Bos Chan Cemburu
Bonus part ini se bab, di KBM app sudah tamat bab ini dikunci.
Nindy sedang asyik nyetrika pakaian sambil mendengarkan musik kesukaannya. Tumpukan baju yang sudah dicuci dan dilipat itu tinggal menunggu dieksekusi saja, ia dan kedua adiknya tak pernah meminta sang ibu untuk mencucikan dan mengosok pakaian. Meskipun ibunya seorang tukang cuci dan gosok.
“Kak, besok Senin aku ada ujian praktikum. Bayar dua ratus ribu, kata Ibu suruh minta Kakak, gaji Ibu minggu ini belum dibayar,” ujar Nala, adik laki-lakinya yang berdiri di depan pintu.
Nindy menghela napas pelan, “Iya, besok.”
“Kok besok sih, Kak. Sekarang aja, ada nggak duitnya?”
“Ini masih hari Sabtu, kalo gue kasih sekarang duitnya, ntar lo pake. Enggak, sana!”
“Ck, awas ya, jangan lupa tapinya.”
“Iya, bawel.”
Sang adik lalu berlalu dari kamarnya, Nindy jadi tidak bersemangat lagi. Ia meraih ponselnya melihat pesan masuk dari sohibnya.
Winda [Non, lo udah siap belum?]
[Siap apaan?]
Winda [Yaelah, ngafe, eh pake baju yang bagus ya, yang kalem, biar kelihatan cantik, anggun gitu.]
Nindy menepuk keningnya, “Astaghfirullah. Gue lupa mau janjian, duh pake baju yang mana ya?” ia pun kembali ke tumpukan pakaian yang belum disetrika itu, hanya ada pakaian kerjanya sehari-hari saja. Setelah mencabut colokan setrikaan, ia menuju lemari dan melihat isinya.
Satu persatu pakaian ia pasang di badan sambil menatap cermin, sampai-sampai ibunya yang melintas di depan kamar pun menghentikan langkah dan menengok ke dalam kamar.
“Mau ke mana?”
“Janjian sama temen, Bu.”
“Cowok?”
“Iya, ada yang ngajakin Nindy taaruf, Bu.”
“Siapa? Nin, lagi rawan gini, mending nggak usah ke mana-mana deh.”
“Covid lagi? Ibu tenang aja ya, Nindy bakalan jaga jarak kok.”
“Jangan sampai kamu yang senang, kita yang ketumpuan. Lagian taaruf, emang kamu nikah muda?”
“Kan kenalan dulu, Bu.”
“Sayangnya tuh Bos non muslim ya, kalau aja dia seiman sama kita. Ibu mah dukung kamu sama dia, Nin.”
“Susah, Bu. Non muslim yang mau pindah keyakinan, apalagi karena kita yang bukan siapa-siapa ini. Lagi juga Nindy nggak suka sama dia, Bu. Orangnya kaku, suka maksa, semua perintahnya harus diturutin. Gimana mau jadi kepala rumah tangga, bisa diktator nanti.”
“Ya sifat orang kan bisa aja berubah kalau udah nikah, Nin.”
“Yakin sih, kalau Bos Nindy itu nggak akan pernah berubah. Dah ah, Bu. Males ngomongin dia, jadi nggak mood aja. Bu, kira-kira aku pakai baju apa ya? Gamis apa tunik aja?”
“Tunik aja sama celana panjang, jilbab segi empat yang cakepan. Kalau gamis, nanti dikira kaya ibu-ibu.”
“Kan calon ibu untuk anak-anak kita nanti.”
“Tsah elaaah, ketemu juga belum sama tuh orang. Bae-baek ntar nyesel nangis pas liat orangnya nggak sesuai ekpedisi.”
“Ekspetasi, Bu. Ekspedisi emang dikira mau ngirim paket?”
“Tau lah, yang penting harus hati-hati.”
“Iya, Bu.”
Dewi keluar kamar putrinya, sementara Nindy mengambil tunik berwarna putih dengan celana legging hitam dan jilbab pink. Karena tuniknya memiliki gambar motif bunga berwarna pink, yang sesuai jika dipadu padankan dengan jilbabnya.
Nindy kembali mengirim pesan pada sohibnya itu.
[Emang jam berapa, Win?]
Winda [Abis Zuhur, yah lo ke sini lebih cepet juga nggak apa-apa sih, kita sholat di sini, biar dia nggak kelamaan nunggu.]
[Oke, gue mandi dulu.]
Winda [ Buset, perawan jam segini belom mandi? Jorse lo]
Nindy hanya meringis, menatap jam yang sudah menunjuk pukul sebelas siang. Ia mengendus pakaiannya sendiri, bau asem kecut dari tubuhnya membuat ia mabuk, dan segera beranjak dari tempatnya untuk mandi.
.
Nindy berangkat dengan busway seperti biasa, karena letak caffe yang dimaksu sohibnya berada di daerah Kuningan. Ia akan langsung cepat sampai tepat di depan caffe tersebut.
Sekitar pukul satu siang, dirinya sudah berada di sebuah mol yang dimaksud Winda. Karena belum melaksanakan sholat Zuhur, Nindy pergi ke mushola yang berada di lantai dua mol.
Brugh!
“Aduh,” pekiknya.
“Maaf,” ujar seseorang yang baru saja menabraknya itu.
Nindy menatap sekilas lalu menundukkan pandangannya. Seorang pria jangkung dengan kulit putih dan hidung mancung menatapnya erat.
“Maaf, ya, Mbak. Saya nggak sengaja,” ujarnya dengan nada suara yang begitu lembut.
“I—iya, nggak apa-apa. Saya yang jalannya buru-buru.”
“Permisi.”
Pria itu lalu berlalu, Nindy kembali memandang punggung pria tampan tersebut. Aroma parfumnya yang maskulin membuatnya seolah berada di taman sambil joget ala film India.
“Tuh cowok ganteng banget sih, mau dong diimamin, Mas.” Nindy menghela napas pelan dan kembali masuk ke toilet.
Nindy sholat empat rokaat, kemudian setelah selesai ponselnya berdering keras. Ia buru-buru melipat mukena dan meletakkannya kembali ke lemari samping pintu.
Ia melihat panggilan dari sohibnya “Winda”
“Ya, Win. Bentar, gue baru abis sholat nih. Apa? Orangnya udah dateng? Ya iya, gue ke sana sekarang.”
Setelah memutus panggilan telepon, Nindy ke depan kaca. Ia merapikkan jilbab dan memoles kembali wajahnya dengan bedak dan lipstik tipis-tipis.
Nindy lalu berjalan cepat ke sebuah restoran cepat saji. Ia bisa melihat sahabatnya itu dari kejauhan. Gadis dengan rambut panjang berbaju pink dan di sebelahnya pria yang ia kenal sebagai kekasih Winda. Mereka duduk di pinggir ruangan menghadap ke jalanan. Sedangkan ia tak melihat pria yang dimaksud itu?
“Assalamu’alaikum.” Nindy menyapa dua sohibnya itu.
“Waalaikumsalam. Nindy, cantik banget sih lo.” Winda menjabat tangan sohibnya dan cipika cipiki.
“Mana orangnya, katanya udah dateng?” tanya Nindy tak sabar.
“Sabar, orangnya ke mobil dulu ambil sesuatu katanua buat lo.”
“Iya, Nin. Gimana kerjaan, lancar?” tanya Bram, kekasih Winda yang hari itu kelihatan lebih keren, mungkin karena rambut barunya yang habis dicukur.
“Lancar sih, oh iya. Lo beli rumah di perumahan gue dong, gue lagi target nih sebulan satu rah kejual. Kalo nggak, bos gue taringnya bakalan keluar semua.”
Winda dan Bram terbahak.
“Emang bos lo itu vampire?”
“Lebih serem dari pada vampire deh. Serius gue, investasi lah buat masa depan kalian. Kan pasti kalian nikah duluan nih nanti.” Nindy terus membujuk sohibnya itu.
“Insya Allah, kita ngumpulin modalnya dulu, Nin.” Bram mencoba memberi alasan.
“Yah elah, Bram. Lo kan kaya, modal apaan lagi sih? DP Cuma mabelas juta, cicilan dll mah gampang. Bebas biaya-biaya, loh. Mumpung promo covid.”
“Hush, orangnya tuh!” tunjuk Winda.
Degup jantung Nindy tiba-tiba berdegup kencang, ia tak berani menoleh ke belakang. Berharap apa yang ada di pikirannya tentang wajah laki-laki itu, sesuai dengan ekspetasinya.
“Assalamu’alaikum,” sapanya seraya menarik kursi di sebelah Nindy.
Aroma parfum itu Nindy mengenalnya, sambil menoleh untuk memastikan. Ia pun menjawab salamnya. “Waalaikumsalam.”
“Loh, kamu, yang tadi di toilet kan?” tanyanya dengan senyum menawan.
Nindy hanya mengangguk pelan menikmati pemandangan di hadapannya itu.
Pria itu tersenyum, manis sekali. “Saya Tristan, temannya Bram.”
“Nindy.”
Tanpa mengulurkan tangan keduanya seolah tahu kalau berjabat tangan dengan yang bukan mahramnya tidak diperkenankan.
“Nindy? Saya seperti familiar dengan nama itu,” ujar Tristan seraya mengingat-ingat.
“Nama saya memang pasaran, Mas,” sahut Nindy dengan gugup karena baru saja memanggil pria itu dengan sebutan Mas.
“Bisa jadi sih, maaf, ya. Kamu sudah lama nunggunya?”
“Enggak, kok.”
“Saya punya ini buat kamu, sebagai perkenalan kita.” Tristan menyodorkan sebuah benda berbentuk kotak ke hadapan Nindy.
Kotak kerdus kecil itu diikat dengan pita berwarna pink. Ragu, Nindy menerimanya.
“Tapi, kita baru kenal, Mas.”
“Enggak apa-apa. Saya yakin kamu orang baik, karena berteman dengan orang baik seperti Bram dan Winda.”
“Terima kasih.”
“Eum, kelihatannya cepat banget akrab nih. Yq udah kita makan dulu yuk, aku udah laper nih.” Winda pun memanggil waiters.
Nindy penasaran dengan isi dalam kotak itu.
“Buka saja, Dek.”
Deg. Demi apa gue dipanggil Dek? Jantung Nindy seperti hendak lompat dari sarangnya. Seumur-umur ia tak pernah dipanggil semesra itu dengan pria.
Tangan Nindy bergerak menarik pita tersebut, lalu ia buka tutup kotak itu. Terlihat lah sebuah mushof berwarna pink cerah dan membuat kedua matanya berbinar. “Alquran? Kenapa Mas kasih aku ini?”
“Walaupun saya baru mengenal kamu, tapi saya punya harapan untuk bisa membaca Alquran bersama nanti.”
Nindy melongo dibuatnya, debaran di dada yang sejak tadi tak berhenti. Kini kian cepat saja.
“Masya Allah. Saya jadi nggak enak, beneran deh. Saya takut kalau ternyata saya nggak sesuai dengan apa yang Mas bayangkan. Karena saya banyak celanya juga.”
“Saya juga, nanti kita akan sama-sama belajar.”
Winda dan Bram yang melihat keduanya ikutan senang. Karena telah berhasil menjodohkan dua sohib mereka, dan berharap keduanya akan lanjut ke jenjang pernikahan.
Namun, dari kejauhan ada hati yang retak melihatnya. Tak menyangka kalau pria gadis yang ingin ditemui kakaknya itu adalah gebetannya sendiri.
“Tega lo, Tan. Lo kan tahu kalau Nindy itu gebetan gue!” tangan Chandra mengepal menatap mereka yang tampal bahagia.
.
Bersambung.
Adudu. Kira-kira apa yang bakalan dilakuin Bos Chan yaaa?
Kesiaaan
Lanjutannya bisa ke KBM app yaaa, dikit kok babnya. 15.000 dapat 150 koin bisa buat buka 10bab
Judul di KBM app Diorama Cinta
Yang mau beli e-booknya juga boleh banget yaaa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top