PAID the PRICE part 1
Di sebuah rumah mewah nan megah, dengan pagar besi yang menjulang cukup tinggi. Di tiang pinggir pagar rumah mewah tersebut terdapat sebuah tulisan 'Mansion Rovalino'. Tetapi rumah tersebut hanya dihuni oleh tiga orang yaitu ayah, ibu, dan seorang anak lelaki.
Namun keluarga tersebut sepertinya sedang terburu-buru membereskan barang-barang mereka.
"Ibu, memangnya kita mau kemana?" tanya seorang anak lelaki dengan wajah polosnya, berusia sekitar 10 tahun.
"Nanti saja Ibu menjelaskannya Hoaquin. Cepat bereskan barang-barangmu". ucap seorang wanita paruh baya Ibu dari anak yang bernama Hoaquin. Sang Ibu pun semakin tergesa-gesa membereskan barang-barangnya.
DOR!!! DOR!!! BRAKK!!!
Tiba-tiba terdengar sebuah suara tembakan, serta pintu rumah yang didobrak kasar. Ibu dan anak tersebut sontak saja terkejut. Hingga datang seorang pria dengan terburu-buru menuju sang Ibu dan anak.
"Elena, mereka datang!!!" Elena terkejut dengan perkataan pria tersebut ayah dari Hoaquin.
"Lalu apa yang harus kita lakukan Harold?" kini Elena yang terlihat panik, ia juga terlihat hampir mengeluarkan air mata.
"Ibu, Ayah sebenarnya ada apa?" Hoaquin yang masih polos tentu saja menanyakan hal tersebut karena penasaran.
PRANKK!!! BRUUKK!!!
Sedangkan diluar kamar, sepertinya sedang sangat kacau. Terdengar barang-barang yang dihancurkan dengan brutal. Dan itu membuat mereka bertiga terkejut.
"Elena, cepat sembunyikan Hoaquin, aku akan menghalangi mereka. Aku juga sudah memanggil bantuan." Elena langsung mencari tempat agar sang anak dapat bersembunyi. Sedangkan Harold langsung pergi keluar dari kamar.
"Hoaquin, dengarkan Ibu baik-baik. Apapun yang terjadi jangan keluar dari lemari ini sampai mereka pergi."
"Tapi Ibu janji akan kembali kan?"
"Iya nak. Ibu pasti akan kembali" Elena pun mengelus lembut rambut anak semata wayangnya, dan ia tutup pintu lemari tersebut.
Hingga tidak lama kemudian empat orang dengan jaket kulit hitam masuk ke kamar tersebut. Terlebih lagi dua orang dari mereka menangkap Harold yang sudah babak belur. Dan itu membuat Elena cukup terkejut.
'bukankah itu paman Vincent?' batin Hoaquin mengintip dari celah-celah pintu lemari yang menjadi tempat persembunyiannya.
Dua orang tersebut langsung mendorong Harold hingga tersungkur ke lantai. Elena yang sejak tadi di dekat lemari langsung berlari menuju suaminya.
"Harold, apa yang terjadi???"
Ketiga penjahat tersebut, langsung menodongkan pistol ke arah suami istri tersebut.
"Harusnya sejak dulu aku melakukan ini pada kalian." ucap pria paruh baya dengan nada santai, tapi dengan tatapan ingin membunuh, pemimpin dari kelompok ini. Mereka masih senantiasa menodongkan pistol.
"Sebenarnya apa yang kau inginkan??!!!" tanya Elena dengan wajah tangisnya. Ia berharap jika Hoaquin tidak ditemukan oleh penjahat tersebut.
Sedangkan tanpa mereka sadari, dalam lemari coklat berpintu dua, salah satu ruang dibalik dua pintu itu terlengkup sosok anak kecil gemetaran, dan itu adalah Hoaquin.
Anak itu hanya bisa mengintip dari celah-celah pintu lemari bersama rasa ketakutannya, melihat kedua orangtuanya ingin dibunuh. Ia menutup mulut dengan kedua tangannya agar suara isak tangisnya tidak terdengar oleh penjahat itu.
"Entah kenapa rasanya seperti ada yang kurang disini...." pria tersebut langsung melihat sekeliling kamar.
"Oh ya.... Dimana anak laki-lakimu Elena???" pertanyaan dari pria berwajah bengis itu membuat Elena dan Harold terkejut sekaligus panik karena anak mereka juga diincar.
Pria dengan wajah bengis tersebut mengitari sekeliling kamar ini, dan ia mendekati lemari dua pintu berwarna coklat dimana Hoaquin bersembunyi. Sedangkan Hoaquin yang sejak tadi mengintip di celah pintu lemari hampir pasrah.
"Vincent, kumohon ampuni anakku, dia tidak salah apa-apa!!!" teriakan Elena membuat Vincent membalikkan badannya dan langsung menuju Elena dengan langkah cepat.
"kumohon Vincent....."
"Sssttt,,,,,, Elena dengarkan aku baik-baik, dimanapun kau menyembunyikan anakmu aku pasti akan menemukan dan membunuhnya." Vincent menatap ketiga anak buahnya seolah memberi isyarat.
DOR!!! DOR!!! DOR
Terdengar tiga kali letupan pistol. Dari celah pintu lemari itu membuat Hoaquin dapat menyaksikan peristiwa yang tak pantas ia saksikan. Ya, tubuh orang tuanya yang dikelilingi darah merah. Ia menangis. Ia takut. Sangat ketakutan. Melihat orangtuanya sudah tergeletak tak bernyawa.
***
Akhirnya para penjahat itu pergi, membiarkan kedua orang yang dibunuhnya tergeletak begitu saja. Senyum kemenangan terpatri di bibir pimpinan penjahat tersebut. Setelah dipastikan keadaan sudah aman, Hoaquin memutuskan untuk keluar dari sembunyinya.
Ia berjalan menuju jasad kedua orangtuanya yang masih berlumuran darah segar. Hoaquin jatuh terduduk lemas seolah tidak bisa berdiri lagi. Ia melihat dengan kedua matanya sendiri bagaimana orangtuanya dibunuh dengan cara keji. Entah apa salah orangtuanya sampai mereka melakukan hal sekejam itu.
Setahu Hoaquin, orangtuanya adalah orang yang baik, mereka selalu menyumbangkan separuh hartanya kepada orang-orang yang tidak mampu serta selalu menolong orang-orang yang terkena musibah.
Sambil menangis Hoaquin memanggil kedua orangtuanya "Ayah.... Ibu...... Hiks....."
Kini tangisnya pecah "Seandainya aku tahu akan seperti ini, lebih baik aku tidak perlu bersembunyi dan mati bersama kalian......" Hoaquin menundukan kepalanya putus asa. Disela-sela tangisnya, ia melihat sesuatu yang berkilau dibawah tangan ayahnya.
Penasaran, Hoaquin mendekatkan diri ke sesuatu yang berkilau tersebut. Meski ia agak takut untuk memegang tangan ayahnya yang sudah pucat dan dingin. Ia mengambil benda tersebut dan ternyata itu adalah sebuah gelang stainless steel dengan permata biru sapphire sebagai hiasannya. Namun gelang tersebut sudah berlumuran darah.
Dari permata sapphire tersebut, keluarlah sebuah cahaya biru sebesar kelereng hingga semakin membesar dan membentuk manusia. Hoaquin hanya bisa membulatkan mata terkejut tidak percaya seseorang bisa keluar dari permata gelang tersebut.
Orang itu mengenakan kemeja putih dengan rompi hitam serta iris mata berwarna biru sapphire senada dengan warna permata gelang yang saat ini digenggam Hoaquin. Juga rambut pirang panjang nan pucat sebahu namun rapi.
"s-siapa kau???" tanya Hoaquin dengan ekspresi bingung bercampur terkejut. Orang yang diajak bicara pun hanya menatapnya datar.
"aku adalah seorang Patron (Pelindung)" jawabnya singkat, Hoaquin langsung mengernyitkan dahi.
"B-bagaimana kau bisa keluar dari gelang ini?" Hoaquin menunjukkan gelang tersebut pada seseorang yang ada dihadapannya karena tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
"ayahmu yang memanggilku. Dia memintaku untuk melindungimu saat kau dalam bahaya. Karena itu biasanya kami disebut Patron atau pelindung. Siapapun yang memanggil kami, maka kami akan selalu melindungi orang tersebut dengan sebuah bayaran". Mendengar penjelasan panjang lebar tersebut Hoaquin cukup tersentak dan menunduk kesal.
Dengan keadaan kepala yang masih menunduk Hoaquin angkat bicara "Jika memang kau seorang pelindung, kenapa...." Hoaquin menggantung kalimatnya karena ia sedikit terisak kembali mengingat bagaimana orangtuanya dibunuh.
"KENAPA KAU TIDAK MELINDUNGI ORANGTUAKU???!!!!!" suara Hoaquin meninggi dua oktaf. Marah, kesal dan sedih menjadi satu. Apa gunanya memiliki seorang pelindung jika pelindungnya saja tidak melindungi orangtuanya.
"Ayahmu yang memerintahkanku agar tidak perlu melindunginya". Hoaquin yang tadinya menangis sambil tertunduk langsung mengangkat kepalanya.
"Ayahmu ingin kau tetap hidup. Dia mengorbankan nyawanya demi dirimu. Jadi kau jangan menyia-nyiakan pengorbanan ayahmu". Setelah Patron tersebut mengatakan hal itu, tangisan Hoaquin langsung berhenti. Sang Patron benar, ia tidak seharusnya ia menyiakan pengorbanan kedua orangtuanya.
Hingga ia pun mengambil keputusan bodoh dan membuat perjanjian dengan Patron.
"Patron, mulai sekarang aku ingin kau menjadi pelindungku dan membantu untuk mencari pembunuh dan membalaskan dendam orangtuaku". Ucap Hoaquin dengan nada tegas. Patron tersenyum kecut mendengar perkataan bocah dihadapannya.
"Aku akan membantumu. Tapi dengan sebuah bayaran....." sang Patron menggantung kata-katanya.
"Apa bayarannya?" Hoaquin semakin penasaran dengan Patron tersebut karena cukup lama menjawab.
"setiap aku melindungimu, maka sebagai bayarannya aku ingin umurmu sebagai pengisi tenaga dan energiku. Namun......". Patron tersebut kembali menggantung kalimatnya, Hoaquin terdiam menunggu kalimat selanjutnya yang akan dikatakan oleh Patron tersebut.
"jika kau menyuruhku untuk membunuh seseorang, maka jantungmu sebagai bayarannya". Patron menajamkan kalimat tersebut, tanda bahwa itu tidak dapat ditolak. Hoaquin tersentak mendengar bayaran yang tidak masuk diakal oleh Patron.
Senyuman licik dilihatkan sang Patron. Tadinya ia mengira bahwa yang diinginkan Patron tersebut adalah uang atau sebagian hartanya, tapi ternyata dugaannya salah besar.
"Kupikir kau seorang pelindung" Hoaquin menatap tajam orang yang dihadapannya.
"Khe.... Aku memang seorang pelindung, tapi bukan berarti kami para Patron tidak membutuhkan bayaran." Kini sang Patron yang balik menatap tajam Hoaquin sambil terkekeh.
Hoaquin terlihat memikirkan kesepakatan, dan mau tidak mau Hoaquin menerima perjanjian tersebut.
"Ya, aku menyetujuinya." Hoaquin mengulurkan tangannya mengajak bersalaman sang Patron tanda bahwa ia sepakat dengan Sang Patron. Patron tersebut kembali terkekeh dan menerima uluran tangannya Hoaquin.
Tidak lama setelah kesepakatan tersebut, beberapa orang dengan seragam kepolisian datang. Si Patron berubah kembali menjadi cahaya biru sebesar kelereng lalu masuk ke permata sapphire gelang milik Hoaquin.
"Hoaquin, kau dimana nak?" seorang pria yang umurnya tak jauh beda dengan Harold masuk dengan panik ke kamar dimana tempat terjadinya pembunuhan. Pria itu seketika terkejut dengan pemandangan yang ia lihat. Serta seorang anak kecil yang menatap datar kedua tubuh tak bernyawa tersebut.
"Ya Tuhan......" hanya itu yang bisa digumamkan si pria, yang tak lain adalah teman ayahnya Hoaquin. Seandainya ia datang lebih cepat, peristiwa ini pasti tidak akan terjadi. Ia pun berjalan mendekati Hoaquin yang terdiam dengan ekspresi datarnya. Pria itu memegang kedua bahu Hoaquin dan memeluknya.
"Maafkan aku Hoaquin." ucap pria tersebut. Hoaquin hanya diam tak menjawab. Beberapa orang datang dengan seragam perawat dan langsung mengangkat kedua jasad tersebut. Pria yang bernama Tuan Harison itu membawa pergi Hoaquin. Ia merasa bersalah, karena sudah membiarkan Hoaquin melihat adegan yang tidak seharusnya dilihat oleh anak kecil.
*7 tahun kemudian*
-Asrama Agensi Mata-mata-
Asrama agensi mata-mata, itulah nama tempat ini. Dimana para pemuda berusia sekitar 16-17 tahun dididik untuk menjadi seorang mata-mata dan penyelidik. Bahkan banyak diantara murid disini yang berhasil menangkap beberapa penjahat kelas kakap.
Namun diantara beberapa murid yang berhasil tersebut, ada satu pemuda yang sudah mendapat gelar agen penyelidik dan mata-mata termuda di dunia. Ia juga sudah banyak mendapat perhargaan dari pemerintah karena kemampuan dan ketelitiannya dalam mengungkap kasus kejahatan dan kriminalitas.
Ia bahkan berhasil menemukan buronan internasional, gembong narkoba kelas kakap, hingga pejabat-pejabat korupsi. Namun ia tidak sendirian ia dibantu oleh asisten gaibnya yang bernama Ricolas.
Tidak ada yang tahu jika mata-mata muda ini memiliki asisten gaib. Namun asisten tersebut hanya bertugas untuk melindunginya, dan pengungkapan kejahatan sepenuhnya adalah Hoaquin.
Hoaquin beberapa kali hampir terbunuh, namun berkat asistennya gaibnya, ia berhasil lolos dari maut.
***
Saat itu asrama ini sedang dalam jam makan siang, semua murid berada di ruang makan, berbagai macam makanan bak hotel dan restoran mewah tersedia disini. Para murid hanya tinggal memilih makanan apa yang mereka inginkan.
Satu meja makan persegi panjang biasanya diisi enam orang. Dan di salah satu meja makan tersebut terlihat lima murid dari asrama ini sedang makan siang sambil asyik bercanda ria. Hingga seorang pemuda tampan berambut hitam serta iris mata berwarna kuning yang mendapat gelar agen penyelidik termuda melewati mereka. Salah satu dari mereka menyapa pemuda tersebut.
"Hei, Hoaquin. Mau makan siang bersama kami?" tanya pemuda seumuran Hoaquin, bernama Adrian. Yang lain tersenyum berharap Hoaquin mau bergabung bersama mereka. Namun Hoaquin hanya memandang wajah datar.
"Tidak, terimakasih." jawab Hoaquin cuek. Pemuda berusia 17 tahun itu langsung beranjak pergi meninggalkan teman-temannya yang memasang raut wajah kecewa.
Namun seorang perempuan dengan rambut cokelat juga iris mata violet agak ikal dibawah salah satu dari mereka bangkit mengejar Hoaquin yang belum jauh.
Ia pun berhasil menyusul dan berdiri dihapan Hoaquin "Tunggu Hoaquin. Setidaknya makanlah bersama kami sekali saja." Hoaquin masih diam, menatap Mikhaela yang memasang wajah berharap pemuda itu mau.
"Maaf, Mikhela aku sudah makan." tanpa basa-basi Hoaquin langsung berlalu meninggalkan Mikhaela yang terlihat mengeluarkan setitik air mata. Gadis itu kecewa dengan perubahan sikap Hoaquin yang begitu drastis. Ia pun kembali duduk bersama teman-temannya. Teman-temannya memasang wajah heran melihat Mikhaela yang tadi mengejar Hoaquin kembali dengan keadaan sedih.
"Mikhaela, apa yang terjadi?" tanya seorang gadis dengan rambut indigonya yang terurai bernama Carly teman seangkatan Mikhaela.
"Sudahlah Mikhaela..... Kau tidak perlu menangisi seseorang seperti Hoaquin." ucap Dash, pacar Carly. Bukannya menenangkan ia malah membuat Mikhaela semakin menangis. Carly pun menatap tidak suka pada pacarnya, Dash.
"Ayolah, Dash. Kita sebagai teman harus menghiburnya, bukan membuatnya semakin sedih." tegur Carly namun dengan nada yang lembut. Dash langsung terdiam dan mengalihkan pandangannya dari Carly. Meski begitu Dash sebenarnya adalah teman yang baik dan peduli.
"Mikhaela, aku tahu selama tujuh tahun sikap Hoaquin sangat berubah. Tapi aku yakin masih ada cahaya di hatinya. Dan mungkin hanya kau yang bisa mengembalikan cahaya itu." Setelah mendengar perkataan Carly, Mikhaela menjadi sedikit lebih tenang dan kembali tersenyum.
Dash beruntung memiliki kekasih seperti Carly yang begitu peduli pada teman-temannya.
Sebenarnya Hoaquin dan Mikhaela sudah berteman sejak kecil. Dulu Hoaquin adalah anak yang ceria dan selalu tersenyum kapanpun. Bahkan mereka hampir dijodohkan oleh orangtua mereka. Namun semenjak insiden tujuh tahun yang lalu Hoaquin menjadi jarang tersenyum atau bahkan hampir tidak pernah.
Sementara di tempat lain namun tak jauh dari ruang makan, Hoaquin sedang berjalan santai menyusuri koridor terbuka lalu berhenti melihat pemandangan taman asri yang berada di asrama ini.
Hingga asisten gaibnya keluar dari permata sapphire gelang milik Hoaquin dan berdiri dibelakang Hoaquin.
"Hai, Tuan." Hoaquin hanya diam tak menjawab sapaan dari asisten, sedangkan asistennya malah tersenyum kecut. Karena hening akhirnya asisten lebih dulu membuka pembicaraan.
"Sepertinya gadis yang tadi mengajakmu itu menyukaimu, Tuan." masih sama seperti tadi, Hoaquin masih diam tak bicara seolah tidak mendengarkan apa yang dikatakan Ricolas.
Sedetik kemudian, Hoaquin melangkahkan kakinya dari tempatnya berdiri diikuti oleh Ricolas. "Aku tidak punya waktu untuk memikirkan soal itu. Saat ini yang menjadi tujuanku, hanyalah mencari pamanku." ucap Hoaquin datar tanpa sedikit pun menoleh Ricolas yang berada dibelakangnya.
"Ngomong-ngomong, berbicara mengenai soal itu sepertinya aku memiliki informasi yang menarik untukmu." Ricolas tersenyum santai dan seketika langkah Hoaquin terhenti mendengar perkataan asistennya.
"Apa itu?" tanya Hoaquin membalikkan badannya menghadap Ricolas.
• • •
Tuan Harison menatap sendu membaca surat yang berisikan laporan terakhir dari salah satu mata-mata profesional di asrama ini.
Semua guru asrama sedang berkumpul di ruang Tuan Harison, beliau adalah kepala sekolah asrama sekaligus sahabat Harold Rovallino ayah Hoaquin. Para guru memasang wajah berduka seperti baru saja kehilangan seseorang.
"salah satu mata-mata kita tewas Tuan." ucap salah satu guru muda berjenis kelamin laki-laki. Tuan Harison langsung menaruh laporan tersebut di atas meja kerjanya. Beliau pun bangkit dari tempatnya duduk.
"Dengar, semuanya. Kita harus merahasiakan hal ini dari Hoaquin. Karena jika Hoaquin sampai tahu, dia pasti tidak akan tinggal diam. Kita sendiri yang akan menangkap Vincent Rovallino. Terlebih lagi, Vincent berada di gedung tak terpakai yang tidak jauh dari asrama ini. Orang yang kita cari sangat pandai bersembunyi." jelas Tuan Harison panjang lebar dengan nada bijaksana namun tegas.
Semua guru disini mengangguk setuju. Sebagian besar guru disini adalah mata-mata profesional tak terkecuali Tuan Harison. Namun mengingat salah satu mata-mata disini tewas itu adalah hal yang sangat jarang bahkan tidak pernah. Berarti seseorang yang bernama Vincent Rovallino bukanlah sekedar penjahat biasa.
Hingga tanpa mereka sadari, seseorang yang berada dibalik pintu ruangan ini sedang menguping pembicaraan mereka.
• • •
"Jadi selama ini, dia berada di dekat kita. Tapi kenapa kita tidak mengetahuinya??!!" suara Hoaquin meningkat satu oktaf, untunglah koridor ini sepi jadi tidak ada siapapun yang mendengar.
"Itu karena kau selalu dikirim ke tempat yang jauh." jawab Ricolas santai. Hoaquin mengepalkan kedua tangannya kesal kenapa rahasia ini harus disembunyikan darinya. Ia pun menatap asistennya yang hanya tersenyum santai.
"Malam ini juga aku ingin pergi ke gedung itu."
"Tapi, Tuan. Aku sudah terlalu sering melindungimu. Dan umurmu hanya tinggal delapan tahun lagi." Hoaquin cukup terkejut mendengar umurnya sudah sependek itu.
"Aku tidak peduli. Malam ini juga aku akan pergi."
***
Tengan malam sudah tiba, dimana para murid asrama sedang tertidur dengan pulasnya. Hoaquin sedang mempersiapkan sesuatu yang akan dibawa seperti beberapa senjata. Ia masukkan barang penting tersebut ke dalam tas ranselnya.
Setelah selesai, Hoaquin keluar dari kamarnya. Ia berjalan dengan mengendap-endap agar langkah kakinya tak terdengar. Setelah keadaan dipastikan aman, ia langsung berlari secepat mungkin keluar dari gerbang asrama ini.
Setelah berlari beberapa meter ia memutuskan untuk berhenti. Nafasnya juga terengah-engah, ia pun mengambil air mineral yang tersimpan di tasnya lalu menenggaknya sampai habis. Hingga asisten gaibnya keluar dari gelangnya.
"Kau terlihat kacau sekali Tuan." ucap si asisten tersenyum kecut. Hoaquin langsung menatap tajam Ricolas. "Ini bukan waktunya untuk bercanda!" protes Hoaquin seolah tidak suka dengan lelucon Ricolas.
"Sekarang ayo bawa aku ke gedung itu." perintah Hoaquin. Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan mereka dengan berlari.
***
Akhirnya mereka berdua sampai. Membutuhkan waktu sekitar satu jam dari asrama ke gedung ini hanya dengan berlari. Jika mereka menggunakan kendaraan, sudah dipastikan akan lebih cepat.
Gedung ini begitu tak terawat, seperti sudah ditinggalkan berabad-abad terlebih letaknya yang jauh dari permukiman. Namun di gedung ini, Hoaquin dapat mendengar sepertinya begitu banyak orang di gedung ini.
Karena terdengar musik yang cukup keras, serta tercium bau alkohol yang menyengat. Dan benar saja terdapat ratusan botol alkohol yang menumpuk di balik semak-semak.
Hoaquin dan Ricolas masuk ke gedung tersebut dengan sangat hati-hati. Ia juga menutup hidungnya karena tidak tahan dengan bau alkohol yang begitu semerbak. Hingga mereka berdua melewati ruangan yang dipenuhi pria mabuk dan wanita yang diperkirakan adalah seorang pelacur.
Hoaquin mengambil pistol di tasnya lalu memberikannya pada Ricolas. "Ricolas, sebaiknya tembak mereka dengan obat bius." suruh Hoaquin. Entah kenapa Ricolas langsung tersenyum girang setelah memegang pistol. Baginya tembak menembak adalah hal yang sangat menyenangkan. Ricolas langsung mengeker pistol tersebut kearah mereka.
Hanya dalam hitungan detik, Ricolas berhasil mengenai sasaran dan mereka langsung pingsan. Ricolas meniup asap yang keluar dari ujung pistol tersebut. Untunglah pistol itu tidak berbunyi dan hanya bersuara "click" saat ditembakkan. Keadaan pun menjadi sunyi dan sudah dipastikan aman.
"HOAQUIIINNN!!!!!!!" tiba-tiba suara seorang perempuan tengah berlari sambil memanggil nama Hoaquin terdengar di telinga mereka berdua. Dalam sekejap Hoaquin langsung tahu siapa perempuan tersebut. Hoaquin mengerutkan dahinya setelah perempuan berdiri dengan terengah-engah di hadapannya.
"Mikhaela, apa yang kau lakukan disini? Dan bagaimana kau bisa kemari?" tanya Hoaquin bingung bagaimana Mikhaela bisa menyusulnya. Padahal Hoaquin yakin jika tadi tak ada seorang pun yang mengikutinya.
"Tadi, tanpa sengaja aku melihatmu mengendap-endap keluar dari asrama. Jadi, karena itulah aku mengikutimu kesini." jawabnya dengan nada masih kelelahan. Hoaquin mengambil sesuatu di tasnya, mengeluarkan air mineral lalu ia berikan pada gadis yang ada di depannya.
"Ini, minumlah....." Mikhaela langsung menerima botol air tersebut dengan tersenyum senang, ia buka tutup botol tersebut. Namun saat ingin meminumnya Hoaquin tiba-tiba mencegahnya. "Tunggu, Mikhaela. Pakailah ini." rupanya Hoaquin memasukkan sedotan ke botol tersebut agar Mikhaela mudah meminumnya.
Entah apa yang dirasakan Mikhaela saat ini diantara senang atau terharu. Perkataan Carly mungkin benar, masih ada cahaya di hati Hoaquin. Mikhaela meminum minuman tersebut hingga tersisa setengah botol. Setelah selesai, ia tutup kembali botol tersebut dan mengembalikannya pada Hoaquin.
"Terimakasih, Hoaquin." ucap Mikhaela. Namun hanya dijawab anggukan oleh Hoaquin. "Dan kau siapa?" tanya Mikhaela pada Ricolas yang sejak tadi hanya diam dan memperhatikan mereka berdua.
"Aku adalah......"
"Itu tidak penting." belum selesai Ricolas berbicara Hoaquin langsung memotong perkataannya. "Mikhaela, tempat ini terlalu berbahaya untukmu. Ricolas antarlah Mikhaela......"
"HEIII!!!!!! SIAPA DISANA???!!!!!" sontak mereka bertiga terkejut mendengar suara seseorang. "Ayo cepat kita lari!!!" ajak Hoaquin, hingga tanpa sadar ia menarik tangan Mikhaela untuk ikut berlari.
Mereka pun menuju salah satu ruangan gedung tak terpakai ini. Ruangan yang begitu kotor dan bau menyengat tercium. Mereka bersembunyi di tembok pendek yang terdapat di ruangan ini dengan berduduk.
"KALIAN KELUARLAH!!!!!" suara orang tersebut bergema, dan diperkirakan jaraknya tak jauh dari ruangan tempat mereka bersembunyi.
"Hoaquin....." Mikhaela menatap Hoaquin yang duduk disampingnya dengan wajah ketakutan. "Jangan khawatir Mikhaela. Apapun yang terjadi aku pasti akan melindungimu, bahkan jika itu harus dengan nyawaku." ucap Hoaquin mencoba menenangkan Mikhaela.
Sementara Ricolas menatap heran kedua insan tersebut. Seingatnya Hoaquin tidak pernah berbicara seperti itu kepada siapapun. Dan ini adalah pertama kalinya Hoaquin mengatakan hal itu terlebih kepada seorang gadis.
Tap Tap Tap
Suara langkah kaki terdengar semakin dekat dengan tempat persembunyian mereka.
"KALIAN KELUARLAH!!!" pria tersebut masuk ke dalam ruangan dimana Hoaquin bersembunyi. Hoaquin, Mikhaela dan Ricolas berusaha untuk tidak mengeluarkan suara sama sekali.
Meras tidak ada siapapun pria tersebut pun pergi meninggalkan ruangan ini. "Sebaiknya, aku melaporkan hal ini pada bos." ucap pria tersebut sambil melenggang pergi. Mereka bertiga pun keluar dari tempat persembunyian.
"Mikhaela, sudah kubilang tempat ini tidak aman untukmu. Ricolas, antarlah Mikhaela kembali ke asrama." suruh Hoaquin,Ricolas mengangguk mengerti.
"T-tapi, Hoaquin....."
"Tolong jangan keras kepala Mikhaela....."
"TIDAK MAU!!!" kali ini suara Mikhaela yang menaik dua oktaf.
"APA KAU TAHU, AKU MENGIKUTIMU KESINI KARENA AKU KHAWATIR PADAMU!!! SELAMA TUJUH TAHUN SIKAPMU BENAR-BENAR BERUBAH, KAU MENJADI ORANG YANG EGOIS, KAU BAHKAN TIDAK MAU BERGAUL DENGAN TEMAN-TEMANMU!!! Aku.... Aku merindukan Hoaquin yang dulu, Hoaquin yang selalu tersenyum dan ceria. A-aku.... AKU MENCINTAMU HOAQUIN!!!!!" Hoaquin masih terdiam menatap Mikhaela yang mengatakan hal itu sambil menangis.
"Kembalilah ke asrama."
Mikhaela tersentak mendengar Hoaquin begitu santainya mengatakan "kembali" setelah ia mencurahkan semua isi hatinya yang selama ini dipendam. Kedua tangan Mikhaela mengepal erat, bahkan ia menatap tajam Hoaquin karena sudah terlalu kesal.
"SAMPAI KAPAN PUN ORANG YANG TIDAK PEKA SEPERTIMU TIDAK AKAN PERNAH MENGERTI!!!!" Mikhaela mendorong pelan Hoaquin dan berlari meninggalkan mereka berdua.
"Sebenarnya kenapa dengan Mikhaela?" tanya Hoaquin pada diri sendiri seolah tidak mengerti apa yang dikatakan Mikhaela.
"KYAAAAAA!!!!!!!"
Seketika Ricolas dan Hoaquin tersentak, mereka mendengar Mikhaela berteriak dan mungkin sedang dalam bahaya.
"Ricolas, ayo cari Mikhaela." mereka berdua pun bergegas mencari keberadaan Mikhaela.
"Ricolas sebaiknya kita berpencar."
"Mengerti."
Ricolas pergi ke ke arah yang berlawanan dengan Hoaquin. Hoaquin terus berlari dan membuka setiap ruangan yang ada di gedung ini, namun nihil. Tidak ada tanda-tanda Mikhaela, raut wajah khawatir terpasang di wajah tampannya.
Hingga ia melihat salah satu ruangan yang berbeda dari gedung ini. Ruangan tersebut memiliki dua pintu yang cukup tinggi. Hoaquin mempercepat larinya berharap jika Mikhaela ada disana.
Ceklek
Pintu tersebut terbuka dengan mudahnya. Dan memperlihatkan sebuah ruangan yang sangat luas dengan cahaya lampu yang remang-remang. Hoaquin curiga bagaimana bisa ruangan sebesar ini tidak dikunci, pasti ada yang salah. Lalu pandangannya tertuju ke arah lampu yang berada di tengah-tengah ruangan ini. Ia terkejut melihat Mikhaela tak sadarkan diri. Ia pun langsung berlari menuju Mikhaela.
"Mikhaela!!!" Hoaquin mengangkat kepala Mikhaela dan menepuk-nepuk pipinya agar ia sadar. Namun semua lampu disini tiba-tiba menyala hingga ruangan yang tadinya gelap kini menjadi terang benderang.
"Apa kabar Hoaquin?" sapa orang tersebut. Hoaquin langsung mengalihkan pandangannya dari Mikhaela dan melihat siapa orang yang yang sudah memanggilnya. Hoaquin membulatkan mata terkejut.
"KAU.....!!!"
***
Sementara di asrama, Carly yang baru bagun dari tidurnya terkejut melihat ranjang Mikhaela yang kosong. "Ini sudah pagi, tapi kenapa Mikhaela belum kembali juga?".
Ya. Sebenarnya sebelum pergi, Mikhaela sudah bilang pada Carly bahwa dia akan pergi mengikuti Hoaquin. Carly sempat melarang, namun melihat Mikhaela yang bersikeras untuk mengikuti Hoaquin ia tidak bisa mencegahnya.
Carly berdiri dari ranjangnya, dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setiap kamar di asrama ini, diisi oleh dua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Hanya orang-orang tertentu saja yang menempati kamar sendirian. Seperti Hoaquin, karena prestasinya banyak ia pun menempati kamar sendirian. Hanya beberapa orang saja yang menempati satu kamar.
Setelah selesai Carly keluar dari kamarnya, lalu melihat Dash kekasihnya bersama teman sekamarnya Adrian sedang berjalan menuju arahnya.
"Selamat pagi Carly." sapa Dash, Adrian hanya tersenyum, ia adalah orang yang cukup pendiam.
Carly menyapa balik mereka berdua "Selamat pagi Dash, Adrian." Mereka bertiga pergi ke ruang makan untuk sarapan bersama.
Sejak tadi Carly hanya memandang roti sandwich tanpa berniat memakannya. Dash yang melihat Carly tidak memakan sarapan mengajaknya berbicara.
"Carly, ada apa? Ngomong-ngomong dimana Mikhaela?" sepertinya Dash baru menyadari jika sahabat Carly, Mikhaela sedang tidak bersama mereka. Carly masih terdiam ragu untuk menjawabnya.
"Carly, katakan ada apa? Dimana Mikhaela?"
"Mikhaela, dia...."
To be Continued
Bersambung ke part sebelah yak 😂 ➡ 👉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top