CINTA TIDAK HARUS MEMILIKI

Sebuah ruang yang kecil, bersih, nyaman, satu tempat tidur, dapur mini, ditambah fasilitas yang lain. Balkon kamar menghadap ke pelabuhan Lama Rotterdam. Dari sana terlihat jelas sungai dengan air yang jernih, kapal-kapal wisata berjejer rapi, dan kota yang bersih serta udara segar.

"Apa kita akan menginap di sini?" tanya Ilyana melihat ruang penginapan yang Mega sewa.

"Iya, kita akan berbagi tempat di sini. Jangan khawatir, kamu bisa tidur di ranjang, aku akan tidur di sofa," ucap Mega membuka pintu kaca yang menghubungkan ke balkon.

Ilyana ragu, baru kali pertama dia akan tinggal satu ruang besama pria yang baru dia kenal dan tanpa hubungan apa pun. Mega berdiri di balkon, dia memejamkan matanya menghirup udara yang masih bersih dalam-dalam hingga sampai ke paru-paru.

'Seharusnya kamu di sini, Sayang. Bersamaku, menikmati liburan yang sudah kita rencanakan. Aku merindukanmu.' Air bening meleleh di pipi Mega.

Ilyana berdiri di sampingnya, dia melihat air mata Mega mengalir melewati pipi. Matanya terpejam, wajahnya menengadah ke atas, dan kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Bibir Ilyana bergetar tidak kuasa menahan air matanya.

'Seharusnya kamu yang di hadapanku sekarang. Tapi kenapa kamu tega meninggalkanku sebelum kita benar-benar merasakan kebahagian?' Ilyana membatin lantas masuk ke dalam tak kuasa menahan kesedihannya.

Mega bertahan di balkon memejamkan mata, mengenang kebahagiaannya dulu saat bersama sang istri.

'Ragamu memang sudah tidak dapat aku sentuh, tapi cintamu selalu dapat aku rasakan. Kamu meninggalkan banyak kenangan, aku sangat mencintaimu. Doaku selalu untukmu. Walaupun kamu sudah pergi tapi bagiku kamu masih di sini, hidup di dalam hatiku.' Mega membuka mata, bayangan Dinda tersenyum mencumbu angannya.

Sangat sulit melupakan orang yang telah menempati tahta tertinggi di hati. Namun apakah dia akan selalu terbelenggu dalam kenangan?

***

Semua telah lenyap, janji, kebahagian, dan harapan. Hati diselimuti rasa pilu yang setiap hari menghantui.

"Hai, kenapa di sini?" tanya Mega duduk di samping Ilyana.

Selepas senja Ilyana duduk dan melamun di balkon memeluk kedua kakinya. Dia menikmati angin malam yang menghantarkan rindu kepada pangeran burung besi yang tidak lagi dapat disentuh dan dipeluk. Hanya kenangan manis saat tertawa bersama, mengingat janji manisnya, membayangkan dia ada dan sedang melihatnya.

"Nggak apa-apa, lagi lihat bintang," jawabnya menghibur diri.

Mega bersandar melipat tangannya di belakang kepala dan ikut menikmati malam yang sunyi, tanpa bising kendaraan, benar-benar santai.

"Bintangnya banyak ya?" ucap Ilyana memecahkan keheningan di antara mereka.

"Heem. Kamu mau?" tanya Mega.

Ilyana dengan cepat menoleh.

"Mau apa?" Dia tak mengerti yang dimaksud Mega.

"Mau aku ambilkan bintang?" Mega meliriknya sekilas lalu kembali menatap ke langit gelap bertaburan bintang yang gemerlap menghiasi angkasa.

Ilyana terkikih geli dan menggelengkan kepala.

"Emang bisa?" tanya Ilyana menantang.

"Bisa."

"Mana? Buktikan."

Mega tersenyum sangat manis dan mengerling jahil.

"Kalau aku bisa mengambil bintang buat kamu, apa imbalannya?" tanya Mega menegakkan duduknya mendekat diri ke samping Ilyana. Jarak mereka sangat dekat.

Debaran jantung Ilyana berdegub abnormal. Tatapan Mega membuatnya lumpuh tak mampu berkutik. Saat wajah Mega semakin mendekat, Ilyana menahan napas. Dia bergeming, bibirnya kelu, dan susah payah menelan ludahnya.

"Mana bisa aku mengambil bintang? Jangan tegang begitu, aku bercanda," ujar Mega dengan kedua sudut bibir tertarik membentuk senyuman yang khas.

Ilyana menghembuskan napasnya kasar ketika Mega menarik kepalanya dari depan wajah dia. Mega kembali bersandar santai di kursinya.

"Ali, boleh aku bertanya sesuatu?" Ilyana berkata sangat hati-hati takut akan menyinggung perasaan Mega.

"Mau tanya apa?" sahutnya halus.

"Kalau boleh tahu seperti apa istrimu?"

Mega memutar bola matanya lantas dia memejamkan mata membayangkan Dinda. Bibirnya tersenyum.

"Dia itu wanita yang lemah lembut, penyabar, penyayang, pintar mengurus suami, penurut, taat sama agama, tapi sayang ...," ucapan Mega terpotong. Dia membuka matanya dan menatap Ilyana sendu.

"Kenapa?" tanya Ilyana penasaran.

"Dia tidak bisa bicara," sambung Mega mengejutkan Ilyana.

"Maksudnya tidak bisa bicara?" Ilyana menuntut penjelasan.

"Dia tunawicara. Tapi aku mengganggap itu bukanlah kekurangannya, melainkan kelebihan dan keunikan dari dirinya," cerita Mega bangga tanpa minder.

Ilyana tercengang, pria tampan seperti Mega bisa saja dengan mudah mendapatkan wanita yang sempurna, tapi kenapa dia memilih wanita yang cacat?

"Kenapa kamu memilih dia?" tanya Ilyana spontan masih belum bisa meyakini ternyata Dinda wanita spesial.

"Karena dia unik, beda dengan wanita yang lain. Yang cantik banyak, yang modis apalagi sekarang di mana-mana ada. Tapi yang taat sama agama dan berani berprestasi tanpa rasa minder dengan kekurangannya, itulah wanita cantik sesungguhnya dari sudut pandangku. Tapi sudahlah, itu sudah berlalu," ujar Mega tidak ingin kembali hanyut dalam kesedihannya.

"Maaf," ucap Ilyana bersalah sudah membuat Mega kembali sedih.

"Nggak apa-apa, mungkin Allah terlalu mencintainya lebih dari cintaku pada Dinda. Insya Allah aku ikhlas." Wajah Mega berubah murung membuat Ilyana semakin bersalah.

"Aliiii, sebenarnya apa yang mau kamu tunjukan padaku?" tanya Ilyana mengalihkan pembicaraan.

Mega tersenyum tipis. "Besok malam ya?"

Ilyana mengangguk mengerti, mungkin Mega masih butuh waktu untuk bersantai dan menghilangkan lelah setelah perjalanan jauh. Mereka sama-sama membisu, membayangkan masa depannya masing-masing. Bagaimana mereka akan menjalani kehidupan tanpa bersanding dengan orang yang dicinta?

"Ar---"

"Panggil aku Ilyana saja, Li," sahut Ilyana cepat.

"Ilyana???" tanya Mega teringat nama yang menulis balasan di note kertas saat di pesawat beberapa minggu lalu.

"Iya, namaku Aruna Florence Ilyana. Aruna itu panggilan orang-orang terdekatku. Tapi kebanyakan temen-teman memanggilku Ilyana," jelas Ilyana singkat menjawab rasa penasaran Mega beberapa hari belakangan karena balasan note itu.

"Ooooh begitu? Pantas saja," sahut Mega memahami sesuatu.

"Pantas kenapa?"

"Nggak apa-apa," elak Mega.

"Kenapa?" desak Ilyana memaksa.

"Nggak ada apa-apa."

"Ish menyebalkan!" sungut Ilyana membuang muka ke arah lain. "Bikin kepo," timpalnya.

Mega terkekeh lantas bertanya, "Jadi waktu kita nggak sengaja satu penerbangan ke Jogja, kamu membalas note-ku?"

Ilyana tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Aku pikir pramugariku salah orang," gumam Mega lirih tapi masih didengar Ilyana.

Hening, tidak ada lagi obrolan.

"Apa ini yang namanya cinta tidak harus memiliki?" Tiba-tiba Ilyana bersuara di tengah keheningan mereka.

"Mungkin," jawab Mega asal.

"Sakit."

"Ya," sahut Mega singkat. "Jika seandainya bisa memilih, perpisahan bagaimana yang kamu inginkan?" tanya Mega menatapnya lembut.

Ilyana menoleh dan membalas tatapan Mega.

"Kalau boleh meminta, aku tidak mau berpisah," jawab Ilyana menahan nyeri di dada.

"Hukum alam sudah menetapkan, ada pertemuan pasti akan ada perpisahan. Siap tidak siap, kita harus siap," ujar Mega masih menanti jawaban Ilyana.

Ilyana berpikir sejenak, dia menerawang menyiapkan jawaban.

"Jika aku bisa memilih, lebih baik aku berpisah dengan cara ditinggal pergi. Daripada ditinggal untuk selama-lamanya. Setidaknya jika dia pergi, kita masih berada di dunia yang sama. Apabila takdir mengizinkan, kemungkinan masih dapat bertemu. Tapi jika dia meninggal bagaimana kita bisa bertemu?" jawab Ilyana parau matanya berkaca-kaca.

Mega tersenyum dan menarik hidungnya gemas.

"Jangan nangis, ayo kita masuk! Sudah larut malam waktunya istirahat." Mega menarik tangan Ilyana mengajaknya masuk.

Mega mengambil bantal dan berjalan ke sofa panjang yang tidak jauh dari tempat tidur. Dia menghempaskan tubuhnya di sana dan menutup mata dengan lengan. Ilyana merangkak ke atas tempat tidur, berbaring miring menghadap Mega.

"Ali," panggil Ilyana pelan.

"Iya," sahut Mega menurunkan lengannya dan memiringkan badannya menghadap Ilyana.

"Ceritakan Langit dulu bagaimana?" pinta Ilyana merindukan kekasihnya.

Mega menghela napas panjang, dia tersenyum simpul.

"Langit itu orangnya cuek, baik, care, kalau sudah sayang sama seseorang apa pun bisa dia lakukan untuk membahagiannya. Cinta keluarga, di balik pendiamnya dia menyimpan segudang misteri," cerita Mega yang sama halnya dengan Ilyana. Dia merindukan sosok sahabat yang sangat berarti dalam perjalanan karirnya selama ini.

"Oh iya? Masa sih seperti itu? Emang sih dia itu banyak menyimpan rahasia. Kalau ada apa-apa nggak mau bilang, disimpan sendiri."

"Ya, memang dia seperti itu. Dia nggak mau melihat orang-orang yang dikasihi ikut pusing dan menderita. Kalau punya masalah diam, tapi tahu-tahu beres. Kamu merindukannya?"

"Iya, aku kangen sama dia," rengek Ilyana parau dan air matanya mengalir membasahi bantal.

Mega beranjak dari sofa lalu menghampirinya. Dia duduk di tepi ranjang menghapus air mata Ilyana dengan jari telunjuknya. Mega mengelus punggung Ilyana lembut, menenangkan perasaannya.

"Sudah, jangan menangis. Kalau seandainya dia masih ada melihat kamu menangis di depanku, bisa-bisa aku yang disalahkan dan ditonjok. Kamu merasakan kehadirannya?" tanya Mega mengusap-usap kepala Ilyana penuh perhatian.

"Aku selalu merasakan dia ada di dekatku. Mengawasi setiap gerak-gerikku," jawab Ilyana terisak pilu.

"Dia akan sedih kalau melihat kamu selalu menangis. Kamu nggak kasihan kalau dia tidak tenang di alam sana?"

Ilyana menatap Mega, bagaimana bisa orang itu tabah dan kuat?

"Li, bagaimana kamu bisa kuat menghadapi semua ini?"

"Karena aku berpikir realistis, orang yang meninggal tidak akan kembali sekalipun kita setiap hari menangisinya. Sedih boleh, tapi kita nggak boleh stay. Waktu terus berputar dan hal yang dapat kita lakukan adalah move on. Melanjutkan hidup sampai Tuhan sendiri yang menghentikan perjuangan kita," ujar Mega menyentuh perasaan Ilyana.

Ilyana tersenyum terharu dengan kata-kata Mega. Pikirannya seperti terbuka, angannya yang tadi gelap perlahan ada setitik cahaya yang memberikan petunjuk.

"Sekarang kamu tidur, aku akan menjagamu." Mega menyelimuti Ilyana sebatas pinggang.

Dia mengelus punggung Ilyana pelan supaya wanita itu tidur lelap. Ilyana nyaman mendapat perhatian dari Mega, dia memegang lutut Mega, hati Mega berdesir lirih ada sesuatu rasa yang mengusik di dalam hati kecilnya.

"Good night, pangeran burung besi," ucap Ilyana sambil memejamkan mata.

"Good night," balas Mega pelan, perasaannya menghangat.

Dalam tidurnya Ilyana membantin, 'Sampai kapan pun tidak ada yang dapat menggeser posisimu dari hatiku. Cintamu tersimpan rapi di sudut hatiku. Kita LDR-an, Sayang. Antara dunia dan akhirat, kamu kekasih bayanganku yang setiap detik akan selalu aku kirim doa sebagai penghubung rindu kita. Aku sangat mencintaimu, damailah di sana.'

#########

Kenapa habis senyum-senyum terus ngetik bagian akhir aku mewek ya? Sudah sinting kayaknya aku ini. Hihihihi

Terima kasih buat vote dan komentarnya. Sabar ya, tunggu kejutan apa yang sudah Aliandra siapkan untuk Ilyana. Aduuuuuh Kapten Mega ngelusnya jangan pakai hati ya? Takutnya kalau jatuh hati sama Ilyana. Berbahaya!!!!
___________

Nantikan liris bukunya bulan tiga di Rans Publisher, ya?👍👌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top