Nindy Diajak Taaruf
Brugh!
Nindy mengempaskan bokong di atas kursi ruang tamu rumahnya. Tepat pukul sembilan malam dirinya baru sampai rumah, setelah seharian keliling menyebar dan menawarkan brosur perumahan. Padahal pekerjaannya bukan sebagai marketing, ia merasa hari ini benar-benar melelahkan.
“Jam segini baru pulang, ke mana aja?” tanya sang ibu yang duduk di sebelahnya memandang wajah kusut putrinya itu.
“Kerja, Bu.”
“Kerja? Bukannya kamu bilang udah keluar?”
“Iya, dipaksa masuk lagi. Oh iya, bakso tuh, Bu. Enak, Cuma kudu diangetin dulu. Dari siang soalnya. Kuahnya dipisah kok.”
“Iya, ntar Ibu panasin. Nin, tahu nggak? Si Umar, cowok yang dulu demen sama kamu tuh, kemarin meninggal kena covid.”
“Innalillahi wa innailaihi rojiun. Serius, Bu? Kan masih muda dia.”
“Iya, dia punya diabetes, keturunan. Ibu mau ingetin, jangan suka beli minuman yang manis di luar, kaya teh-teh gitu. Soalnya kadar gulanya tinggi.”
“Iya, Bu. Palingan aku belinya air mineral sama susu kotak.”
“Iya, kalau meninggal karena covid itu kaga enaknya keluarga nggak bisa nganterin, nyolatin, mana masuk peti. Itu juga masker pake lagi deh, kerjaan kamu kan rawan banget kena, soalnya banyak ketemu orang.”
“Iya, Bu. Udah ah, Nindy mau mandi dulu.” Nindy beranjak dari duduknya, lalu masuk kamar mengambil handuk setelah meletakkan tasnya di atas kasur.
Setelah selesai mandi, Nindy merebahkan tubuhnya di atas kasur. Kemudian membuka pesan whatsapp yang masuk.
Winda [Nin, besok libur, caffe, yuk!]
Nindy buru-buru membalasnya, kebetulan dirinya memang sedang suntuk dan butuh hiburan.
[Boleh, jam berapa? Gue juga lagi suntuk nih.]
Winda [Siang aja, ada yang mau gue kenalin ke lo, cowok, ganteng, tajir.]
[Hahaha, gila lo ah, eh gue bisa kali cari cowok sendiri.]
Winda [Temennya Abang gue.]
[Kenapa nggak buat lo aja, Win?]
Winda [Trus Bram gue ke manain?]
[Tapi gue nggak mau pacaran, Win]
Winda [Sama, tuh cowok juga nggak mau pacaran, maunya langsung nikah. Dia mau taaruf.]
Nindy terdiam sejenak, kalau memang laki-laki itu nantinya serius dengannya lalu bagaimana? Kalau menikah muda, ia belum siap. Masih ada dua orang adik yang ia tanggung sekolahnya, belum lagi ibunya. Apa mau laki-laki itu menjadi penggantinya nanti? Membiayai dirinya dan keluarganya.
Winda [Nin, lo udah molor ya?]
[Belum. Tapi gue juga bingung kalau diajak nikah. Belum siap, adik gue dua masih sekolah, belum Ibu gue juga, kasihan kalau gue tinggal]
Winda [Itu urusan belakangan, Nin. Kalau dia mau nerima lo. Berarti dia mau nerima keluarga lo juga.]
[Ya udah lah, yang penting besok kita ngafe dulu.]
Winda [Nah bener tuh, biar nggak cengo lo kalau kita lagi ngumpul. Kan kasihan lo sendirian.]
[Eh, gue jadi jomblo bukan karena nggak laku, tapi karena prinsip]
Winda [ Hahahaha. Iya iya. ]
“Nindy, ada Bos lo noh di depan,” panggil Dewi dari depan pintu kamarnya.
Nindy melongo, “Siapa, Bu? Bos? Malam-malam begini? Bilangin, Bu. Nindy nya udah tidur.”
“Nggak bisa, dia bawa makanan banyak banget, mosok Ibu usir. Udah soni temuin dulu, kali aja penting.”
Dengan malas, Nindy beranjak dari duduknya. Ia merapikan pakaiannya. Mengambil jaket untuk menutupi lengannya, karena ia hanya pakai kaos pendek, lalu jilbab bergo warna hitam. Barulah ia keluar dari kamar menemui tamunya.
Benar saja, di ruang tamu si Bos sudah duduk dengan masih mengenakan pakaian yang sama seperti tadi siang waktu kerja.
“Maaf, Bos. Ada apa ya, malam-malam begini?”
“Nin, sepertinya besok kamu nggak perlu kerja ke kantor deh.”
“Maksudnya? Bos beneran mecat saya kan? Eh saya beneran keluar gitu?” Entah mengapa tiba-tiba saja hati Nindy bahagia mendengarnya.
“Bukan.”
“Terus?”
“Kamu sudah dengar berita?”
“Tentang apa?”
“Covid yang mulai menyebar lagi, dan kali ini lebih ganas dan cepat penyebarannya.”
“Iya, saya tahu. Tapi apa hubungannya dengan pekerjaan saya?”
“Seminggu besok kamu WFH ya, selang seling sama bagian lain.”
“Ooh, siap, Bos.” Nindy merasa tenang, karena kalau WFH, dirinya tidak akan bertemu dengan Bos super nyebelinnya itu.
“Kamu nggak buatin saya minum?” sindir Chandra sambil memegang lehernya.
“Loh, kirain Bos mau pulang.”
“Ya udahlah, saya permisi dulu.”
“Eh, tunggu, Bos. Saya buatkan minum dulu aja. Tunggu sebentar ya.” Nindya melangkah ke dapur, ia tahu minuman kesukaan bosnya itu. Kopi hitam dengan sedikit gula.
Lima menit kemudian Nindy kembali dengan secangkir kopi di tangan. Lalu meletakkannya di atas meja. “Silakan diminum, Bos.”
“Makasih. Besok kamu ada acara?” tanya Chandra dengan jantung berdebar.
Besok adalah hari Sabtu, ia sedang berusaha untuk mengajak Nindy jalan malam mingguan. Semoga saja berhasil.
“Eum, ada, Bos. Barusan teman saya ngajak jalan.”
“Oh.”
“Emang, kenapa?”
“Nggak apa-apa nanya aja, teman atau pacar?”
“Si Bos nanya apa interogasi nih? Saya mah nggak punya pacar, alias jomblo.” Dengan meringis memperlihatkan barisan giginya, Nindy menunduk memilin ujung jilbab.
“Oh.”
“Bos mau ngajak saya ngedate?” tembak Nindy malu-malu.
“Uhuk-uhuk.” Chandra seketika tersedak, ia tak menyangka kalau Nindy akan bicara seperti itu.
“Jangan kegeeran kamu. Saya mau ngajak kamu sebar brosur lagi,” celetuk Chandra menutup kegugupannya.
“Iya iya, Pak. Saya mah sadar diri, mana mungkin Bapak mau sama saya, nggak selevel juga kali. Tapi, makasih, Bapak mau capek-capek ke sini ngasih saya kabar sama makanan buat Ibu saya.”
“Ya, biar kamu nggak keluar dari perusahaan saya. Karena saya butuh assisten, tukang gambar, dan sales seperti kamu. Yang pekerja keras, nggak tahu malu, juga berani.”
Nindy mendelik, entah itu ucapan pujian atau hinaan. Tapi ia tak peduli, yang penting selama seminggu dirinya akan bebas melihat wajah garangnya si Bos.
.
Esoknya Chandra sedang asyik berenang di kolam renang rumahnya. Kegiatan yang selalu ia lakukan setiap libur akhir pekan. Biasanya ia sering mengajak temannya juga untuk ngegym di salah satu tempat favoritnya. Namun, hari ini ia ingin bermalas-malasan saja di rumah.
Pekerjaan yang menuntutnya harus kerja lebih ekstra, membuat pikirannya semakin rumit. Karena ia harus memikirkan para karyawan yang bergantung hidup padanya. Sementara masa pendemi yang harusnya sudah berakhir, kini justru melonjak lagi.
“Chandra, teman Mama nanti siang mau ke sini sama anaknya. Kamu nggak ke mana-mana kan?” tanya sang mama yang datang dan duduk kursi pinggir kolam sambil menikmati secangkir teh hangat.
Chandra duduk di tepi kolam, mengusap wajahnya yang basah. Masih terengah ia menatap wanita paruh baya itu. “Mama mau ngenalin aku sana anaknya lagi?”
“Iya, tapi nggak ada maksud jodohin kok. Mereka hanya ingin main saja.”
“Okelah.”
“Mah, aku pergi dulu ya.” Suara Tristan dari balik pintu membuat keduanya menoleh.
“Mau ke mana pagi-pagi begini?” tanya Chandra menatap aneh sang kakak.
“Mau cari hadiah.”
“Buat cewek?”
“Iya, nanti siang temen mau ngenalin gue sama cewek. Yah, belum tahu juga orangnya kaya gimana, gue mau kaya orang-orang gitu. Taaruf.”
“Apa itu?” tanya sang mama.
“Kenalan, Mah. Kalau cocok lanjut, tapi nggak pacaran.”
“Oh, ya kalau Mama sih siapa pun pilihan kamu pasti Mama setuju, yang penting orangnya baik.”
Tristan pun berpamitan, sementara Chandra mengernyit. Ia menjadi penasaran, siapa perempuan yang akan ditemui kakaknya itu? Di zaman seperti sekarang ini, masih ada apa orang yang mau berhubungan tanpa pacaran, langsung menikah gitu? Ia merasa itu tidak mungkin, kecuali gadis matre yang hanya melihat materi saja. Karena yang pacaran lama saja bisa putus, bagaimana dengan yang tidak berpacaran lalu menikah?
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top