Rambut Palsu Untuk Nindy

“Nala, lihat hape gue nggak?” tanya Nindy celingukan.

“Enggak.”

“Awas-awas!” Nindy menggeser tubuh sang adik yang asyik duduk menonton televisi, dan benar saja handphone itu berada di bawah bokong Nala.

“Hape gue lo dudukin, remek deh. Ya ampun, mana memanggil si bos lagi.” Cepat-cepat Nindy memutus panggilan sebelum pria di seberang telepon menerima panggilannya.

“Huft, pasti tuh orang bakalan kegeeran deh. Dikiranya gue nelpon buat nerima tawaran dia. Sorry yah.” Nindy mengibaskan rambut panjangnya lalu kembali ke dalam kamar.

Ia membuka ponselnya, mencari lowongan kerja. Sebenarnya ia juga berat keluar dari pekerjaannya sekarang, tapi kalau dengan mengorbankan jilbabnya ia tak akan pernah mau.

“Nin, kamu kenapa hari gini udah balik kerja?” tanya Dewi tiba-tiba dan duduk di pinggir ranjang sebelah putrinya.

“Nindy Resign, Bu.”

“Resign? Keluar maksudnya?”

“Iya.”

“Kenapa?”

“Kan udah dibilang, si bos nyuruh Nindy lepas jilbab, Bu. Makanya dia nyogok tuh ngirim perabotan tadi. Ogah!”

“Euuum, emang bos kamu itu agamanya apa?”

“Non muslim, Bu.”

“Pantes, ya udah lah. Kamu cari kerja aja di tempat lain. Atau mending kamu main ke rumah si Vida. Barangkali di tempat dia ada kerjaan.”

“Males, Bu. Abangnya ganjen.”

“Terserah deh, yang penting kamu harus kerja, Nin. Soalnya kalau kamu nggak kerja, Ibu nggak bisa nambah kerjaan lagi buat nyuci nggosok. Tiga pintu aja udah ngos-ngosan.”

“Iya, Bu.”

Dewi pun beranjak dari duduknya, Nindy yang tadi tiduran itu pun terduduk. Lalu menunduk memikirkan ucapan ibunya barusan. Sebagai anak pertama, tak tega juga kalau harus melihat ibunya banting tulang sendiri.

Ia pun bangkit dan mengambil jilbab bergo berwarna hitam. Lalu keluar kamar hendak pergi ke luar. Berharap di luar nanti ia akan menemukan jalan keluar atas masalah yang dihadapinya sekarang.

.

Esoknya, pagi-pagi sekali Chandra sudah bersiap berangkat ke kantor. Meskipun hatinya tak seceria biasanya, karena mulai hari ini ia harus siap tidak lagi bertemu dengan gadis itu.

Chandra dan keluarganya duduk di ruang makan, ia mengambil selembar roti tawar dan mengolesinya dengan selai coklat. Lalu menggigit pelan.

“Chan, lo punya temen nggak? Cewek, buat kerja di coffeshop gue.”

Chandra melirik sekilas ke arah sang kakak, mungkin ini jawaban atas keresahannya? Kalau ia mengajukan gadis sok jual mahal itu untuk bekerja pada kakaknya. Ia masih bisa setiap hari bertemu dan mengerjai Nindy.

“Berjilbab boleh?”

“Boleh, bebas. Yang penting cantik, buat kasir. Soalnya kasir gue ada tiga, yang satu pulang kampung abis lebaran nggak balik-balik. Nah yang satu lagi kena covid, tinggal satu. Kasihan kalau sendiri.”

“Oh, iya udah ntar gue kasih nomornya Nindy.”

“Nindy?” Sang mama mendelik. “Nindy lagi, Nindy lagi. Mau kamu tuh apa, Chan? Masih ngejar dia yang nggak mau sama kamu?”

“Emang Nindy siapa, Ma?” tanya Tristan bingung karena ia pun tidak tahu menahu masalah sang adik.

“Gebetannya Chandra, cewek muslim, berjilbab, dia suruh lepas jilbab.” Sang mama yang bernama Fariana itu menjelaskan.

“Oh, iya iya, boleh lah dia. Gue jadi pengen tahu gimana sih wujudnya.” Tristan terbahak, sementara adiknya hanya merengut kesal. Terlebih kemarin ia sudah di pehapein dengan panggilan yang hanya sekali itu, lalu tidak ada kelanjutannya lagi. 

Padahal dirinya sudah menunggu semalaman, nada dering dibesarkan, agar jika gadis itu menelpon langsung terdengar. Ke kamar mandi handphone di bawa, tidur menjadi tidak pulas, handphone diletakkan di samping telinga. 

“Udah ah, berangkat dulu, Ma.” Chandra bangkit dari duduk dan menyalami sang mama.

Meski sifatnya keras, pria dengan wajah garang itu pun selalu mencium punggung tangan mamanya setiap kali akam keluar rumah. Dia berusaha menjadi anak yang berbakti.

“Aku juga jalan dulu, Ma.” Tristan pun menyalami mamanya.

“Kalian hati-hati.”

“Iya, Ma.”

Chandra menekan remote mobilnya, seketika kendaraan roda empat berwarna putih itu mengedip. Sedangkan sang kakak hanya naik motor metic.

“Tan, kenapa lo nggak beli mobil aja sih? Mosok pemilik cafe naij motor,” ujar Chandra.

“Lo nggak tahu seninya naik motor kalau lagi sama cewek. Lo bisa dipeluk dari belakang, kalau kehujanan kita berteduh berdua, dan itu nggak bisa dinikmatin kalau naik mobil, Chan.”

“Bisa aja, tinggal lo pinggirin tuh mobil. Ke belakang deh.”

“Ngapain?”

“Suka-suka gue lah, gue yang punya mobil.” Chandra pun ngeloyor begitu saja. Sang kakak hanya melotot sambil memakai helm.

Tristan mendorong pagar rumah hingga terbuka, lalu membiarkan adiknya keluar lebih dulu dengan mobilnya. Suara klakson terdengar dari mobil Chandra pertanda pria itu sudah melaju menjauh.

Pagar kembali ditutup oleh Tristan dan hingga menyisakan bagian pintu saja untuk motornya lewat. 

“Biar saja aja yang nutup, Mas.” Suara wanita paruh baya yang berlari dari arah garasi menghampiri.

“Makasih, Mbok.”

Tristan pun melaju dengan motornya.

.

Chandra masih memikirkan ucapan kakaknya tadi. Apa iya ia akan mengajukan Nindy untuk bekerja di caffe, basic ijazahnya kan nggak nyambung sama sekali. Mosok arsitek jadi kasir?

Chandra menatap jalanan pagi itu yang padat merayap. Ia kesiangan keluar rumah gara-gara ngobrol dulu tadi. Biasanya jam setengah tujuh ia sudaj berangkat, tadi jam tujuh lewat baru keluar.

Lampu merah dengan detik terlama sedang dialaminya. Menunggu membuatnya bosan, ia pun membuka ponsel sejenak melihat pesan yang masuk, hanya dari assistennya di kantor saja dan grup wa.

Tiba-tiba sebuah motor berhenti tepat di samping kanannya, awalnya ia tak peduli dengan siapa penumpangnya. Namun, pas ia sadar kalau yang berada di atas boncengan motor itu adalah Nindy, ia langsung membuka kaca jendela.

“Eh, kamu! Turun!” teriaknya.

Nindy melotot, kaget dengan siapa yang meneriakinya itu. Ia pun menepuk bahu pria dengan jaket ojol yang ditumpanginya itu untuk maju.

“Bang, ke depan, Bang. Ada orang gila,” ujarnya.

“Eh mana, Neng?”

“Eh, turun nggak!” teriak Chandra lagi membuat sebagian orang menoleh ke arahnya. Ia tak peduli, tapi Nindy malunya bukan main.

“Neng, kalau lagi berantem sama pacarnya mending diselesain.” Supir ojol mencoba memberi saran.

“Saya udah bilang, itu orang gila. Nah udah lampu ijo, kebut, Bang.”

Motor ojol yang ditumpangi Nindy pun melaju kencang, sementara Chandra baru bersiap untuk mengejarnya.

“Awas kamu ya, aku harus bisa bawa kamu ke kantor hari ini. Kalau kamu nggak mau lepas jilbab, aku akan minta kamu pakai rambut palsu.”

.

Bersambung.





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top