DUKA
Sepasang mata sendu melihat Ilyana menangis memeluk peti bewarna coklat berselimut kain hijau. Dia iba dan tidak tega, wanita yang dicintai sahabat baiknya rapuh dan hancur. Dari tempatnya duduk tatapan dia tidak pernah lepas mengawasi Ilyana. Hatinya tersayat-sayat pedih ketika Ilyana menciumi peti itu.
Setelah jenazah Aliandra ditemukan, keluarga langsung membawanya pulang ke kampung halaman. Hal itu sangat menghancurkan perasaan Ilyana, hatinya sangat-sangatlah terluka, dan yang tersisa tinggallah puing-puing kenangan berharga.
"Sayang, apa ini kejutan yang akan kamu berikan padaku? Kejutanmu sangat menyakitiku." Ilyana sesenggukan mengelus peti Aliandra dan menyandarkan kepala di atasnya.
"Ikhlaskan, jangan seperti ini terus. Kalau kamu begini, Langit tahu dia semakin sedih." Berlin menegakkan tubuh Ilyana.
"Ma, kenapa seperti ini? Kenapa dia tega meninggalkan aku? Katanya dia akan menikahiku, tapi ...."
Ilyana tak melanjutkan kata-katanya, dia malah menangis menjatuhkan tubuhnya di pangkuan Berlin. Chusnul mengelus kepalanya, dia paham bagaimana hancurnya perasaan Ilyana.
"Ma, jenazahnya mau disalatkan," ucap Firman mengisyaratkan Chusnul agar mengajak yang lain bersiap.
"Iya, Pa," sahutnya. "Ayo kita bersiap salatkan Langit," ajak Chusnul membimbing Ilyana berdiri dibantu Berlin.
Mereka berwudu dan mengenakan mukena. Di ruang tamu sudah berjejer banyak orang siap menyalatkan jenazah. Dengan berat hati dan air mata yang terus mengalir tak terbendung, Ilyana ikut menyalati kekasihnya. Usai salat, dia melemaskan tubuhnya bersandar di tembok, Berlin sangat mencemaskannya. Wajah dia pucat, tubuhnya lemas.
"Ma, apa nggak sebaiknya Kak Aruna istirahat saja? Aku nggak tega melihatnya," bisik Sidni di telinga Chusnul. Dia adalah adik satu-satunya Aliandra.
Chusnul mengangguk, dia melepas mukena Ilyana dan memberikannya minum.
"Diminum dulu, Sayang. Ayo," titah Chusnul mengarahkan sedotan ke bibir Ilyana.
Dengan lemah dia minum. Berlin menegakkan tubuh Ilyana supaya dia lebih mudah menelan airnya.
"Kamu istirahat saja ya?" ujar Chusnul sangat lembut mengelus lembut rambut Ilyana.
"Nggak, Ma. Aku mau di sini menemani Langit. Aku sudah janji nggak akan meninggalkannya, aku nggak akan jauh darinya," tolak Ilyana kembali terisak.
Berlin dan Chusnul saling memandang sedih, air mata mereka meleleh namun dengan cepat diseka. Meski perasaan mereka sama-sama hancur, tapi Chusnul berusaha tabah dan ikhlas. Ini memanglah takdir Tuhan untuk putranya. Dia meninggal dengan tugas yang mulia. Ilyana merangkak mendekati peti Aliandra. Dia meraba dan mengelusnya.
"Kamu sudah berjanji akan menungguku, tapi kenapa kamu meninggalkan aku!!!?" pekik Ilyana menangis histeris meremas kain hijau dan memeluk peti Aliandra. "Kamu bohong!!! Kamu jahat sama aku!!! Katanya kamu nggak bisa jauh dari aku, tapi kenapa kamu meninggalkan aku!!!"
Semua pelayat tidak dapat membendung tangisannya. Melihat Ilyana seperti itu, hampir semua ikut menangis merasakan kepiluan hatinya.
"Aruna, sudah, Nak. Ini takdir kalian." Berlin memeluknya dari belakang.
"Nggak, Ma!!! Aku nggak bisa terima ini! Tuhan menghukumku! Kenapa saat aku bahagia Dia menghancurkannya? Apa aku nggak pantas untuk berbahagia sama orang yang aku cintai?" Ilyana memekik diiringi tangisan yang menyayat hati.
David membantunya berdiri, lantas empat orang maju siap mengangkat petinya.
"Kalian mau bawa ke mana?!!!" teriak Ilyana memberontak melepaskan diri dari dekapan David.
Ilyana memegangi peti Aliandra, dia tidak siap jika harus jauh darinya.
"Tolong jangan bawa dia, aku masih ingin bersamanya," mohon Ilyana merosotkan tubuhnya berlutut di depan tubuh sahabat Aliandra yang memikul peti.
Ilyana memeluk kedua kaki orang itu dan dia menangis di sela-sela kedua kakinya. Seseorang menggantikan memikul peti yang akan dibawa ke luar. Pria itu membimbing Ilyana untuk berdiri.
"Jangan menangis," ucapnya menghapus air mata Ilyana.
Ilyana menunduk dia tidak peduli siapa yang berucap. Orang itu mendekap tubuhnya dan membimbing ke luar.
"Bukan hanya kamu yang kehilangan, tapi saya juga kehilangan orang yang sangat saya cintai dan juga sahabat terbaik saya. Tapi inilah takdir, Tuhan menyiapkan kebahagian lain untuk kamu," ucapnya sangat pelan.
Ilyana menghentikan tangisnya sejenak, sesekali masih sesenggukan. Dia menengadahkan wajahnya. Air matanya mengalir deras membasahi pipi. Dadanya terasa sangat sesak, bibirnya bergetar, dia hanya dapat menangis menatap sayu pria berkulit putih, tinggi, wajah hampir mirip dengan Aliandra karena mereka sama-sama keturunan Arab.
"Ikhlaskan dia," lanjut orang tadi menghapus air mata Ilyana dengan kedua telapak tangannya.
"Aku nggak akan pernah bisa ikhlas, sampai kapan pun aku nggak akan bisa," ucap Ilyana parau menggelengkan kepalanya.
"Ali," panggil suara dari belakang menepuk bahunya.
Merasa nama panggilannya disebut, pria itu menoleh.
"Iya, Om," sahutnya sopan.
"Jenazah akan diberangkatkan ke makam. Ayo!" Firman menepuk bahu sahabat baik putranya yang juga sudah dia anggap anak sendiri.
"Baik, Om," jawabnya.
"Aruna, ayo Sayang, kita antar Langit ke tempat peristirahatannya terakhir bersama-sama." Firman merengkuh bahu Ilyana dan mengajaknya berdiri di belakang peti Aliandra yang diangkat empat orang.
"Biar saya yang gantikan," ucapnya menyanggah peti Aliandra.
"Kapten Mega, tidak apa-apa, saya saja," tolak orang yang ingin dia gantikan.
"Saya pengin mengantar sahabat baik saya, ke tempat peristirahatan terakhirnya," ucapnya menahan sesak di dada.
"Baik kalau begitu."
Mereka bertukar tempat, Mega berdiri memikul peti Aliandra di barisan belakang.
Siap tidak siap harus siap. Dua kemungkinan akhir dari pertemuan, berpisah atau ditinggalkan untuk selamanya. Begitulah hukum alam bekerja, ada pertemuan yang pasti akan berujung pada perpisahan.
Langit seakan ikut bersedih mengiringi proses pemakaman Aliandra. Awan gelap, berduka. Ilyana menangis histeris saat peti Aliandra ditimbun tanah. Dia menggelesot di tanah tidak peduli pakaiannya kotor.
"Jangan!!! Jangan bawa dia!!!" tangannya menggapai melarang orang-orang menutup liang kubur Aliandra.
David menahan tubuhnya. "Aruna, relakan, Nak," bisik David ikut menangis memeluk putrinya.
"Nggak, Pa!!! Dia masih punya hutang sama aku, dia berjanji akan menikahiku! Dia nggak boleh mengingkari janjinya." Ilyana merangkak mendekati gundukan tanah yang sudah terpasang nisan bertuliskan nama Aliandra Langit Wicaksono.
Mega mendekat dan pembimbingnya berdiri.
"Kita doakan dia," bisiknya menahan tubuh mungil Ilyana.
Doa pun dibimbing kiai, sebagai pelengkap proses pemakaman. Usai berdoa pelayat membubarkan diri. Tinggallah keluarga yang masih menemani Ilyana di pemakaman itu.
Mega berjongkok di samping Ilyana yang memeluk nisan Aliandra. Dia terus menangis, wajahnya pucat, dan hidungnya merah. Matanya bengkak, air mata dan lendir yang keluar dari hidung berlomba-lomba.
"Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan," ujar Mega tertahan.
Ilyana seperkian menit berhenti menangis dan menatapnya sendu. Mega menggigit bibir bawahnya menahan tangis, meski dadanya sesak tapi dia tetap menjaga image. Sebagai pria dia harus bisa kuat dan tabah.
"Jika perasaanmu sudah membaik saya akan menunjukan sesuatu padamu." Setelah berucap Mega berdiri menghampiri David dan Firman yang sedang mengobrol tak jauh dari tempat Ilyana menggelesot.
Ilyana menatap pria itu nanar, hatinya terpanggil ingin mengenal. Dia penasaran ingin mengetahui apa yang akan orang itu tunjukan padanya. Kepalanya sangat berat, pusing, pandangannya mengabur dan berkunang-kunang. Perlahan redup dan semakin redup setelahnya gelap.
"Aruna!" pekik Berlin melihat tubuh Ilyana tumbang di atas gundukan tanah makam Aliandra.
Semua menoleh termasuk Mega, dengan sigap dia berlari dan mengangkat Ilyana.
"Ali, langsung bawa ke rumah sakit!" pekik Firman berlari lebih dulu menyiapkan mobil.
Sampainya di tempat parkir, Mega memasukkan Ilyana ke dalam mobil diikuti Berlin. Dia menggantikan Firman duduk di jok pengemudi. Sidni masuk ke mobil lain.
"Mama sama Om David ikut sini saja," pekik Sidni membukakan pintu dari dalam.
Mereka lantas membawa Ilyana yang pingsan ke rumah sakit terdekat. Semua mencemaskannya, apalagi sudah berhari-hari Ilyana tidak mau makan, hanya air yang mengisi perutnya.
***
-POV ILYANA-
Samar-samar aku mendengar isak tangis, tubuhku lemas dan mataku sangat berat untuk dibuka. Aku merasakan tangan dingin menggenggam tanganku. Susah payah aku membuka mata, cahaya di tempat itu menyilaukan mata. Aku menyipitkan mataku dan mengejapkan berkali-kali menyesuaikan pandangan. Tapi, seseorang menghalangi cahaya yang langsung membias ke kornea mataku. Sehingga akhirnya aku dapat melihat dengan jelas.
"Aruna, Sayang. Ini Mama, Nak." Aku melihat Mama beruraikan air mata berdiri di samping tempatku berbaring.
Aku menyapu pandanganku bingung. Di mana aku sekarang? Ruangan bercat putih, tempat ini sangat asing bagiku. Aku menoleh ke samping, Kapten Mega yang menghalangi sinar lampu agar tidak membias langsung ke mataku dengan tubuh kekarnya.
"Ini, minum dulu." Mama Chusnul mengarahkan sedotan ke bibirku.
Tubuhku sangat lemas, aku seperti tidak memiliki tulang. Papa menyanggah kepalaku dan aku sedot air bening tapi terasa manis.
"Sayang, makan ya? Mama mohon, kamu harus makan demi kesehatanmu," pinta Mama menangis.
Aku malah ikut menangis melihat kesedihan Mama. Dan aku teringat jika Aliandra sudah meninggalkanku selamanya. Tuhan, ini sangat berat untukku. Aku tidak bisa menerima cobaan ini. Aku memecahkan sesak di dada, menangis sejadi-jadinya.
Mengapa ini terjadi padaku? Kenapa harus dia yang Engkau ambil, Tuhan? Kenapa??? Duniaku gelap tanpanya, masa depanku mati bersama dia.
########
😭😭😭😭
Aku ngetik ini ingusnya sampai ke mana-mana. Tisuku basah kuyup. Sumpah!!!! Kenapa sedih begini ya? Malang nasib Ilyana.
Oke, fix ini masuk di cerita sesungguhnya. Yang kemarin itu belum benar-benar masuk ke cerita inti. Welcome to Kapten Mega a.s Kapten Ali, selamat berjuang!!!
Terima kasih untuk vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top