Lima: Bromo Kurang Piknik

Gue kurang piknik. Gue merasa aneh akhir-akhir ini. Gue merasa kepikiran nggak jelas. Padahal yang gue pikirin juga santai-santai aja. Mungkin gue masih kepikiran kenapa puber Meru kayak gini. Dulu pas gue masih di awal puber, Bunda selalu marah-marah. Gue selalu pengen memberontak, padahal nggak ada hal yang membuat gue kesal waktu itu. Gue cuma pengen coba-coba. Sekarang pun gitu. Terkadang gue pengen tahu, lalu berakhir di tempat yang menurut gue masih asing. Kayak seminggu lalu, gue kepo gimana rasanya ngerokok. Gue nyoba. Pas enak-enak menghisap batangan berasap dan sok merem-merem meski rasanya aneh, tiba-tiba seseorang nongol dan menunjuk muka gue.

Kalian pasti tahu siapa orangnya meski nggak gue sebut namanya!

Dengan gaya sok galak, Meru berkacak pinggang. Matanya melotot, mulutnya manyun-manyun, lalu dengan gerakan sok menggurui, dia menunjuk gue.

"Hayo! Ketahuan ngerokok! Nanti aku laporin Bunda, lho!" katanya. Gue panik, tapi gue berhasil merayu dia biar dia nggak lapor. Gue janji nggak kayak gitu lagi. Emang beneran nggak kayak gitu lagi, sih! Soalnya Meru selalu mendekat ke arah gue, lalu mengendus mulut gue. Kalau nggak ada bau rokok, Meru percaya. Kalau ada bau asap-asap meski gue baru aja makan sate, dia selalu protes dan ngomel.

Dulu pas Mama hamil dia, mungkin ngidamnya tokek goreng! Makanya dia rada bawel dan juga nyebelin!

Sekarang gue lagi hobi mengingat masa lalu. Gue kurang piknik. Gue pengen banget liburan. Gue kepikiran banyak hal sekarang. Yang paling viral saat ini adalah... siapa orang yang Meru taksir di ekskul pramuka? Apa dia cantik? Unyu? Atau jangan-jangan...

Gue mondar-mandir nggak jelas. Penasaran banget gue! Kenapa Meru super rapet merahasiakan hal ini, bahkan sampe marah-marah pas gue tanyain. Kalau gue nggak salah prediksi, mungkin Meru malu. Bisa aja dia malu karena... karena... karena...

Cewek yang dia taksir lebih tinggi!

Pasti! Nggak ada lagi yang bisa jadi alasan kenapa dia jadi sensi gitu kalau ditanyain masalah orang yang ditaksir. Apa dia takut gue godain dan gue bully? Emang manusia itu jadi berubah dan super tinggi harga dirinya kalau menyangkut cinta!

Halah!

"Kok Meru nggak ke sini, sih? Bunda kan habis bikin kue." Bunda merengut. Gue yang lagi sibuk nonton TV hanya menoleh. Kok malah nyariin si Meru? Kan gue anaknya! Gue juga nggak bakalan nolak kalau disuruh ngabisin kue.

"Lagi ngerjain PR, kali, Bunda." Gue menjawab cuek. Bunda melangkah ke arah gue, lalu menatap gue tajam.

"Kalian lagi berantem, ya?"

Gue bangkit spontan dan menggeleng. Emang gue dan dia nggak lagi berantem, kok! Dia aja yang lagi bete. Kalau gue nggak, lah! Kan gue kepo doang, nggak lagi pengen berantem sama dia.

"Trus, kenapa Meru nggak datang?"

Gue bingung harus jawab apa. Lalu dengan jawaban penuh percaya diri, gue mencoba memberikan saran buat Bunda. "Telepon aja, Bunda. Ntar dia juga bakalan datang kalau Bunda bilang kue."

Bunda merengut, lalu melakukan apa yang gue saranin. Gue balik ke kamar buat tidur. Sekarang ini lebih baik gue menghindar dulu dari Meru. Kalau lagi bete, dia rada rusuh dan jahil. Makanya, gue lebih memilih tidur. Setelah itu, gue denger tawa Bunda dan Meru dari ruang tengah. Mereka lagi ngobrolin anak tetangga!

***

Ekskul pramuka udah mulai aktif sejak siswa baru daftar. Meru ada di antara mereka. Gue sebagai senior juga ikutan. Kali ini Meru lagi sibuk memperkenalkan diri. Gue diem aja. Tiap kali dia ngomong, temen-temennya teriak seneng. Kakak angkatan dan juga temen-temen gue seneng banget. Katanya si Meru imut banget!

Gue menggeleng pelan. Sekarang fokus gue bukan ke sana. Gue fokus ke salah satu cewek yang dari tadi lihatin Meru. Udah gitu, dia selalu senyum tiap kali menatap Meru. Malu-malu, lagi! Meru yang lagi diperhatikan rupanya nggak peka. Meru sesekali menatap gue dan merengut ogah.

Lah? Salah gue apa?

"Nah, buat perkenalan, kita main games, yuk! Games ini disebut 'Mari, Bung Rebut Kembali!'. Nah, peraturannya gampang! Ayo, Kak Bromo, coba jelasin!" Fira, salah satu temen gue akhirnya menjadikan gue sasaran. Adek-adek kelas semuanya teriak seneng. Gue melangkah sambil nyengir. Mereka bertepuk tangan bahagia.

Inilah pesona yang nggak ada matinya!

Gue bangga sama diri gue sendiri! Gue melangkah cepat, maju dan mulai menjelaskan cara mainnya.

"Begini... kalau gue... eh, kalau Kakak ngomong, 'Rebut... Lima!' kalian harus bikin lingkaran dengan anggota lima orang. Kalau Kakak bilang, "Rebut Tujuh satu pake gelang!' artinya kalian harus bikin lingkaran dengan anggota tujuh orang dan satu orang di antaranya harus ada yang pake gelang. Bisa?"

Mereka semua semangat. Gue nyengir seneng. Antusiasme mereka bikin gue makin semangat. Pas gue noleh ke arah Meru, dia lagi merengut ke arah gue dengan nggak santai. Upil, ah!

"Oke, mulai, ya! Rebut... tiga satu pake jam!"

Semua barisan bubar, berganti dengan teriakan dan rebutan. Yang merasa pake jam tangan merasa dispesialkan, jadi rebutan antarsuku. Gue nyengir. Meru sering banget pake jam tangan, dan kali ini dia direbutin beberapa cewek. Gue ngakak dalam hati. Gue hanya beri waktu sepuluh detik. Kejam, ya, gue? Dulu gue selalu menang tiap main ginian. Soalnya gue tipe perebut peluang. Kadang gue rebut orang di grup laen. Emang gue kejam. Kejam nama tengah gue! Makasih, jangan sungkan kalau mau muji!

Karena hitungannya nggak komplit, dua orang kena eliminasi. Mereka diasingkan ke pinggir lapangan.

"Rebut... tujuh!"

Mereka mulai teriak-teriak lagi. Kali ini hanya satu orang yang terasingkan. Gue masih pengen bertingkah kejam.

"Rebut... dua! Cewek dan cowok!"

Mereka semua menjerit. Gue ngakak nggak keruan. Mereka panik. Karena jumlah cewek lebih banyak, maka para cowok merasa mirip raja. Mereka menepuk dada bangga. Gue dan senior lain ngakak-ngakak puas. Hingga mata gue terpaku ke satu pasangan. Meru dan juga... cewek yang sering gue pergokin senyum mulu ke arah Meru.

Ah! Jodoh emang nggak ke mana!

Itu akhir dari permainan gue. Pasangan yang udah terpilih ada lima orang, salah satunya Meru. Banyak yang kena hukuman. Hukuman mereka gampang, kok! Suruh bikin yel-yel dan juga nyanyi. Gampang, kan? Juga menyenangkan.

Sepuluh orang hasil penjaringan dari permainan rebut-rebutan itu berkumpul di dekat gue. Gue menatap mereka lagi. Cewek yang "terlahir" jadi pasangan Meru itu hanya bisa gugup dan senyum-senyum malu sejak tadi. Dan terus terang, gue menunggu apa yang bakalan Meru lakuin. Meru? Dia nggak peka! Dia malah menatap gue dengan tatapan tajam. Apa lagi masalahnya sekarang? Bukannya dia harusnya seneng dan bersyukur.

"Kalian... kalian bisa kenalan dan berteman." Gue fokus ke mereka. Cewek yang jadi pasangan Meru itu hanya senyum dan mencoba mengajak Meru bicara. Gue santai dan minggir. Pramuka hari ini seru banget!

Hanya saja...

Pas jam pulang tiba dan gue menarik Meru balik buat nebeng, cowok mungil itu menolak. Dia menatap gue marah, lalu mengalihkan wajahnya nggak acuh.

"Lah? Nggak mau balik sama gue, lo?"

"Ogah!" katanya.

"Kok lo marah ke gue? Salah gue apa kali ini? Apa gara-gara gue deketin lo sama cewek yang lo suka tadi? Lo malu karena belum persiapan gitu?" Gue sok tahu. Meru mendekat ke arah gue, lalu menunjuk-nunjuk dada gue.

"Mas Bro jangan sok tahu!" katanya.

"Apanya?"

"Mas Bro nggak tahu apa-apa soal orang yang aku taksir di ekskul pramuka!" Meru merengut. Dia masih marah. Gue terlalu lancang kali ini, tapi gue nggak tahu apa-apa, sumpah! Gue nggak ngerti apa yang bakalan gue lakuin sekarang. Minta maaf, nggak, ya?

"Jadi bukan dia?" Gue sadar.

"Bukan! Aku nggak suka sama dia! Aku udah naksir orang lain!" Meru menatap gue emosi. Gue nggak tahu kalau Meru naksir orang lain. Siapa? Gue masih pengen tahu siapa yang Meru taksir sampai dia jadi sakau kayak gini.

"Ru..." Gue nggak tahan lagi. Mungkin gue mencoba bersabar awalnya karena gue kira marahnya nggak lama. Gue kira dia bakalan adem seiring berjalannya waktu. Tapi nyatanya... gue salah. Meru masih marah atas apa yang sama sekali nggak gue ketahui. Masa dia marah karena gue godain, sih?

Gue menghela napas. Amarah yang gue pendem kayaknya mau meletus sekarang.

"Kenapa lo marah-marah gini? Kalau emang bukan, lo bisa bilang bukan. Itu cukup, daripada lo nyolot! Dari kemaren lo kenapa, sih? Kalau emang nggak suka, lo tinggal bilang aja! Daripada lo malah bikin gue makin muak sama lo!" Gue ngomel. Meru mengerjap ke arah gue.

Jangan nangis, lo, Ru! Kalau lo nangis, gue jitak, lo!

"Mas Bro..." katanya.

"Apa? Lo kira gue nggak bisa marah gitu? Biasa aja, dong makanya! Kalau emang udah cinta, ya udah! Bukan urusan gue juga, Ru! Tapi lo ngomong baik-baik bisa, kan?"

Meru menelan ludah. Dia menatap gue. Kali ini tatapan tajamnya berubah lembut. Meru menggenggam jemari gue. Gue merinding. Ini adegan apaan, sih? Apa Meru bakalan nangis? Ah, susah di gue ini namanya!

"Aku emang jahat, Mas Bro!" katanya. Gue melongo.

"Iya, lo jahat!"

"Maaf karena udah nyuekin Mas Bro."

"Lo nggak cuma nyuekin gue, tapi juga jutekin gue! Belum lagi lo nyolot!" Gue masih setia mengadili. Meru mengerjap ke arah gue lagi. Setelah itu, langkahnya mendekat dan lengannya terulur. Dia memeluk gue. Tingginya jelas nggak lebih dari gue, dan kepalanya malah bersandar di dada gue.

Ini adegan jadi makin ambigu!

"Jangan kayak gini! Malu gue! Lepasin! Kalau ada yang lihat, ntar mereka jadi sakau!"

"Nggak apa, Mas Bro! Kan aku adekmu."

"Lepasin, Kutil!"

"Kutil kan nggak bisa lepas dari kulitnya, Mas Bro."

Gue nggak tahan lagi. Gue mencoba melepaskan diri paksa. Meru menggeleng kencang. Dia nggak terima pas gue dorong dia, tapi gue nggak mau di sini terus. Akhirnya dengan penuh perjuangan, dia mau juga. Kami pulang bareng, dan seperti biasanya... dia mampir ke rumah gue!

Pasti Bunda peka kalau kami udah baikan!

Keesokan harinya, ada hal aneh yang terjadi. Gue nggak pernah dihampiri cewek mana pun selama sekian tahun sekolah di sini. Bahkan pas SMP dulu juga nggak pernah. Sekarang gue dihampiri cewek, yang notabene gue pergokin lagi naksir Meru.

"Kak Rama..." katanya.

Biasanya yang manggil gue Rama adalah orang yang baru kenal atau orang yang nggak terlalu deket. Kalau udah deket, mereka selalu manggil Bromo. Jadi, cewek ini nggak terlalu deket. Padahal gue udah ngenalin diri sebagai Bromo di pramuka. Sejak kapan dia hafal nama panjang gue? Di seragam gue juga namanya disingkat jadi R. Bromo U. gitu . Jadi nama gue emang Bromo.

Tahu dari mana dia kalau R dari kata Rama?

"Ada yang bisa gue bantu, eng..." Gue membaca namanya. Kirana. "Kirana...?"

"Itu, Kak... Itu..." Kirana gugup. Gue udah paham ke mana arah pembicaraannya kali ini. Gue dan dia nggak ada urusan selain masalah Meru. Gue mencoba buat nggak nanya duluan. Gue harus pura-pura nggak tahu dan polos.

Kirana menatap gue lagi. Dia jadi gelisah. Gue mengangguk mantap dan akhirnya menatap wajah Kirana sekali lagi.

"Mau nanya soal apa?"

Kirana melongo. Dia mendongak spontan. Dia kaget mungkin karena gue peka. Gue menatap wajah Kirana sekali lagi. Cewek itu menunduk malu.

"Aku mau nanya soal Meru, Kak."

Nah, kan!

"Mau nanya apa?"

"Meru udah punya pacar, nggak, Kak? Eh, tapi jangan bilang-bilang kalau aku nanya ini ke Kakak, ya!" Kirana berbisik pelan. Gue mengangguk.

"Iya, lah! Kan rahasia!"

"Jadi... dia ada pacar, nggak?"

Oh, sekarang emang zamannya emansipasi, ya! Gue kira cewek itu pemalu dan juga pendiam, tapi nyatanya dia pemberani dan juga jujur soal perasaannya. Bagus, bagus!

"Kayaknya belum."

"Trus Meru lagi suka sama orang, nggak?"

Gue bingung mau ngaku. Kalau gue bilang iya, nanti dia patah hati. Kalau gue bilang nggak, nanti dia malah punya harapan palsu. Gue bingung apa yang harus gue bilang ke Kirana, jadi jawaban paling normal adalah...

"Gue nggak tahu, Kirana. Meru nggak pernah bilang apa pun soal ini. Dia kan penuh rahasia." Gue menjawab pelan. Jawaban paling aman adalah jawaban yang ini, jadi gue nggak bakalan pernah kepikiran.

Gue juga nggak merasa bersalah karena udah menebar fitnah yang amat pedih. Gue nggak mau bikin gara-gara sama orang, juga nggak mau ngurusin apa yang bukan urusan gue. Meru harus bisa memilih dan bersikap bijak atas apa yang udah dia lakukan tentang cinta. Dia harus bisa memilih orang yang bener-bener dia cintai, dan gue nggak berhak ikut campur.

"Jadi gitu, ya!" Kirana berbisik. Gue mengangguk mengiyakan. Dia nggak perlu sok galau karena masih belum ada jawabannya. Meru nggak bisa ditebak karena anak itu emang penuh rahasia. Gue aja masih belum tahu siapa orang yang dia taksir, bahkan meski gue udah tumbuh bareng dia sejak kecil.

"Kalau aku nanya-nanya soal Meru lagi ke Kak Rama boleh, nggak, Kak? Siapa tahu aja ntar Kakak tahu da bisa beri informasi. Maaf kalau aku kurang ajar, tapi hanya Kak Rama yang bisa diajak diskusi."

Gue mengerjap beberapa kali. Sekarang gue malah jadi sumber informasi gitu? Kok gini? Kan awalnya gue nggak mau ikut campur, kok malah gue ditarik juga? Salah gue apa? Gue nggak mau, ah dimusuhin lagi sama Meru!

"Gue nggak tahu apa-apa, Kirana."

"Tapi kan... kan..."

Harus dengan apa gue nolak semua ini? Kalau gue nolak dia karena alasan nggak tahu, kasihan dia. Kalau gue terima, gue yang salah. Lalu, gue harus apa sekarang? Tapi gue nggak mau, lah bantu-bantu kayak ginian! Gue udah memutuskan buat nggak ikut campur masalah Meru dan kisah cintanya!

Kirana masih menatap gue. Gue menggaruk tengkuk. Pemandangan ini mungkin akan jadi ambigu, soalnya banyak banget orang yang memperhatikan kami. Dikirain gue lagi ngobrol sama gebetan, kali!

Dan kayaknya sudut ambigu itu bikin gue jadi makin serba salah. Meru nongol dan memergoki gue! Gue menelan ludah. Hal yang paling gue takutin adalah Meru yang salah paham. Kalau sampai Meru salah paham, bubar semuanya!

"Kok Kirana ada di sini?" Dan si Kutil nanya dengan nada nggak enak. Kok dia jadi sensi, sih?

"Ada apa?" Gue nanya balik.

"Aku kan udah biasa ke sini. Kirana yang tumben ke sini." Meru berhasil bikin gue diem dan bingung harus jawab apa. Emang bener, sih! Meru emang hobi maen ke kelas gue tiap jam istirahat tiba.

"Tadi nggak sengaja ketemu." Kirana gugup, lalu dia pamit pergi. Gue melongo saking nggak pahamnya dengan percakapan hari ini. Gue balik ke kelas, lalu Meru ngikutin. Dia duduk di depan gue dengan kerutan yang nggak enak.

"Jadi, kenapa Kirana ada di sini?" tanyanya lagi. Gue memutar mata.

"Nggak tahu, ah!" Gue menjawab nggak tahu buat cari aman. Meru masih nggak percaya. Dia menatap gue tajam. Lagi-lagi dia kayak gitu. Akhir-akhir ini dia sering banget mencurigai gue.

"Kok dia jadi deket sama Mas Bro? Sejak kapan kalian deket?"

"Nggak deket, kok! Dia cuma kebetulan lewat, lalu gue pas lagi keluar. Kami nggak sengaja papasan."

"Mas Bro bohong!" Meru merengut. "Kalau lagi bohong, Mas Bro jadi gugup."

Gue juga pernah gugup, kali! Bukan pas lagi bohong doang! Gue juga bisa gugup karena harus maju dan tampil. Gue juga sering gugup kalau lagi mau ikutan lomba. Kegugupan gue nggak harus ditentukan karena kebohongan gue.

"Kan gue sering gugup, Ru."

"Kalau Mas Bro lama-lama sama dia, ntar Mas Bro deket beneran sama dia!" Meru protes. Gue bingung kenapa dia protes karena ini. Padahal setahu gue, dia pernah bilang kalau dia nggak naksir Kirana. Dia naksir orang lain.

Ah, bisa aja pas itu Meru bohong karena takut gue godain! Bisa jadi Meru emang naksir Kirana beneran! Ah, buruk sangka mulu, lo, Bromo! Jadi racun lo lama-lama!

"Kenapa gue bisa jadi deket sama dia?"

"Kan cinta bisa muncul karena terbiasa."

"Lo jangan suka baca-baca quotes internet, Ru!"

"Tapi kan itu bisa terjadi sungguhan, Mas Bro!" Meru masih protes. Gue nggak tahu harus gimana lagi meyakinkan Meru.

"Gue nggak suka sama dia, Ru."

"Tapi dia bisa aja suka sama Mas Bro."

"Nggak mungkin! Lagian dia bukan tipe gue. Gue lebih suka yang manis dan juga unyu! Dia tuh cantik dan juga pemberani. Bukan tipe gue."

Meru menghela napas. "Jadi Mas Bro suka yang unyu!" Dan cowok itu nyengir. Gue bingung kenapa dia jadi seneng pas gue bilang kayak gitu. Masa iya dia bersyukur karena gue ngaku nggak setipe sama Meru!

"Tapi kan bisa aja..."

Gue mencubit kedua pipi Meru. Sekarang ini gue harus meyakinkan dia biar dia nggak salah paham lagi. Temen-temen gue yang lain melambai begitu melihat Meru. Bahkan Rio langsung menghindar dari Meru. Dia pamit keluar dari kelas dan bilang pengen ke kamar mandi.

Mungkin dia masih baper gara-gara kekalahan waktu itu. Gue menghela napas. Kalau Rio dan Meru ketemu lagi buat tanding basket, mungkin Rio bakalan terluka lagi. Itu masa lalu, dan orang yang jadi sumber kekacauan malah nggak mau maen basket. Dianya malah masuk ekskul pramuka demi cinta.

Cinta Meru tuh yang mana, sih?

"Beneran, kan? Mas Bro nggak jatuh cinta sama dia, kan?"

Harus dengan apa lagi gue meyakinkan dia? Gue mengembuskan napas sekali lagi. Temen-temen gue melambai riang, menyapa Meru. Sasaran empuk mereka datang sendiri ke kandang singa. Gue mencoba mengalihkan pembicaraan sebelum Meru menginterogasi hal yang bahkan nggak akan pernah ada.

"Sana, sana! Maen sama yang lain, sana!" Gue menunjuk temen-temen yang laen. Mereka melambai riang. Meru balas melambai. Untuk sementara gue aman! Duh...!

TBC

Meru anakku...
Ini sebenernya aku post kalau pembacanya udah serebuan... *ngaku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top