BIMBANG BERUJUNG MANIS
Satu bulan lebih Mega tidak mendengar berita tentang Ilyana. Sudah sering dia menghubungi namun Ilyana tidak pernah menanggapi. Hidupnya kosong dan hatinya hampa. Dia merasa hari-harinya monoton, flight ke satu tempat ke tempat lain, begitu hampir setiap hari tidak ada yang spesial.
"Kenapa sih Kap, lesu banget?" tegur kopilot bernama Guntur saat mereka menunggu boarding.
"Nggak tahu nih, Kap," jawab Mega lesu bingung dengan jalan hidupnya sekarang.
"Ada masalah?" Guntur menepuk pundak Mega.
Mega menyandarkan tubuhnya dan mendongakkan kepala menatap tombol-tombol yang ada di langit-langit kokpit.
"Saya itu bingung Kap, setelah istri saya meninggal begitu banyak yang terjadi membuat hati saya selalu gelisah. Mertua saya selalu mendesak supaya saya menikahi adik ipar saya. Tapi ...." Mega menghentikan ceritanya.
Guntur mengerutkan dahi menanti cerita selanjutnya.
"Tapi apa? Kamu punya pilihan lain?" tebak Guntur.
Mega menatapnya dan menganggukkan kepala.
"Kap, setelah istrimu meninggal hubunganmu dengan keluarga Dinda itu sudah putus. Mereka tidak lagi punya hak mengatur pribadimu. Kalau kamu punya pilihan lain bilang saja, kamu berhak menentukan keputusan sendiri," nasihat Guntur.
"Masalahnya tidak semudah itu, Kap. Cewek yang saya taksir ini salah paham dan sekarang menjauh dari saya."
"Siapa sih dia?" desak Guntur penasaran.
Mega menggigit bibir bawahnya lalu menjawab, "Dia ... Aruna. Pacarnya almarhum Kapten Langit."
Guntur terkejut dan menatap Mega tak percaya.
"Apa?!!! Gilaaaa! Nggak menyangka." Guntur menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa? Apa saya salah kalau menyukai dia?"
"Nggak Kap, bukan itu. Cuma saya terkejut saja. Mungkin ini yang namanya takdir. Allah mengambil istrimu dan Kapten Langit di waktu yang sama. Tapi Dia punya rencana baik untuk kamu dan Aruna. Kalian dipertemukan ketika sama-sama berduka," terang Guntur tersenyum lebar memberikannya semangat.
"Iya bisa jadi, Kap. Tapi saya sungkan kalau menolak permintaan mertua. Selama ini mereka selalu baik pada saya dan Yoga. Tidak ada yang dibedakan antara anak dan menantu, mereka memperlakukan kami seperti anak sendiri." Mega mengusap tengkuknya yang terasa kaku. Pikirannya kalut dan hatinya risau.
Guntur memahami itu, memanglah sulit menolak permintaan seseorang yang sudah sangat baik kepada kita, apalagi jika kita memiliki hutang budi kepadanya.
"Lalu apa yang mau kamu lakukan, Kap? Menikahi adik ipar kamu tanpa mencintainya? Apa kamu sanggup?"
Pertanyaan Guntur menohok ulu hati Mega. Dia mencerna baik-baik dan berpikir ulang bagaimana nasib dia jika salah mengambil keputusan.
"Sudahlah, jangan pikirkan itu dulu. Sudah waktunya tutup pintu. Ayo!" Guntur menampar lengan Mega kecil.
Mega pun menghela napas dalam dan sementara menghempaskan segala pikiran yang membebani otaknya.
***
Ilyana duduk bersandar di kursi kerjanya seraya melamun memukul-mukulkan bolpein ke dahi. Sebenarnya satu bulan tanpa mendengar berita Mega hati Ilyana gelisah dan berkecamuk. Banyak hal yang ingin dia tanyakan, tapi gengsi menguasai dirinya.
"Assalamualaikum," pekik Fluor masuk ke ruang kerja Ily lalu berjalan ke arahnya dan duduk di kursi depan meja kerja.
Ilyana masih melamun menatap ke luar jendela. Fluor mengikuti arah pandang dia. Hanya hamparan gedung-gedung perkantoran dan pemukiman serta jalanan ibu kota yang padat.
"Ly!" seru Fluor pelan. Ilyana tidak menyahut. "Ly!!!" Suaranya meninggi mengejutkan Ilyana hingga tubuh dia menjengkit.
"Astogfirulloh." Ilyana mengusap-usap dadanya.
"Makanya kalau ada orang ngucap salam dijawab. Dasar! Melamun jorok ya lo?" tuduh Fluor menunjuk wajah Ilyana.
"Kampret! Enak aja!" Ilyana memukul lengan Fluor yang di atas meja dengan gulungan buku.
"Aduh, sakit," desis Fluor mengusap lengannya. "Keluar yuk! Cari makan," ajak dia.
"Lagi males," tolak Ilyana menopang dagunya.
"Masih aja lo mikirin Kapten Mega?" Fluor menebak dan tepat karena Ilyana memang sedang memikirkan Mega.
"Nggak tahu deh, Fluor. Gue pusing," keluh Ilyana memijat pelipisnya.
"Sebenarnya bagaimana sih perasaan lo ke Kapten Mega? Gue ikut pusing tahu lihat kalian. Si Mega selalu nanyain keadaan lo lewat gue. Padahal kan dia punya semua kontak lo." Fluor menatap sahabat baiknya lekat.
Ilyana terdiam lantas menjawab, "Iya memang dia juga sering hubungi gue, tapi gue cuekin, tak menghiraukannya. Gue masih kecewa sama dia, Fluor."
"Ly, coba deh lo kasih kesempatan dia buat bicara dan menjelaskan. Sekalipun memang kenyataannya begitu setidaknya lo tahu dari mulut dia bukan dari mertuanya. Mmm ...." Fluor menghentikan ucapannya. "Ralat, dia kan sudah bukan mertuanya Kapten Mega. Kan anaknya sudah meninggal, otomatis Kapten Mega sudah cerai mati," imbuh Fluor.
Ilyana termangu, otaknya berputar mengolah ucapan Fluor.
"Tapi gue gengsi, Fluor. Masa iya sih gue yang marah terus tiba-tiba gue juga yang ngajakin ketemuan?" Ilyana beranjak dari tempat duduknya berjalan mengambil minuman dingin.
Fluor memutar kursi yang dia duduki mengikuti gerak-gerik Ilyana.
"Apa salahnya? Kalau lo malu menghubungi dia duluan ya sudah, tunggu saja dia menghubungi lo dulu baru entar diangkat. Lo juga sih sok-sokan ngambek, kayak bocah," cibir Fluor.
Ilyana tidak menjawab dia menenggak minuman kaleng dingin dan kembali duduk di kursinya.
***
Seraya menunggu semua penumpang turun dari pesawat, Mega mengaktifkan ponselnya. Dia ragu ingin menghubungi Ilyana. Guntur tersenyum miring melihat Mega gusar memainkan ponsel.
"Hubungi saja," bujuk Guntur menyuntikkan keyakinan Mega.
"Kalau dia nggak mau angkat lagi gimana? Sudah sering saya menghubungi dia, Kap. Tapi nggak pernah diangkat." Mega masih saja ragu dan takut menghubungi Ilyana.
"Coba dulu, siapa tahu ini keberuntunganmu, Kap. Kalau masih saja nggak diangkat terus dicoba. Cewek itu kalau terus-menerus didesak pasti akan menyerah juga. Ayo, telepon dia." Guntur mendorong siku Mega agar mencari kontak Ilyana dan menghubunginya.
Mega menatap Guntur ragu namun Guntur menganggukkan kepala mantap.
"Ya sudah, saya akan coba telepon dia." Akhirnya Mega pun menyentuh tulisan panggilan di layar datarnya.
Jantungnya berdebar-debar, dalam hati dia yakin pasti Ilyana tidak mau mengangkatnya. Tapi dugaannya keliru, beberapa menit menunggu akhirnya panggilannya pun terjawab.
"Halo," sapa suara lembut dari seberang.
Senyum merekah di bibir merah Mega. Hatinya mengembang bahagia. Dari pancaran wajahnya yang terlihat berseri dan senyum sumringah Guntur tahu pasti panggilannya dijawab Ilyana. Guntur pun memberikan waktu untuk Mega mengobrol, dia lebih dulu ke luar kokpit.
"Assalamualaikum," ucap Mega.
"Waalaikumsalam," jawab Ilyana mantap.
"Bagaimana kabarmu?"
"Baik."
Mereka sama-sama terdiam, bingung dan canggung untuk mengawali obrolan kembali.
"Ehem!" Mega berdehem dan tubuhnya tegang seperti orang yang bertemu langsung dengan seseorang yang disukai, padahal mereka hanya mengobrol lewat telepon.
"Mmm...." Ilyana bergumam ragu untuk berbicara.
Dia masih gengsi jika mengajak bertemu Mega lebih dulu. Padahal banyak pertanyaan yang ingin sekali dia tanyakan padanya.
"Kapan kamu ada waktu luang?" Tanpa disengaja pertanyaan itu akhirnya keluar bersamaan dari mulut mereka.
Mega tersenyum kikuk dan Ilyana pun terkikih kecil terdengar dari ujung ponsel Mega. Mendengar tawa kecil Ilyana melegakan perasaan Mega. Itu artinya Ilyana tidak lagi marah padanya.
"Kamu dulu," ucap Mega.
"Kamu saja," tolak Ilyana malu-malu.
"Cewek dulu," paksa Mega.
"Kenapa harus cewek dulu?"
Perdebatan sepele seperti itu secara tidak langsung menghapus rasa canggung di anatara mereka.
"Ya karena bagi aku, cewek itu seseorang yang harus diutamakan dan dihormati," jelas Mega menghangatkan perasaan Ilyana.
"Masa siiiiiih?" goda Ilyana dengan perasaan yang sulit diartikan, tapi yang jelas dia bahagia.
"Huum. Ada hadisnya kok. 'Perempuan itu seperti tulang rusuk. Jika kamu ingin memperbetulkannya kamu akan mematahkannya. Hadis riwayat al-Bukhari 4889'. Dan ada lagi yang sama juga diriwayatkan Muslim. 'Sesungguhnya perempuan itu seperti tulang rusuk. Jika kamu ingin memperbetulkannya kamu akan mematahkannya. Hadis riwayat Muslim 1468'," terang Mega.
"Waduuuuh berarti intinya ujung-ujungnya kamu bakalan mematahkan hati perempuan dong?" sahut Ilyana salah tafsir.
"Nggak dong. Kalau kamu berpikirnya begitu salah tafsir dari hadis tersebut," sanggah Mega sembari meninggalkan kokpit karena sudah waktunya dia dan kru turun dari pesawat.
"Terus apa maksudnya itu?" tanya Ilyana meminta penjelasan Mega supaya dia tak salah paham dengan maksud hadis yang Mega ucapkan.
"Sebentar, aku naik mobil jemputan dulu," sela Mega.
Mega dan kru yang lain naik ke mobil jemputan, Guntur tersenyum penuh arti saat melihat Mega masih menempelkan ponselnya di telinga. Mega pun melempar senyum kemenangan ke arah Guntur. Para pramugari ikut menggoda Mega, dengan senyuman jahil mereka. Namun Mega tak menghiraukanya, dia tetap fokus mengobrol dengan Ilyana.
"Kamu di mana sih?" tanya Ilyana.
"Baru saja sampai di Bandara Ngurah Rai," jawab Mega duduk di sebelah Guntur.
"Ooooh. Lanjut yang tadi," pinta Ilyana masih menanti penjelasan Mega.
"Iya. Jadi maksud dari 'seperti tulang rusuk' itu bukan diciptakan dari tulang rusuk."
"Lalu???" sela Ilyana.
"Sabar dong, kok kamu jadi nggak sabaran sih?" Mega terkikih, dia membayangkan wajah Ilyana jika di depannya pasti sudah merona dan malu-malu kucing.
"Ya wajar dong, kan aku pengin tahu," sahut Ilyana malu-malu di seberang sana walaupun Mega tidak melihatnya.
"Pengin tahu banget atau pengen tahu aja?" goda Mega melirik Guntur yang mencebikkan bibirnya meledek Mega.
"Ya sudah kalau nggak mau kasih tahu. Aku matiin nih," ancam Ilyana.
"Jangan dong. Hubungi kamu tuh pakai usaha banget, enak aja mau main matiin." Mega tak rela jika Ilyana memutuskan teleponnya.
"Ya sudah, jelaskan," pinta Ilyana manja. Inilah yang Mega rindukan saat tidak mendapat kabar darinya.
"Iya, iya. Jadi yang dimaksud 'seperti tulang rusuk' itu sebagai perumpaan antara perempuan dan tulang rusuk. Kedua hadis tadi ditafsirkan sebagai sifat dan perasaan perempuan itu daripada jenis yang mudah bengkok.
"Yang artinya bahwa biasanya wanita itu senantiasa mempunyai sifat dan perasaan yang membutuhkan perhatian atau penghormatan sesuai dengan kodrat mereka sebagai wanita. Begitu!" jelas Mega menyanjung perasaan Ilyana.
Dari penjelasan Mega, Ilyana dapat merasakan jika Mega itu tipe pria yang menghargai wanita dan menghormatinya. Dia merasa seperti wanita yang spesial dapat menjadi salah satu wanita yang Mega kenal.
"Kalau caranya begitu, bisa-bisa wanita semenang-menang sama cowok dong? Kasihan cowoknya selalu mengalah."
"Ya nggak dong. Ini kan sudah zaman emansipasi, pembebasan dari perbudakan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sudah waktunya emansipasi wanita. Melepaskan diri dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju," sanggah Mega yang selalu memperlakukan seorang wanita spesial.
Dia sadar betapa besarnya perjuangan dan pengorbanan seorang wanita, terutama ibu. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, akan selalu memperlakukan wanita dengan sebaik mungkin.
"Iya aku paham itu, aku juga mengerti. Tapi coba bayangkan kalau seandainya kamu terus-terusan mengutamakan kepentingan wanita. Kamu sedang antre membeli tiket, ada 10 wanita padahal kamu dikejar waktu. Gimana hayo? Kamu bakalan terus mengalah dan mendahulukan 10 wanita itu?" Ilyana sengaja mengetes kebijakan Mega.
Dia hanya ingin tahu apakah semua yang Mega ucapkan tadi tulus atau hanya sekadar basa-basi yang ingin membuat perasaannya senang.
"Semua kembali ke pribadinya masing-masing bagaimana menyikapinya. Aku rasa mendahulukan kepentingan seorang perempuan tidak ada salahnya. Ketika wanita diperlalukan dengan penuh kelembutan, terhormat atau dengan kata lain wanita lebih didahulukan tidak ada masalah.
"Asalkan perlakuan itu sesuai dengan hakikat dan fitrahnya. Ditambah lagi pengorbanan ia lebih dan bahkan mempertaruhkan nyawa hanya karena landasan cinta dan kasih sayang untuk melahirkan seorang bayi. Aku rasa wanita berhak mendapatkan semua itu," jelas Mega bijak.
Ilyana tersenyum puas mendengar jawaban Mega yang mantap tanpa dibuat-buat.
"Ah kamu bikin aku gede rasa. Kan aku cewek, besar kepala nih," sahut Ilyana menimbulkan gelak Mega.
Semua yang ada di dalam mobil ikut tertawa lantaran Mega tiba-tiba tertawa dan bagi yang lain itu lucu.
"Dasar GR-an," cibir Mega.
"Mana aku nggak GR kalau penjelasan kamu begitu? Semua cewek kalau mendengar itu pasti GR-lah."
"Ya sudah, nanti aku telepon lagi ya? Kalau sudah sampai Jakarta aku akan menemui kamu. Aku mau turun dulu sudah sampai di bandara nih. Mau ngadem di ruang ber-AC dulu, gerah gara-gara teleponan sama kamu. Grogi," terang Mega menciptakan gelak tawa Ilyana dan semua orang yang ada di mobil itu.
"Kamu ada-ada saja. Ya sudah kalau gitu. Sampai jumpa."
"Sampai jumpa. Tunggu aku ya?" pesan Mega sebelum mengakhiri panggilannya.
##########
Aaaaah aku meleleh gara-gara Mega.😳 berasa dispesialkan Mega. Wkwkkwkwkwk lol
Aku masih banyak pekerjaan. Jangan menungguku. Hehehe
Masih repot nih. Pasti akan dilanjutkan kok. Tapi sabar ya?
Terima kasih untuk vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top