Enam Belas : Meru Kembali
Gue dalam masa-masa bingung pencarian jati diri. Mungkin gue harus banyak-banyak belajar tentang filosofi hidup biar hidup gue lebih berwarna dan bermakna. Gue nggak tahu harus ngomong sama siapa lagi. Meru, satu-satunya temen yang bisa gue curhatin malah berubah. Dia bukan lagi orang pertama yang bisa gue tuju. Dulu... tiap kali gue curhat, dia selalu membalas curhatan gue dengan manis.
"Mas Bro semangat, ya! Aku tahu kalau Mas Bro cowok yang paling kuat di dunia ini." Itu katanya. Meski itu dusta, tapi gue yakin dengan seyakin-yakinnya kalau Meru akan selalu jadi adik manis gue, yang akan bicara manis meski kenyataannya pahit.
Sekarang, Meru ada di depan gue. Orang yang paling sering gue curhatin sekarang jadi alasan dan jadi sumber kenapa gue harus curhat. Gue nggak tahu harus curhat ke siapa, sementara selama ini gue jones. Sebenernya gue nggak jones. Gue ditaksir orang, dan gue bisa deketin cewek mana pun yang gue suka. Hanya saja...
Si Kutil ini jauh lebih berbahaya daripada yang kalian duga. Dia bisa melakukan apa pun demi keinginannya. Gue nggak bisa apa-apa selain pasrah dan juga menerima semua yang dia lakukan. Gue nyerah!
"Ru..." Gue berbisik pelan.
Meru masih merengut, menatap gue dengan tatapan menutut. Gue pasrah. Meru masih mengatakan banyak hal tentang Rio dan juga niatan busuknya pegang-pegang bokong gue. Sampai di sana, gue nggak paham apa mau Meru sebenernya. Gue bener-bener bingung kenapa dia harus berpikir sejauh itu tentang bokong gue.
"Sekali lagi lo ngomong tentang Rio dan ketertarikannya ke bokong gue, gue janji bakalan nguleg mulut lo!" Gue bete setengah mampus.
Di dunia ini, nggak semua orang terlahir sebagi homo. Rio, adalah temen gue. Dia punya pacar, cewek yang super cantik. Anggota grup cheerleader. Pacarnya juga sempurna. Baik, cantik, pinter, belum lagi anak dari keluarga berada. Dia juga setia dan nggak banyak gaya. Nggak sombong juga. Dulu gue mikir di masa lalu Rio adalah panglima perang yang sangat berjasa menyelamatkan sebuah negara, makanya dia terlahir kembali dengan seberuntung ini.
Gue iri juga. Iya, lah! Pacar Rio itu sempurna banget! Adalah perbuatan biadab kalau Rio sampai berpaling. Emangnya apa lagi yang mau dia cari di dunia ini kalau kesempurnaan ada di depan matanya?
"Tapi tatapan Mas Rio ke bokong Mas Bro itu aneh! Apalagi pas abis pegang-pegang..." Meru masih merepet. Gue pusing banget dengan pernyataan dan kecurigaan Meru.
"Selaen berisik, lo juga suka buruk sangka ke orang lain, ya, Ru?" Gue protes. Meru menunduk lagi. Matanya mengerjap ke arah gue, lalu mengembuskan napas lelah. Gue nggak mau bikin gara-gara lagi. Gue pasrah.
"Tapi aku tahu! Aku peka! Aku punya insting yang bagus! Aku suka meriksa banyak hal dan neliti mereka. Aku observer yang paling mumpuni!"
Gue mengembuskan napas ogah. Meru masih merepet. Dia menghakimi Rio semau dia. Gue diem aja. Kalau gue belain Meru, artinya gue udah jadi tukang fitnah. Kalau gue belain Rio, gue jadi pengkhianat. Masalahnya, tuduhan Meru semuanya aneh! Masa iya dia bilang Rio itu dulunya adalah kaum jin yang nggak diterima dunia lain, akhirnya mengajukan proposal sebagai manusia?
Meski gue penakut sama hantu, tapi gue nggak gila juga mikir kayak gitu! Semakin Meru benci, otaknya makin nggak rasional. Dia juga pernah bertingkah kayak gini ke Kirana. Sekarang ganti Rio. Meru nggak bisa membenci orang lain dengan cara yang lebih normal kayaknya! Dia punya cara membenci yang aneh!
"Emangnya lo pikir si Rio kayak gitu gara-gara apa?" Gue menghela napas. Meru merengut dan akhirnya tersenyum lebar.
"Aku tahu karena instingku soal Mas Bro selalu bener."
Gue mencebik nggak percaya. "Mana mungkin gue percaya sama lo!"
"Feeling-ku soal Mas Bro selalu bener!"
"Lalu kenapa kemaren-kemaren lo ngira gue naksir Kirana?" Gue melotot ganas. Meru menunduk dengan ekspresi menggelikan. Gue nggak bisa diginiin sekarang. Gue harus mencari cara yang lebih baik, sekiranya Meru paham dan nggak aneh lagi! Capek gue harus ngurusin bocah yang nggak jelas ini!
"Jangan kayak gitu lagi, lah!" Gue merengut. Meru mengangguk pelan.
"Tapi kemaren aku cemburu!" Meru menatap mata gue tajam. Gue nggak jawab apa pun. Meski dia nggak bilang gitu, tapi gue tahu! Gue paham. Dia memendam rasa aneh dan terlarang buat gue, jadi jelas aja gue nggak mau berharap yang nggak pasti.
Meru adalah cowok kurang ajar dan kurang kerjaan!
"Gue tahu!"
"Lalu?"
"Lalu apa?"
"Aku nggak bisa diginiin! Aku butuh kepastian dari Mas Bro!"
Lah? Gue nggak paham. Kepastian apa?
"Kepastian apaan?" Gue melongo. Meru menatap gue tanpa kata. Jemarinya bergerak, menggenggam jemari gue tanpa henti. Dia menangkup kedua pipi gue, lalu dalam beberapa detik, dia berbisik.
"Kepastian tentang hati kita, Mas Bro."
Gue makin melongo. "Kita apaan?"
"Aku cinta Mas Bro. Tahu, kan?" tanyanya menutut. Gue mengangguk canggung. Gue tahu, tapi gue ogah ngomong. Gue nggak mau mencari gara-gara dan harapan palsu tentang semua ini. Gue nggak mau bikin Meru berharap, sementara perasaan gue ke Meru adalah perasaan kakak ke adeknya.
Nggak lebih.
Ah, lebih! Lebih dari kakak ke adeknya. Dia adalah separuh tulang rusuk gue, yang selalu gue miliki. Dia adalah orang yang gimana pun keadaan gue, dia nggak bakalan lari. Dia adalah orang yang akan berdiri paling depan, bertepuk tangan ketika gue berhasil. Atau menangis ketika gue terluka. Dia adalah orang yang berharga, tapi gue nggak mau mengikat dia dengan status apa pun.
Dia lebih berharga daripada ikatan pacaran ataupun menye-menye lain yang bisa putus sewaktu-waktu karena penghakiman norma dan hukum.
Gue? Gue emang nggak bisa menjamin kebahagiaan Meru, dan juga nggak bisa menjamin hubungan kami bisa kayak orang lain. Tapi asal kalian tahu... Meru adalah sepenting-pentingnya barang penting, seberharga-berharganya barang berharga. Dia itu... nyawa gue!
"Gue sayang sama lo. Tapi..." Gue menggantung ucapan gue. Gue nggak bisa meneruskannya bukan karena gue ragu, tapi gue nggak mau Meru berharap terlalu banyak dengan kedekatan ini, sementara gue cukup bahagia meski tanpa status di deketnya.
"Aku tahu kalau Mas Bro bakalan nolak..." katanya.
Gue mundur perlahan. "Bukan berarti gue benci lo, kok!"
Meru menggeleng. Dia menarik lengan gue, lalu memeluk gue erat. Gue sedikit kaget karena Meru melakukan itu tanpa kata sebelumnya. Gue nggak bisa kabur. Meru menahan gue dan nggak membiarkan gue pindah sedikit pun dari sana.
"Ada apa, Ru?" Gue menghela napas. Meru menatap gue sekali lagi.
"Mau sampe kapan Mas Bro bikin aku kecewa baru Mas Bro puas?"
Gue nggak paham. Meru bukan tipe orang yang bisa bikin gue bahagia, tapi gue yakin kalau Meru bakalan terus ada ketika gue terpuruk. Dia bakalan menghibur gue. Gue mendongak, menatap matanya dalam diam.
"Aku sayang Mas Bro. Tahu?" tanyanya. Gue mengangguk.
"Gue nggak bakalan pernah nyakitin lo, Ru." Gue menghela napas. Meru menggeleng pelan. Gue nggak bisa mikir apa-apa sekarang.
"Mas Bro kayak gini aja bikin aku terluka."
"Maaf, gue nggak bermaksud bikin lo terluka."
"Aku sayang Mas Bro."
"Gue juga sayang lo."
Dia menatap gue sekali lagi. gue nggak tahu harus gimana sekarang. Meru bikin gue pusing dan juga panik. Gue nggak mau berpikir macam-macam tentang harapan palsu ini. Gue nggak mau bikin Meru berharap kalau gue bilang perasaan gue yang sebenernya. Karena gue... gue sendiri juga bingung sebenernya apa yang gue rasakan tentang Meru!
"Beri gue waktu!" ucap gue akhirnya. Meru menatap gue, mengerjap beberapa kali.
"Buat nerima aku?"
Gue menggeleng. "Buat jawab pernyataan lo. Lo nuntut sekarang, tapi gue nggak tahu harus jawab gimana lagi."
Meru merengut. "Tapi Mas Bro sayang aku?"
Gue mengangguk. "Gue sayang lo. Kita udah tumbuh bareng sejak kecil. Di mana ada gue, selalu ada lo. Ketika gue sakit, lo selalu ada. Bahkan ketika gue seneng, lo selalu jadi yang paling pertama ngucapin selamat."
"Jadi?"
"Gue butuh waktu buat bilang sayang sama lo."
"Sekarang kenapa nggak bisa? Kan bilang sayang doang!" Meru menutut.
"Emangnya lo nggak nuntut gue yang laen? Cuma nanya tentang sayang doang?"
Meru menggeleng. "Aku harus mengikat Mas Bro biar Mas Bro tahu diri, nggak noleh kanan kiri lagi! Biar Mas Bro ingat ada yang punya!"
Perasaan gue mendadak linglung. Mungkin di antara sekian makhluk hidup yang gue temui, Meru adalah manusia paling nggak rasional yang gue tahu! Untuk apa dia bertingkah kayak gitu kalau ujung-ujungnya dia menuntut sebuah hubungan?
Untuk apa?
Mau nikahan juga nggak mungkin! Bunda dan Mama pasti bakalan shock, lalu kejang-kejang kalau denger itu! Ya kali kalau gue ada di dunia fiksi, gue bisa nikah-nikahan sama Meru, lalu ngangkat anak dari panti asuhan.
Sesederhana itu, kan? Iya, sederhana, tapi sulit melakukannya!
Bayangan gue aja nggak bisa sampai ke sana! Itu terlalu... mustahil! Nggak bisa gue! Nggak nyampe gue!
"Ru..." Gue berbisik pelan. Meru tersenyum lagi. Ada rasa sakit yang muncul di sana. Matanya berkaca-kaca. Gue pengen meluk dia dan berbisik buat menghibur. Tapi semakin gue baik hati ke Meru, dia makin berharap... dan akhirnya gue bakalan nggak bisa lepas dari dia.
"Jangan nangis, Ru!" bisik gue lagi. Meru menggeleng.
"Aku bakalan nunggu! Selama ini aku nunggu lama, selama sekian tahun... dan aku nggak nyerah. Sekarang, setelah Mas Bro tahu semua perasaanku... apa Mas Bro pikir aku bakalan nyerah gitu aja?"
Gue harus apa sekarang?!
"Gue..."
"Aku bakalan nunggu."
"Gue juga pengen lihat lo bahagia dengan istri dan anak-anak lo."
"Kebahagiaanku nggak bisa diukur dengan keberadaan istri dan anak-anak."
Gue nggak bisa mikir panjang sekarang. Meru masih menatap gue dengan tatapan kosong. Dia melepaskan tangan gue, lalu dia pergi. Dia menoleh sebelum pergi meninggalkan gue.
"Lihat aja! Aku bakalan bikin Mas Bro cinta sama aku!"
Gue merinding. Satu hal yang gue tahu tentang Meru. Dia selalu berhasil mendapatkan apa yang dia mau!
***
Hari-hari gue dan Meru berjalan berbeda dari biasanya. Gue nggak bisa lagi ramah dan ngomong pedes ke Meru. Si Mungil masih hobi nebeng gue ke sekolah, masih sering meluk gue dari belakang. Masih sering mampir ke kelas gue pas istirahat. Hanya satu hal yang bikin gue bingung.
Meru makin tinggi!
Apa yang terjadi? Gue merasa dizalimi. Gimana bisa seorang cowok tumbuh cepat meski kegiatannya cuma tidur dan juga makan? Ah, dia juga sempet maen basket di istirahat kedua, bareng Rio dan juga anak basket lainnya. Dia adalah anggota selundupan. Dia nggak mau ikut tim, tapi ikut main dan juga berpartisipasi.
Itu juga jadi pemandangan paling unyu dari temen-temen cewek sesekolahan. Mereka punya kegiatan sekarang. Teriak-teriak dari pinggir lapangan, sambil nyedot es jeruk, lalu meneriakkan nama Meru sekencang mungkin.
"Meruuuu... I love you!"
Yang diteriakin malah nyengir dan balas cium jauh dari tengah lapangan, bak artis dadakan yang nggak laku!
Sekarang Meru bisa menyamai tinggi gue. Gue nggak bisa diginiin! Apalagi pas temen-temen kelas gue mulai membanding-bandingkan!
"Meru makan apa, sih kok dalam semalam tingginya bisa segitu?" Temen-temen gue pada kepo, nanya hal yang bahkan nggak gue tahu.
"Keturunan bokapnya gitu! Pertumbuhannya terlambat, tapi nggak lambat."
"Kebalikan lo? Pertumbuhan lo nggak terlambat, tapi lambat?"
Gue pengen banget menyumpal mulut mereka dengan sol sepatu gue, tapi gue nggak bisa. Itu kenyataannya. Apa pun yang terjadi, gue nggak bisa melakukan apa pun untuk membela diri. Meru adalah makhluk yang dicintai temen-temen gue, jadi gue nggak mau cari musuh sebanyak ini.
Dengan tinggi yang mulai nyebelin, gue makin punya cara buat menolak pernyatan dan tuntutan Meru tentang kisah cintanya.
Meru masih main basket bareng temen-temen gue. Keringat mulai membanjiri bajunya. Mama sering ngomel-ngomel kalau Meru pulang dalam keadaan begitu. Itu artinya besok Meru harus ganti seragam lagi, bahkan meski hanya dipakai sehari. Gue menatap Meru dari pinggir lapangan. Dia juga jago tebar pesona. Ada kumis tipis yang perlahan tumbuh di atas bibirnya.
"Meruuuu..." Para cewek berisik kayak biasanya.
Gue menunggu. Meru melambai ceria, menyambut teriakan cewek-cewek itu. Lalu tatapan matanya terpaku ke arah gue. Dia nyengir, lalu memasang pose mencium dengan bibir manyun-manyun menggelikan. Gue mengumpat spontan. Semua cewek di samping gue menoleh ke arah gue. Gue melongo. Entah apa yang bikin mereka jadi kayak gitu.
Apa karena mereka denger umpatan gue? Atau karena Meru mencium gue dari jauh? Gue merinding. Lalu, dengan kecepatan super gue melipir unyu. Gue nggak mau ditelanjangi para cewek karena udah bikin idola mereka jadi homo tiba-tiba!
***
Gue mampir ke pohon rambutan kayak biasanya. Meru udah di atas lebih dulu. Dia menyadari kedatangan gue, lalu tersenyum.
"Mas Bro mau ngomong apa?" Dan dia peka.
"Mau ngomong langsung, tanpa basa-basi. Gue..." Gue mencoba mencari cara yang lebih manusiawi. "Gue nggak bisa nerima pernyataan lo. Gue nggak bisa jadi pacar lo."
Meru melongo, menunduk setelah itu. "Emang siapa yang mau ngajakin Mas Bro jadi pacarku?"
Gue mendongak. "Trus kemaren apa?"
"Aku mau Mas Bro jadi milikku!"
"Bedanya?"
Meru jadi sensitif. Gue nggak bisa terus kayak gini, sementara cowok itu mulai bikin gue muak. Dia punya sesuatu yang nggak gue punya. Meski tajem kayak gini, tapi gue nggak pernah nuntut orang lain. Gue nggak tegaan. Sementara Meru? Dia bertingkah kekanakan, tapi dia itu mutlak. Penuntut tingkat tinggi. Dia nggak bakalan melepas apa pun. Kalau dia pengen sesuatu, dia bakalan ngelakuin itu!
Gue nggak bisa kayak gini terus!
"Milik artinya tanpa status. Dan itu artinya nggak bakalan bisa lepas."
"Lo bisa bosen."
"Aku nggak bakalan bosen kalau Mas Bro."
"Kita sama-sama cowok."
"Yang bilang aku cewek siapa? Aku juga berbatang. Batangku juga udah mulai tumbuh. Kelak, ukurannya bakalan perkasa."
Feeling gue nggak enak. Rencana penolakan versi normal kayaknya nggak bakalan berhasil. Karena itulah... gue nggak mau melakukan itu lagi. Gue nggak mau berlagak tahu segala hal padahal nggak tahu apa-apa. Gue nggak mau! Nggak mau!
Kalau emang orang di atas gue ini nggak normal, gue harus jawab dengan jawaban yang ngelantur juga. Makanya...
"Gue punya alasan kenapa nggak bisa jadi milik lo atau apa pun itu namanya."
Meru menatap gue, menantang. "Apa alasannya?"
Dan tatapannya bukan tatapan ala Meru manis yang bikin gemes. Meru di atas gue ini adalah cowok puber yang entah kenapa terlihat lebih dewasa dan juga terlihat lebih... macho? Apa karena dia ada di atas dan gue di bawah?
"Gue suka sama orang yang unyu, manis, bikin gemes. Gue suka yang manis-manis dan lebih pendek daripada gue. Lihat lo sekarang, Ru! Lo udah lumayan tinggi, badan lo gede. Kalau dulu lo bilang kayak gini, mungkin gue bisa mempertimbangkan!" Gue ngelantur, tapi emang kalau disuruh milih... gue lebih suka tipe yang kayak gitu. Gue sengaja bilang gitu karena gue pikir Meru nggak bakalan bisa balik pendek kayak dulu lagi! Ada untungnya juga Meru kayak gini!
Meru membisu. Dia turun dari dahan yang dia duduki semula, lalu pindah ke sebelah gue. Gue menelan ludah gugup. Gue bergeser spontan. Meru menatap gue makin tajam. Dia nggak mau nyerah. Dia masih pengen melakukan sesuatu yang bikin hati gue panas dingin kayaknya, karena setelah itu dia menggenggam jemari gue.
"Aku nggak bakalan lepasin Mas Bro." Itu prolognya. "Kalau Mas Bro suka sama orang yang unyu, kenapa dulu Mas Bro nggak bilang sayang sama aku?"
Gue terpaku.
"Pernah! Kan gue dulu sering gangguin lo, jitak lo, bahkan meluk lo. Itu cara gue menunjukkan kasih sayang gue!" Gue membela diri.
"Kenapa? Kenapa?"
Gue tergagap.
"Kenapa Mas Bro baru baca dyari-ku pas aku udah gede dan puber? Kenapa nggak dari dulu? Kenapa nggak pas aku masih kecil dan unyu?!" Meru jadi gahar. Gue panik. Kalau Mama atau Bunda denger, bisa habis kami!
"Kan dulu gue nggak tahu!" Gue membela diri.
"Kenapa Mas Bro kayak gitu?"
Gue menghela napas. Gue nggak mau bikin Meru jadi makin gila di atas pohon rambutan, jadi gue memilih buat menyerah dan menerima apa pun yang dia bilang ke gue. Meski dia udah denger kenyataan kalau gue sukanya sama yang manis-manis dan unyu.
"Mas Bro jahat!" katanya lagi. Gue menghela napas.
"Gue emang jahat. Kan lo udah tahu!"
"Kenapa Mas Bro kayak gitu?" Meru makin muak. Gue membisu. Gue biarin dia menghakimi gue. Dia sebel karena pernyataan gue, wajar. Gue nggak mau bikin pernyataan apa pun, selama dia seneng dan juga bahagia.
"Mas Bro jahat!"
Gue nggak mau ngomong apa pun. Dia udah sering ngomong kayak gitu ke gue. Udah jadi vitamin buat hidup gue, kok! Jadi gue udah nggak shock lagi. Kalau dulu sih gue bisa aja ngakak dan juga geli pas dia ngomong gitu. Sekarang, udah biasa.
"Aku nggak mau Mas Bro batal naksir aku!" katanya. Gue diem. Sibuk mendengarkan apa pun yang mau dia bilang. Gue diem aja, nggak peduli.
"Mas Bro masih suka yang pendek-pendek, kan?" tanya Meru sekali lagi. Gue mengangguk cepat. Meru mengangguk cepat. Wajahnya terlihat yakin dan juga bahagia. Gue menelan ludah dan sibuk mendengarkan.
"Aku bakalan motong kakiku, Mas Bro! Biar jadi pendek dan Mas Bro balik naksir aku lagi!" Meru menyuarakan ide paling bodoh dan juga gila yang pernah gue denger. Itu ide nggak rasional yang lagi-lagi bikin gue merinding. Masa sampai segitunya, sih?
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top