APA DIA KEMBALI?
Sejak turun dari pesawat, Ilyana selalu diam. Dalam otaknya penuh dengan pertanyaan. Aliandra, orang yang baru saja dia temui di pesawat satu penerbangan ke bandara Haneda Airport, Tokyo. Ia berasal dari Indonesia hanya saja sudah lama tinggal di Jepang.
Ilyana menunggu Mega di ruang tunggu. Dia melamun memikirkan pria yang sangat mirip dengan orang yang dulu pernah menguasai hatinya. Tanpa sadar, air mata Ilyana meleleh, pandangannya mengabur, dan bayangan senyum Aliandra terngiang-ngiang.
"Love," seru Mega mengerutkan dahi, heran melihat istrinya menangis. "Kamu kenapa?" tanya Mega khawatir memegang bahunya.
Ilyana menengadahkan wajah, air mata membanjiri pipinya, Mega semakin bingung karena Ilyana terisak.
"Hubby." Ilyana berdiri dan langsung memeluk Mega erat. "Apakah dia masih hidup?" bisik Ilyana.
Jantung Mega seperkian detik seperti berhenti, siapa yang dimaksud istrinya?
"Apa maksud kamu?" tanya Mega bingung.
"Tadi aku melihat orang yang sangat mirip Aliandra. Dia ada di sini, kami berjabat tangan dan tadi kami sempat mengobrol. Dia nyata, Hubby. Dia benar-benar nyata dan bukan sekadar imajinasiku," ujar Ilyana sesenggukan.
Mega merenggangkan pelukan mereka, dia shock menatap istrinya tak percaya.
"Mungkin kamu terlalu merindukannya, jadi anganmu membayangkan wajah yang mirip Langit dan kamu melihatnya itu wajah Langit. Sudahlah, mungkin kamu kecapean." Walau dalam hatinya gusar dan gelisah, tapi Mega tetap berusaha bersikap tenang.
Ilyana menggelengkan kepalanya.
"Mungkin saja, Hubby," jawab Ilyana menyeka air matanya. 'Tapi kenapa hatiku mengatakan bahwa itu Aliandra?' lanjut Ilyana dalam hati.
"Ya sudah, sebaiknya kita istirahat di hotel. Kamu kecapean?" Mega mengelus pipi Ilyana lembut.
Ilyana menganggukkan kepala, dia mengambil tasnya lantas bersiap menarik koper. Mereka melangkah bersama menyeret kopernya masing-masing menuju pintu keluar bandara. Namun belum juga sampai di pintu utama, tak sengaja seseorang dari arah berlawanan yang sedang terburu-buru menabarak Ilyana.
Byur!
Baju Ilyana sedikit basah tersiram kopi hangat.
"I'm sorry, Miss," ucapnya sigap tanpa melihat wajah Ilyana, ia membersihkan bajunya dengan tisu kering.
Mega terpaku menatap wajah itu. Jantung Ilyana berdebar-debar kencang. Mereka berdua termangu menatap pria yang sibuk mengelap lengan Ilyana.
"Langit?" lirih Mega.
Pria tadi hanya tersenyum menatap Mega dan Ilyana bergantian. Pandangannya berhenti menatap kedua manik mata Ilyana yang berkaca-kaca.
"Hai, kamu lagi. Maaf ya, aku tidak sengaja. Aku buru-buru, ada yang tertinggal di dalam," ucapnya.
Bayangan masa lalu Ilyana menari-nari. Kejadian itu persis seperti yang terjadi ketika dulu ia bertemu kali pertama dengan Aliandra.
"Hai." Pria tadi mengibaskan tangannya di depan wajah Mega dan Ilyana yang menatapnya tak percaya.
"Maaf, kami harus pergi," ucap Mega lantas menarik tangan Ilyana.
Gelisah dan merasa terancam, itulah yang Mega rasakan. Ilyana terus menatap pria itu sambil berjalan mengikuti langkah kaki Mega. Pria tadi melempar senyum terbaiknya.
"Kamu sudah bahagia, tidak pantas jika aku hadir di antara kamu dan Mega. Seharusnya aku tidak menemui kalian," ucap pria tadi sedih menundukan kepala.
"Kak Langit," seru seorang wanita memegang bahunya.
Aliandra menoleh dan menyeka air matanya.
"Kenapa?" tanya Sidni khawatir.
"Kakak menemui mereka," ucap Aliandra sedih lantas berjalan meninggalkan Sidni.
Sidni terpaku, mematung, menatap punggung Aliandra yang pergi masuk ke bandara.
"Kak," lirih Sidni meneteskan air mata.
***
Ilyana terus menangis, merasa bersalah dan takut bagaimana jika itu benar Aliandra-nya? Mega keluar dari kamar mandi, mendapati istrinya yang masih melamun bersandar di kepala ranjang dan terus meratapi pertemuan mereka dengan pria yang sangat mirip dengan sahabat baik Mega.
"Love," panggil Mega duduk di sampingnya.
Mega menarik kepala Ilyana pelan agar bersandar di bahunya.
"Hubby, kenapa dia bisa mirip sekali sama Aliandra? Namanya pun sama. Apakah ...?" ucapan Ilyana terpotong.
"Sudahlah, Love. Mungkin dia hanya mirip Langit," sangkal Mega.
Perasaan takut kehilangan menyeruak dari dalam hati Mega. Pikirannya berkecamuk, antara takut, was-was, cemas, dan bingung bercampur menjadi satu. Bagaimana jika itu benar?
"Kamu dulu juga mengantar jasad Langit di pemakaman kan? Kamu melihat peti itu masuk di liang kubur." Mega meninggikan suaranya tampak wajah ketakutan jika istrinya kembali mengorek luka masa lalu.
Ilyana menegakkan kepalanya menatap Mega nanar. Baru kali ini Mega terlihat gelisah dan risau.
"Iya, memang aku melihat peti itu. Tapi kami semua tidak ada yang boleh membukanya. Aku tidak melihat apakah itu benar Aliandra atau orang lain?" bantah Ilyana tak kalah meninggikan suaranya.
Kala itu memang kondisi jasad sudah membusuk dan sulit dikenali wajahnya, karena beberapa hari mengapung di laut. Tim medis dari pihak rumah sakit tidak mengizinkan peti dibuka. Setelah selesai mengindentifikasi, jasad dibersihkan dan langsung diselubungi kafan sesuai aturan islam. Hanya saja jasad langsung dimasukkan ke dalam peti dan siapa pun dilarang membukanya karena bau yang sudah sangat menyengat.
"Terus kalau itu adalah Langit, apakah kamu akan meninggalkanku?" pekik Mega. Matanya merah, menahan tangis, serta kesedihan menguasai hatinya.
Ilyana terdiam, dia menatap wajah sendu Mega. Tangannya terulur menangkup pipi Mega. Pandangan mereka terkunci.
"Aku mencintaimu, Hubby. Tapi Aliandra ...." Ilyana menunduk sedih dan bingung. "Dia adalah orang yang sudah memberikanku banyak arti kehidupan dan mengajariku tentang cinta," lanjut Ilyana menyeka air matanya.
Sunyi, tidak ada pembicaraan di antara mereka.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" ucap Mega pelan lantas mengambil ponselnya di atas nakas lalu menghubungi seseorang.
Ilyana menegakkan kepalanya, mendengarkan Mega menelepon seseorang.
"Ganti pakaian kamu, kita akan menemui seseorang," ajak Mega turun dari ranjang.
Ilyana segera menuruti perintah suaminya.
Suasana tenang, nyaman, banyak lampion menghiasi area taman di pinggir danau. Mega dan Ilyana menunggu seseorang di tempat makan terbuka pinggir danau itu. Malam di musim gugur, tertepaan angin menembus pakaian tebal Ilyana. Dia memeluk dirinya sendiri.
"Dingin?" tanya Mega halus.
Ilyana mengangguk lalu menghapus jarak di antara mereka dan bersandar di dadanya. Mega mendekap memberikan kehangatan.
"Masih lama ya?" tanya Ilyana bosan menunggu.
"Sabar, katanya dia akan datang ke sini. Tadi aku menelepon, dia masih di bandara," jelas Mega mengelus-elus rambut panjang Ilyana dan mencium pucuk kepalanya.
"Hubby, kenapa aku merasa takut?" ucap Ilyana memeluk perut Mega erat.
"Takut kenapa?" tanya Mega mengelus-elus kepalanya.
"Aku takut kita akan terpisah."
Deg!
Jantung Mega seperkian detik berhenti berdetak sebelum debarannya kencang.
"Kita tidak akan terpisahkan, kecuali kematian. Kita punya ikatan resmi dan status yang kuat. Aku tidak akan pernah melepaskanmu, apa pun yang terjadi, aku akan terus mempertahankanmu. Itu janjiku," ujar Mega tulus dan mantap.
Ilyana menegakkan kepalanya, tersenyum manis, dan mengecup kedua pipi Mega.
"Jangan pernah meragukan cintaku, Hubby. Meskipun godaan menghadang, aku tetap mencintai kamu." Ilyana kembali menyandarkan kepalanya di dada Mega.
Hampir satu jam mereka menunggu, tapi orang yang tadi dihubungi Mega tak kunjung datang. Mega kembali menghubunginya.
"Halo, Sidni. Kamu di mana? Kami sudah menunggumu lama di sini," tanya Mega menelepon Sidni.
Setahu mereka, di Jepang Sidni bekerja di salah satu cabang perusahaan besar konfeksi milik pengusaha Indonesia.
"Maaf Kak Ali, aku tidak bisa ke sana. Mendadak bos besarku mengajak pertemuan penting dengan mitra yang baru saja datang dari Indonesia," balas Sidni dari seberang.
"Oh begitu. Sidni, Kakak mau tanya sesuatu sama kamu. Tapi tolong jawab ju---"
"Maaf Kak Ali, aku harus pergi sekarang. Lain kali saja ya? Aku masih sibuk," potong Sidni lantas memutus panggilannya.
Mega mengerutkan kening, tidak biasanya Sidni ditelepon bersikap seperti itu.
"Apa katanya, Hubby?" tanya Ilyana.
Mega mengedikkan bahu. "Dia sibuk, tidak bisa menemui kita."
"Terus bagaimana?"
"Ya sudah, kita nikmati liburan ini. Seandainya kalau memang itu benar Langit, sudah pasti keluarganya akan memberi kabar kita. Selama ini mereka tidak menyinggung apa pun mengenai Langit jika kita bertemu kan? Jangan hiraukan, masa sih orang yang sudah meninggal bangkit lagi? Nggak mungkin kan?" ujar Mega berusaha mengalihkan pemikiran yang membuat ketenangannya merasa terancam.
"Ya sudah." Ilyana menikmati kebersamaan mereka meski pikirannya terusik.
***
Di sebuah kamar apartemen tidak begitu luas, Aliandra duduk di tepi ranjang. Lampu utama sengaja ia matikan, hanya cahaya lampu kuning yang membuat suasana kamarnya remang, sepi, dan tenang. Lebih dari satu tahun ia hidup menahan sakit hati. Melewati semua sendiri, hanya keluarga yang selalu mendukungnya tanpa ada cinta lagi. Wanita yang dia cintai jatuh di pelukan sahabat baiknya.
"Maafkan aku, Aruna. Aku bukanlah langitmu lagi, yang senantiasa mengiringi senjamu. Langit yang selalu setia menerima biasan warna oranyemu. Langitmu tertutup mega putih yang lebih indah mewarnai senjamu," ujar Aliandra menangis menggenggam bingkai foto mereka.
Terlihat jelas di foto itu kebahagian mereka. Ilyana tersenyum lebar, didampingi Aliandra yang gagah dengan setelah jas kotak-kotak.
"Kak," panggil Sidni mengetuk pintu.
Aliandra menyimpan bingkai foto itu di laci nakas.
"Masuk, Sid," titahnya berbaring di tempat tidur bersandar sok-sokan sibuk mengutak-atik ponsel.
Sidni membuka pintu dan masuk. Dia menghampiri ranjang lantas duduk di samping kakaknya.
"Kakak sudah makan?" tanya Sidni perhatian.
Dia melihat sisa air mata di ujung bulu mata Aliandra. Sidni hanya tersenyum, tanpa bertanya pun dia paham siapa orang yang selalu membuat air mata kakaknya keluar.
"Kakak malas keluar," jawab Aliandra tanpa menatap Sidni.
"Jangan bilang karena di sini ada Kak Ali sama Kak Aruna," sahut Sidni.
Aliandra diam tak menjawab. Dia pura-pura sibuk membaca berita di layar flat-nya.
"Kak." Sidni sengaja melendot di bahu kakaknya. "Besok kakak kerja nggak?" tanya Sidni memainkan ponselnya.
"Kenapa?" tanya Aliandra malas.
"Kita makan di Indonesian food yuk! Aku kangen banget masakan rumah, pengin makan masakan Indonesia. Kakak mah enak, baru saja pulang dari Jayapura," rajuk Sidni manja.
"Kakak kan pulang juga karena urusan pekerjaan. Kalau bukan perintah bos, mana Kakak mau pulang. Seandainya Kakak nggak pulang, nggak akan mungkin ketemu sama mereka," ujar Aliandra menahan nyeri di dada.
"Kak, itu namanya takdir. Sampai kapan Kakak akan bersembunyi dari mereka? Menghindari mereka? Kakak tidak pernah tahu bagaimana kondisi Kak Aruna dulu waktu mendengar kabar pesawat yang dimanuver Kakak kecelakaan. Dia hancur dan sangat terpukul. Seandainya dia tahu dari awal Kakak masih hidup, pasti Kak Aruna tetap setia sama Kakak."
"Jangan dibahas. Itu masa lalu, aku nggak mau lagi membahasnya." Aliandra beranjak dari tempat tidur.
Dia membuka pintu balkon dan duduk di teras. Menikmati malam dengan hati kosong tanpa cinta. Aliandra merasa separuh jiwanya hilang ketika mengetahui bahwa hati Ilyana telah jatuh di tangan sahabatnya. Sidni berdiri di ambang pintu menatap wajah Aliandra yang selalu bersedih jika di belakang publik.
"Seandainya waktu itu ...."
Flashback
#########
Sebenarnya aku mau menggantungkan cerita sampai di sini dan mau aku lanjutkan di versi cetak. Tapi takutnya entar banyak yang ngambek dan kuciwa lagi. Masih ada beberapa part lagi sih, tapi apakah kalian kuat membacanya? Itu yang aku khawatirkan. Entar banyak yang protes lagi.
Ikuti saja alur yang sudah aku konsepkan secara matang. Kesepakatan kita dulu masih ingat kan? Waktu aku mau END cerita ini pas mereka nikah, tapi kalian bilang lanjut dengan catatan jangan banyak protes. Hihihihi
Kalau banyak yang protes, aku terpaksa Ending part ini. Biar kalian penasaran. #jahat #bodohamat 😝😝😆😆😆😄😅
Terima kasih untuk vote dan komentarnya.🙏🙏🙏
KELANJUTAN PART INI TERGANTUNG KOMENTAR. KALAU BANYAK YANG PROTES TUNGGU SAJA KELANJUTANNYA DI VERSI CETAK.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top