Ditembak Willy
“Ehem.”
Suara deheman Chandra membuat keduanya tersentak. Nindy menjadi gugup dan salah tingkah, begitu juga dengan pria di depannya yang langsung menyibak rambut dan berbalik badan.
Pertemuan yang sama sekali tak pernah mereka duga. Mengingatkannya akan masa di mana mereka pernah satu sekolah, jajan bareng, pulang bareng, dan melakukan kegiatan bersama.
“Nindy, yang sopan dong sama tamu,” tegur Chandra, ia merasa tidak suka dengan tatapan tamunya tersebut pada gadis pujaannya itu.
“Maaf, Pak.”
“Nggak masalah, Pak Chandra. Jadi, Mbak ini yang membuat gambar yang kemarin Bapak kirim ke assisten saya?” tanya Willy dengan kembali duduk di sebelah Chandra.
Nindy masih berdirir di tempatnya karena belum diminta untuk duduk dan mendekat.
“Benar, Pak. Maaf, kalau gadis itu membuat Bapak kecewa.”
“Enggak, saya suka rancangannya. Denah perumahan yang dibuat ini menurut saya bagus. Tidak banyak sekat, jadi ada perputaran udara di dalam. Kemudian karena kebetulan yang hendak saya buat adalah perumahan khusus muslim, jadi konsep di masing-masing rumah memiliki ruang khusus untuk mushola ini sangat bagus.” Willy terus memuji hasil karya mantan kekasihnya itu.
Willy tak tahu mengapa Chandra tidak memperkenankan karyawannya duduk bersama. Justru membiarkan Nindy menyimak dari kejauhan, tapi itu tak jadi masalah untuknya.
Bagi Willy, Nindy tampak lebih anggun dan menawan dari pada zaman SMA dulu. Atau mungkin saat ini gadis itu sudah mengerti dengan yang namanya make up? Sedangkan zaman sekolah dulu, anak-anak perempuan paling hanya memakai bedak saja.
Sampai meeting mengenai gambar dan beberaap rencana proyek yang hendak dilakukan. Nindy tetap sabar menunggu, tak lama hanya dua jam saja. Namun, membuat kaki gadis itu serasa pegal.
“Maaf, Pak Chandra. Saya boleh anak Nindy untuk keluar?”
Chandra melirik ke arah gadis berjilbab itu dengan wajah sebal. Bisa-bisanya Nindy menarik perhatian kliennya.
“Bisa, Pak.”
“Baik, terima kasih, Pak.”
Chandra hanya mengangguk saja meski ia tak tahu apa tujuan kliennua mengajak Nindy keluar.
.
Meeting selesai pukul sepuluh, Chandra menarik tangan Nindy ke ruangannya.
“Bapak apa-apaan sih? Main tarik tangan saya, sakit tahu.” Nindy memegang pergelangan tangannya.
Chandra hanya diam, ‘Kamu pikir aku nggak sakit lihat kamu tatap-tatapan sama klienku tadi.’ Suara hati Chandra yang berbicara tanpa berani ia keluarkan.
“Mau Bapak apa?”
“Kamu nggak jadi resign.”
“Enggak! Saya tetap resign, saya nggak mau kerja sama bos yang kasar kaya Bapak.”
Chandra mendekat, dan duduk di meja tepat di hadapan Nindy. Ia membungkukkan kepala. Sehingga ia bisa menghirup aroma parfum yang dikenakan gadis itu, harum vanila yang membuat jantungnya kembali kebat kebit.
“Saya nggak akan membiarkan kamu keluar dari perusahaan ini,” ujar Chandra di telinga Nindy.
Mendengar ucapan bosnya itu, membuat Nindy bergidik. Seketika bulu romanya pun meremang. Lalu tanpa sengaja ia mendongak, dan beradu pandang dengan Chandra.
Ada getaran aneh seketika menjalar di dada Nindy, saat ia bisa menatap wajah bosnya sedekat itu. Tatapan tajam yang seakan menusuk jantungnya tersebut, membuatnya harus menelan ludah. Karena baru ini ia menyadari kalau sang atasan ternyata memesona. Tapi sayang, kelakuannya minus.
Nindy buru-buru tersadar, lalu beranjak dari duduknya meninggalkan sang bos yang masih terpaku di tempatnya.
“Akhirnya, kamu keluar juga. Aku mau ajak kamu keluar. Bisa?” tanya Willy yang ternyata sudah menunggunya di depan ruangan Chandra.
Nindy mengangguk dan mengikuti langkah pria di depannya itu.
Willy mengajak Nindy naik ke mobilnya, dan membawanya ke suatu tempat.
Dari jendela ruangan atas, seseorang memperhatikan dengan wajah kesal. Chandra merasa tidak sula dengan kliennya itu yang tiba-tiba mengajak anak buahnya pergi begitu saja.
.
Willy mengajak Nindy ke sebuah tempat, caffe lebih tepatnya. Memesan dua vanilla late kesukaan mereka, dan juga donat.
Saat tersaji, keduanya saling pandang sekilas lalu tertawa kecil. “Kamu sengaja kan pesen ini?” tanya Nindy.
“Iya, makanan ini kan kesukaan kita waktu di sekolah dulu. Bedanya kalau di sekolah kita makannya di warung Bu Ame.”
“Trus kamu suka ngutang pula.”
Keduanya tertawa mengingat masa-masa sekolah dulu. Lalu seketika terdiam, saling pandang dan tertunduk malu.
“Kamu makin cantik, Nin,” puji Willy dengan tatapannya.
“Kamu juga makin ganteng aja. Sudah sukses pula.”
“Aku nerusin perusahaan Papa, Nin. Papa meninggal dua tahun lalu kena serangan jantung.”
“Innalillahi wa innailaihi rojiun. Turut berdukacita ya.”
“Makasih, Nin.”
Nindy masih ingat sekali papanya Willy seperti apa. Orangnya baik, setiap kali dirinya main diajak main ke rumah, pasti Willy diminta untuk melayaninya dengan baik. Keluarga Willy semua ramah dan menerimanya. Sayang, kandasnya hubungan mereka dulu karena pria di sebelahnya harus kuliah ke luar negeri.
“Kita ini, dulu putus nggak sih, Nin?” tanya Willy tiba-tiba.
Nindy yang sedang menyesap kopinya itu pun menoleh. Ia bahkan tidak tahu apa status hubungannya saat itu.
“Aku nggak pernah bilang putus,” jawab Nindy.
“Aku juga, aku hanya bilang kalau aku pergi, Nin. Jaga diri kamu baik-baik, jika takdir mempertemukan kita lagi. Tandanya kita berjodoh.”
Wajah Nindy bersemu merah, rasanya apa yang selama ini ia khawatirkan tidak terjadi. Ia masih sangat berharap kalau hubungannya dengan Willy kembali seperti dulu.
“Apa perasaan kamu ke aku masih sama seperti dulu, Nin?” tanya Willy penuh harap.
Nindy pun tiba-tiba bimbang, meragukan perasaannya sendiri. Namun, ia juga tak punya laki-laki lain, pacar apalagi. Selama putus dari Willy ia bahkan mengenal pria hanya sekadar teman saja. Teman-teman kuliahnya juga kebanyakan yang dekat adalah perempuan.
“Kamu mau kita mulai dari awal, Nin?”
Nindy semakin gugup saja, mungkinkah dia akan mencoba menjalin hubungan yang pernah kandas itu?
“Tapi, Wil. Apa perasaan kamu ke aku masih sama? Cinta kita di SMA dulu kan Cuma ....”
“Cinta monyet? Sekarang monyetnya udah dewasa, Nin.”
Nindy dan Willy kembali tertawa, tapi tatapan Willy tak sedikitpun beranjak dari wajah Nindy.
“Kita pacaran lagi, Nin. Kaya dulu, kamu mau kan?”
.
Bersambung.
Hayoooo terima gak nih???
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top