Bos Ditelpon Nindy
Yang belum follow, bolehlah follow dulu yaaa.
Votenya jangan lupa 😚
.
“Hallo, Nindy? Kalau kamu mau adik kamu ini selamat. Kamu harus turuti apa kata saya!”
Nindy yang sedang duduk sambil mencharger handphone itupun tersentak. Suara bosnya lebih mirip pemberitahuan dari pada sebuah ancaman.
“Culik aja, Pak. Adik saya yang itu makannya banyak, suka ngabisin nasi. Bapak kan tahu saya udah nggak kerja lagi di kantor Bapak. Yaah, itung-itung Bapak kasih makan satu anak yatim. Berpahala. Bawa aja, Pak. Bawa.” Dengan santai Nindy menjawab ucapan bosnya.
Tiba-tiba saja panggilan terputus. Gadis berjilbab itu meletakkan kembali ponselnya, ia hanya menghela napas pelan dan berjalan ke dapur. Membuka tudung saji, ada jengkol dicabein dengan teri, dan sayur asem. Seketika perutnya meronta.
Ia duduk mengambil piring dan menyendok nasi, lalu menuang sayur dan lauknya. Makanan kesukaannya tersaji dengan sukacita, ia pun memakannya perlahan.
Srek srek srek.
Suara kaki ibunya mendekat, lalu duduk di sebelah. “Nana lama banget beli obat doang,” celetuk Dewi sambil mengambil minum.
“Diculik, Bu.”
“Apa? Diculik? Lo yang bener kalo ngomong, Nin. Adek lo diculik nyantai banget hidup lo, ntar kalau terjadi apa-apa sama dia gimana? Gitu-gitu juga tuh bocah masih anak Ibu.”
“Tenang aja sih, Bu. Yang nyulik orang kaya, hidupnya bakalan terjamin. Kali aja nanti si Nana bisa disekolahin di tempat bagus, ya kan?”
“Nindy, jangan sembarangan kalau ngomong.”
Dewi lalu beranjak dari duduknya, memegangi pipinya. Ia berdiri di depan pintu dan berjalan mondar mandir menunggu sang putri.
Nana memang masih SMA, tapi postur tubuhnya lebih besar dari pada sang kakak. Kalau orang menyebutnya bongsor.
.
“Turunin,” titah Chandra pada kedua anak buahnya.
“Lah, Bos. Pingsan ini bocah, turunin di mana? Keliatan orang ntar dikira kita buang mayat.” Salah satu anak buah Chandra merasa ketakutan.
“Biarin aja, udah turunin! Atau kalian saya pecat!”
“I—iya, Bos.”
Keduanya lalu menggotong tubuh Nana yang lumayan berat itu keluar dari mobil. Lalu ia meletakkannya di atas trotoar dengan posisi duduk. Kemudian mereka masuk kembali ke mobil.
“Plastik apaan nih?” celetuk salah satunya.
“Punya tuh bocah kali, lempar aja.”
Plastik berisi obat sakit gigi itu pun di lempar dari jendel mobil ke arah Nana, dan mengenai hidung gadis itu hingga terbangun.
“Aduh,” pekiknya.
Mobil Chandra lalu melaju meninggalkan lokasi, dan Nana kebingungan karena ia menjadi pusat perhatian orang sekitar yang lalu lalang.
Chandra masoh geram karena penolakan dari karyawannya itu. Ia pulang dengan hati gelisah, sebenarnya ia masih jam kantor. Tapi rasanya ia sudah tak lagi bersemangat jika di kantor tidak melihat Nindy.
“Sudah pulang, Chan?” tanya wanita paruh baya yang asyik duduk di teras rumahnya.
“Sudah, Ma.” Chandra duduk di sebelah sang mama.
“Kenapa suntuk begitu?”
“Aku ditolak cewek.”
“Oh, siapa? Nindy? Gadis berjilbab itu lagi? Kenapa sih, Chan. Kamu nggak cari gadis lain saja, jelas dia akan menolak kamu terus. Kita beda keyakinan.”
“Bukan itu alasannya, Ma. Mama aja bisa menikah sama Papa beda keyakinan kan?”
“Lalu masalahnya apa?”
“Aku suruh dia lepas jilbab.”
Wanita di sebelah Chandra tertawa kecil. “Jilbab itu bagi mereka adalah ciri khas seorang muslim. Nggak bisa sembarangan kamu meminta dia buat lepasin apa yang sudah melekat di kehidupannya.”
“Tapi kubayar mahal, besok yang mau lihat rancangan dia itu nggak suka sama perempuan berjilbab. Kalau dia nggak ada, aku bilang apa? Nanti proyek gagal lagi.”
“Kamu itu kalau dibilangin susah.”
Chandra hanya terdiam, ia menyandarkan tubuhnya ke belakang kursi. Lalu meluruskan kaki.
“Mama kenalin sama anaknya teman Mama mau? Namanya Sherly, baru lulus kuliah di Amerika. Nggak berjilbab dan cantik, satu keyakinan dengan kita. Besok Minggu kalau ke Gereja kamu Mama kenalin.”
“Males,” jawab Chandra sambil berlalu meninggalkan sang mama.
Wanita paruh baya itu hanya menggeleng lemah. Putra bungsunya memang kalau sudah punya keinginan, harus tercapai. Dia tidak bisa dibantah, dan agak sulit menyukai wanita. Sama seperti mantan suaminya dulu, yang lebih memilih dirinya dari pada kedua orang tuanya.
Pernikahannya dengan sang suami tidak pernah disetujui karena berbeda keyakinan. Suaminya yang seorang muslim itu begitu mencintainya, pria itu bahkan tidak memaksanya untuk mengikuti keyakinan yang dia anut. Hingga menikah, sayangnya usia pernikahan mereka harus kandas di tengah jalan karena perbedaan prinsip. Di mana papanya Chandra memaksanya untuk berpindah agama.
.
Chandra melepas kemeja lengan panjangnya, hingga menyisakan kaus singlet putih. Ia juga menanggalkan celana panjangnya dan menggantung di belakang pintu.
Ia mematut diri di depan cermin, “Apa kurangnya gue sih? Kenapa Nindy nolak gue?” gumamnya sambil memperhatikan tubuh atletisnya.
Kedua tangan Chandra memiliki otot yang menonjol, begitu juga dengan perutnya yanga banyak perempuan bilang seperti roti sobek. Kulitnua juga putih, dengan wajah rupawan yang membuat banyak wanita histeris melihat ketampanannya.
“Chan!” panggil seseorang dari balik punggungnya.
“Heum.”
“Gue pinjem mobil dong.”
“Ambil aja, kuncinya di atas buffet.”
“Lo kenapa? Ada masalah? Suntuk gitu, hari gini udah pulang kerja.”
“Berisik!”
“Dih, ditanyain.”
“Tan, gue butuh solusi nih,” ujar Chandra pada pria yang berdiri di tengah pintu kamarnya.
Pria yang lebih tua tiga tahun darinya itu pun mendekat. “Kenapa? Cewek?”
“Kok lo tahu?”
“Ketebak, cowok itu suntuk kalau ada masalah sama cewek.”
“Emang salah ya kalau gue nyuruh cewek berjilbab buat lepas jilbabnya?”
“Hahaha. Itu namanya lo cari mati! Mending buat gue aja tuh cewek. Siapa namanya?”
“Enak aja.”
“Ya kalau sama gue, nggak bakalan gue suruh lepas jilbab lah. Kita seiman, lo enggak. Mungkin dia jodoh gue yang dititipkan lewat elo, Chan!”
“Kupret!”
Pria bernama Tristan itu pun berlalu dari kamar sang adik. Dia mengambil kunci mobil dan keluar rumah untuk bertemu dengan klien kerjanya.
Chandra dan Tristan kakak beradik, tapi keduanya tidak memiliki keyakinan yang sama. Karena sang papa dulu menginginkan putra pertamanya mengikuti keyakinannya, dan putra kedua mengikuti keyakinan sang istri.
Namun, bagi mereka perbedaan tidak menjadi masalah untuk tinggal bersama. Tristan memilih tinggal bersama sang mama dari pada ikut dengan papanya yang sudah menikah lagi itu. Ia juga tetap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Seperti sholat, berpuasa, dan berkurban.
Fokus Chandra teralih ketika ponselnya berdering. Ia lihat nama yang tertera di layar “Nindy”
Jantungnya berdegup kencang dengan wajah bersemu merah, “Kenapa gue jadi segugup ini?”
.
bersambung
Cerita ini udah ada di google play store yaa, yg gasabar bisa beli e-booknya 🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top