Sembilan Belas : Pertarungan Panjang Dimulai

Gue capek. Meru dan keposesifannya adalah sesuatu yang nggak bisa diterima oleh akal sehat gue. Meru mungkin berpikir tingkahnya wajar, mungkin, ya... karena - pengakuan dan juga perspektifnya tentang cinta yang kayak gitu wajar menurut dia - sementara gue nggak ngerti dan nggak paham apa yang harus gue lakukan menghadapi Meru. Awalnya gue ngira dia kayak gitu karena efek puber, tapi ternyata gue salah. Meru udah kayak gitu sejak dulu. Gue udah baca semua pengakuannya, bahkan yang paling lama hingga yang terbaru saat itu.

Semuanya tentang gue. Tentang orang yang dia sebut Rambutan, tentang orang yang selalu dia tempelin ke mana pun! Kelak, kalau Meru udah sadar tingkahnya mengganggu, gue harap dia pergi dan mencari kehidupan lain yang lebih baik. Dia juga punya cerita sendiri dibanding buntuti gue.

"Lo ngapain lagi?" Gue jengah. Si Kutil sampai lagi di kamar gue. Hobinya mulai aneh sekarang. Dia mulai seneng meriksa-meriksa banyak hal, bahkan meski nggak gue minta!

Selain itu, dia juga jadi lebih terbuka tentang keposesifannya, kayak dia yang nggak suka sama Rio karena Rio hobi megang bokong gue sekarang, atau nggak suka sama Gito yang hobi ngajakin bolos, atau benci sama Satrio yang sering ngajakin gue ke kantin cuma buat minta traktiran dan bodohnya gue mau-mau aja meski tahu lagi kere, dan semua hal yang ada di sekitar gue selalu Meru benci.

"Aku mau nginep lagi malam ini!"

Kalau dia ngomong kayak gitu beberapa tahun silam, pas gue dan dia masih belum lurus kencingnya, dan sebelum gue paham tentang fungsi sabun selain buat mandi, mungkin gue bakalan mikir Meru ngajakin begadang dan ngakak-ngakak sampe pagi. Tapi sekarang... semuanya beda!

Kegiatan apa yang bikin kami begadang? Dulu ada. Sok kemah-kemahan, lalu matiin lampu kamar dan pura-pura maen wayang dari potongan kertas ataupun tangan kami. Sekarang?

Masa iya gue ngajakin Meru main begituan?

"Kan besok lo harus berangkat pagi!" Gue mencoba menghindar. Akhir-akhir ini dia juga punya hobi baru. Buntutin gue. Padahal lo semua pasti tahu kalau tiap orang pasti butuh waktu sendiri. Butuh waktu buat introspeksi apa yang udah dia lakukan selama ini, butuh waktu buat istirahat dan nggak mikirin hal-hal duniawi!

Tapi karena Meru, gue nggak bisa kayak gitu! Lagak sok damai dan tenang ala gue hancur dan berantakan karena keposesifan si Kutil!

"Aku bisa bangun pagi kalau ada Mas Bro!" Meru menatap mata gue. "Bahkan bisa begadang karena memandangi wajah Mas Bro semalaman..."

Perasaan gue nggak enak. Gue nggak pernah mikir sampai ke sana. Gue kira dulu Meru tidur beneran pas nginep, tapi ternyata nggak! Dia nggak pernah tidur. Pura-pura tidur seringnya!

"Lo bikin gue merinding, Ru!" Gue berbisik pelan. "Kalau dulu lo ngomong gini, mungkin gue bisa anggap itu cuma omongan bercandaan doang ala lo. Tapi sekarang... gue nggak bisa mikir kayak gitu lagi. Lo..." Gue menarik napas. "Gue tahu perasaan lo sama gue."

Meru mengangguk. "Dan aku nggak bakalan kabur lagi sekarang!"

Gue merasa semuanya jadi makin aneh! Gue nggak bisa mengartikan semua rasa posesif Meru ini. Dia naksir gue dalam artian yang berbeda, dan gue tahu itu. Masalahnya, gue nggak yakin Meru bakalan membiarkan gue yang bergerak ataupun berkuasa! Maksud gue... maksud gue... yah, lo tahu sendiri, kan? Dalam sebuah hubungan, pasti ada yang lebih dominan. Apalagi dalam sebuah kisah terlarang. Gue... gue udah googling karena telanjur penasaran.

Lo tahu apa? Gue menemukan sebuah kesimpulan dari semua yang gue lihat. Dalam hubungan gay atau sejenis ini, biasanya yang lebih manis atau unyu jadi bawahan. Mereka yang disayang-sayang, lalu diperlakukan layaknya cewek. Iya, yang kayak Meru emang harus jadi ceweknya! Gue jadi cowoknya, lah!

Maka, dengan pemikiran nista itu, gue mencoba menginterogasi si Kutil ini sekarang!

"Ru, duduk!" ucap gue pelan. Meru yang awalnya muter-muter nggak jelas akhirnya nurut. Dia duduk di depan gue.

"Iya, Mas Bro?" tanyanya manis. Nah, kan! Dia itu berbakat jadi yang cewek!

"Gue mau ngomong penting. Gue tahu lo dari kecil. Dan sekarang gue tahu orientasi lo ke cowok..."

Meru menggeleng kencang, nggak terima.

"Nggak, nggak!" katanya. "Aku nggak suka sama cowok. Aku sukanya sama Mas Bro! Aku sayang sama Mas Bro seorang! Mas Bro itu sempurna di mataku! Bisa jadi ibu, jadi kakak, jadi adik, jadi ayah, bahkan jadi kekasih. Karena aku nggak mau kehilangan sosok yang udah lengkap itu, aku maunya cuma sama Mas Bro!"

Gue mendadak pening.

"Dengerin gue dulu!" Gue mencubit pipinya kesal. Meru mengaduh dan mengusap pipi gembil itu. Tapi rasanya aneh! Nggak seempuk dulu! Nggak segembil dulu!

"Iya, Mas Bro!"

"Gue nggak tahu kenapa lo ngotot banget sama hubungan kayak gini! Lo dan gue sama-sama cowok, Ru! Lo tahu, kan kalau dua orang cowok itu nggak bisa bersatu dan memberi predikat selamanya kayak di cerita-cerita princess. Lo dan gue tercipta untuk saling menusuk cewek."

Meru menggeleng. "Emang cinta kenal sama jenis kelamin, Mas Bro?"

"Ru..." Gue mencoba menjelaskan dari sudut pandang yang umum lebih dulu. "Lo nggak takut sama hujatan orang? Nggak takut sama rasa kecewa Mama dan Bunda?"

Meru menggeleng. "Takut! Tapi aku lebih takut kehilangan Mas Bro! Kalau Mas Bro nggak ada, hatiku sakit dan nyawaku seolah melayang-layang dan tersesat. Aku kayak gentayangan, Mas Bro!"

Gue nggak bisa mengajak Meru bicara dengan bahasa yang dingin lagi. Gue menarik rambutnya kencang, lalu melotot. "Segitu pengennya lo digagahi sama gue?! Ditusuk gitu sakit kayaknya, tahu!"

Meru menggeleng. "Aku yang bagian menggagahi!"

Gue melongo. Shock. Kok malah gue yang jadi korban? Salah gue apa? Gue nggak tahu apa yang harus gue lakukan selain kaget. Kok malah gue yang jadi ceweknya? Gue kan cowok, mana mau gue nungging dan ditusuk si Kutil!

"Gue lebih macho daripada lo!" Gue membela diri. Meru berdiri lalu menunjukkan otot-otot perutnya.

"Kata siapa?" tanyanya puas. Gue menunduk minder.

"Ah, lo lebih unyu daripada gue!" Gue masih mencoba mencari jawaban. Meru menggeleng.

"Itu bukan alasan!"

"Tapi kan... kan... di video-video youtube gitu!"

Meru menggeleng. "Itu bukan jaminan. Aku lebih perkasa di ranjang!"

Gue mingkem. Bayangan tentang kejadian beberapa waktu lalu kembali mengingatkan gue kalau Meru emang lumayan... ganas di ranjang. Dia bukan tipe menye-menye penerima, tapi dia adalah kaum penyerang. Kalau dalam hierarki setan, dia itu iblisnya!

"Kenapa lo jadi bahas ranjang?" Gue terusik. Meru menelan ludah gugup.

"Tiap kali lihat Mas Bro aku selalu jadi mikir kotor! Aku nggak bisa mikir sehat. Aku nggak mau kayak gini, Mas Bro! Ini nyiksa di aku, tapi aku nggak mau perasaan ini hilang!" Meru menggerutu. Gue nggak bisa apa-apa lagi.

Meru mendekat, lalu mengecup bibir gue sekilas. Gue makin nggak bisa mikir apa-apa. Meru mengerjap beberapa kali, lalu dia mendekatkan bibirnya lagi. Dia melumat bibir gue ganas. Gue terpojok. Gue telentang di bawah, dengan Meru yang menindih badan gue, lalu melumat bibir gue dengan ahli. Dia belajar dari mana?

Bahkan jemarinya udah mulai bergerilya. Gue hampir menjerit kalau nggak ingat lokasi. Gue bisa teriak kenceng minta tolong Bunda, tapi gue yakin Meru lebih ahli membalik keadaan seolah gue adalah pemeran antagonis!

Meru melepaskan ciumannya setelah itu dan menatap gue lembut. "Aku bakalan nunggu! Selama apa pun, aku bakalan nunggu Mas Bro membalas cintaku!"

Dan si Kutil pergi setelah itu, membuat gue berpikir dicampakkan setelah dinikmati! Bro, ayolah! Lo bukan perawan yang direnggut mahkotanya oleh si Kutil! Lo itu cowok, dan anggap aja itu bukan ciuman!

Otak gue mulai menyimpan beban tersendiri. Gue nggak bisa berpikir jernih. Karena itulah, gue mencoba menenangkan diri. Sehabis maghrib, gue kabur. Gue keluar nggak pamit siapa pun. Juga nggak pamit ke Meru.

Gue pengen mencari jawaban atas apa yang berkecamuk di dalam otak gue. Gue nggak benci Meru. Gue sayang Meru. Meski kelakuannya udah nggak lazim, tapi gue tetep nggak bisa lepasin dia! Benci dia aja nggak! Gue menerima Meru satu paket, dengan tingkah dan juga perasaannya!

Gue keluyuran nggak jelas dan balik menjelang tengah malam. Gue siap diomeli Bunda. Bunda udah mengirimi gue SMS dan juga ancaman yang sangat menakutkan. Kalau gue nggak balik, nama gue mau dicoret dari kartu keluarga. Itu katanya.

Makanya, sekarang gue ada di sini!

Pulang. Balik. Dan... di depan Meru! Sialan, sejak kapan dia ada di sini?

"Baru balik?" tanyanya sarkas. Gue menelan ludah.

"Iya." Dan gue menjawab gugup.

"Dari mana aja?"

"Eng... kerja kelompok."

"Nggak perlu dusta! Mas Bro dari keluyuran nggak jelas, kan? Bahkan Mas Bro nyoba ngerokok!"

Sialan, gue ketahuan! Gimana dia bisa tahu?

"Lo... tahu dari mana?"

"Aku buntutin Mas Bro!" katanya tajam. Gue menelan ludah. Gue ketahuan bohong karena ternyata dia buntutin gue. Meru marah.

"Ru..." Gue mencoba merayu. Kalau Meru sampai bocor, bisa-bisa gue dihabisi Bunda! Gue bukan perokok, tapi terkadang gue pengen ngerokok pas lagi stress berat.

Cuma itu yang bisa gue lakukan.

"Mas Bro janji nggak bakalan ngerokok lagi!" Meru menuntut. Gue menelan ludah gugup. Gue terpaksa.

"Gue..."

"Mas Bro... apa aku semenjijikkan itu di mata Mas Bro sampai Mas Bro melakukan sesuatu yang buruk ke diri Mas Bro cuma buat menghilangkan stress?" Meru menuntut. Gue menelan ludah.

"Nggak gitu, Ru!"

"Lalu apa?"

"Jangan marah, ya! Gue cuma..." Sial, gue nggak tahu harus ngomong gimana sama si Kutil! Apa yang harus gue jawab sekarang?

"Mas Bro pembohong!"

Gue diem. Gue dengarkan apa pun tuntutan dia. Kalau dia mau lapor Bunda gue ngerokok, gue pasrah! Gue udah biasa diomelin!

Gue nggak bisa merayu Meru sekarang. Mau melucu juga bakalan garing. Meru tetep dingin. Meru nggak terlihat berminat. Dia balik ke rumahnya sendiri. Gue terpaku. Dia beneran marah. Dan juga salah paham! Lalu apa yang harus gue lakukan?

***

Meru beneran marah. Bahkan sampai keesokan harinya, dia nggak nongol di rumah gue. Dia menghilang. Yang paling panik tentu aja dua ibu-ibu itu. Mama nanya ke gue. Gue bilang nggak tahu. Kemaren aja gue panik karena ketahuan bohong, lalu mencoba merayu tapi gagal. Gue nggak bisa balikin Meru!

Sekarang Meru menghilang. Bukan menghilang sungguhan, sih! Mungkin dia punya tugas kelompok. Sejak tadi pagi dia udah bawa motor. Dia bawa motor Papa, katanya ada tugas kelompok di rumah temennya. Dia mulai menunjukkan siapa dirinya yang asli! Dia yang bisa nyeberang dan juga naik motor cowok!

Karena itulah... Mama panik. Ini pertama kalinya Meru bawa motor ke sekolah. Katanya. Mama nggak tahu aja kalau dia juga sering naik motor! Ketika dihubungi pun nggak bisa. Gue curiga. Gue mencoba membantu Mama mencari keberadaan si Meru. Gue juga ikutan panik. Awalnya gue santai dan mengira Meru lagi kerja kelompok, tapi lama-kelamaan gue nggak bisa tenang.

Gue mencoba mencari keberadaan Meru di sekolah, tapi sekolah udah tutup. Lalu gue mencoba mencari Meru di tempat lain. Meru nggak pernah punya tempat tongkrongan kayak gue. Ah, atau gue aja yang nggak tahu? Gue mencoba mencari sebisa mungkin, sampai akhirnya kepanikan yang gue rasakan berubah menjadi emosi yang nggak bisa dibendung lagi! Gue marah!

Meru nggak langsung pulang bukan karena masih kerja kelompok. Dia nggak pulang karena masih nongkrong bareng temen-temen entah dari mana. Mereka bukan dari sekolah gue. Gue hafal temen Meru. Dan yang paling bikin emosi adalah... Meru ngerokok!

Kalau dia masih dalam tahap belajar, mungkin dia masih batuk-batuk dan kaku. Tapi nyatanya... Meru terlihat ahli! Dia terlihat udah biasa megang batangan itu, jauh lebih jago dibanding gue yang udah ngerokok beberapa kali ini!

"Ru..." Gue memanggil pelan. Meru yang gue kira bakalan shock karena kepergok ngerokok ternyata nggak melakukan itu. Dia melempar rokoknya, lalu menginjak rokok itu. Gue melongo. Dia nggak terlihat bersalah ataupun takut. Dia malah melangkah ke arah gue, lalu mengulurkan sebungkus.

"Mau?" tanyanya.

Ini adalah masa paling memuakkan dalam hidup gue. Gue muak sama cowok ini! Gue nggak bisa berpikir sehat ataupun berpikir buat bawa Meru balik. Semua kepanikan yang gue rasakan mendadak sirna. Gue muak, bener-bener muak.

Gue nggak merespon ucapan Meru. Gue menghela napas, lalu gue berbalik. Gue nggak mau lagi kayak gini! Gue nggak mau lagi ngurusin Meru dan juga kehidupannya yang menyebalkan! Kalau Meru bisa marah, gue juga bisa! Sekarang mau apa si Kutil ini? Dia dendam karena gue ngerokok?

Oke, gue juga bisa menutup mata atas apa yang dia lakukan! Gue udah nggak mau lagi ngurusin Biji Kecapi ini lagi!

Apa pun yang terjadi, gue nggak akan pernah peduli lagi!

Gue pulang tanpa kata. Mungkin lebih baik bertingkah baik-baik aja dan cuek dengan perubahan Meru. Gue nggak mau baper karena ini! Gue nggak bisa sok lembut kalau emang nggak ada yang bisa dilembutin. Meru yang dulu udah menghilang, berganti dengan Meru yang kurang ajar! Meru yang entah kenapa di mata gue jadi... jadi...

Ah, gue nggak mau ketemu dia lagi!

"Sekarang Meru udah bawa motor sendiri, tuh! Jadi dia nggak bakalan nebeng kamu lagi, Bromo!" Bunda mengadu pagi-pagi. Gue hanya menggumam asal, mengatakan iya seperlunya.

"Hm..."

"Masa kemaren tuh... gara-gara Meru bawa motor, dia malah nggak balik-balik. Padahal kalau nebeng kamu kan dia bisa jelas keluar sama siapa, ke mana..."

"Hm..."

"Bunda udah bilang ke mamamu itu, jangan boleh Meru bawa motor! Dia masih belum cukup mampu buat bawa motor!"

Bunda nggak tahu aja kalau si Kutil udah bisa bawa motor gede dengan kaki pendeknya yang memanjang itu!

"Ya biarin, lah, Bunda! Artinya Meru udah gede dan nggak selamanya kami harus bareng kalau mau ke mana-mana..." Gue membela diri.

"Tapi kan bahaya, Bromo."

Gue nggak mau ngomong apa-apa lagi. Gue udah cukup diomeli dan diadili Meru. Gue nggak bisa melakukan hal serupa ke cowok kutil itu. Jadi, cara yang paling pas kalau gue muak adalah dengan diam. Mendiamkan Meru entah sampai kapan.

Bisa tiga hari, seminggu, sebulan, setahun...

Kemarahan gue kali ini nggak main-main. Gue nggak bisa mempertanyakan sudut kewarasan Meru yang melarang gue dan mengadili gue tapi nyatanya dia juga ngelakuin itu! Gue beneran nggak sanggup mikir sampai jauh ke sana!

Gue berangkat ke sekolah seperti biasanya. Kali ini nggak telat lagi meski gue harus mampir sebentar buat beli cemilan di minimarket. Begitu gue sampai di parkiran, Meru juga sampai di sana. Dia menatap gue, sementara gue yang udah muak hanya bisa berbalik dan cuek. Dan sialnya, dia mengikuti gue. Gue berhenti mendadak dan menoleh. Gue nggak nanya apa-apa.

"Aku mau ngomong!" katanya. Gue berbalik cuek. Nggak peduli. Meru mengejar gue, menarik lengan gue kencang. Sejak kapan tenaganya segede ini? Setahu gue, yang dia bisa - dulu - hanya gigit dan cubit!

"Ngomong aja! Gue males dengerin lo!"

"Mas Bro marah?"

Pertanyaan retorik itu nggak pelu gue denger! Dari jauh pun udah kelihatan kalau gue marah. Sangat marah. Gue bisa teriak karena nggak terima ke dia, tapi masalahnya kemarahan gue nggak sesederhana itu!

Gue menatap Meru datar, lalu berniat pergi lagi. Tapi sayangnya Meru nggak mau melepaskan gue.

"Kalau Mas Bro marah, bilang aja! Marah aja! Aku mau dengerin!" katanya. Dia teriak-teriak marah. Gue nggak bisa kayak gini lagi. Gue menatap wajahnya, lalu menunjuk dahinya.

"Lo..." Dan ucapan gue tertelan lagi.

"Mas Bro marah karena aku ngerokok? Mas Bro marah aja! Hujat aku sepuasmu! Marahi aku, Mas Bro!" Dia merepet. Gue mengembuskan napas, lalu menggeleng lemah.

"Gue nggak bisa."

Meru mengerjap. "Kenapa?"

"Gue nggak mau."

"Kenapa nggak mau?"

"Lo udah gede. Lo tahu mana yang salah dan bener. Nggak selamanya gue bisa ngawasin dan ngatur lo. Lo punya kehidupan sendiri yang seharunya nggak perlu gue campuri. Karena itulah... semua yang lo lakuin murni hak lo, urusan lo sama diri lo sendiri..."

Nggak ada gunanya gue ngomel dan mengadili Meru. Nggak ada gunanya! Bahkan gue yang sekarang harusnya ngalah dan lebih dewasa lagi. Gue nggak mau berantem ala anak kecil lagi. Udah capek gue!

"Kenapa? Kenapa Mas Bro nggak mau marah? Kenapa Mas Bro nggak mau ngomel karena lihat aku keluyuran dan juga ngerokok?!" Dia marah. Gue menggeleng pelan.

"Gue udah capek sama lo."

Wajah Meru memerah. Dia mendekat ke arah gue, mencengkeram kedua bahu gue kencang. Matanya berkilat, napasnya memburu. Gue tahu ada emosi besar yang sedang menghinggapi Meru, lebih besar daripada yang biasanya.

"Mas Bro nggak marah, artinya udah nggak peduli lagi sama aku!" katanya tercekat. Gue mengangguk pasrah, mengiyakan.

"Nggak selamanya juga gue peduliin lo!"

Meru menatap wajah gue sombong. Meski gue melihat ada emosi yang hampir meledak, tapi gue mencoba buat nggak bersikap baper. Dengan napas masih memburu, Meru berkata kencang ke arah gue. "Oke kalau itu mau Mas Bro! Aku bakalan ngelupain Mas Bro!"

Ada rasa kehilangan sesaat, tapi gue rasa itu hanya perasaan sementara. Gue mungkin merasa itu hanya sebuah efek karena Meru nggak pernah ngomong gini sebelumnya ke gue. Mungkin gue jadi sakit hati karena menganggap Meru bakal melupakan gue.

"Oke, gue juga nggak mau lo peduliin!" Dan hati gue beneran ngerasain sakit pas ngomong kayak gitu!

Kami tumbuh bareng sejak kecil, selama sekian tahun. Dia tahu jelek-jeleknya gue, dia tahu sifat-sifat gue, bahkan dia tahu apa yang gue benci dan gue sukai. Dia tahu segalanya tentang gue. Lalu setelah itu... dia bilang dia nggak bakalan pernah peduliin gue lagi! Gimana sakitnya kalau lo jadi gue?

Hati gue panas. Gue nggak bisa berpikir rasional. Awalnya gue mencoba ngalah, tapi ternyata gue yang kalah. Gue nggak bisa berpikir sehat lagi! Lalu dengan pikiran sombong, gue menatap wajah Meru sekali lagi.

"Gue udah muak sama lo, Ru!"

"Mas Bro buang aku?"

Itu pertanyaan paling nyakitin yang pernah gue denger.

"Oke, aku bakalan melupakan Mas Bro! Aku bakalan buktiin kalau aku bisa!" katanya lagi. Gue mengangguk mengiyakan.

"Coba aja kalau lo bisa!" tantang gue.

"Aku bisa! Dan kalau emang terbukti aku bisa, Mas Bro harus melakukan apa yang aku mau!"

Lah, apa lagi ini?!

"Kenapa gue harus setuju sama permintaan dan permainan kekanakan ini?"

"Aku juga bakal ngabulin permintaan Mas Bro kalau aku gagal!"

Boleh juga...! Tapi... gue nggak ada waktu buat main beginian! Gue nggak mau jadi kekanakan! Gue juga punya urusan yang lebih penting daripada nurutin perjanjian absurd dan nggak jelas ini!

"Kenapa gue harus mau?" tanya gue sekali lagi.

"Mas Bro takut?"

Gue nggak suka diremehkan, dan Meru tahu itu. Dia menggunakan sifat gue yang itu buat menjatuhkan prinsip gue. Dan selamat, dia berhasil! Gue menghela napas berat dan berbisik, "Seminggu!"

Artinya, gue harus memberi kesempatan Meru buat melupakan gue selama seminggu! Gue juga harus mencoba untuk bangkit dan nggak terganggu dengan urusan ini!

TBC

Tinggal satu chap lagi ini...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top