Kedatangan Mantan


Motor yang ditumpangi Nindy melaju dengan cepat, ia yang sedang buru-buru untuk datang interview itu harus menghindari kejaran mantan bosnya yang baginya seperti orang kurang waras.

Sambil sesekali menoleh ke belakang, mobil putih milik Chandra mengklakson jalanan hingga sebagian kendaraan pun menyingkir. 

“Gila si Bos, ngejar gue sampe segitunya. Udah kaya dikejar rentenir jadinya,” gumam Nindy resah.

Ia melihat jalanan depan, lalu menatap ponselnya yang menyala. Di maps jarak ke kantor barunya itu masih sekitar dua puluh menit lagi, dan dia harus bertahan untuk kejar kejaran dengan mantan bosnya itu.

Sementara Chandra tersenyum miring, ia akan mencegat motor ojol di depannya dan membawa penumpangnya ke kantor. Ia tidak ingin kehilangan sesuatu yang amat berharga hari ini. 

Chandra pun menginjak gas saat jalanan lengang, dan ia berhasil menyalip motor di depannya, lalu berhenti di depan mereka.

Cekiiit.

Bugh!

Motor berhenti mendadak membuat helm Nindy membentur helm driver ojolnya. “Tuh orang beneran stress,” ujar Nindy lagi.

Pintu mobil bagian kanan pun terbuka, pria dengan kemeja biru laut itu keluar dan berjalan mendekatinya. Nindy membuang muka masih dengan posisi di atas motor.

“Turun kamu!” titah Chandra menatap tajam dengan melawan rasa gugupnya.

“Nindy, kamu punya telinga kan? Kamu tahu hari ini hari apa? Klien kita ingin bertemu kamu, kalau kamu nggak ada bagaimana saya nanti menjelaskan semuanya?” 

Nindy tetap bergeming, ia sama sekali tidak menatap mantan bosnya itu. Terlebih jika ia mengingat kejadian kemarin di rumahnya, setelah memberikan perabotan mewah dan tidak berhasil, lalu menculik sang adik. Rasanya dirinya sudah sama sekali tidak respeck lagi.

“Neng, gimana nih?” tanya pria yang duduk di depan Nindy.

Nindy pun bingung, mobil Chandra menghalanginya jalan. 

“Pak, paksa penumpang Bapak untuk turun. Ini saya bayar ongkosnya.” Chandra mengambil uang berwarna merah dua lembar dari dalam dompetnya. Lalu memberikannya pada driver ojol itu.

“Tapi ini kebanyakan, Om,” ujar pria itu.

“Ambil saja sisanya, Pak. Nin, sekarang kamu turun. Kasihan Bapak itu mau kerja, mosok kamu gelendotin nggak mau turun.” Chandra masih berusaha membujuk.

‘What? Gelendotin? Sakit jiwa nih Bos. Emang dikira selera gue laki orang apa? Mau nggak mau deh gue harus turun,’ berontak hati Nindy.

“Makasih, Om.”

Sopir ojol itu pun memutar motornya dan melaju pergi setelah Nindy turun.

“Mau Bos apa sih? Heran saya, nggak bisa apa kalau nggak gangguin saya?” tanya Nindy kesal.

“Kamu harus ikut saya.”

“Saya nggak mau lepas jilbab, Bos. Jilbab saya ini harga mati. Rancangan saya ambil saja, gratis buat Bos. Anggap kenang-kenangan dari saya.”

“Saya nggak nyuruh kamu lepas jilbab kok. Tenang aja. Ayo!” Chandra tiba-tiba saja langsung menaril tangan gadis di depannya yang terus berontak.

Sampai Nindy benar-benar masuk mobil dan ikit bersamanya ke kantor.

Dalam perjalanan ke kantor Nindy memasang wajah kesal, ia bahkan tak mau menatap pria di sebelahnya apalagi berbincang. Diam-diam Chandra justru mencuri pandang, dadanya berdebar kala melihat bibir ranum gadis itu bergerak-gerak.

.

Tiba di kantor, keduanya menjadi pusat perhatian. Terlebih kemarin Nindy sudah berpamitan pada beberapa rekan kerjanya, tapi sekarang justru kembali lagi dengan bosnya.

“Nin, katanya lo resign?”

“Lah, Nin. Kok lo balik lagi?”

“Asyiik, akhirnya kan lo nggak bakalan lah resign dari sini.”

“Ya iyalah pasti dikejar sama si Bos, orang si Bos suka sama Nindy.”

Suara-suara sumbang terdengar membicarakan Nindy, gadis itu merasa tidak enak dan malu jadinya. Semua gara-gara bosnya itu, Nindy pun harus mengikuti ke ruang meeting.

Ternyata di ruang meeting, tamu yang ingin melihat hasil sketsa rumah idaman sudah menunggu sejak tadi. Chandra pasrah saja kalau kali ini ia tak berhasil memaksa Nindy melepas jilbab, dan ide rambut palsunya tak bisa terlaksana karena waktu sudah benar-benar mepet.

Klek.

Pintu terbuka lebar, Chandra masuk disambut oleh tiga orang pria yang salah satunya adalah sang assisten. Sedangkan Nindy menunduk dan tetap berdiri di samping pintu.

“Selamat datang, Pak Willy, Pak Joey. Saya Chandra, dan dia Nindy karyawan saya yang membuat sketsa kemarin, dia juga jago bikin diorama. Tapi, saya mohon maaf sekali tidak bisa mengabulkan permohonan Bapak waktu itu, untuk membawa dia yang tidak memakai jilbab. Saya tahu Bapak Willy pasti sangat marah, saya minta maaf, karena pasti Bapak juga tidak suka jika melihat dia,” ujar Chandra gugup.

Pria tegap berjas hitam itu hanya tersenyum, ia berjalan mendekati gadis yang berdiri ketakutan di belakang pintu itu. 

Nindy bahkan tak berani melihat tamu penting bosnya. Ia hanya menunduk sambil memejamkan mata. Lalu bibirnya komat kamit berdoa agar tidak diusir dari ruangan. 

Suara derap langkaj kaki yang tiba-tiba mendekatinya semakin membuatnya gemetar.

“Kalau untuk gadis yang satu ini, saya suka melihatnya pakai jilbab. Karena saya sudah pernah melihatnya tanpa jilbab,” ujar Willy. “Apa kabar, Nindy?”

Deg.

Suara itu amat sangat dinekal Nindy.

Ia membuka mata. Dan nyaris saja Nindy jatuh pingsan menatap siapa yang berdiri di hadapannya itu. Willy Dwi Putra, mantan kekasihnya dulu saat di SMA. Dan, pria itu tampak menawan saat ini membuatnya memandang tanpa berkedip. 

.

Bersambung




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top