Bab II

"KELUAR!" teriak seorang pria. Lantang, kasar, dan tanpa santun.

Empat kali sudah Kat diusir dari kantor polisi dalam kurun waktu satu hari saja. Menandai kekesalan para opas terhadap kegigihan pemuda itu untuk keempat kalinya, Kat akhirnya didorong secara kasar hingga tubuhnya nyaris tersungkur di depan bangunan bercat biru tersebut.

"Tolong temukan adikku!" hardik Kat kelima polisi di depannya begitu dia berhasil menyeimbangkan badan di atas tanah berdebu.

"Sudah kami bilang berhenti mondar-mandir kemari dan duduk manis saja di dalam rumahmu!" sentak salah seorang opas. Dua lencana bintang pada seragamnya menandakan pangkatnya sudah cukup berwenang untuk mengusir rakyat sipil pengganggu dari kawasan pihak berwajib.

"Ini sudah hampir dua minggu dan belum ada kabar!" timpal Kat dengan tidak sabar. Geraman kecil lolos dari dalam mulutnya akibat gelisah. Sudah lima hari berturut-turut dia mendatangi kantor polisi di pusat kota Bendungan. Selama itu pula, semua kunjungan dan penantiannya selalu tanpa hasil. Aruni belum kunjung ditemukan, bahkan tanpa secercah kabar. Pernah Kat menyarankan pihak kepolisian untuk menyebarkan foto Aruni di pelosok kota dan menempelkannya pada dinding pertokoan, tetapi para opas menolak dengan menyatakan bahwa itu adalah tindakan sia-sia. Mereka bilang, bila adik perempuan Kat benar-benar diculik, dia tidak mungkin dibiarkan berkeliaran bebas hanya untuk dipergoki oleh penduduk sekitar.

"Kami akan mengusahakan yang terbaik," balas si opas berlencana dua bintang, mengulang balasan demikian tanpa sumbangan prihatin sedikit pun.

"Atau kamu terima saja fakta bahwa adikmu sudah mampus," cetus salah satu opas di belakang, disusul cengiran seorang opas lain. Di belakang mereka, setengah lusin robot pembantu polisi—rangkaian besi mengilap yang berkerangka seperti manusia—menengadahkan kepala untuk menyimak dari balik meja kerja mereka. Sekilas saja, tanpa sirat kepedulian sama sekali sebabmereka kembali berkutat pada berkas-berkas dan komputer di atas meja.

Kat mendesis berang. Kedua telapak tangannya mengepal keras. Namun, apa yang bisa dia lakukan? Melayangkan pukulan saja dia tidak pernah, apalagi melawan polisi? Dua opas brengsek itu pun menyeringai, sementara seorang personil lain membanting pintu kantor polisi hingga tertutup rapat di depan Kat.

Hanya berakhir menendang kerikil-kerikil pada tanah, Kat menahan amarahnya. Polisi Nusantara benar-benar tidak bisa diandalkan! Tidak hanya belum menemukan dalang di balik pembunuhan ayah dan ibunya, mereka bahkan tampak tidak menghiraukan keberadaan adik Kat yang kemungkinan besar sedang diculik. Mata Kat nyaris berkaca-kaca lagi. Belum lenyap dukanya akibat kehilangan kedua orangtua, dia khawatir bukan main terhadap kondisi Aruni. Adik semata wayangnya itu−yang Kat yakini masih hidup—kemungkinan besar sedang ketakutan setengah mati di dalam belenggu dua pembunuh bermasker hitam.

Berjalan lunglai meninggalkan wilayah kantor polisi, Kat akhirnya memutuskan singgah ke dalam suatu kedai kecil yang berlokasi tidak jauh dari sana. Menyelisik fondasi bangunannya yang cukup ringkih dan kumuh, laki-laki itu menduga kedai tersebut bisa diajak berkompromi dengan sisa bekal uangnya. Lima hariberkeliaran di pelosok kota, persediaan finansial Kat sudah tidak tersedia banyak.

Di dalam kedai, memesan menu makanan paling murah berupa roti isi daging tipis, Kat merenungkan langkah selanjutnya. Tetap saja, rencananya berujung buntu, terhalang oleh beragam spekulasi. Ratusan kemungkinan telah berlintasan di dalam benak Kat, tetapi tidak satu pun mengarah pada alasan pembantaian terhadap keluarganya. Kat yakin kedua orangtuanya adalah orang baik-baik. Sepemahaman dia, ibunya dahulu adalah orang kota. Ibu dan ayahnya pertama bertemu sewaktu ayah Kat yang seorang petani sedang mendistribusikan hasil panen ke kota. Segera setelah ibu Kat menerima pinangan petani muda itu, mereka berdua menikah kemudian pindah ke DesaGemaladi pinggiran kota Bendungan untuk membangun keluarga di sana.

Hanya untuk diakhiri secara tragis? Kat tidak habis pikir! Berani sumpah, orangtuanya tidak pernah berbuat salah!

Orangtua Kat juga tidak terbilang kaya, tetapi dapat hidup berkecukupan sebab—selain ketekunan ayah Kat bercocok tanam di ladang—ibunya sering membuat kerajinan tangan berupa tas dan keranjang anyam yang dijemput oleh Kurir untuk dijual di pasar Kota Bendungan.

Mulanya, Kat menduga ada secuil kemungkinan bahwa motif dua pembunuh itu adalah sedikit harta. Untuk membuktikannya, meskipun enggan, dia pun memutuskan untuk menyelidiki sendiri.

Enam hari silam, sekeluarnya dari rumah sakit, Kat pulang ke desanya bersama Diegti dan Gayatri. Dua gundukan tanah yang masih segar di samping rumah Diegti menjadi destinasi pertama Kat. Nisan batu yang terpancang di sana seakan turut serta menghunjam dada pemuda itu. Walaupun telah bertekad untuk tidak menunjukkan kesedihan lagi, Kat berakhir bersimpuh di depan makam kedua orangtuanya sembari menangis kencang. Gayatri merangkul bahunya dalam upaya menenangkan, sedangkan Diegti mengusap puncak kepala Kat yang naik turun karena sesenggukan.

Hampir satu jam Kat meratap di sana sebelum akhirnya diaberanikan diri untuk mengunjungi rumahnya. Di dalam rumah yang menjelma tempat kejadian perkara tersebut, Kat hanya mendapati bercak-bercak merah gelap pada lantai kayu—masih belum hilang sepenuhnya meskipun Gayatri bilang telah menyikatnya berulang kali.

Menyaksikan semua itu, Kat hampir rubuh oleh kilasan-kilasan traumatis, tetapi lekas menguasai diri dengan bergegas menuju kamar orangtuanya. Tidak ada harta yang dicuri. Uang simpanan orangtuanya masih utuh di dalam lemari, tersembunyi di bawah tumpukan pakaian lipat. Sedikit perhiasan milik ibunya masih tertata lengkap di atas meja rias, pun Kat perhatikan, tidak ada perkakas serta perabotan rumah yang dirampas. Televisi dan kulkas terpasang utuh pada tempatnya. Traktor dan perangkat bertani lain juga tersimpan aman di dalam garasi yang tak terkunci.

Semua harta masih berada pada posisinya semula, yang justru kianmembangkitkan keheranan Kat.

Ketika Kat menyapukan pandangan ke seluruh penjuru rumah mungilnya itu, jantungnya terasa dipukul-pukul lagi. Lebih perih daripada yang pernah dia rasakan. Lebih memilukan, seolah jantungnya sedang diremas oleh tangan-tangan tak bertuan. Mendadak kadar oksigen seakan menipis drastis, menempatkannya di dalam ruang hampa udara. Napasnya tercekat. Dalam keremangan sore itu, Kat mendengar gaung-gaung tawa samar dalam benaknya.

Belum dua minggu lalu, rumah ini masihlah ramai. Pada jam empat seperti ini, sang ibu selalu sedang menyiapkan makan malam. Kat dan Aruni turut membantu di dapur, tetapi berujung terkekeh-kekeh karena keteledoran Aruni mengotori mukanya sendiri dengan terigu. Kemudian, menyaksikan dari ruang makan, ayah mereka akan ikut tersenyum menyaksikan kejenakaan anak-anaknya tersebut.

Gaung itu kentara dan teramat jernih. Melenakan, sebelum mulai membuyar. Kini, gaung tawa itu lenyap seluruhnya. Tanpa jejak, tanpa bekas.Tanpa sisa kasih untuk Kat punguti.

Semuanya telah terenggut darinya.

Semuanya telah berakhir.

Tebersit sugesti dalam diri Kat untuk meraih pisau di dalam rak dapur demi menuntaskan kepedihannya.

Tidak, masih ada Aruni!

Sebelum napasnya kian menyesak, Kat segera berbalik. Pemuda itu putuskanuntuk tidak berlama-lama di dalam rumah demi kewarasannya sendiri. Dia hanya mengambil seluruh uang yang tersimpan, beberapa helai pakaian, sebuah pigura berisi foto keluarganya, dan selembar potret terbaru Aruni. Lantas Kat bayarkan sejumlah uang kepada Kepala Desa yang telah menalangi biaya pengobatannya selama di rumah sakit. Kemudian, usai menginap semalam di rumah Diegti, pemuda itu berangkat ke stasiun untuk mengejar kereta pertama di pagi buta. Mengabaikan para tetangga yang mengintip kepergiannya dari balik jendela rumah, meninggalkan segenap keraguan dan kepedihan di kampung halaman, dia pun bertolak ke pusat Kota Bendungan untuk memulai pencarian Aruni.

Satu tekad yang Kat bawa, seiring sejumput ketegaran yang tersisa dalam sapuan langkah, adalah bahwa dia akan melakukan apa pun untuk menemukan adik semata wayangnya.

***

Udara Kota Bendungan pada malam hari tidak cukup bersahabat, bahkan ketika Kat sudah mengancingkan jaket dan memasukkan tangannya ke dalam saku untuk mengais kehangatan. Dengan bekal rupiah yang tidak lagi banyak, serta tidak memiliki kerabat maupun relasi di kota, Kat harus berhemat dengan tidak menyewa kamar di motel murah malam ini. Terpaksa dia bermalam di luar, di depan kantor polisi. Pemuda itu punmencari sudut tertentu yang tidak terawasi di samping pagar markas opas, sehingga bisa duduk tenang di sana seraya menunggu pagi.Sengaja Kat pilih lokasi tersebut sebabrencana pertamanya ketika pagi tiba adalah menanyai para polisi mengenai perkembangan pencarian Aruni.

Kat benar-benar tidak tahu harus mencari ke mana lagi. Bila dia sedang tidak berkeliling di sekitar kantor polisi, biasanya dia berjalan-jalan menyusuri pelosok Kota Bendungan, berharap ada peluang kecil untuk menemukan Aruni. Terkadang dia memperlihatkan foto Aruni kepada para pejalan kaki, mencegat dan bertanya apakahmereka pernah melihat gadis berambut pirang panjang tersebut. Hasilnya, bisa diprediksi, nihil.

Menghela napas panjang seraya duduk bersandar pada pagar besi di luar kantor polisi, Kat mengabaikan perih yang sesekali masih berdenyut pada punggung atasnya. Pemuda itu mulai merasa bahwa para polisi tidak bersikap serius dalam menanggapi kasusnya dan dia tidak mempunyai cukup uang untuk memperlancar proses tersebut. Beberapa polisi bahkan secara gamblang menyarankan Kat untuk merelakan musibah yang menimpa keluarganya dan melanjutkan hidup. Tetap, Kat tidak mau berputus asa. Tidak sampai dia mendapatkan kejelasan mengenai keberadaan Aruni.

Tiba-tiba, di tengah lamunannya, Kat mendengar ada langkah kaki yang mendekatinya. Di tengah kegelapan malam, hanya dibantu sedikit penerangan lampu jalan, dia tidak dapat melihat sosok tersebut secaraterperinci. Kendati tidak mengetahui jam, Katyakin seharusnya sekarang sudah tengah malam dan lazimnya tidak ada orang yang berkeliaran. Dia juga yakin, menilai dari derap pelan dan santai milik si orang asing, bukan anggota kepolisian yang tengah menghampirinya. 

"S-siapa kamu?" tanya Kat, beranjak dari duduknya seiring kian dekatnya si sosok misterius.

Sosok itu tidak menjawab, melainkan terus berjalan menghampiri Kat. Rima detak jantung Kat mulai mengganas. Dia tidak punya senjata sebagai perlindungan, juga tidak menguasai keahlian bela diri sedikit pun. Namun, mengetahui dirinya berada di dekat kantor polisi, Kat meyakinkan diri bahwa sosok di depannya tidak akan berani berbuat macam-macam.

Akhirnya, setelah orang itu berada cukup dekat, barulah Kat dapat melihat penampakannya. Sosok tersebut adalah laki-laki, bertubuh cukup jangkung, serta mengenakan mantel panjang dan syal yang melingkupi lehernya. Sebagian bawah wajah laki-laki itu tertutupisyal hitam sampai sebatas hidung, sementara matanya terlindungikacamata hitam. Laki-laki itu juga mengenakan topi yang ditekan rapat hingga menutupi kening. Meskipun temperatur udara sekitar cukup rendah, Kat tetap menganggap penampilan si orang asing tergolong berlebihan untuk iklim tropis Nusantara.

"Ikuti aku," kata sosok itu dalam suara yang aneh: pelan, berat, serak, sekaligus cempreng. Suara yang, Kat duga, sengaja dibuat-buat.

"Aku tidak mengenalmu," tanggap Kat, hendak menyiratkan bahwa dia enggan menuruti perkataan si laki-laki asing.

"Kamu sedang mencari seseorang, 'kan? Kukira aku bisa sedikit membantumu," timpal si laki-laki. Suaranya masih saja aneh dan terkesan dibuat-buat.

Pupil mata Kat melebar selaku respons. "Bagaimana kamu bisa tahu?"

"Ikuti aku saja," ujar laki-laki itu dengan intonasi datar.

Kat melirik ke samping kanan dan kirinya, tidak mendapati ada orang lain di sekitar mereka. Polisi pengawas berada di sekitar pos patroli,letaknya berseberangan dengan pagar yang dia belakangi. Entah aman apa tidak, Kat mengandalkan intuisinya semata. Dia pun memutuskan untuk membuntuti si laki-laki asing yang telah berjalan duluan.

Laki-laki bersyal itu menggiring Kat berjalan cukup jauh dari kantor polisi, memasuki jalan raya, jalan-jalan kecil, hingga sampailah mereka pada suatu ruas gang yang sepi. Tidak ada orang selain mereka berdua. Kat mengintip jam pada salah satu toko yang sudah tutup melalui jendela: pukul satu pagi. Batinnya meragu untuk tetap mengikuti laki-laki itu, tetapi dia pikir tidak ada salahnya mencoba. Terbiasa dibesarkan dalam lingkungan orang-orang desa yang ramah, Kat bukanlah tipeorang yang mudah menaruh curiga. Dia benar-benar memenuhi stereotip warga dusun yang lugu nan udik. Kendati demikian, dia tetap bersiaga dengan menjaga jarak tidak kurang dari dua meter di belakang si laki-laki bersyal.

Berhenti di pertengahan suatu gang yang sunyi senyap, laki-laki itu lantas berbalik menghadap Kat. "Di sini sepertinya cukup aman. Dengarkan baik-baik. Kamu bisa memilih untuk memercayaiku atau tidak, tetapi yang akan kukatakan adalah kebenaran," ucapnya.

"K-kamu ... tahu siapa yang kucari?" selidik Kat.

"Tidak, tetapi aku sering memergokimu di pusat kota belakangan ini. Juga, melalui foto yang kamu tanyakan kepada sembarang orang di jalan," ungkap si laki-laki. "Aku hanya ingin membantumu."

Kat menelan ludah. Getirnya berkurang ketika mengetahui laki-laki itu telah memerhatikan tindak-tanduknya selama beberapa hari belakangan. Dia pun tidak ragu kala berkata, "Aku mencari adikku."

"Siapa pun yang kamu cari, temuilah suatu informan ulung melalui peta ini. Dia mengetahui banyak hal," kata si laki-laki asing, sembari mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku mantelnya. Kini, setelah beberapa lama mendengar suaranya, Kat yakin laki-laki itu mengenakan semacam alat penyamar suara di balik syal.

"Siapa informan itu?" tanya Kat.

Laki-laki bersuara aneh lantas menanggapi, "Pertanyaannya bukan 'siapa', tetapi 'apa'. Bukan orang, melainkan robot."

Alis Kat menekuk dalam keheranan. "Apa yang bisa sebuah mesin lakukan?"

"Banyak hal, Anak Muda. Dia tidak seperti robot-robot Parlemen yang kaku, melainkan rakyat biasa seperti kita. Anggap saja begitu. Bentuknya juga tidak biasa, perlu kuperingatkan supaya kamu tidak terkejut. Dia bersemayam tidak jauh dari sini, berjarak setengah hari perjalanan saja. Tidak akan membuang banyak waktumu, bukan?"

Kat menarik napas dalam-dalam. Cetusan si laki-laki bersyal mewujud ide absurd baginya. Terlebih lagi, Kat tidak pernah berinteraksi dengan robot-robot sebelumnya. Jarang sekali ada robot Parlemen berlalu-lalang di desa. Satu-satunya mesin yang berhubungan paling dekat dengan Kat adalah traktor rusak milik mendiang sang ayah.

Laki-laki bersyal itu berbicara lagi, "Kubilang sebelumnya, terserah kamu mau percaya atau tidak. Tetap aku akan memberimu peta lokasinya. Letaknya di dalam peti, terkubur di dalam ruang bawah tanah pada suatu reruntuhan rumah tak berpenghuni. Sebaiknya kamu bawa alat menggali bersamamu. Namun, ingat, kamu tidak boleh mengatakan perihal ini kepada siapa-siapa."

"Me ... mengapa kamu melakukan ini?" tanya Kat. "Kita bahkan tidak saling mengenal."

"Suatu hari kamu akan berterima kasih kepadaku," pungkas laki-laki tersebut, seraya menyerahkan lipatan kertas kusut kepada Kat. Dengan agak ragu, Kat mengambil kertas dari tangan si laki-laki yang diselubungi sarung tangan. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, laki-laki bersyal itu segera berbalik dan berjalan meninggalkannya. Kat punterdiam di pertengahan gang, tidak berniat menyusul si laki-laki bersyal yang tampak tidak ingin diikuti lagi.

Dalam remang cahaya lampu jalan di pinggirgang, Kat membuka lipatan kertas kusut yang sudah menguning tersebut. Pada kertas berukuran selebar setengah meter itu, denah Kota Bendungan tersuguh di hadapannya. Di salah satu titik lokasi pada denah, terdapat tanda panah hitam yang mengarah pada suatu bangunan kecil—diindikasikan melaluilambang kotak. Di atas tanda panah, tertera tulisan 'Garda' yang dilengkapi dengan simbol kunci di sampingnya.

Kat merapatkan bibirnya dalam keheningan malam. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia harus bertaruh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top