Chapter 4 || Permintaan lainnya

"Ano ... Permisi ... Eheheh ... Yak, maaf. Aku bisa memberikan tanda tanganku​ nanti. Permisi ...."

Langkah seorang pemuda bersurai blonde tersendat oleh gadis-gadis yang memandanginya histeris.

"Kyaaa, Daiki-san!"

"Lihat aku, Daiki-san!"

Pemuda itu melambai ke arah dua orang di dekat jendela kelas yang hendak dituju, mengabaikan teriakan para penggemar fanatiknya. Tetapi, lambaiannya diabaikan. Hanya dianggap angin lalu. Tetapi, dengan percaya diri satu triliun yang dimilikinya, ia tetap mendekati mereka.

"Ah, maaf aku ada urusan." Seraya memasang ekspresi tersenyum ala model iklan Pepdosent, ia secepat kilat melesat memasuki ruang kelas yang memang menjadi tujuan awalnya saat meninggalkan kelas tepat  setelah bel istirahat berdering.

Gadis-gadis itu berhenti mengekori.

Sesaat seisi kelas menatap si pemuda pirang usai Daiki menutup pintu bak suami pemabuk yang baru pulang ke rumah. Keras sekali. Kemudian ia menguncinya.

Tak banyak orang di kelas itu. Hanya beberapa pemuda yang terlalu malas pergi ke kantin dan dua orang yang duduk di bangku belakang dekat jendela, sedang makan siang.

Daiki menarik bangku di sebelah gadis berambut biru pendek yang sama sekali tak beralih​ menatapnya.

"Kau terlambat," ujar seorang pemuda di hadapan Daiki.

"Oi, oi. Kau tidak lihat barusan aku baru saja dikerumuni oleh fans sejatiku!?"

"Tidak."

"E–eh ...." Daiki mempout ria. Ia seharusnya sadar kalau pemuda bersurai kelam yang berbicara tadi terkadang apatis padanya, atau bisa dibilang selalu begitu. "Yang lebih penting, selanjutnya apa yang akan kita lakukan untuk Panda-chan. Hoi, Chibi-kun! Yuki-chan!"

Ryota menggigit kroket yang tersaji di dalam bentonya. Mengunyah selama mungkin. Sedangkan, Yuki sibuk memasukkan satu per satu sayuran putih pucat ke dalam mulutnya.

Kekosongan cukup lama hanya diisi bunyi kunyahan dan sesekali teriakan heboh Panpan yang asyik menikmati permainan bisbol dari balik jendela. Meskipun hanya Ryota yang bisa mendengar teriakannya.

"Entahlah," Ryota mulai bicara, menanggapi pertanyaan Daiki yang beberapa menit lalu diabaikan, "kurasa ini tidak akan selesai secepat dan semudah yang dapat dibayangkan."

Yuki mengelap mulutnya dengan tisu. "Kurasa juga begitu," matanya beralih pada Panpan, "aku tidak melihat ada kemungkinan lain yang dapat membuahkan hasil."

"Kebun binatang, film, dan taman hiburan tidak mempan. Apa masih ada cara lain? Kasihan sekali Panda-chan."

Mereka bertiga diam sambil menatap punggung berbulu hitan putih Panpan.

"Huwaaa! Home run!" teriak boneka panda menggemaskan itu seraya melambai riang.

Brukk...

Tiba-tiba Daiki menggebrak meja. Menyita perhatian beberapa orang dalam kelas tersebut—hanya sesaat. Para pemuda pemalas di kelas itu lalu kembali tidur. Mengabaikan kericuhan yang dibuat 'artis sekolah'  mereka—"Apa kita harus melakukan ritual pengusiran arwah kembali?!"

"Tidak!/Bodoh!"

Usul Daiki ditolak mentah-mentah kedua rekannya.

"Lantas kita harus apa?!"

Yuki berpikir sejenak. Menaruh tangan di dagu layaknya detektif. "Hmm ... Panpan."

Panpan yang perhatiannya secara penuh tersita pada permainan bisbol di lapangan, jelas tidak mendengarkan panggilan Yuki.

Ryota lantas menarik tubuh Panpan secara paksa.

"A-apa yang kau lakukan, Ryo-chan Baka!"

"Diamlah Bola Bulu Menyebalkan. Kami ingin bicara denganmu."

"Booo!" Panda kecil itu menggembungkan pipi. Sesaat ada semburat merah di pipi Yuki tatkala melihat tingkah imut Panpan. Hanya sesaat hingga hampir tak tersentuh pandangan mata kedua pemuda di dekatnya.

Betapa hebat Yuki menyembunyikan ekspresi itu!

"Panpan. Apa kau memiliki keinginan lain yang belum terpenuhi? Cobalah kau pikirkan baik-baik​. Mungkin saja kau melupakan sesuatu."

"Tidak ada." Panpan menggeleng.

"Apapun itu?"

Ia kembali menggeleng.

"A-apa sama sekali tidak ada, Panda-chan?!"

"Jawab yang benar, Bola Bulu!" Ryota menjitak puncak kepala Panpan.

"Tidak ada! Ryo-chan Baka!" Pekiknya memegangi kepala, menjulurkan lidah meledek. "Eh, tapi aku suka taman-pan!" Panpan bergumam sesaat. Seperti tidak niat mengatakannya.

"Taman?" Ryota mengulangi satu kata dalam kalimat Panpan dengan nada heran.

"Taman?" Yuki ikut mengulangi ucapan Ryota.

"Ya, dia bilang dia suka taman."

Daiki tersenyum cerah selepas mendengar penuturan Ryota. Matanya memandang satu per satu rekannya di situ.

"Hn. Mari kita coba!"
 

🐼[P.A.N.D.A—D.O.L.L]🐼
 
 


"Bagaimana, Panda-chan? Indah, bukan?"

Panpan hanya mengangguk riang ke muka Daiki yang mendekap tubuh berbulunya. Boneka itu sepenuhnya melupakan kesan pertama yang ia dapati ketika bertemu pemuda pirang tersebut.

Ryota, Yuki, dan juga Daiki berdiri bersisian menghadap matahari senja dari atas jembatan kecil yang di bawahnya mengalir sungai dengan debit tidak terlalu deras.

Taman di sore hari terbilang cukup lengang. Hanya ada mereka dan  4  orang anak kecil yang sibuk memainkan kotak pasir atau sekadar duduk santai di atas ayunan yang tampak sudah kusam. Gadis berbadan tambun yang berada di ayunan itu memerhatikan anak lainnya yang sedang berkutat pada istana pasir tak beraturan yang dibuat mereka.

"Hoi gendut!" kata salah satu anak kecil yang bermain pasir. Rupanya dia merasa risih diperhatikan oleh gadis kecil gendut dari atas ayunan. "Berhenti melihatku seperti​ itu! Nanti aku bisa jadi gendut juga sepertimu!"

"Ya! Ya! Itu benar! Pergi saja sana! Kau gendut! Badan gajah! Ahahahah!" sahut anak lainnya seraya menyeringai.

Bukan candaan namanya jika hanya satu pihak yang tertawa.

Gadis di atas ayunan bangkit. Hendak pergi tanpa meninggalkan ucapan apapun. Tetapi, tepat sebelum kakinya sempat melangkah, seorang anak kecil yang tadinya berada di kotak pasir berlari dengan cepat ke arahnya melemparkan segenggam​ pasir ke wajah chubby-nya. Kemudian anak-anak itu menertawai si gadis kecil.

Merasa aksinya barusan menghibur, anak yang tadi melempar pasir kembali mencoba mengulangi. Tangannya mengais pasir pada ember di dekat kaki.

"Rasakan ini!—"

Tangannya mendadak terhenti di udara oleh seorang pemuda bersurai hitam yang menatap serius padanya. Tubuhnya bergeming memandang iris emerald yang kini seolah menusuk matanya. Entah sejak kapan Ryota berada di sana.

"Sudah cukup. Kalian lebih baik pulang sebelum gelap." Gadis tambun yang ketakutan, bersembunyi di balik tubuh pemuda yang membelanya itu.

Merasa umur mereka belum sampai untuk menjadi lawan pemuda tersebut, ketiga anak pengganggu itu segera lari meninggalkan taman.

"Dasar orang dewasa pengganggu!" Salah​ satunya memekik kesal disertai lidah terjulur sambil terus memacu langkah. Takut-takut jadi sasaran si pemuda.

Daiki dan Yuki menyaksikan kejadian itu tanpa menunjukkan ekspresi berarti. Wajah mereka seolah menerawang pada sela-sela memori yang entah sejak kapan terlupakan begitu saja.

Mulut Panpan terbuka, sesaat kemudian kembali terkatup rapat. Netra bulatnya memandang lurus dan kosong.

Gadis berbadan tambun mengucap terima kasih pada pemuda yang menolongnya, lalu beranjak pergi usai melambai senang.

Ryota mambuang napas, kemudian berbalik menemui Panpan dan yang lain. "Sebaiknya kita juga pulang. Kurasa taman ini tidak memberikan reaksi berarti."

Yuki mengangguk setuju.

Daiki mendesah. "Ahhh ... Jadi masih belum berhasil, yaaaa?"

 
🐼[P.A.N.D.A—D.O.L.L]🐼
 

"Aku pulang!"

Tak ada jawaban. Hanya nuansa gelap yang menyapa ketika pemuda berobsidian sewarna batu emerald itu melenggang memasuki rumah.

Tangannya yang masih tampak jelas bekas memegang pena dalam jangka waktu lama, meraba-raba tembok di sebelahnya. Mencari stopkontak.

Setelah terdengar bunyi 'klik', seketika cahaya merambat dan memenuhi ruang penglihatan si pemuda.

"Kemana makhluk itu?" Pemuda yang memakai name tag bertuliskan 'Hasegawa Ryota' bergumam asal seraya menghela napas seusai jemarinya melonggarkan tarikan dasi yang membelit kerah.

Tanpa melepas kaus kaki, Ryota segera beranjak ke ruang tengah. Tak lupa ia meletakkan sepatunya pada rak tak jauh dari pintu masuk.

Ungkapan selamat​ datang yang khas dari Panpan, seperti 'Selamat datang, Ryo-chan', 'Ryo-chan Baka!', 'Jangan mematikan AC-nya', saat ini tak terdengar sama sekali menilik kondisi ruang tengah tidak berpenghuni.

Tempat Panpan bermalas ria, mengacaukan rumah Ryota, serta memberikan 'hadiah kecil' pada lantai rumah yang pemiliknya merupakan penggila kebersihan itu benar-benar​ lengang dan tampak ... bersih.

"Dimana dia?" Meski tak dipungkiri Ryota senang rumahnya tetap bersih seperti saat ia tinggalkan, tetap saja rasanya ada yang ganjil.

Kemana perginya boneka panda berbicara itu?

Ryota melenggang cepat menuju kamarnya, takut-takut kalau kamar kesayangannya menjadi objek kejahilan si makhluk berbulu.

Dia buru-buru membuka pintu. Dan ...

Kosong!

Ryota menyambangi dapur, namun sama sunyinya.

Pikiran Ryota semakin meyakini ada hal ganjil yang sedang terjadi. Tidak biasanya rumah kecilnya begitu sepi semenjak kehadiran 'Bola Bulu'.

Sesaat dadanya berpacu. Ia kembali menelusuri seluruh bagian rumah dengan cepat tanpa meninggalkan satu ruangan pun.

Napas Ryota mengalun satu dua bersamaan kakinya yang berhenti berpacu di halaman belakang. Kedua telapak tangannya ditopang lutut. Peluhnya meluncur deras. Dasinya sudah sejak kapan terlepas dari lehernya. Bagian telapak kaus kakinya pun tak lagi putih bersih.

"PAANNPAANNN!!!"

Untuk pertama kalinya pemuda imut itu berteriak memanggil nama si boneka panda.

Masih dalam posisi setengah membungkuk ditopang lutut, Ryota memikirkan satu hal. Hal abstrak dalam kepingan memori yang membuatnya ingin kembali pada masa yang tidak bisa diulang lagi.
Ia menegapkan tubuh. Kemudian berlari secepat yang ia mampu. Tak disangka sekelebat pemikiran barusan membuat Ryota kini berlari layaknya orang kesetanan.

Hanya beralaskan kaus kaki, dia melangkahi aspal jalanan. Beberapa kali lututnya menyapa jalanan kota sore hari itu. Meski begitu, langkahnya tak surut. Sekujur tubuhnya berkorelasi untuk mencapai suatu tempat dalam kepingan memori usangnya. Ia tak mengerti mengapa harus ke sana.

Laju kaki Ryota berhenti paksa sebelum sempat memasuki taman. Pupil mata pemuda imut itu melebar seketika menatap Daiki dan Yuki tengah memandang sendu pada sosok di dekat mereka.

Tidak....

Sebenarnya yang menjadi fokus utamanya ialah sinar putih yang menyelimuti tubuh boneka panda di sana.

Mulut Ryota terbuka, pandangannya tetap tertuju pada replika panda kecil yang menoleh seraya tersenyum padanya.

"Maaf ... Ryota-kun ...."

Senyuman manisnya berpadu dengan sinar jingga mentari senja.

Lembut. Namun...,

Menyimpan sejuta makna.

 
 
#To be Continued#

18/10/2017
Edited : 06/07/2018
================================

Author Note :

Anoo...

Haee!!!

Ada yang ingat aku?! 😅

Ngaret yaa~~

Heheh~~

Akunya moody-an sih... Ahahahah...😂 Ahahah... Ahah... Hah... Haish 😥

Dahlah....

Besok last chapter... Eheh... 😆

Nantikan endingnya~~

Sincerely,

De Queen Rumi
RaDel28

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top