Chapter 5 || Akhir
"Apa katamu? Bermain bersama?!"
"Pergilah, gadis lumpuh! Kau hanya akan memperlambat kami!"
"Ya, dia benar! Menyusahkan saja!"
Gadis kecil di kursa roda itu bernama Ayumi. Matanya mengekspresikan keinginan untuk bisa bermain bersama teman sebayanya.
"Bolehkah aku ikut bermain dengan kalian?" Ia mengulangi kalimatnya beberapa saat lalu. Rasa sakit terpancar dari manik jelaganya. Meski tak dipungkiri kemauan untuk tetap berada di tempat itu bersama mereka jauh lebih kuat dibanding penolakan yang diterima.
"Dasar tidak tahu malu! Sudah kubilang gadis lumpuh sepertimu tidak pantas punya teman! Kau itu hanya menyusahkan orang lain saja! Lamban reaksi! Bisa apa kau, hah?! Dasar gadis aneh!"
"Sudahlah. Lebih baik kita pergi." usul salah seorang dari anak-anak itu.
Ayumi mengulas senyum lebar yang membuat perhatian semua orang beralih padanya.
"Maaf jika aku seburuk itu. Aku hanya ingin berteman dengan kalian tanpa ingin menyusahkan."
Anak lelaki yang sedari tadi mengatainya berdecih kesal.
"Hah?! Sekali menyusahkan tetap saja menyusahkan, bodoh!" Tanpa pikir panjang anak lelaki itu mendorong kursi roda Si Gadis berkucir dua hingga rodanya bergerak mundur menabrak batu kerikil. Anak itu tertawa puas.
"Oi! Kalau sampai dia kenapa-napa kita bisa dimarahi ibunya!" teriak anak lelaki lainnya tepat di telinga bocah yang mendorong Ayumi.
"Diamlah kau, Daiki! Mau kupukul, hah?!"
Pemuda pirang tadi langsung diam tak berkutik mendengar ancaman teman sebayanya yang merupakan juara bela diri tingkat pemula.
"Sepertinya aku belum puas." Bocah itu menyunggingkan seringai sambil mendekati Ayumi.
Meski sedikit takut akan tindakan selanjutnya dari anak itu, Ayumi masih berusaha mengulas senyum.
"Hai, Gadis Lumpuh. Boleh aku memukul wajahmu?!" Kekehan kecil terdengar setelahnya.
Tanpa tunggu lama bocah lelaki itu menyiapkan kuda-kuda siap memukul. Semua anak di hadapannya hanya dapat menatap kasihan pada Ayumi. Mereka tidak tahu cara apa yang manjur untuk menghentikan 'Bos' mereka tanpa membuat mereka berada dalam bahaya yang sama.
"Bersiaplah!"
Ayumi menggenggam erat roda pada kedua sisi kursi. Matanya terkatup rapat. Tubuhnya yang gemetaran menandakan ketakutan dibalik senyum tipisnya.
"Heyyaa!!!—"
"BERHENTI!!!"
Sesaat sebelum tinju dilesatkan, bocah lelaki lain tiba-tiba muncul ke hadapan mereka. Membuat sikap tangan merentang di depan Ayumi. Wajah bocah itu amat serius seakan mengekspresikan sikap patriotisme di hadapan penjajah.
"Minggir kau! Jangan menghalangiku!"
"Tidak akan!" jawab bocah yang baru tiba itu mantap.
"Cih. Mau kupukul juga, hah?!"
"..."
"Akan kuturuti." Sebuah pukulan tepat mengarah ke hidung bocah lelaki tadi. Ia tidak sempat mengelak. Alhasil darah di pembuluh hidungnya pecah.
Serangan berikutnya adalah tinju di perut, kemudian pipi, dan terakhir tendangan kaki.
"Uhuk...." Desakan perih tak tertahankan di sekujur tubuh si bocah laki-laki. Meski begitu, ia kembali bangkit dan berdiri di depan kursi roda si gadis twintail. Ayumi ingin berteriak, tetapi tenggorokannya tersendat oleh desakan tangis tertahan.
"Menyusahkan sekali!" Lagi. Si bocah menjadikan anak lelaki di depannya samsak hidup. Ia menendang hingga punggungnya menabrak Ayumi.
Bocah lelaki itu beralih ke teman-temannya yang agak prihatin menyaksikan keteguhan anak laki-laki yang berani melawan 'Bos' mereka.
"Semuanya, ayo pulang. Biarkan saja para pecundang itu."
Mau tidak mau mereka mengekor pulang dari belakang. Sambil sedikit menoleh ke arah Gadis Berkucir Dua dan bocah lelaki yang kini kembali bangkit.
Seorang gadis kecil berambut biru menatap ke arah mereka jauh lebih lama dari teman-temannya yang lain. Tanpa sadar langkahnya juga ikut berhenti.
"Yuki! Ayo!" Gadis kecil itu tersentak dari lamunan, lalu kembali mengekori teman-temannya.
Tak butuh waktu lama, taman itu telah sepi. Hanya menyisakan dua orang anak manusia.
Sebuah sapu tangan merah muda diusapkan ke luka berdarah bocah lelaki di pangkuan Ayumi.
"Terima kas—"
Pemuda kecil itu bergeming ketika menoleh ke wajah si gadis.
Ayumi tersenyum hangat sekali. Senyuman yang sampai ke mata.
Tetapi ...
Ia juga menangis di saat bersamaan.
"Maafkan aku!"
"T–tidak ap—"
"Karena melindungiku kau terluka! Hiks ... Aku payah! Hiks..."
"..."
"Aku tau diriku ini menyusahkan. Tapi selalu saja keras kepala. Aku memang tidak pantas punya teman!"
"Ingusmu keluar, tuh."
"Heh?!"
Bocah lelaki itu mengambil sapu tangan di genggaman Ayumi. Ia membalik sisi yang ada darahnya dan menggunakan sisi lain untuk mengelap cairan yang keluar dari hidung gadis itu.
"Pantas tidaknya kita hanya bisa ditentukan setelah menjalin pertemanan itu sendiri." Tangan si anak lelaki menggosok hidung Ayumi.
"..."
"Kau memang menyusahkan. Lalu kenapa? Di dunia ini selalu ada orang yang dengan ikhlas disusahkan oleh kita. Seperti ibumu, ayahmu, atau saudaramu. Dan suatu saat kau juga pasti akan menemukan teman yang rela disusahkan olehmu."
"..."
"Tapi kau juga harus berusaha untuk tidak terlalu menyusahkan mereka. Yah, intinya ... Jalani saja apa yang terjadi. Heheh."
"Kau tua juga, ya," ujar Ayumi, masih sesenggukan.
"Hah? Kau mengataiku tua, ya?!"
"Eheheh...."
Mereka berdua tertawa lepas.
"Siapa namamu?"
"Ryota."
"Namaku Ayumi."
"Sebenarnya aku tidak bertanya."
"Aku hanya ingin memberitahumu." Ayumi mempout ria atas pernyatan mengesalkan bocah lelaki yang diketahui bernama Ryota.
Melihat itu, Ryota tersenyum jahil. "Hanya bercanda."
Tanpa ada niat tertawa, Ayumi mengabaikan candaan anak itu. Tangannya meraih kalung di lehernya. "Ini untukmu. Sebagai tanda terima kasihku."
Ryota menatap heran benda berkilau yang memiliki batu berbentuk bintang kehijauan di jemari Ayumi.
"Jaga baik-baik." Ayumi menaruh kalung bintang itu pada telapak tangan Ryota.
"Ini punyamu. Apa tidak apa-apa?"
"Aku menitipkannya untukmu. Jika kita bertemu lagi, kembalikan padaku, ya."
"Tapi..."
"Aku pulang dulu, Ryota-kun. Babay!"
Gadis itu memacu roda kursinya meninggalkan Ryota yang hampir jatuh karena gerakan tiba-tiba.
Ryota menatap kepergiannnya yang entah kapan akan bertemu lagi.
🐼[P.A.N.D.A —D.O.L.L]🐼
"Maaf, Ryota-kun ...."
Mendengar suara lirih tak biasa dari objek di hadapannya membuat mata Ryota mendelik. Tubuhnya kaku menatap boneka yang kini diselubungi cahaya.
Kedua orang di sisi Panpan hanya bergeming. Mata mereka bergerak-gerak menahan air mata.
Berusaha menahan desakan perih, Ryota akhirnya berujar lirih, "Apa yang terjadi? Mengapa? Kau? K—kau tidak...?" Meski terbata-bata, pemuda beriris emerald tetap mengutarakan rasa di dadanya dalam bentuk verbal. Matanya beralih bergantian pada Yuki, Daiki, Panpan.
Yuki menyembunyikan netra sewarna samudera miliknya di balik kelopak. Kemudian mulai angkat bicara. "Aku dan Daiki ke rumahmu. Lalu melihat Panpan telah seperti ini. Pada akhirnya kami bisa mendengar suaranya untuk pertama kali. Lalu ia meminta kami membawanya ke taman. Kami memang masih belum mengerti. Aku dan Daiki hanya menuruti permintaannya. Dan mungkin ini yang terakhir."
Panpan memandang intens ke arah Ryota yang berdiri kaku dengan seragam tak keruan. "Sejujurnya aku ingin menemuimu waktu itu, tepat sebelum kepergianku ke luar negeri. Aku ingin bertemu dengan pemuda pemberani itu sekali lagi. Agar tak ada penyesalan ketika aku pergi dari negeri ini."
Kini Panpan beralih menatap langit berwarna jingga menyala. Warna itu sedikit banyak menghangatkan jiwanya yang segera lepas dari jasad palsu. "Tetapi aku terlalu sembrono. Aku tertabrak mobil ketika akan menemuimu." Mata Panpan menatap kosong. Sekarang tak ada ekspresi riang yang sering ia tunjukkan.
Ketiga orang di tempat itu hanya diam menyimak. Menantikan kelanjutan dongeng si boneka panda.
"Aku meninggal dalam kecelakaan itu. Kemudian, beberapa tahun berlalu. Aku diizinkan berada di dunia ini dalam jangka waktu 8 hari dengan syarat harus berada dalam sebuah benda. Lalu aku memakai tubuh boneka panda ini yang kudapat di tempat sampah. Kugunakan waktu berhargaku untuk menemuimu. Dan ... Ternyata rumahmu belum pindah. Itu memudahkanku. Heheh...."
"Tunggu dulu! Kau ini siapa sebenarnya?!" pekik Ryota tak tahan. Kepalanya mungkin ada semacam asap tak kasat mata. Pikirannya berputar mencari logika dan korelasi terhadap cerita Panpan.
Panpan menghela napas. Mata bulatnya kembali menatap si pemilik iris emerald. "Kau masih ingat gadis berkucir dua yang kau tolong dari anak-anak nakal di taman ini waktu kecil?"
Ryota memandang tak paham. Masih belum menemukan titik terang.
"Gadis kecil di atas kursi roda itu kini ingin berterima kasih padamu." Senyum lembut Panpan merekah.
Ryota beserta kedua temannya terbelalak.
"AYUMI!!!" seru Ryota sekeras mungkin begitu menyadari sosok di depannya.
Panpan yang tak lain adalah Ayumi, terkekeh mendengar pekikan Ryota. "Kau lamban, Ryota-kun."
Memandang langit, sosok Panpan semakin memancarkan cahaya. "Aku senang akhirnya dapat menghabiskan banyak waktu denganmu, Ryota-kun."
Desakan perih menjalar di dada Ryota. "Tunggu...." Tangannya meraih lehernya dan menarik sebuah kalung berinti bintang kehijauan. Ia melaju mendekati Panpan.
"Kuharap aku bisa lebih lama denganmu, dan tentu saja Daiki dan Yuki juga. Aku senang bersama kalian." Mata Panpan masih terpaku ke langit senja.
"Kau tak boleh pergi secepat itu...." lirih Ryota yang bergetar mendekati Panpan.
"Tetapi, waktuku sudah habis di sini. Meski begitu, aku senang dalam beberapa waktu bisa melakukan apapun yang belum kulakukan semasa hidup." Panpan sama sekali tidak mendengarkan Ryota.
Dengan langkah cepat, tangan Ryota menyambar lengan si boneka panda yang kini tubuhnya bercahaya kuat dan terkesan lemah. Tak ada semangat seperti yang biasa ditunjukkan sosok malang tersebut.
"Aku ingin mengembalikan benda ini padamu." Ryota mengalungkan rantai perak bermata bintang ke leher Panpan.
Boneka itu tersenyum. "Kau masih menyimpannya. Aku ... Bahagia...." Panda replika itu memejam. Tubuhnya kaku, pada saat bersamaan sosok bercahaya keemasan menguar di atas boneka.
Ketiga orang di sana menatap nanar pada sosok gadis berkucir dua yang diselubungi cahaya.
"Tidak! Tunggu dulu! Jangan pergi, Ayumi!" Ryota meraih-raih cahaya keemasan itu. Kedua temannya hanya bisa menahan perih. Mereka berdua sedikit banyak terlibat pada saat Ayumi diganggu oleh teman mereka.
"Sampai jumpa...." Suara seperti bisikan melewati telinga mereka. Tangan Ryota masih mencoba menggapai jejak cahaya yang tersisa di udara. Namun, nihil. Ia tak mampu menyisakan satu pun di jemarinya untuk dibawa pulang. Kini, sinar itu menyatu menuju langit senja yang mulai redup.
Hati Ryota mencelos. "AYUUUMIII!!!" Pemuda itu berteriak frustrasi. Lututnya menyapa tanah diiringi cairan yang meluncur di pipi.
Daiki menepuk pundak pemuda bersurai gelap itu. "Ayo kita pulang."
Yuki meraba kalung di leher boneka panda yang kini kembali menjadi boneka pada umumnya. Kalung bermata bintang menyala kehijauan. Sesaat matanya silau karena pantulan cahaya yang tiba-tiba memancar dari benda di tangannnya.
🐼[P.A.N.D.A—D.O.L.L]🐼
Alunan musik klasik merambat memasuki kedua gendang telinga pemuda yang tengah berkutat dengan tugasnya. Manik hijaunya bergeser dari satu paragraf ke paragraf lainnya. Merambati satu per satu definisi asing yang coba ia jejalkan paksa ke otaknya yang akhir-akhir ini banyak tekanan.
Ryota mengetukkan penanya ke meja belajar, memasuki lebih dalam area konsentrasi pada otaknya. Akan tetapi, hal yang paling ia hindari malah muncul.
Suara-suara cempreng mulai menelisik kepalanya. Harmoni yang telah lama coba ia lupakan betapa pun sakitnya masih terasa. Derunya makin nyata memanggil namanya.
"Ryo-chan! Ryo-chan!" Begitu kurang lebih yang dapat Ryota tangkap.
Mendengar itu, Ryota lekas membuka headphone-nya, lalu melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air.
Pemuda itu meraba dinding dan akhirnya mencapai tombol lampu. Ia baru akan membuka lemari es ketika benda hijau berkilauan di bawah meja menarik atensinya.
Ia berjingkok seraya meraih sebuah kalung perak bermata bintang yang ia ingat jelas. Netra jelaganya berkelana pada tiap sisi benda itu sampai akhirnya ia memutuskan bangkit dan kembali ke kamar.
"Halo, Ryo-chan!"
Detik itu juga, tepat di depan mukanya, berdiri sebuah boneka panda bertampang polos menyeringai ke arahnya.
Kembali, balutan perasaan yang berbulan-bulan lampau menghinggapinya, kini muncul kembali.
Hatinya yang masih rapuh, saat ini bertanya-tanya dalam cemas dan harap.
"Apa ini wujud stresku?"
.
.
.
#THE_END#
.
.
.
_21 October 2018_
===========================
Author's Corner
WOYYY TAMAT WOYYY!
*tebarconfetti*
Akhirnya setelah sekian lamaaaaaaaaaaaaaaaaa, eh tamat jugaaa~ *bisik ini udah setaun lho bisik* (*´ω`)o
Maapkeun kalo kesannya maksain dan endingnya yang nyerempet ke horror. ( ;`ヘ´)
SEEGGAKNYA UDAH TAMAT, GAESSS!
Dan...
Barangkali ada yang mau ngasih kesan dan pesan di sini, silakan~
Kalo gada yah harus ada!
Gamau tau pokoknya harus ada! //woy maksa 🤣
Dannn jangan lupa baca ceritaku yang lain~
Jangan lupa baca Amethyst *uhuk uhuk
Sincerely,
De Queen Rumi
RaDel28
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top