Diculik Bos

Chandra mengusap kepalanya, lalu kembali duduk di belakang kemudi.

“Bos mau cium saya?” tanya Nindy mendelik.

“Jangan kepedean kamu, saya Cuma mau mastiin aja, jok mobil saya nggak kena iler kamu.” Chandra yang nyaris kepergok itu pun mencoba mencari alasan.

Nindy mengusap wajahnya, ia merasa tidak ngiler. Ia pun mengendus pakaian dan juga jok mobil sang bos. Tidak ada bau mencurigakan seperti yang dikatakan bosnya tadi.

“Buruan turun! Saya lapar!” titah Chandra seraya keluar mobil.

“Bos sableng,” gumam Nindy sambil melepas sitbelt dan keluar dari mobil.

Nindy memandangi sekitar, “Rest area? Ini sebenarnya gue mau dibawa ke mana sih?” Sambil melangkah mengikuti pria yang sudah masuk ke rumah makan di depan mereka.

Nindy mengambil duduk di sebelah bosnya, tapi tangan Chandra meraih kursinya dan menjauhkannya. “Jangan duduk sini, duduk situ!” tunjuknya di seberang mejanya.

“Ya elah, Pak. Timbang duduk doang aja saya nggak boleh.”

“Ya jangan deket-deket saya. Pengen banget deketin saya,” sahut Chandra jutek menyembunyikan perasaannya yang sejak tadi tidak keruan itu.

Gimana mungkin ia mengizinkan Nindy duduk di sebelahnya, bisa ketahuan betapa gugupnya dirinya nanti. Sekarang saja ia sudah merasa telapak tangannya mulai berkeringat. Karena seumur-umur dirinya belum pernah pergi berdua saja dengan gadis yang ia sukai.

“Permisi, mau pesan apa? Silakan ini menunya.” Seorang waiters datang dan memberikan buku menu.

“Bapak pesan apa?” tanya Nindy ragu, ia tak tahu harus memesan makanan apa di situ, semua menunya serba bakso. Ia lapar ingin makan nasi.

“Saya bakso lava satu, es lemon tea satu. Kamu mau makan apa?”

“Mas, ada nasinya nggak? Saya nggak bisa kalau nggak makan nasi.” Nindy bertanya pada sang pelayan.

Chandra menunduk dan garuk kepala, dalam hatinya merasa malu sudah membawa gadis itu makan di tempat seperti ini. Karena ia mencari nasi, tapi Chandra mungkin harus membiasakan diri.

“Maaf, Mbak. Nggak ada.”

“Oh ya udeh ya, saya pesan bakso beranak aja, minumnya es teh manis aja.”

“Baik, Mbak, Mas. Ditunggu pesanannya.” Waiters itu pun berlalu.

“Bisa nggak sih nggak malu-maluin, ini bukan warteg. Kamu cari nasi.” 

“Saya laper, Pak.” Nindy memandang wajah memelas dengan tangan mengambil kerupuk dari dalam kaleng.

“Kamu yakin makanan di kaleng itu bersih?” tanya Chandra menatap gadis di depannya asyik mengunyah kerupuk berwarna putih.

“InsyaAllah bersih lah, Pak. Kalau saya sakit trus kenapa-kenapa juga, palingan Bapak yang repot. Bukan saya.”

Chandra merebut kerupuk dari tangan Nindy. “Jangan makan sembarangan kamu.”

“Bapak apa-apaan sih? Kalay mau ambil sendiri aja, masih banyak.” Nindy kembali merebut kerupuk itu dan mengunyahnya lagi. “Sebenarnya kita mau ke mana sih, Pak? Kenapa Bapak ngajak saya ke sini?”

“Yaaa. Eum  ... eum  ....”

Chandra tak bisa menjawab, padahal ia ingin makan siang bersama Nindy saja. Karena kalau di dekat kantor akan banyak gangguan.

“Saya Cuma mau ngasih tahu aja, di sini baksonya enak.”

Gedubrak!

Nindy memukul meja sambil terbahak, lalu sadar akan kelakuannya. Ia pun langsung menutup mulut. “Astaga, Bapak ke sini hanya untuk bilang itu? Sesuatu yang mungkin bagi saya nggak ada gunanya, Pak. Mau enak juga kalau jauh begini saya mah ogah.”

Chandra hanya menatap gadis di depannya sekilas, lalu tersenyum kecil. “Kalau kamu mau saya antar ke sininya.”

Deg. 

Seketika Nindy menoleh menatap tak percaya dengan ucapan bosnya barusan. “Kaya di rumah nggak ada bakso aja, Pak.”

‘Bukan masalah baksonya, Nindy. Tapi momentnya.’ Suara hati Chandra rasanya ingin mencuat saja.

“Kamu serius nggak mau kerja sama saya lagi?” tanya Chandra kali ini dengan serius.

Nindy menghela napas pelan. “Gimana ya, Pak. Bapak kemarin udah ngerendahin saya. Jadi, saya takut kalau saya balik kerja lagi sama Bapak. Suatu saat nanti pasti disuruh lepas jilbab lagi.”

“Kamu kan tahu alasan saya nyuruh kamu lepas jilbab itu apa? Bukan murni keinginan saya.”

“Harusnya Bapak sebagai atasan, bisa membela bawahannya. Ngeback up, kalau Bapak pertahanin saya dengan pakaian yang saya kenakan, saya juga akan pertahanin pekerjaan demi perusahaan Bapak.”

“Bukan begitu konsepnya, Nin.”

“Bukan begitu gimana? Jelas Bapak lebih mementingkan nama baik perusahaan Bapak, dari pada karyawan Bapak. Padahal selama ini yang membuat suatu perusahaan menjadi maju, terkenal dan sukses itu atas kerja anak buah Bapak. Bapak bayangin kalau nggak punya karyawan gimana?”

“Iya cukup-cukup. Maaf kalau kemarin saya salah.”

“Trus kenapa Bapak bisa tiba-tiba ada di depan caffe trus ngajak saya ke sini? Bapak ngintilin saya?”

“Jangan sembarangan kalau ngomong. Saya mau kasih kamu tugas nanti habis makan.”

Tak lama pesanan mereka pun tiba di meja. Dua mangkuk bakso tersaji dan siap santap. Air liur keduanua hendak menetes.

Chandra mengaduk kuah dan menyesapnya pelan. Lalu membelas bakso tersebut, sehingga dari dalam keluar sambal yang warnanya memerah. Begitu juga dengan Nindy, bakso berbentuk bulat besar itu ia belah jadi dua, di tengahnya banyak bakso kecil-kecil disertai dengan irisan cabai.

“Enak banget, Pak. Baksonya,” celetuk Nindy.

“Saya kan udah bilang, enak kan?”

“Saya boleh bungkus nggak, Pak? Buat keluarga saya.”

“Uhuk, bo—boleh, boleh.”

“Makasih, Pak.”

Nindy semakin bersemangat untuk makan, ia pun menjadi senang bisa mengerjai bos galaknya itu. Kapan lagi coba, bosnya dikerjai dengan membelikan keluarganya bakso enak seperti yang dimakannya.

Chandra diam-diam mencuri pandang, lalu kembali makan. ‘Jangankan membelikan bakso sekeluarga, Nin. Apa pun yang kamu minta akan aku berikan,’ ujarnya dalam hati.

“Alhamdulillah, kenyang.” Nindy mengusap perutnya dan bersandar di sandaran kursi. “Pulang, yuk, Pak!”

“Enak saja, kamu pikir kamu ke sini makan trus pulang gitu aja?”

“Ya kan, tadi Bapak bilang mau makan aja.”

“Iya, itu saya. Kalau kamu ya harus kerja. Nggak ada yang gratis di dunia ini, Nindy.”

Nindy melongo. “Maksudnya?”

Bruk!

Chandra melempar kertas ke atas meja. “Kamu lihat kan beberapa pengunjung di sana.”

Nindy menoleh, ia mengangguk paham.

“Kamu tahu ini apa?” tunjuk Chandra pada kertas di meja.

Nindy lagi-lagi mengangguk paham.

“Kamu tawarkan pada mereka bawa brosur ini. Harua dapat minimal satu orang transaksi. Kalau enggak! Kamu nggak boleh pulang!”

“Apa? Pak, jangan gila dong. Ini rumah loh, Pak. Jualan rumah nggak kaya jual kacang goreng langsung laku, Pak. Ya ampun, Pak. Saya nggak jadi aja deh beliin keluarga saya bakso, nggak apa nggak jadi, dari pada harus closing. Ini sih, Bapak namanya ngerjain saya.” Nindy panik sambil menatap brosur perumahan milik perusahaan bosnya itu.

“Oh, nggak bisa. Karena kamu juga sudah makan, saya sudah pesankan juga. Sekarang kamu harus bekerja. Buruan! Sebelum mereka pergi!” 

Chandra tersenyum miring mengerjai bawahannya. ‘nyulik kamu seharian lebih seru dari pada nyulik adik kamu, muka panik kamu bikin aku gemas, Nin.’

.

Bersambung.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top