, besok malam Insya Allah kami datang, Kap. Tapi ada beberapa teman yang titip salam karena mereka dinas," ucap Tasya mewakili teman-teman pramugari yang tidak dapat hadir di acara resepsi.
Jam terbang yang berbeda-beda dan jam libur tidak sama, Mega pun dapat memakluminya.
"Iya, Sya. Saya mengerti. Makanya kemarin Aruna memilihkan undangan khusus buat teman-teman sekaligus ada suvenirnya. Biarpun mereka tidak bisa hadir, setidaknya ada kenang-kenangan dari hari bahagia kami," jelas Mega tersenyum tipis meski di dalam hati risau memikirkan acaranya besok.
Pramugari dan pramugara yang lain mendekat, ikut mengobrol bersama mereka.
"Iya, Kap. Saya suka banget suvenirnya, lucu. Baru kali ini dapat undangan sekaligus teddy bear berpakaian pilot lengkap dengan tuksedo bergaris 4 dan pet penerbangan. Kak Aruna pesannya di mana sih, Kap? Siapa tahu nanti kalau saya menikah bisa contoh ide Kak Aruna," tanya Salsa tulus menyanjung calon istri kaptennya.
Perasaan Mega menghangat, entah mendapat ide dari mana calon istrinya itu, sampai berpikiran seperti itu.
"Nggak tahu saya, Sa. Semua yang mengurus Aruna. Saya terima beres," kata Mega ditimpali kikihan kecilnya.
"Kreatif Kak Aruna. Entar kalau ketemu saya mau tanya ah, Kep," sahut Salsa tersenyum simetris.
"Emang kamu sudah ada rencana menikah, Sa? Sama siapa?" tanya Yuan, pramugara yang duduk kursi belakang Mega.
"Belumlah, An. Tapi kan boleh tanya-tanya dulu. Iya kan, Kap?" Salsa dengan tampang polos bertanya pada Mega. Wajahnya cantik tapi lucu.
Crew lounge dipenuhi gelak tawa. Hal beginilah yang dapat menghibur kegelisahan kru penerbang dikala sedang disandera penumpang karena delay.
"Menertawakan apa nih?" tanya Guntur baru saja datang usai menelepon keluarganya.
Guntur duduk kembali di samping Mega.
"Ini, Kap. Salsa ngehalunya tinggi, calon belum ada sudah merencanakan pernikahan," sahut Yuan diiringi tawanya.
Guntur terkekeh geli dan menggelengkan kepala.
"Nggak apa-apa, datangnya jodoh nggak ada yang tahu. Siapa tahu nanti pas kita balik ke Jakarta, Salsa bertemu jodohnya di kabin," canda Guntur. "Contohnya nggak jauh. Ini Kapten Mega." Guntur merangkul bahu Mega. "Siapa sangka dia kembali menemukan jodohnya tanpa kita menyangka Kapten Mega juga berani mengajak Aruna cepat menikah."
"Menghindari fitnah dan alhamdulillah hati juga sudah mantap, Kap. Jangan menunda-nunda niat baik," sahut Mega cepat sebelum terjadi kesalahpahaman.
"Iya, Kap. Benar! Kalau sudah ada dan bagi kita itu pilihan yang terbaik di antara yang baik, kenapa juga ditunda-tunda. Tapi, saya belum berani menikah." Semua menoleh pada Yuan.
"Kenapa?" tanya Tasya mengerutkan dahi.
Yuan menunduk sedih. "Aku merasa belum bisa memenuhi semua permintaan pacarku," jawabnya memelas.
Semua iba melihat wajah sendu Yuan. Mega menepuk bahunya dan berkata, "Kalau menuruti keinginan, tidak akan pernah ada habisnya. Satu hal terwujud nanti bakalan ada lagi yang dia pinta. Kalau kamu sudah mantap sama dia, ajaklah menikah. Kalau dia masih banyak menuntut, berarti dia tidak baik untuk kamu."
Ucapan Mega menohok ulu hati Yuan. Ucapannya terdengar biasa saja, tapi mampu seperti menampar kesadaran Yuan.
"Iya, Kap. Terima kasih," ucap Yuan tulus.
Semua menyentuh bahu Yuan memberinya semangat dan kekuatan sebagai teman serta tim. Jiwa korsa di antara satu tim sangat diperlukan, apalagi penerbangan.
Jiwa korsa selalu diajarkan di sekolah militer bahkan semi militer salah satunya di penerbangan. Jiwa korsa sendiri dapat diartikan sebagai rasa hormat, kesetiaan, kesadaran, dan semangat kebersamaan terhadap sesuatu yang sering ditujukan kepada negara, korps, atau perkumpulan.
Jiwa korsa juga dapat diartikan rasa senasib sepenanggungan, perasaan solidaritas, semangat persatuan dan kesatuan terhadap suatu korps sehingga faktor-faktor jiwa korsa ini meliputi rasa hormat, kesetiaan, kesadaran, dan tidak mementingkan diri sendiri maupun golongan. Dalam jiwa korsa terkandung inisiatif, tanggung jawab, loyalitas, dan dedikasi untuk suatu hal yang mulia, seperti halnya dalam mempertahankan negara, prinsip yang benar, maupun hal-hal lain yang bersifat kebajikan dan kebaikan menolong dengan tetap mengedepankan rasa kebersamaan dan kewajaran, serta tidak menjurus ke chauvinisme atau fanatisme berlebihan terhadap sesuatu sehingga tidak bisa membedakan baik-buruk tapi harus melihat sisi kebersamaan demi kebaikan.
***
Aruna kesal dan menangis sesenggukan tak kuasa menahan sesak di dadanya. Semua persiapan sudah selesai, tinggal penyelenggaraan. Dia tengkurap di tempat tidur dan menelungkupkan wajah di bantal.
"Sudah, jangan menangis begini. Nanti kamu sakit, mata kamu sembap, besok pagi jelek kalau didandani." Berlin duduk di tepi ranjang mengusap-usap punggungnya pelan.
Ilyana tak menghiraukan, dia masih saja menangis terisak-isak. Chusnul masuk ke kamar, dia menghampirinya dan duduk di samping Berlin. Keluarga Aliandra sengaja datang lebih awal karena ingin menjadi saksi di acara ijab kabul wanita yang dulu pernah dicintai putra kebanggaan mereka.
"Sayang." Chusnul mengusap rambut Ilyana lembut.
"Kenapa sih dia kayaknya nggak niat banget!? Aku sudah cape-cape mempersiapkan semuanya! Dia terima bersih! Giliran sudah mau menikah masih saja kerja, kerja, dan kerja!!! Kesel!!!" Ilyana mengomel seraya memukul-mukul bantal kencang. Dia menumpahkan amarahnya, memukul dan membanting bantal guling.
Berlin dan Chusnul saling memandang, mereka menghela napas dalam.
"Kamu harus paham dengan pekerjaannya. Mungkin Ali sedang ada kendala atau ada tambahan jam terbang. Sabar." Berlin berusaha menenangkan Ilyana, mengusap-usap punggungnya sayang.
"Ma, seharusnya dia telepon kan bisa?! Ini malah nomornya nggak aktif! Apa dia sengaja mau mempermainkan aku?! Atau jangan-jangan dia kabur dan membatalkan pernikahannya?" teriak Ilyana. "Aku cape, Ma. Dia pikir mudah apa, mempersiapkan ini semua?! Mulai dari booking tim pedang pora di sekolahannya dulu, sampai perlengkapan atributnya, gedung, ini dan itu! Cape, Ma!" pekik Ilyana menumpahkan emosi yang tertahan di dadanya.
Rasa lelah mempersiapkan pernikahan, ditambah Mega tidak mengabarinya, wajar jika Ilyana kesal. Hampir semua Ilyana yang mempersiapkan sendiri meski dibantu wedding organizer.
Chusnul dan Berlin mengatupkan bibirnya rapat. Lebih baik mereka diam dan mendengarkan keluh kesah Ilyana. Tidak mudah mempersiapkan pernikahan tanpa seorang tercinta yang setiap saat siaga membantu. Apalagi waktu cuti Mega sangat pendek dan mepet dengan acara pernikahan.
"Kalau memang mau dibatalkan bilang saja dari sekarang! Mumpung belum terlanjur!" imbuh Ilyana dengan air mata banjir di pipinya.
Wajahnya sendu, matanya merah dan sembap, lendir keluar dari hidungnya bercampur air mata.
"Hus, kamu nggak boleh berkata seperti itu," sela Berlin.
"Aruna, sini, Nak dengarkan Mama." Chusnul membimbing Ilyana bangun.
Dia duduk bersila menghadap Chusnul, dengan senyuman tulus, Chusnul menyeka air mata Aruna menggunakan kedua tangan lembutnya. "Jangan pernah berpikir negatif mengenai pekerjaannya, apalagi itu calon suami kamu. Nanti kalau sudah menjadi istrinya, akan lebih banyak cerita yang kamu dapatkan. Mungkin sebagian orang berpikir menjadi istri pilot itu keren dan membanggakan. Padahal di sisi lain, menjadi pendamping pilot tidaklah sekeren itu. Mama yang pernah merasakan ketika dulu Papa menjadi pilot. Tapi karena suatu hal, mau tidak mau Papa berhenti menjadi pilot."
Ilyana mengerutkan dahi. "Papa? Papa Firman dulu pilot?" tanya Ilyana terkejut, dia baru mengetahui kenyataan itu.
Chusnul menatap Berlin yang juga menampakkan wajah terkejutnya. Pasalnya setahu mereka, Firman bukanlah mantan pilot, beliau hanyalah seorang pengusaha biasa.
Chusnul tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Iya, Papa waktu muda sebelum menikah sama Mama seorang pilot. Dulu Mama bangga punya suami pilot, Mama pikir enak jadi istri pilot, bisa ikut terbang ke sana ke mari gratis, memiliki keluarga sejahtera, tapi di balik itu semua kenyataannya sulit. Papa Firman tidak lolos medex dan menjadi pengangguran mendadak. Apalagi maskapai tempatnya bekerja bangkrut," cerita Chusnul berbagi pengalamannya.
"Medex? Apa itu? Kenapa bisa begitu, Mbak?" tanya Berlin penasaran.
Chusnul pun menceritakan alasan mengapa Firman sampai tidak lagi menjadi pilot.
########
Sebenarnya masih banyak hal yang pengen saya bagi. Sumpah, jujur saya kesal kalian malah justru pengin cepat mereka menikah. Part selanjutnya menikah. Semoga kalian puas, dan di-part itu saya ENDING.
Kalau memang mau tahu perjalanan mereka setelah menikah, saya sudah putuskan akan lanjutkan di versi cetak. Maaf, daripada saya membuat cerita tapi tdk sesuai dengan konsep saya, lebih baik seperti itu.
Sekali lagi saya mohon maaf, kalian boleh kecewa pada saya. Tapi saya sudah bulat ingin melanjutkan di versi cetak. Semoga habis lebaran bisa diproses. Sebenarnya bukan ini yang saya harapkan. Akan banyak hal dan pelajaran yanga akan saya sampaikan setelah mereka menikah nanti.
Terima kasih atas saran dan masukannya selama ini. Saya menghargai semuanya. Terima kasih untuk vote dan komentarnya. Mohon maaf sekali jika saya mengecewakan banyak pihak.🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top