Chapter 3 || Mengabulkan Keinginan

"Wah, burungmu besar sekali, Chibi-kun! Tidak kusangka kau bisa membuatnya menjadi sebesar ini! Aku iri sekali!"

"Tentu saja. Aku ahli membuat burung menjadi besar."

"Heh, tak kusangka pria kecil sepertimu ...."

"Berisik kau, Titan!"

"Yosh! Demi martabatku sebagai seorang laki-laki, aku tak akan kalah  darimu! Aku akan berjuang untuk membuat 'punyaku' lebih besar darimu!"

"Apa yang kalian lakukan?" Percakapan ambigu Ryota dan Daiki mendadak terhenti oleh kedatangan Yuki. Syukurlah perbincangan mereka tak berlangsung lebih lama.

Daiki melambai pada gadis bersurai pendek biru di depannya. "Yo, Yuki-chan! Kami sedang berlomba meniup balon berbentuk burung. Siapa yang bisa membuat paling besar dialah pemenangnya."

"Dan aku yakin kau kalah," ujar Yuki telak. Wajahnya tak menampakkan ekspresi berarti.

"Ahhh, kau kejam sekali, Yuki-chan! Aku baru akan menang di babak berikutnya. Aku yakin tak akan meledakkannya lagi," Daiki berpaling dan tersenyum pada Panpan yang terlihat nyaman berada di pelukan Yuki, "Bagaimana denganmu, Panda-chan? Hari ini menyenangkan, bukan?"

Panpan tak menggubris pertanyaan Daiki, mulutnya terbuka, ia menatap takjub pada kereta raksasa dengan gerakan super cepat berisi banyak orang berteriak di atasnya. Jika ini dalam anime, akan terlihat jelas bintang-bintang emas berkelipan di matanya.

"Aku ingin naik itu-pan!" jerit Panpan akhirnya. Tubuh mungil boneka itu menggeliat girang.

Yuki dan Daiki menatap bingung gelagat Panpan.

"Apa yang dia bilang, Chibi-kun?"

Ryota meringis. Membuang muka. "Dia bilang ingin naik roller coaster," ucapnya mau tak mau.

"Huwoo!!! Itu hebat! Ayo kita naik itu, Panda-chan!"

Wajah Ryota seketika menampaklan raut terkejut. "Tidak! Tidak! Kusarankan jangan naik itu!" Kepalanya menggelang cepat.

Daiki segera melesat dengan semangat menggebu menuju wahana roller coaster  tak jauh di belakangnya, mengabaikan anjuran Ryota. Yuki mengekori tak jauh dari sisi si pemuda pirang.

Ryota masih terpaku di tempatnya sampai Yuki memanggilnya untuk ikut serta.

Dia menarik napas tak bergairah. Bola matanya berputar malas. "Apapun asal jangan yang itu ...." Pandangan datar ia lemparkan pada wahana roller coaster  tak jauh di depannya yang cukup memuat banyak orang.

15 menit kemudian....

"Huweekk ... Uhuk ... Uhuk ...."

"Lebih baik kita periksakan ke dokter."

"Huweeekk ...."

Daiki yang wajahnya sudah memerah sedari tadi karena menahan tawa, kini akhirnya menumpahkan semua kegeliannya ketika melihat Ryota muntah dengan tidak elit di pinggir pos jaga petugas roller coaster.

"Pfftt... Ahahahah! Chibi-kun, bagaimana mungkin kau bisa muntah naik roller coster? Bahkan adikku yang masih SD bisa sampai 5 kali naik dan tetap biasa saja. K–kau ... Ahahahah!"

"Berisik, Titan!" Wajah Ryota pucat, tetapi masih kuat memaki.

"Ryo-chan payah-pan! Boo!"

"Diam kau, Setan Berbulu!"

"Ryota, apa harus kupanggilkan dokter?"

"Tidak perlu, Yuki. Itu malah membuatku malu."

"Ahahahahah! Chibi-kun, seharusnya kau minum obat mabuk dulu! Pfftt!"

Jika saja tangannya tidak digunakan untuk menahan perutnya yang bergejolak, mungkin tinju milik Ryota sudah melayang tepat​ ke wajah Daiki yang mirip setan pengganggu.

"Seharusnya tadi aku tidak naik saja!" batin Ryota menyesali tindakannya beberapa menit lalu.

"Yuki-chan, seharusnya kau merekam momen ketika Chibi-kun histeris di sampingku. Itu lucu sekali! Pfft! Ahahahah!"

Daiki dan juga Panpan begitu lantang mengekspresikan kegelian hingga tak menyadari seorang petugas tak jauh dari situ melihat mereka—lebih tepatnya Daiki—tertawa dengan somvlaknya.

Deathglare sudah dikeluarkan Ryota, tapi sayang sekali Daiki dan Panpan tidak melihat, membuat usahanya sia-sia. "Cih. Bisakah kalian berhenti tertawa, makhluk-makhluk pengganggu?!"

Panpan berhenti tertawa, tapi bukan mengikuti suruhan Ryota, melainkan karena matanya kini terpana melihat gunungan benda dingin lembut berwarna-warni yang diserok sesendok demi sesendok oleh  pria di dalam mobil bercat merah muda yang di atasnya terdapat kincir angin berputar pelan.

"ES KRIM! AKU MAU ITU-PAN!"

Ketiga pasang mata remaja di situ mengikuti arah telunjuk gembul berbulu Panpan.

"Hwoo! Panda-chan, seleramu boleh juga! Ayo, semuanya!"

Daiki  yang paling bersemangat menuju pedagang es krim mobil tersebut, seolah dia mendengar keinginan Panpan. Kedua temannya mengikuti dari belakang.

Penjual es krim mobil segera menyerok es krim rasa campuran yang diminta oleh salah seorang pemuda di depannya.

"Hoi Bola Bulu, apa kau yakin bisa memakan es krim sebesar ini?"

"Tentu tidak-pan! Ryo-chan yang akan memakannya!" ujarnya menampilkan tampang tanpa dosa.

Ryota menggeleng pelan. "Aku tidak suka es krim."

Seperti ada sambaran petir, semua mata di dekat penjual es krim beralih pada Ryota. Tak terkecuali Daiki dan Yuki dengan tampang tripleknya. Bisa-bisanya ia mengatakan itu tepat di depan wajah penjual es krim.

"Apa?!" Pemuda bersurai gelap itu bertanya sinis.

Tawa Daiki lepas kembali. "S–sejak kapan ada pria kecil yang tidak menyukai es krim?! Ahahah ...."

Alis Ryota bertaut sekaligus berkerut kesal bersamaan. Tak ada hubungan antara pria dan es krim. Dan untuk kesekian kali Daiki mengatainya Pria Kecil. Padahal sudah jelas Ryota jauh lebih 'besar' darinya.

Sejujurnya ini ambigu. Apa yang dianggap besar bagi Ryota?

Baiklah, abaikan paragraf ambigu tak berarti di atas, dan kembali pada cerita utama.

"Es krim dingin. Aku tidak suka sensasi menggigil di lidah yang ditimbulkan setelahnya. Sekalipun rasanya manis." Sambil berkata begitu, mata Ryota berputar malas ke arah Panda Kecil di pelukan Yuki. "Kau mengerti, kan, Bola Bulu? Jangan memaksaku memakannya."

Panpan yang diajak bicara hanya mampu mempout ria. Keinginannya untuk memasukkan saus tatabasco ke dalam es krim Ryota untuk mengerjainya sirna sudah.

"He? Apa kau terkena sindrom 'aku benci-es krim-karena-itu-dingin' dari Wkwk Land?" Daiki menimpali dengan polosnya.

"Tak ada sindrom seperti itu, Daiki. Dan dimana Wkwk Land yang kau maksud?" Yuki merasa harus meluruskan pemikiran Daiki yang sudah bengkok beserta otaknya.

"Kau tidak tahu?" Tak disangka Daiki malah menyahut, "Itu ada di—"

"Cepatlah pesan es krim kalian. Aku akan menunggu di bangku sana." Ryota tampaknya mulai bosan dengan cerita—maksudnya percakapan tak penting mereka. Ia berjalan santai dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana jins miliknya.

Bunga tulip di samping bangku taman menyambut pemuda beriris emerald yang berjalan malas menuju bangku panjang.

Warna-warni cantik nan anggun dari bunga di sudut matanya sedikit banyak mencerahkan pandangan.

Tak butuh waktu lama—meski sebenarnya Ryota masih ingin sendirian. Rekreasi yang sebetulnya tak bisa disebut rekreasi bagi Ryota, mengingat sedikit banyak urat kekesalannya tidak bisa santai barang sebentar—Daiki dengan kedua tangan berisi es krim disusul Yuki yang masih memeluk Panpan tiba.

Si pemuda blonde mengambil tempat di samping Ryota. Ia menjatuhkan bokongnya di bangku dengan tidak sabar.

"Yuki-chan, ini es krim stroberimu."

Tanpa berucap terima kasih—atau mungkin ia berterima kasih dalam hati. Kita tidak boleh berburuk sangka pada orang lain—Yuki meraih es krimnya dari uluran Daiki.

Hening beberapa lama hanya diisi oleh suara jilatan es krim Daiki, nyanyian Panpan yang hanya berlirik 'nananana', serta suara background para penjual dan pengunjung yang semestinya tidak penting untuk diceritakan.

"Bola Bulu," ujar Ryota tiba-tiba yang menghentikan gumaman aneh tak bermakna Panpan. "Apa kau sudah merasa lebih baik? Apa ada perasaan lega tersendiri yang menyelimuti dadamu?"

Panpan berpikir sejenak. Tetapi ekspresinya seolah malas berpikir. "Tidak-pan!" ujarnya mantap disertasi cengiran lebar kekanakan yang selalu menghiasi wajahnya.

"Begitu," Ryota menghela napas seakan ada ribuan beban menghampirinya, "sudah kuduga ini akan sulit."

Daiki menepuk pundak Ryota seakan mereka teman akrab. "Oi, oi. Masih ada tempat lain yang belum dikunjungi, kan? Siapa tahu nanti akan berhasil," ujarnya optimis, seolah mengetahui juga apa yang dikatakan Panpan. Tapi dari ekspresi Ryota, Daiki pasti mengerti apa yang dirasakan pemuda di sebelahnya.

Ryota yang sedari tadi menunduk, kini beralih menatap Daiki. Sedikit lama.

Pemuda bersurai gelap itu masih memandang netra emas Daiki.

Dia masih memandangnya. Daiki bergeming, pemuda itu gugup. Apa kata-katanya begitu memotivasi?

Masih memandang ...

Masih ...

Masih—

"Singkirkan tangan kotormu itu dari pundakku, Titan! Jangan membersihkan tangan memakai bajuku!"

Daiki ber-facepalm. Ia melihat telapaknya sendiri yang dipenuhi bercak es krim vanila. Kemudian menggosokkan tangannya ke paha tanpa rasa terganggu sedikitpun. Seketika itu tangannya sudah bersih dan ia memasang tampang puas yang lebih mendekati bodoh.

"Sekarang ayo kita ke kebun binatang," ucap Daiki seakan tak punya dosa.
 

🐼[P.A.N.D.A—D.O.L.L]🐼

"Hei, jangan menerjang tubuhku tiba-tiba, Ryota. Tidak ... Tidak ... Jangan menjilatiku begitu. Ahahah ... Berhenti menggeliat di perutku. Ahahah ...."

"Apa yang kau lakukan, Titan Bau!?" Teguran bernada sarkasme menyela kegiatan riang Daiki dengan seekor hewan berbulu lebat.

"Ryota hentikan! Ahahah ..."

Sayangnya teguran pemuda setinggi 145-an tadi diabaikan begitu saja.

"Ryota! Ahahah!"

"...."

"Ryota ...."

"...."

"Ryo—"

"JANGAN SEENAKNYA MENAMAI ANJING ITU DENGAN NAMAKU!"

Daiki ..., dia masih sibuk bercanda ria dengan anjing berambut cokelat muda lebat di pangkuannya. Tak menoleh pada Ryota yang memasang wajah psikopat haus jus lemon.

"Kenapa​ tidak? Lihat! Anjing ini punya warna mata yang sama denganmu."

Ryota spontan melihat manik mata anjing yang belum lama tadi menghampiri Daiki, seolah sudah akrab dengannya. Harus diakui—meski tidak ingin diakui—anjing itu punya warna iris mata yang sama dengan Ryota. Hijau emerald.

"Hora, Ryota ... Ahahah ...."

Ryota senewen. Merasa tak sudi namanya dipakai untuk nama seekor anjing. Terlebih lagi kenapa juga anjing itu harus akrab dengan Titan Pengganggu? Kenapa tidak dengan Yuki atau dirinya saja?

Entah sudah keberapa kalinya Ryota menghela napas kesal hari ini. "Hentikan tingkah bodohmu itu. Lebih baik kita ke tempat Yuki," ujarnya sambil menunjuk Yuki dan Panpan. Ia merasa tertarik pada Panpan yang tertawa riang di dekat kandang panda.

"Baik, First Ryota!"

Daiki kembali membuat urat kesal Ryota berkedut.

Tap ... Tap ...

Lompatan Panpan tiba-tiba mengehentikan laju kaki Ryota. Boneka panda itu menari-nari riang. Berputar-putar, kemudian kembali kepada Yuki.

Gadis berambut biru pendek dengan sigap menarik tubuh si boneka lalu mendekapnya seperti semula.

"Bagaimana? Apa berhasil? Apa penyesalannya sudah lenyap?" tuntut Ryota tanpa koma. Dia sekarang lebih banyak bicara dibanding saat presentasi di depan kelas.

Yuki menggeleng pelan. Rambutnya ikut bergoyang mengikuti gerakan kepalanya. Terlihat seperti sedang iklan sampo. "Dia senang, tapi tak ada tanda-tanda penyesalannya telah hilang. Aku juga tidak mengerti."

Daiki yang terlambat beberapa detik karena harus membujuk anjing bernama Ryota agar tidak mengikutinya, berujar, "Hoi, Panda-chan! Kau benar-benar tidak tahu caranya kembali ke duniamu? Kau benar-benar tidak punya penyesalan atau semacamnya? Atau apapun yang berguna mengembalikan arwahmu?"

Panpan diam sejenak, sampai akhirnya satu kata bermakna padat meluncur begitu saja dari mulut mungilnya. "Tidak!" ujarnya disertai gelengan.

Ryota meringis, "Aku lelah. Untuk sekarang kita pulang saja dulu. Masalah ini akan kita pikirkan lain waktu."

Akhir pembicaraan.

Mata Ryota yang menampakkan keletihan secara tidak langsung membuat Yuki dan Daiki menurutinya untuk segera pulang.

                                
🐼[P.A.N.D.A—D.O.L.L]🐼

 
Les yang membosankan baru saja terlewati. Ryota akhirnya pulang ke rumah tepat ketika rembulan menggantikan tugas mentari.

Jika bukan karena tuntutan pihak pemberi beasiswa yang mewajibkannya mendapatkan nilai tinggi, Ryota mungkin tidak akan mau mengikuti kegiatan harian yang sama dan melelahkan setiap hari. Terlalu monoton. Kegiatan seperti itulah yang menurut dia justru dapat menurunkan fungsi otaknya lama kelamaan. Ditambah kedatangan Makhluk Berbulu yang bisa bicara membuat hidup pemuda itu dipenuhi kecemasan.

Pikir Ryota, selagi dia punya tujuan jelas melakukan semuanya, maka tak mengapa. Ya, tujuan berperan penting dalam segala hal. Sebab tujuan kelak melahirkan tindakan yang akan menuntun pada hasil yang diharapkan. Meski factor X  juga memengaruhi.

Sudah hampir pukul delapan malam ketika ia memasuki pagar halaman yang tidak pernah dikunci.

Sesaat setelah tubuhnya melewati pintu rumah, ia bergumam, "Bola Bulu itu pasti mengacaukan rumahku lagi."

Yah, setidaknya dengan begini ia tidak harus membawanya ke sekolah. Jujur saja, Ryota masih enggan dianggap kurang waras oleh teman-temannya semenjak Panpan pertama kali muncul di kelas.

"Aku pulang!" Kali ini lebih keras dari biasanya. Sebab sekarang di rumahnya ada sebuah(?) makhluk aneh penunggu rumah yang pasti akan menjawab salamnya.

Ryota diam sesaat menunggu jawaban. Wajahnya  bingung bercampur tegang karena tak mendapati sahutan, seraya tangan kanannya menahan tembok, sedangkan yang kiri membantunya melepas kaus kaki

Ia melangkah agak cepat menuju ruang tengah. Tempat Panpan biasa berada.

Dari jarak beberapa meter, terdengar televisi menyala bercampur suara tangisan. Ryota dengan cepat melongok ke asal suara. Dari tempatnya berdiri—di pintu masuk ruang tengah—terlihat dengan jelas Daiki, Yuki, dan Panpan sedang tersedu—kecuali Yuki yang malah biasa saja. Tak tersentuh sama sekali— menyaksikan serial animasi Uan Piece, adegan Doing Melly yang pergi meninggalkan teman-temannya. Adegan itu tampaknya amat menyedihkann hingga tak terhitung​ berapa banyak tisu bertebaran di ruangan tersebut.

Daiki menoleh ke arah pintu. Reaksi yang lamban, tapi akhirnya dia menyadari kehadiran Ryota yang seolah siap siaga melempar benda tajam apapun yang bisa ditemukan pada dirinya. Yang lain ikut menoleh.

Satu ...

Dua ...

Tig—

"APA YANG KALIAN LAKUKAN DI RUMAHKU?!"

Akhirnya desakan pada dada Ryota terucapkan.

"Ah," Daiki menyahut. Yuki kembali terpaku pada tayangan di televisi.
Panpan menunjukkan ekspresi tak berdosa seperti biasa. "Selamat datang, Chibi-kun! Kami sedang menonton kartun. Bukankah waktu itu Panda-chan bilang ia ingin menyaksikan tayangan kartun yang pernah dia tonton dulu? Mungkin ini akan membantu!" ia merespon, diakhiri cengiran.

"Selamat datang, Ryo-chan!" Panpan melompat riang dengan tangan gempalnya yang terlentang ke atas. Terlihat imut. Yuki sesaat menoleh pada Panpan dengan mata berbinar. Hanya sesaat.

Ryota tak menyahut. Matanya sibuk menelusuri seluruh sudut ruangan. Tisu berserakan, susu yang tumpah ke karpet, sepatu dengan santainya dipakai Daiki dan Yuki, serta beberapa bungkus makanan ringan miliknya telah habis. Kepala Ryota seolah akan pecah melihat segala kekacauan di depan matanya saat ini.

Jika ini dalam anime, sudah tak terhitung banyaknya perempatan siku-siku yang menonjol di kepala Ryota.

"Kalian semua ... CEPAT PERGI DARI RUMAHKU!"

Awalnya ingin menolak, tapi melihat aura serupa kyuubi yang menguar di tubuh Ryota disertai kepalan tangan geram di depan dada, membuat Daiki segera berlari keluar.

"Huwaaa! Kau harus memaafkanku, Chibi-kun!" Ia berlari sambil menenteng sepatu.

"Maaf, Ryota. Kurasa Panpan belum bisa kembali ke asalnya." Yuki menatap sebentar ke pemuda bersurai kelam di sampingnya, kemudian kembali berjalan mengekori Daiki yang secepat kilat lenyap dari tempat itu.

🐼[P.A.N.D.A—D.O.L.L]🐼

Mandi air hangat membuat otot-otot​ Ryota yang semula tegang kembali melunak. Ia keluar dari kamar mandi dengan perasaan lebih tenang dari sebelum masuk.

Pemuda itu hendak memakai baju ketika tanpa ketukan Panpan melesat masuk.

"Selamat malam, Ryo-chan. Aku—" Panpan tak sengaja melihat bagian atas Ryota yang tidak tertutup handuk. Dada bidangnya terekspos begitu saja.

"..."

"HUWAAAA RYO-CHAN HENTAIIIII!"

"KAU YANG MASUK TANPA PERMISI!"

Pintu ditutup dengan kencang. Wajah Panpan dipastikan sedang memerah di luar sana.

Dengan ekspresi heran Ryota bergumam, "Jadi dia ... perempuan?"

Mengabaikan pemikiran terlambatnya itu, ia kembali menggapai baju di lemari. Tanpa disengaja benda berbentuk rantai dengan batu bintang jatuh ke kaki. Tangannya mengambil benda cantik  berkilau itu.

Iris emerald Ryota melunak. "Kau ... Terima kasih." Ryota menyunggingkan senyum lembut sampai ke mata. Senyum yang jarang ditunjukkan olehnya, kecuali pada 'hari itu'.

Jemari Ryota bermain pada kalung di tangannya. Ia mengenakan kalung​ bintang itu ke leher.

"Aku ... sudah berjanji ...." Matanya yang terpejam menyembunyikan setitik rindu berwujud kristal bening.

'Hari itu' ... tidak akan pernah dilupakannya ....
  
  

#To be Continued#
  

10/09/2017
Revisi : 7 Mei 2018
=============================

Author Note :

Dudududu...“ヽ(´▽`)ノ”

Iya... Aku tahu ini ngaret... (ಥ⌣ಥ)

Kuusahakan ke depannya lebih cepat! //heh lu php, Rum!

Doain aja biar aku tidak tenggelam pada kenyataan yang mengiris waktuku sampai tak memiliki saat-saat bahagia di dunia jingga ini. (ಠ⌣ಠ)

Yodahlah...
Sekian, terima es krim!
Babay!!!

〜( ̄▽ ̄〜)

Sincerely,

De Queen Rumi
RaDel28

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top