Delapan Belas : Bromo Harus Apa?

            Meru yang rawat inap akhirnya balik ke rumahnya. Gue dan segenap keluarga bersyukur banget. Meru udah mau makan. Dia janji bakalan makan. Dia janji nggak bakal sok takut tinggi lagi. Gue udah menghakimi dia. Gue emang masih belum narik ucapan gue tentang gue yang naksir orang unyu. Sekarang Meru udah nggak mengungkit itu lagi. Gue nggak tahu kenapa, tapi dia masih nempel.

Dia balik lagi jadi kayak anak kecil!

"Aku mau main sama Mas Bro aja, lah!" Meru mampir ke rumah gue, dengan cengiran yang nggak pudar. Gue melongo.

"Sana tidur! Lo baru aja pulang dari rumah sakit!" Gue beneran nggak paham sama stamina Kutil tinggi ini!

"Tidur mulu capek, Mas Bro!"

"Pulang aja sana!" Gue mengusir. Gue udah rapi dan ganteng. Pakai jaket, celana jeans, dan juga sepatu. Gue ada janji sama Gito dan yang lain buat main. Udah lama kami nggak kumpul.

"Mas Bro mau ke mana?" Meru mengerjap polos. Gue mengedikkan bahu.

"Main, lah! Ngumpul sama temen-temen."

"Temen yang mana?" Meru curiga. Gue nggak suka dengan nada tanya si Kutil. Dia merasa gue adalah orang yang berkhianat ke dia. Gue nggak bisa diginiin! Gue nggak bisa!

Gue melongo sekali lagi. Meru nggak terima gue maen sama yang lain. Jemarinya menarik jaket gue. Dia menggeleng pelan.

"Aku mau ikut!"

Gue yang menggeleng kali ini. Dia baru aja sembuh, dan adalah dosa besar kalau gue ngajakin dia keluyuran. Hari ini gue mau ngumpul dan nongkrong ke tempat biasanya. Gue dan Gito cs punya tempat nongkrong. Cafe yang lokasinya di kolong jembatan. Meski di kolong gitu, tapi harga kopinya mahal gila! Tapi serunya di sana lucu dan juga menyenangkan.

"Nggak boleh!"

Meru mencebik. "Ikut, ikut, ikut!"

Gue nggak suka kalau dia mulai manja dan merepet gini. Dengan sisa kesabaran yang ada, gue tunjuk mukanya. "Nggak usah manja kayak anak kecil, Kutil!"

"Kan Mas Bro suka yang unyu-unyu!"

Gue menunduk, memperhatikan Meru yang udah mulai tumbuh dan berkembang. Bahkan gue curiga dia bakalan lebih gede daripada gue. Emang, dia bakalan tinggi dan lebih gede daripada gue nantinya!

"Gue laporin Mama, lo!"

"Aku bisa laporin Mas Bro ke Bunda, biar sekalian aja Mas Bro nggak dibolehin keluar!" Meru mengancam dengan sangat menyeramkan. Gue menelan ludah.

Ini nggak bisa dibiarkan!

Lalu, dengan kecepatan kurang ajar, gue berbalik dan berlari. Gue nggak bawa motor karena janjinya emang gue dijemput. Gue melarikan diri dari Meru, yang menjerit dari depan rumahnya, dengan wajah pengen mewek.

Gue nggak tega, sih... tapi kalau nggak kayak gini... kapan gue bisa keluar?!

Gue kumpul bareng Gito dan yang lain. Harusnya sih gue bisa seneng-seneng, tapi ternyata gagal. Ekspresi Meru ternyata nggak enak banget buat diajakin bahagia. Gue melarikan diri dari Meru, dan ternyata rasanya nggak enak! Gue merasa sangat bersalah! Banget! Apalagi tatapan Meru seolah-olah merasa dibuang. Gue nggak bisa seneng-seneng karena masih kepikiran Meru. Apa yang bakal dia lakukan, ya?

Apa dia bakalan nangis, lalu ngadu ke Bunda?

Atau dia bakalan menghuni kamar gue, nunggu gue sampai gue balik?

Atau dia nggak mau makan sampai gue balik?

Gue nggak bisa mikir apa-apa, akhirnya gue memutuskan sesuatu. Sesuatu yang bukan gue banget! Sesuatu yang bikin gue berpikir kalau gue udah terkontaminasi oleh tatapan melas si Kutil. Gue yang dulu cuek-cuek aja sekarang mulai berubah. Jadi, gue pamit pulang duluan ke temen-temen gue!

Gue pamit pulang duluan demi Meru, Coy! Demi Meru!

"Gue balik dulu, ya! Kepikiran rumah gue!"

Gito menaikkan alisnya. "Tumben, lo! Biasanya kalau nggak malem juga ogah balik!"

Satrio mengangguk. "Lagian, ada apaan, sih di rumah lo? Kayak lagi nyekap perawan aja!"

Gue nyengir, lalu melangkah pergi. Gue pulang naik ojek. Gue kepikiran Meru, kepikiran gimana keadaaan dia. Pas gue baru aja sampai dan langsung mampir ke rumah Meru, apa yang gue bayangin nggak terjadi!

Dia baik-baik aja! Bahkan dia lagi makan!

Lalu untuk apa gue di sini?! Kalau tahu gini, mendingan gue maen sama yang lain tadi!

Meru mengerjap ke arah gue. Tatapan sedih yang awalnya nongol itu sekarang nggak terlihat, berganti dengan tatapan... DATAR! Iya, lo nggak salah baca! Emang tatapan datar dan cuek. Bahkan dia sama sekali nggak berlari ke arah gue buat memeluk ataupun sekadar menyambut gue!

Dia kenapa?

"Kok Mas Bro udah balik? Tumben..." katanya. Gue melongo. Biasanya kan dia bakalan seneng dan ngomong, "Mas Brooo! Kok balik sekarang? Kan aku kangen dan capek nungguin Mas Bro datang!"

Harusnya kan gitu!

"Iya, gue... gue..." Sial, gue gugup dan nggak tahu harus jawab apa!

"Kenapa?"

"Gue lupa kalau ada tugas!" Sialan, ini bukan cara gue banget! Seberapa pentingnya tugas itu dibanding keluyuran? Nggak ada kalimat dan pernyataan tugas lebih penting daripada nongkrong di kamus gue!

Jelas, si Kutil pasti peka itu bukan alasan sebenernya!

"Oh... ya udah, sana kerjain, Mas Bro!"

Hah? Dia ngusir gue? Beneran, nih? Dia beneran ngusir gue? Gue melongo, mengerjap nggak paham. Meru berdiri, lalu melangkah pergi balik ke kamarnya. Dia... mengabaikan gue! hahahahahaahahaahahhahahahaaha....

Kalian denger itu? Dia mengabaikan gue! Dia menjauh dan gue nggak tahu apa alasannya! Ketika Meru marah, dia bakalan merepet atau mewek. Dia tipe yang frontal, mengungkapkan semua yang dia simpen.

Tapi sekarang...

Dia cuek dan menghindar! Apa lagi sekarang? Apa lagi salah gue?

Awalnya gue mau balik, tapi minat gue pupus gitu aja. Gue malah menyusul Meru ke kamarnya. Dengan tampang bingung, gue tanya dia sekali lagi.

"Lo beneran nggak apa?"

Dia mendongak dan mengerjap. "Apanya yang nggak apa?"

Feeling gue nggak enak. Nggak mungkin ada asap kalau nggak ada api, katanya. Gue yakin ada masalah yang lagi Meru hadapi sekarang ini. Dan pastinya ada hubungannya sama gue. Gue nggak mau difitnah, jadi dengan penuh percaya diri – mengabaikan rasa malu dan juga gengsi yang ada – gue akhirnya bertanya langsung ke orangnya.

"Lo ngambek karena gue tinggalin tadi?"

Meru menggeleng pelan. "Nggak. Buat apa?"

Mata gue memicing. Ketika Meru dalam keadaan begini, gue jadi inget sesuatu. Aura Meru terasa mirip dyari-nya. Dia nggak terlihat unyu manis melambai lagi, tapi malah terlihat jauh lebih dewasa dan juga... dingin!

Kurang ajar!

Berani banget lo mempermainkan gue, Kutil!

"Trus kenapa lo jadi gini?" tanya gue gemes. Meru mengedikkan bahu.

"Kayak gini gimana, ya?"

Cara ngomong lo aja udah beda, Kutil! Pakai sok-sokan bilang nggak ada apa-apa, lagi! Sok nggak peka juga, lagi! Lo kapan mau peka tentang semua ini?!

"Kan kita udah baikan, Ru!"

"Emangnya kita lagi berantem?"

Gue nggak paham ini anak kenapa! Semua yang gue omongin dan gue tanya dikembalikan dalam mode sarkas yang kurang ajar!

"Lo kenapa, sih?" Gue nggak tahan.

"Aku nggak apa, kok! Mas Bro yang kenapa?"

Gue nggak bisa diginiin. Gue nggak bisa disindir dan diperlakukan begini! Lalu, dengan sisa kesabaran yang ada dalam hati gue, gue pulang. Balik. Gue nggak mau ketemu Meru untuk sementara waktu!

***

Awalnya gue pikir Meru bakalan balik lagi kayak sebelumnya, yang unyu, yang bawel, manja, dan juga kekanakan. Tapi ternyata dugaan gue terpatahkan sempurna. Meru nggak balik kayak yang dulu. Dia ngambek beneran. Ah, tapi kan kami udah baikan! Nggak ada masalah apa pun juga selain kemaren gue ninggalin dia. Wajar, lah gue nggak ajak dia! Kalau dia sakit, gue kan yang susah!

Lagian... lagian... gue sejak dulu juga udah biasa begitu! Ngusir Meru, lalu kabur. Meninggalkan Meru yang menjerit dan menangis di depan rumahnya sambil menghujat gue jahat. Gue udah biasa dengan respon Meru yang kayak gitu!

Tapi kenapa sekarang... sekarang dia jadi kayak gitu?

Bahkan ketika berangkat sekolah pun Meru beralasan dia naik ojek aja! Dia bilang berangkat pagi, belum ngerjain tugas. Mana percaya gue! Iya kalau gue! Meru itu anak rajin! Nggak mungkin dia belum ngerjain tugas!

"Jadi..." Gue menghela napas. Gue berhasil menghadang jalan Meru pas istirahat, lalu menyeret cowok itu buat ngomong.

Dia nurut dan nggak meronta. Nggak ada orang yang memperhatikan kami. Gue membawa Meru ke dekat lapangan basket. Meru mengerjap menatap gue, lalu bertanya. Suaranya agak berat. Sejak kapan dia punya suara kayak gini?

"Ada apa, Mas Bro?" tanyanya.

Gue melongo. Bengong. Suara cempreng itu mulai berubah. Apa gue yang nggak peka dengan perubahan Meru, ya? Dari kemaren ke mana aja gue?

"Suara lo kenapa?" Gue balas nanya. Meru menggeleng pelan.

"Suaraku emang kayak gini dari awal, Mas Bro."

Gue balas menggeleng. "Nggak mungkin!"

Gue nggak bisa menerima semua yang Meru katakan. Gue nggak mau bikin Meru salah paham. Gue juga memperhatikan apa yang terjadi ke Meru. Gue tahu semuanya. Gue denger semuanya! Gue merasa Meru emang mulai berubah!

"Biasanya suara lo nggak segede ini, Ru!" bisik gue pelan. Meru menggeleng lagi.

"Kayak gini, Mas Bro!"

Gue makin nggak paham.

"Puber lo udah mulai, ya?" tanya gue pelan. Dulu gue juga pernah puber. Masalahnya, puber gue bertahap. Nggak mengejutkan macam Meru gini!

"Aku agak pilek!" Dia masih nggak mau ngaku.

"Mana ada agak pilek suara jadi gede gini!"

Meru menggeleng kencang, keras kepala. Apa pun perubahan yang terjadi ke Meru, cowok itu tetep aja keras kepala. Mau dia jadi dewasa kayak gimana pun, Meru tetep keras kepala! Yang itu nggak bakal bisa berubah meski Meru jadi tua nanti! Sifat permanen itu!

"Udah, ah! Lupain aja soal suara! Gue mau nanya sama lo..."

Meru menelan ludah. "Apa?"

"Kenapa lo menghindari gue?"

Meru menggeleng. "Nggak, kok!"

"Gue tahu dan lumayan peka sama perubahan tingkah lo! Lo lagi ada masalah? Lagi sebel sama gue karena gue tinggalin lo kemaren? Oke, gue minta maaf soal itu! Tapi lo kan tahu gue sengaja ninggalin lo karena lo baru aja sembuh dari sakit. Sedangkan gue udah janji sama Gito dan yang lain. Masa lo tega gue dihina nggak menepati janji, sih?"

Meru menatap gue sekali lagi.

"Mas Bro ninggalin aku!" Dia merajuk. Gue sering denger Meru merajuk. Sering banget. Tapi suaranya terkesan unyu dan kekanakan. Sekarang... nggak lagi!

"Ru... please jangan ngomong gitu! Gue geli dengernya! Suara lo yang macho dan manly itu nggak cocok buat manja-manjaan!"

Meru mengerjap. Dia menunduk dengan wajah berantakan. Dia makin ganteng, juga makin dewasa. Tapi ada hal yang bikin gue pengen nangis sebenernya. Gue merasa Meru yang dulu udah mulai menghilang. Gue kangen tingkah manja Meru yang itu!

"Tuh, kan! Aku tahu kalau Mas Bro bakalan jijik sama suaraku dan badanku yang sekarang!"

Lah, dia baper!

"Bukan gitu juga, sih...!"

"Aku nggak cocok, kan?"

Gue mengangguk jujur meski terpaksa. Meru mencebik ke arah gue. Tatapannya jadi nggak enak. Gue nggak mau bertingkah menyebalkan di depan Meru, tapi gue juga nggak mau semuanya jadi serba rumit. Kalau dia marah dan cuek lagi gimana? Gue belum siap menghadapi Meru dalam mode dingin dan cuek!

"Gue nggak nyalahin puber lo, kok! Kan itu wajar..."

"Tapi aku nggak mau jadi puber! Aku nggak mau jadi dewasa dan gede!"

Meru udah sering bilang itu. Berkali-kali!

"Trus lo mau apa? Nggak mungkin lo kecil terus!"

"Aku mau jadi adek kecil Mas Bro kayak yang dulu, yang selalu dicari tiap kali mau pergi, yang selalu digandeng pas nyeberang jalan..."

Gue bengong. Kan itu dulu! Tahu, kan? Dulu, pas masih kecil!

"Aku menghindar kemaren karena aku sadar mulai berubah. Aku nggak mau puber, takut Mas Bro illfeel dan jijik, lalu ninggalin aku!" Meru mulai ngomong banyak. Gue menelan ludah, lalu menatap matanya sekali lagi.

"Aku nggak mau puber, Mas Bro! Aku nggak mau jadi tinggi! Aku nggak mau jadi kuat, nggak mau punya badan gede! Aku masih pengen dipeluk Mas Bro, dijitak Mas Bro, dirangkul Mas Bro, dicium Mas Bro..." Dia merepet lagi. Gue shock sekaligus protes.

"Eh, kapan gue nyium lo, Kutil?"

"Pokoknya aku nggak mau puber dan tumbuh! Mana lebih tinggi aku, lagi!"

Gue tersindir, tersinggung. "Sini gue potong kaki lo!"

Meru menatap gue lagi. Tatapan melankolis itu muncul setelah sekian lama. Gue menunggu aja. Gue nggak mau menguak luka lama Meru dan membahas dia makin tinggi. Lalu si Kutil berbisik lagi.

"Tapi Mas Bro... aku lumayan bersyukur. Sekarang aku bisa nyium kening Mas Bro, bisa ngerangkul Mas Bro, juga bisa gendong Mas Bro! Gendong di depan gitu ala pengantin baru mau malam pertamaan."

"Jijik! Ogah gue! Imajinasi lo, Kutiiilll!"

Gue udah berhasil mencubit lengannya. Lihat, sekarang gue malah main lengan! Dulu gue jitak dia! Sekarang tinggi kami hampir sama, dan mungkin juga Meru yang lebih tinggi daripada gue! Wajahnya juga makin ganteng, kan! Kan! Gue bisa apa, nih?

Lalu Meru berbisik lagi, "Bahkan sejak dulu aku juga udah macho. Aku yang akan melindungi Mas Bro. Sekarang mimpiku kesampaian. Aku bakalan ngelindungin Mas Bro! Akan aku mutilasi orang-orang yang nyentuh Mas Bro seenaknya!"

Gue merinding. Meru dalam formasi unyu yang bilang kalimat itu terdengar menggemaskan. Tapi kalau Meru dalam bentuk yang sekarang...

Gue bisa baper dan anggap itu sungguhan, sumpah!

"Gue..." Gue berdehem. "Gue nggak ada masalah sama tinggi badan lo yang kayak gini, kok! Gimanapun fisik lo, lo tetep Semeru."

Meru mengerjap, menatap gue dengan penuh harap.

"Mas Bro nggak jijik beneran?"

Gue menggeleng mantap. Dari dulu dia udah kayak gini, yang beda cuma fisiknya aja! Gue yakin kalau fisiknya akan menciptakan sesuatu yang berbeda, tapi gue juga yakin kalau Meru yang gue kenal nggak akan berubah sifatnya.

"Nggak."

"Seneng kalau aku dewasa?"

Gue mengangguk mantap. "Nggak ada yang lebih nyenengin gue selaen lo yang udah mulai bisa berdiri di atas kaki lo sendiri dan juga manis!"

Meru mengerjap beberapa kali. "Beneran nggak illfeel?"

"Nggak."

"Mas Bro kan suka yang manis dan unyu!"

"Yang dewasa juga seneng. Bisa diajak kerja sama dan juga lebih gampang ngaturnya!"

Meru menatap gue sekali lagi. Dia menggenggam jemari gue. Gue bingung. Kalau sampai ada yang tahu, bisa gawat ini nanti. Sebentar lagi bel masuk bunyi. Gue nggak mau terjebak di sini bareng Meru.

"Oke! Aku bakalan jadi tinggi dan dewasa!" katanya.

Kok cepet banget berubahnya? Kemaren-kemaren dia masih galau gara-gara makin tinggi dan gede. Sekarang kok dia malah bersyukur? Dia plin-plan banget, sih?

"Aku bakalan jagain Mas Bro!"

Gue mengangguk pasrah. Kalau gue nolak, dia bakalan gahar dan sakau lagi! Jadi cara satu-satunya adalah dengan mengiyakan!

Kami kembali ke kelas ketika bel berbunyi. Hari ini gue ada kerja kelompok dan artinya gue nggak bakalan bisa pulang bareng Meru. Cowok itu ngaku nebeng temennya. Gue bersyukur dia nemu tebengan pulang hari ini. Tugas kelompok gue dikerjakan di kelas. Satu-persatu murid udah mulai balik. Kelas gue aja yang masih ramai, bikin prakarya yang entah kapan selesainya.

Gue memutuskan ke kantin karena kehausan. Sayangnya, hari itu Tuhan – lagi-lagi – menunjukkan sesuatu yang harusnya gue ketahui sejak lama! Gue melihat Meru di parkiran, masih ngakak-ngakak bareng temennya. Itu nggak masalah, jelas! Nggak ada masalah yang muncul kalau hanya ngakak-ngakak. Dia sering juga bertingkah gila, jadi kalau hanya ngakak beneran nggak akan ada efeknya. Tapi... Meru naik motor.

Dia BISA naik motor! Bahkan motor yang dia naiki bukan motor matic! Motor cowok, sekelas Satria FU. Sejak kapan dia bisa naik motor begituan? Sejak kapan kakinya nyampe? Dan dia naik motor dengan begitu lancar, nggak terlihat masih belajar!

Gue terpaku di pinggir lapangan, dengan ekspresi bengong dan bingung paling mumpuni. Bahkan gue lupa kalau lagi kehausan dan pengen beli minum ke kantin. Yang gue perhatikan adalah Meru, yang naik motor melintasi pos satpam, dengan temennya yang duduk manis di belakangnya.

Perlu gue jelaskan letak dan kondisi sekolah gue! Sekolah gue ada di pinggir jalan raya. Tiap kali lo mau pulang, lo harus nyeberang jalan raya. Nah, gue melihat Meru udah menyeberang jalan sekarang! Dia menyeberang dengan sangat mumpuni. Nggak kayak Meru yang biasanya nempelin gue lalu gandeng tangan gue dengan alasan takut dan nggak bisa nyeberang!

Dia bisa! Dia bisa naik motor, dia bisa nyeberang! Lalu kenapa selama ini dia berbohong? Kenapa dia bohongin gue? Kenapa dia menyembunyikan banyak hal dari gue? Kenapa gue yang sibuk mikir betapa lemahnya Meru dan mikir kalau Meru nggak bisa apa-apa tanpa gue? Lo tuh full of yourself, Bromo! Bahkan lo nggak pernah peka kalau sepupu sekaligus temen lo sejak kecil itu udah berubah seiring waktu! Dia jauh lebih macho dibanding lo! Dia hanya pura-pura di depan lo, menganggap lo orang bodoh yang nggak tahu apa-apa! Entah kebenaran apa lagi yang Meru sembunyikan dari gue selama ini!

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top