Sembilan: Pertanyaan Bromo
Karena dia nggak menemukan jawaban pas nanya ke gue, akhirnya si Kutil nanya ke temen gue. Kali ini dia datang ke kelas gue pas jam istirahat. Biasanya Kirana yang udah menghadang gue, tapi kali ini nggak lagi. Meru yang menggantikan posisinya dan otomatis satu kelas bahagia. Mereka udah kangen banget sama si Meru, jadinya mereka seneng banget ketemu cowok pecicilan upil gitu.
"Kok lo jarang ke sini, sih? Kan kangen..." Mereka merepet nggak jelas ke Meru, lalu nempel-nempel kayak lintah. Gue merinding jijik.
"Kalian menggelikan!" hujat gue.
Lima orang yang lagi meluk Meru akhirnya menjulurkan lidah ke arah gue. Gue begidik geli. Mereka ngobrol nggak jelas, mengabaikan gue yang nggak bisa duduk di bangku gue sendiri. Lalu... lamat-lamat gue denger si Kutil nanya arti mimpi ke temen-temen gue. Mereka nggak waras dan rasa sarap, jadi gue yakin mereka nggak mungkin jawab dengan bener.
"Jadi... lo mau nanya apa artinya ke kami?"
Meru mengangguk cepat.
"Iya, iya. Kalau kata orang tua, artinya Meru bakalan nikah."
"Kamu yang digigit?" Temen gue nanya. Meru mengangguk lagi. "Katanya sih kalau cewek yang digigit bakalan diajak nikah, tapi kalau cowok..."
Meru menunggu. Gue nguping aja. Gue nggak mau buruk sangka ke Meru. Gue diem aja, mendengarkan apa yang temen gue bilang. Gue curiga mereka lagi pengen ngisengin Meru. Dan ternyata emang iya.
"Kalau cowok kenapa, Mas?"
"Katanya, ya.... katanya..."
Meru menahan napas. Temen-temen gue yang lain sok serius. Gue nyengir diam-diam. Biar aja si Meru dikerjain! Biar dia kapok dan nggak berlagak lagi. Gue mencari tempat duduk lain dan mengawasi ekspresi Meru yang juga jadi suntuk seketika.
"Iya?" Meru menelan ludah.
"Kamu nggak bakalan nikah."
Meru melongo. Ekspresinya jelek. Dia kaku. Kayaknya setan lagi merasuki si Meru. Nyawa Meru seolah tercabut gitu aja. Gue mingkem. Gue nggak boleh ketawa sekarang. Meru percaya sama ucapan orang lain, tapi dia nggak pernah percaya gue. Sekarang, dia kena karma! Kena jahilin satu kelas! Dan lebih gokilnya, kelas gue!
"Ru... Ru... lo masih sadar?" Temen-temen gue ngakak. Meru sama sekali nggak ketawa. Dia diem aja.
"Kenapa?"
Semua orang melongo. Tatapan Meru kosong. Kalau udah kayak gitu, Meru nggak bisa dirayu. Dia hanya terpaku. Gue diem aja, nggak bergerak. Biar aja yang melakukan itu yang bertanggung jawab. Temen-temen gue udah bikin semuanya kacau, jadi gue nggak mau ikut campur. Biarin aja Meru dan kepanikannya itu!
"Kenapa?"
Meru mengajukan pertanyaan yang monoton. Dia terus nanya kenapa. Gue nggak mood buat jawab pertanyaan nggak jelas gitu. Gue diem aja. Biarin, lah!
"Ru... lo baik-baik aja?"
"Kenapa?"
Nah!
Gue pura-pura sibuk sama HP. Gue nggak mau lihat Meru sekarang. Gue nggak mau jadi korban kegalauan. Gue pengen kabur, tapi masalahnya Meru pasti lihat pergerakan gue. Apa gue merangkak sampai pintu, ya biar dia nggak lihat gue?
Gue menunggu bel masuk sekarang, jadi gue ada alasan ngusir dia balik ke kelasnya sendiri. Tapi sayangnya bel berkhianat kalau lagi ditungguin!
"Mas Bro!" kata Meru pelan. Meski pelan, tapi kuping gue denger semuanya, dan kepala gue noleh spontan. Ekspresi Meru sepet banget! Gue menelan ludah, harap-harap cemas.
"I... Iya?" Sialan, gue gugup!
"Aku nggak bakalan nikah, ya, Mas Bro?"
Mampus! Seluruh pasang mata menatap gue. Gue menelan ludah lagi. Gue ada di antara dua dunia. Kalau gue ngiyain, Meru yang mewek. Kalau gue bilang itu dusta, temen sekelas gue bakalan melotot karena nggak terima. Gue harus berkolaborasi menjahili si Jahil yang sering jahilin gue. Kapan lagi gue bisa balas dendam, coba?
"Eng... gue nggak tahu, Ru." Gue mencoba cari aman, tapi gue salah kali ini. Meru merengut.
"Semalem Mas Bro bilang iya!"
Sekarang semua temen sekelas melotot ke arah gue. Mereka mengisyaratkan agar gue ikutan drama nggak jelas ini. Gue nggak bisa jadi anak bawang. Gue harus ikut geng kanan atau kiri. Itu pilihannya. Gue nggak bisa ikut geng tengah!
"Mas Bro..." Meru memanggil gue sekali lagi.
Hari ini temen sekelas gue lagi iseng. Entah apa yang terjadi. Kenapa mereka kayak gitu gue nggak tahu. Mungkin itu hukuman karena akhir-akhir ini Meru jarang ke kelas gue. Meru sendiri, sih yang salah pake sesumbar kalau dia bakalan datang tiap hari buat menghibur mereka semua!
Pas baru datang, Meru malah cerita soal nikahan! Nggak lucu, tahu!
"Trus aku harus apa, Mas Bro?" Meru menelan ludah gugup. Wajahnya terlihat frustrasi. Gue nggak tahu kenapa dia jadi kayak gitu. Setahu gue, Meru emang bikin gue kelimpungan kalau lagi bingung. Tapi gue nggak tahu kalau dia bakalan sepanik ini hanya gara-gara masalah kayak gituan.
"Jadi..." Meru menarik napas lagi. "Aku beneran nggak bisa nikahin orang yang aku sayang, ya, Mas Bro?"
Gue menoleh ke arah temen-temen yang lain. Mereka pura-pura nggak denger. Sialan! Gue menatap Meru sekali lagi. Ini lucu banget, tahu! Kalau aja Meru nggak disayangi oleh seluruh umat, mungkin gue bakalan dengan kejam bilang, "Kok lo mau aja dibegoin orang, Ru?"
Tapi sayangnya gue bakal digiles kalau ngomong gitu. Meru adalah adik seluruh kaum. Dia itu semacam kurcaci murni yang hanya nongol seratus tahun sekali, lalu dilindungi karena kemampuannya untuk membuat orang lain bahagia. Gue mencoba nggak menganggap semua ucapan Meru serius, tapi nyatanya gue nggak bisa. Meru selalu berhasil bikin gue terpengaruh.
"Gue nggak tahu, Ru. Kan gue bukan ahli tafsir mimpi."
"Tapi kan Mas Bro... aku kan pengen nikah sama orang aku sayangi!"
"Emang punya?" Temen-temen gue kompakan kepo. Meru menunduk malu-malu. Asem! Ini anak kenapa, sih sebenernya? Dia nakutin banget! Setelah susah, dalam beberapa detik dia bahagia!
Gue bingung apa maunya!
Meru berdiri setelah itu, lalu dia melangkah pergi. Temen-temen gue menahan kepergiannya. Mereka masih pengen bikin lawakan dari respon Meru, tapi si Rusuh lagi nggak mood buat beramah-tamah. Dia balik ke kelasnya sendiri dengan langkah gontai. Bahkan pas temen cewek di kelas teriak, "Ru...! Jangan balik dulu, dong! Ntar Kakak beliin kue, lho!" tapi Meru nggak mau balik.
Meru dengan ekspresinya yang terluka malah noleh dan bilang, "Aku bukan anak kecil, Kak!"
Wajah gue kalem. Para cowok diomelin habis-habisan sama cewek-cewek di kelas gue. Gue nggak ikutan. Inilah enaknya jadi pihak netral. Tapi ternyata itu nggak enak juga. Cewek-cewek itu malah ganti ngomelin gue.
"Kok lo nggak belain Meru, sih? Kan lo sepupunya!"
Gue melongo. Gue nggak mau ikutan, ah! Setelah gue dimusuhin temen-temen cowok, masa iya sekarang gue harus nyari masalah lagi? Belum lagi si Meru! Gue nggak tahu dari sudut mana keresahan dan juga kepanikannya itu. Meru frustrasi parah. Sekarang dia lagi dalam masa-masa moody parah.
Gue nggak pernah denger Meru bahas soal pernikahan sebelumnya, tapi kemaren sejak dia bilang mimpi digigit ular itulah dia jadi sakau soal pernikahan. Gue belum fokus ke pernikahan, tapi doa gue... gue bisa mendapatkan orang yang bisa sayang sama gue dan orang tua gue.
Keesokan harinya, Meru masih nggak ke kelas gue. Mungkin dia masih trauma. Meru balik nebeng gue ke sekolah, tapi dia nggak ke kelas gue pas istirahat kemaren. Dia sibuk sama dunianya sendiri mungkin. Bahkan dia nggak bahas soal nikah-nikahan lagi pas maen ke atas pohon rambutan semalam.
"Minggir, Yo! Minggir!" Gue menyenggol lengan Rio. Cowok itu lagi duduk di bangku gue dan ngobrol sama yang lain.
"Ah, Rama!" Rio melambai, lalu menggeser pantatnya.
"Lah? Lo cari bangku lain aja, lah! Gue mau nyontek PR, nih!"
Rio masih diam di tempat. Dia masih duduk di bangku gue, tapi duduknya agak menepi. Dia mau bagi-bagi bangku yang udah seupil itu. Duduk berdua, sempit-sempitan. Mana bokong gue rada seksi gini, mana muat, coba!
"Aku lagi pengen ngobrol sama yang lain, nih!"
Gue nggak suka alasan Rio yang ini. Peka, dong! Peka!
"Sana ambil bangku lain aja!" Gue mengusulkan. Rio menggeleng.
"Males balikin."
"Nyebelin, ah!" Gue mengalah. Gue yang pindah, ngerjain PR gue di bangku Rio. Dia menatap gue, lalu dia melangkah ke arah gue. "Apa?"
"Sana balik ke bangku lo! Nggak tega gue lihat lo manyun-manyun gitu!" Rio menjawil pipi gue. Gue cuek. Meski Rio jarang melecehkan gue macam cubit-cubit dan sejenisnya, tapi kadang Rio ini rada kurang waras.
"Males jalan." Gue pengen balas dendam. Rio nyengir ke arah gue. Sejak beberapa hari lalu dia udah merampas Meru dari gue, jadi gue lumayan bersyukur. Dia dan Meru jadi deket dan nggak musuhan.
Rio bahkan udah diajarin banyak hal sama Meru. Si Kutil itu mungkin berbakat jadi guru olahraga atau jadi pelatih olahraga tertentu. Dia juga pinter maen futsal. Lari juga jago. Kenceng, malah!
Rio menempeli gue lagi. Gue yang lagi nyontek PR kurang satu nomor akhirnya merengut. Dia nggak tahu orang lagi sibuk, apa? Kan di sebelah gue ada bangku kosong!
"Di sebelah kosong, kenapa lo malah nempel-nempel?" Gue risih. Rio menggeleng, lalu melingkarkan tangannya di pinggang gue.
"Ram..."
"Apaan?"
"Kenapa, ya meluk lo rasanya enak? Empuk dan juga wangi..." Rio kumat lagi. Di kelas ini, gue udah biasa dilecehkan. Gue nggak heran lagi dan mencoba buat ngak marah. Percuma, mereka malah seneng lihat gue ngomel-ngomel nggak jelas.
"Kalo lo gila, jangan sekarang! Gue kurang satu nomer lagi!" Gue mengeluh dan mencoba mendorong badan Rio.
"Kenapa, ya... tiap kali gue susah... lo yang selalu ada dan datang lebih dulu, Ram? Apa bener... apa bener..." Rio menatap gue. Gue masih sibuk nulis jawaban terakhir, yang lumayan menguras tenaga. Gue harus membuat garis lurus dan menulis angka-angka di garis X dan Y.
"Lo lagi kesurupan?" Gue cuek.
"Makasih, ya!" Rio berbisik. Gue menggeleng pelan. Kalau emang untuk berterima kasih, kayaknya nggak perlu segitunya. Gue cuma tipe orang yang gampang iba.
"Nggak usah segitunya, ah! Gue kan menghibur gitu doang..."
"Tapi itu berguna, Ram. Kalau lo nggak menghampiri gue waktu itu, mungkin gue nggak bakalan ada keberanian buat ngomong ke Meru. Berkat lo, gue berani nyamperin Meru dan bilang gue pengen diajarin maen basket."
"Ah, jadi Meru mau bantuin karena lo minta sendiri?"
Rio mengangguk. Gue tersenyum dan balik nulis lagi. Kepala Rio masih nempel ke punggung gue. Gue cuek. Temen-temen gue juga cuek. Mereka bahkan lebih biadab biasanya kalau lagi ngisengin gue. Kalau Rio sih masih jaim soalnya!
"Mas Bro?" Meru nongol di depan gue. Mulutnya melongo. Ada seplastik es teh di tangannya. Kalau ada begituan, temen-temen sekelas gue pasti sakau. Dalam beberapa detik, pasti es teh itu bakalan raib.
"Ah, Meru!" Rio melambai, tapi tangan sebelahnya masih memeluk pinggang gue. Bangku yang ukurannya cukup untuk sepasang bokong itu harus rela diberi sepasang bokong lagi, meski separuhnya agak nggak nyaman.
"Kok kalian kayak gitu?" Meru menatap kami dengan tatapan kosong. Tubuh pendeknya kaku.
Kenapa lagi anak ini?
"Iya, numpang ngerjain PR." Gue beralasan.
"Kan bangku Mas Bro ada di sana!" Meru menunjuk bangku gue yang kosong. Gue menoleh ke arah Rio, sedikit melotot karena tingkahnya yang nggak beralasan itu. Meru menatap gue tajam.
"Iya, tadi dia duduk di sana, lalu gue pindah ke sini. Trus dia malah ikutan pindah lagi," jawab gue.
"Lalu kenapa Mas Bro nggak balik ke bangku Mas Bro sendiri?" Meru bertanya pelan.
"Gue males jalan, udah keburu nempel di sini." Gue menunduk, lalu mulai menulis jawaban yang gue sontek seenaknya.
Meru menggeleng kencang. Panggilan ceria dari cewek-cewek dia abaikan, lalu dia berbalik dan pergi. Mungkin dia balik ke kelasnya, takut es tehnya diembat para cowok kehausan di kelas. Gue nggak mau tahu karena PR gue belum selesai. Barulah gue sadar kalau tadi ekspresi Meru nggak enak lagi.
Dia kok kayak gitu, sih? Seringnya marah-marah dan ngambek kayak anak kecil! Capek gue lama-lama sama dia! Terserah, lah! Terserah! Kayaknya sidang pohon rambutan harus dilaksanakan lagi!
Malam tiba. Setelah azan maghrib, gue dan Meru balik duduk di atas pohon. Meru diem aja, nggak mau ngomong apa pun. Gue menatap Meru, mengerjap untuk yang kesekian kalinya. Gue nggak tahu kenapa auranya buruk begitu!
"Tadi kenapa lo nyariin gue ke kelas?"
"Mau beri es teh."
"Kok nggak jadi?"
"Nggak jadi. Mas Bro lagi sibuk."
"Padahal tadi temen-temen nanyain lo. Mereka masih pengen bahas soal nikah-nikah gitu sama lo."
Meru merengut. "Aku udah takut bahas nikah, Mas Bro."
Gue mendongak, separuh nanya dengan tatapan. Kok malah takut? Apa dia masih trauma karena ucapan temen-temen gue?
"Kenapa takut?"
"Kayaknya yang temen-temen Mas Bro bilang bener, deh! Aku nggak bakalan bisa nikah, Mas Bro."
Kok malah percaya? Kok segampang itu? Kan mereka cuma iseng! Bahkan mereka juga udah ngakak-ngakak. Masa Meru nggak bisa lihat kebohongan mereka?
"Jodoh di tangan Tuhan, Ru!"
"Tapi kayaknya bener, Mas Bro! Aku hanya berharap pada sesuatu yang nggak mungkin." Meru menunduk. Gue nggak mau bahas hal sensitif kayak gini, jadi gue mencoba mencari topik lain yang lebih gampang dan bahagia.
"Trus kenapa lo tadi nggak jadi masuk? Biasanya meski gue sibuk, lo tetep nyamperin gue. Bahkan lo gangguin gue terus, nggak peduli gue sibuk atau nggak."
Meru menghela napas. Kayaknya dia lagi banyak masalah. Masalah pertamanya mungkin soal nikah-nikahan, tapi masalah kedua dan yang lain gue nggak tahu. Dia aja belum bilang apa pun! Curhat aja udah nggak. Dulu tiap kali ada masalah dia selalu curhat. Bahkan meski dia nggak sengaja nginjak kecoa sampe penyet aja dia cerita. Sekarang? Nggak.
Apa ini gara-gara puber?
"Mas Bro..." Meru menatap gue tajam. Suaranya lembut meski gitu. Dia pengen nangis kayaknya. Matanya berkaca-kaca.
"Ada apa?"
"Mas Bro dan Mas Rio ada hubungan apa?"
Tanpa ragu, gue menjawab, "Temen, lah!"
"Kok peluk-peluk gitu? Kok nempel-nempel sampe segitunya?" Meru mungkin belum tahu gimana gilanya mereka!
Gue mengangguk. "Lo bakalan sumpek kalo lihat mereka tiap hari, Ru. Tingkah mereka ke gue nggak pernah bener." Gue curhat.
"Mereka ngapain aja?"
Gue mengembuskan napas dan balas ngikik. "Kadang meluk, kadang ngelus bokong gue, kadang juga nyium pipi gue. Yang paling gue benci sih mereka mengatasnamakan diri mereka Shinta. Masalahnya, cowok doang yang gila gitu ke gue, Ru! Coba kalau cewek!"
"Mas Bro seneng digituin?"
Gue menggeleng. "Nggak, sih! Risih!"
Meru menatap gue, lalu jemarinya terulur. Gue bingung. Dia meraih jemari gue, lalu menatap gue dalem. Gue bingung apa yang pengen Meru lakukan. Meru duduk di samping gue, lalu menangkup kedua pipi gue.
"Mas Bro... apa pun yang terjadi, jangan pernah tergoda sama mereka!"
Gue melotot. Dengan kekuatan yang kelewat nggak santai, gue merengut. "Iya, lah! Gue juga masih normal!"
"Mas Bro jangan nempel-nempel sama orang lain lagi!" Meru menatap gue sekali lagi. Gue mengangguk cepat. Meru bikin gue bingung, ditambah lagi tangannya masih setia di pipi gue.
"Iya, gue nggak nempel. Mereka yang nempelin gue."
"Mas Bro... tahu, kan kalau aku sayang sama Mas Bro?" Meru menatap gue. Di rumah Meru, semua orang gamblang ngomong sayang. Misalnya Mama yang sering pake kata 'Sayang' buat nyapa gue. "Mama mana, Sayang?" gitu...
Lalu Papa juga baik banget ke gue. Selalu meluk gue tiap gue datang, lalu muji-muji gue. Dan anak pertama mereka juga kayaknya sama. Meru selalu bilang sayang ke orang yang emang dia sayangi. Meru segede itu juga masih dicium tiap mau berangkat sekolah sama Mama. Gue? Malu, lah!
"Eh, Ru..." Gue mencoba melepaskan pipi gue. Meru melepaskan tangannya dan merengut. "Sekarang lo harus jujur sama gue!"
"Apa?"
"Apa cuma perasaan gue doang, nih? Kayaknya tinggi lo nambah mulu dari hari ke hari!" Gue memperhatikan kaki Meru yang jadi makin panjang daripada sebelumnya. Bulan kemaren kakinya masih bisa goyang-goyang dan nempel ke lutut gue, tapi sekarang kakinya hampir sampai di kaki gue. Meru mengangguk cepat, kelewat semangat.
"Kan aku udah bilang, Mas Bro. Pas puber, pertumbuhanku kilat. Sebulan lagi mungkin aku udah lebih tinggi dari Mas Bro." Meru bangga. Gue merinding. Dulu Meru masih pendek. Tubuhnya nggak lebih tinggi dari bahu gue. Tangan gue sering nyubit pipinya, atau jitak ubun-ubunnya kalau lagi bete. Sekarang... dia udah hampir menyamai gue. dia udah setinggi kuping gue! Bayangin aja kalau sebulan lagi dia setinggi apa!
"Badan lo juga jadi lebih gede."
Meru shock. Dengan tatapan tersakiti dan terluka, dia menatap gue lagi, dengan tajam.
"Mas Bro..." bisiknya. "Kenapa kegalauanku numpuk, ya? Setelah mimpi indahku gagal, lalu badanku yang makin gede, juga... orang yang aku suka digodain orang lain!"
TBC
Aku belom sempat bales komeng2 di sebelah... Maapin akuuuhh...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top