1

PAID THE PRICE
I Wrong
Ditulis : Praverius
Genre : historical, fantasy, angst, minor romance

***

Langit mendung menghias daratan Britania Raya. Awan-awan hitam melepaskan bebannya menjadi hujan yang cukup deras. Gemericik air terdengar jelas, menghiasi gendang telinga semua orang dan membuatnya khawatir. Kilat menyambar-nyambar semakin memperburuk keadaan.

Seorang anak berambut hitam duduk dengan pandangan kosong di ujung gang yang gelap di antara bangunan-bangunan megah, tak peduli seberapa derasnya hujan. Pakaiannya lusuh berhari-hari tidak diganti. Tangannya membawa sebuah gelas yang hanya berisi air dan harapan. Berharap seseorang akan lewat dan memberinya makanan atau uang. Anak ini harus merasakan pahitnya London pada era revolusi industri dan anak yang kumaksud adalah aku.

Menjadi seorang anak yatim piatu di sebuah kota besar memang bukanlah hal yang mudah. Hal ini menjadi lebih sulit mengingat aku tidak bisa melakukan apa pun untuk dikerjakan. Tidak ada yang menerimaku bekerja dengan alasan umurku masih terlalu muda. Aku hanya dianggap bocah lemah yang hanya bisa menyusahkan orang lain.

Sebuah payung hitam melindungiku dari derasnya hujan tanpa diduga. Tangan putih mulus dapat kulihat dengan jelas menggenggam ujung payung. Itu membuatku mendongak ke atas dan mendapati seorang laki-laki dan perempuan yang kuduga adalah pasangan suami istri.

"Apa yang kalian inginkan dari anak tidak berguna sepertiku, Tuan dan Nyonya?" tanyaku sambil mengamati rupa mereka dari atas sampai bawah. Ucapanku terdengar seperti orang yang puus asa akan kehidupannya.

Laki-laki di hadapanku memiliki surai hitam gelap sepertiku dan mata merah yang sangat menawan. Pakaiannya bernuansa merah gelap dan hitam yang sangat mewah. Sementara itu, perempuan yang di sampingnya memiliki rambut pirang pendek dengan hiasan seperti mahkota kecil. Matanya seragam dengan suaminya. Ia mengenakan pakaian yang bisa dibilang cukup seksi dengan nuansa merah menyala. Dapat kuketahui dua orang di depanku adalah seorang bangsawan tingkat atas.

"Jangan sebut dirimu tidak berguna. Kau yang bernama Harrison Cole?" tanya laki-laki di hadapanku dengan suaranya yang lembut.

"Iya Tuan, ada apa?"

"Perkenalkan, aku Nathan D. Franson dan ini istriku Lucya Franson. Kami berdua sedang mencari anak yang terlantar dan sepertinya kami berdua menemukannya. Kami akan menolongmu."

"Kami berdua ingin mengangkatmu sebagai anak kami. Apa kau mau?" ucap perempuan di sebelahnya yang membuatku sangat terkejut.

Aku terdiam seribu bahasa. Aku hampir tidak percaya apa yang baru saja kudengar dari mulut mereka berdua.

"Tenang saja, kami tidak akan memintamu untuk bekerja atau apa pun itu."

"Kami akan memasukkanmu ke sekolah umum dan berteman dengan anak-anak lainnya."

"Apa kalian berdua bersungguh-sungguh?" tanyaku dengan penuh keraguan. Aku ragu jika kedua orang di depanku ini memiliki hati malaikat.

"Tentu saja kami bersungguh-sungguh."

"Baiklah! Jika begitu aku mau!" ucapku semangat dengan penuh senyuman. Aku masih tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Mungkin ini adalah jawaban Tuhan atas semua doa-doaku.

"Baik, kalau begitu mari kita pulang. Mulai sekarang panggil kami ayah dan ibu."

Kami betiga berjalan menuju kereta kuda yang cukup mewah. Aku berjalan dengan riang karena senang. Aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya dalam hidupku.

Kami bertiga memasuki kereta kuda yang ditarik oleh kedua aswa hitam yang kuat. Sang kusir menarik pecutnya dan kereta kuda mulai melaju. Aku duduk bersebelahan dengan orang yang mulai sekarang kupanggil dengan sebutan ibu. Ayah duduk di depan kami berdua sambil mengumbar senyuman yang terlihat tulus.

Aku diam. Aku memikirkan bagaimana hidupku nantinya. Bagaimanakah rasanya nanti memiliki keluarga? Bagaimana perasaan tinggal di sebuah bangunan yng disebut sebagai 'rumah' oleh orang-orang? Apakah mereka benar-benar baik? Atau ini hanya sebuah permulaan untuk menjebakku?

"Kenapa kau melamun seperti itu, Harry?" tanya Ayah yang ada di depanku. Sepertinya ia dari tadi memperhatikanku.

"A-ah tidak apa-apa Tu- eh maksudku Ayah," ucapku sambil menggaruk kepalaku yang tak gatal.

"Kalau kau memikirkan sesuatu bilang saja apa yang kau pikirkan."

"Tidak ada, A-Ayah."

"Jangan canggung seperti itu. Kita ini 'kan keluarga."

Beberapa saat kemudian, kami bertiga sampai di suatu tempat. Kami bertiga turun dari kereta kuda. Aku mendapati suatu tempat yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Sebuah manor megah dengan nuansa warna emas. Halamannya sangat luas dan sebagian besar dijadikan taman bunga. Mawar putih terlihat mendominasi, seperti memakan bunga yang lainnya, namun bukankah mawar itu indah? Air mancur besar turut melengkapi pemandangan yang kulihat. Aku terpana melihatnya sehingga mataku tak berkedip sekali pun.

"Selamat datang di rumah," ucap Ibu dengan penuh senyuman

"Ini rumah kita?" tanyaku dengan nada sedikit tak percaya.

"Tentu saja, kau menyukainya 'kan?"

"Wah, ini sangat indah!"

Kami bertiga berjalan menuju pintu masuk manor yang tinggi dan lebar, semakin menambah kesan megah. Ibu membuka pintu tersebut dan membuatku semakin terpana. Dalamnya lebih mewah daripada yang kukira.

Sebuah karpet merah sudah menyambut kedatangan kami bertiga. Patung-patung berhiaskan emas serasa menunduk hormat kepada kami. Lukisan-lukisan indah menambah keindahan rumah ini.

Namun, aku merasa ada sesuatu yang janggal. Keadaan manor ini sepi sekali, tanpa pelayan ataupun orang lain di sini, padahal sepengetahuanku sebuah manor yang lua biasanya dihuni banyak orang. Suatu kegelapan terlihat dengan samar, sangat tertutup. Sepertinya ada sesuatu yang tak harus kulihat. Aku tidak akan menghiraukannya daripada akan menjadi masalah untukku. Lagipula tempat ini akan menjadi rumah pertamaku.

"Selamat datang di rumah keluarga Franson, Harry. Aku akan mengantarmu ke kamar dan mulai besok kau akan bersekolah. Ibu akan membantu menyiapkan apa yang diperlukan."

"Baiklah Ibu."

Aku dan Ibu berjalan ke kamar yang ternyata letaknya cukup jauh. Aku tidak pernah melepaskan pandanganku pada benda-benda indah yang berada di sepanjang lorong dan tangga yang kulewati. Aku mengabaikan beberapa kejanggalan dan akan menganggapnya sebagai hal yang wajar.

"Ini adalah kamarmu," kata Ibu saat berhenti di sebuah kamar yang berada di pojok lantai atas.

Ibu membuka pintu kamar tersebut dan menampakkan pemandangan yang luar biasa. Sebuah kamar yang megah dengan kamar mandi pribadi. Sebuah ranjang besar dengan kasur yang terlihat sangat empuk dan selimut hangat yang membuatku membayangkan bagaimana nyamannya tidur di situ, berbeda dengan di jalanan.

"Wah...."

"Kau suka 'kan?"

"Tentu saja aku meyukainya, Ibu."

"Baiklah, ini kunci kamarmu. Kamar Ayah dan Ibu ada di sebelahmu. Nikmati dulu kamarmu, nanti Ibu akan kembali untuk membantumu mengurus persiapanmu untuk sekolah besok," ucap Ibu sambil memberikan sebuah kunci.

"Baiklah Ibu," ucapku sambil menerima kuncinya.

"Jika begitu, Ibu pergi sebentar untuk menyiapkan makan malam," ucap Ibu sambil menyentuh kepalaku dan berbalik. Mulai melangkah dan berjalan pergi.

Suatu aura kegelapan dapat kurasakan dari balik punggung Ibu. Ketakutan, kejahatan, kecemasan, dan teriakan yang kuat tiba-tiba kurasakan, membuatku merinding.

"Ah, tapi siapa peduli? Itu pasti hanya pikiran burukku saja."

Aku memasuki kamarku dan menutup pintunya. Melihat segala perabotan yang ada dan mencobanya. Aku membuka almari yang ada di kamarku dan dapat kulihat isinya sudah dipenuhi oleh baju-baju mewah seorang bangsawan.

"Baiklah, kalau begini aku mandi saja. Sudah seminggu aku tidak mandi."

Aku mandi dan mengganti pakaian lusuhku dengan pakaian mewah layaknya aku ini seorang bangsawan sungguhan. Setelahnya, aku mecoba untuk berbaring di atas ranjangku yang sudah kuduga kalau sangat nyaman.

"Jadi begini ya sisi lain kehidupan, indah sekali."

Aku sepertinya akan sangat menikmati kehidupan baruku. Di dalam hati aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena sudah mengirimkan dua malaikat kepadaku. Kita memang tidak pernah tahu apa yang terjadi selanjutnya dalam hidup kita bukan?

***

"Hai, bukankah ia anak jalanan itu?"

"Bagaimana bisa ia ada di sini?"

"Astaga, ini akan mencemari nama sekolah."

Ini adalah hari pertamaku sekolah dan seperti dugaanku bahwa aku akan menjadi bahan perbincangan. Mereka semua pernah melihatku hidup di jalanan dan kini mereka menatapku tajam. Semua ucapan mereka membuatku sedikit tidak percaya diri.

Aku terus berjalan dengan menunduk, aku malu. Ayah dari tadi ada di sebelahku terus saja menggandeng tanganku.

"Sudahlah Harry, jangan pedulikan ucapan para orang tidak berguna itu. Tetaplah percaya pada dirimu sendiri dan tunjukkan kalau kau pantas ada di sini."

"Kau benar Ayah. Tidak seharusnya aku malu."

Entah mengapa ucapan Ayah bisa menghilangkan semua rasa maluku dalam sekejap mata. Aku berjalan dengan tegap. Aku tidak akan peduli tentang apa yang akan orang ucapkan tentangku. Biarlah mereka menghinaku, yang terpenting aku tetap berdiri.

Aku memasuki ruang kelasku. Berkenalan dan disuruh duduk di salah satu bangku seperti murid baru kebanyakan. Aku melihat siapa yang akan menjadi teman sebangkuku. Calon teman sebangkuku adalah seorang anak baik dengan penampilan seperti kutu buku. Itu terlihat jelas dari seberapa tebal lensa yang ia gunakan pada kacamatanya. Setidaknya dari tadi aku tidak melihat ia menatapku dengan sinis. Bahkan, ia terus saja mengumbar senyuman ke arahku.

Aku berjalan menuju bangku dengan sedikit canggung. Ia hanya menatapku ramah.

"Hai, aku Kieran Louis. Panggil saja aku Kieran. Silahkan duduk di sebelahku," ucapnya dengan ramah.

"Baik, terima kasih."

Pelajaran dimulai dan aku memperhatikannya dengan seksama. Aku memperhatikan ucapan demi ucapan guru dengan serius. Aku juga mengerjakan tugas pertamaku dengan segenap kemampuan yang kupunya.

Istirahat tiba. Kieran langsung pergi ke toilet. Aku memutuskan untuk berkeliling sekolah sendirian.

Aku mengitari kelas-kelas yang ada dan sebuah taman yang ada. Sekedar melihat-lihat tanaman dapat membuat otakku segar kembali. Aku sangat menikmati pemandangan yang ada di taman walau taman itu seperti taman pada umumnya, ada pohon dan bunga.

CTAK!

Tiba-tiba sebuah batu mendarat di kepalaku, arahnya dari atas pohon. Aku langsung melihat ke atas untuk melihat siapa yang melemparku.

"Bagaimana rasanya sekolah, anak jalanan?" ucap anak dengan surai coklat sambil turun dari pohon. Sepertinya aku sedikit mengenalinya. Tak salah lagi, ia adalah Ady Aegelmaere.

"Kau?!"

"Aku setiap hari melemparmu dengan batu di jalan itu, aku tidak mau menghilangkan kebiasaan baikku."

"Kebiasaan baik katamu?! Keterlaluan!" ucapku dengan marah.

"Eits... jangan marah anak jalanan. Kau tidak berhak memarahi bangsawan sekelas Viscount seperti aku. Jika kau keterlaluan kepadaku, maka aku akan menghajarmu."

"Aku tidak takut padamu Ady."

"Apa?! Kau memanggilku seperti itu?! Dasar keterlaluan!"

"Apa yang salah? Aku tahu dari dulu kalau namamu adalah Ady."

"Cih, dasar tidak punya sopan."

Beberapa anak yang terlihat sama nakalnya datang secara tiba-tiba dan berdiri di samping Ady. Tampak mereka sudah menatapku penuh kebencian. Rupanya sebuah pasukan untuk melakukan pembullyan kepadaku sudah terbentuk.

"Dasar pengecut," ucapku.

"Rupanya kau jadi lancang setelah dipungut oleh orang sialan itu! Tidak bisa diampuni!"

"Apa yang akan kalian lakukan kepadaku? Menghinaku? Menghajarku bersama-sama? Lakukan saja apa yang kalian mau! Aku sudah terbiasa dengan itu semua!"

"Kalau begitu sera-"

"Hentikan!"

Sebuah suara perempuan mengalihkan perhatian kami semua. Aku langsung menghadap ke arah sumber suara .

Anak perempuan dengan surai cokelat panjang menghentikan pertengkaran kami. Mata coklatnya menatapku dengan ramah. Ia mengenakan gaun panjang layaknya bangsawan pada umumnya. Sebuah hiasan rambut menghias surainya, menambah keindahan di depan mataku. Aku terdiam ketika melihanya. Ia sungguh cantik.

"Apa yang kau lakukan di sini, Kayonna?!"

Kayonna? Jadi itu nama gadis itu? Sebuah nama yang indah.

Kayonna berjalan mendekatiku dan berdiri sebelahku. Ia melepaskan tatapan tajam ke arah Ady.

"Apa yang kulakukan? Aku hanya melakukan hal yang menurutku benar!" ucap Kayonna dengan berani.

"Tapi diaka-"

"Semua orang berhak bersekolah, Ady. Kau tidak boleh menghinanya!"

"Itu pengecualian untuknya!" bantah Ady yang sebenarnya membuat emosiku sedikit naik, tapi aku menahannya.

"Jangan berkata seperti itu atau aku akan membuatmu dipindahkan dari sekolah ini!"

"Apa?! Jangan mentang-mentang ayahmu seorang donatur kau bisa seenaknya!"

"Tapi bukankah kau juga seenaknya saja disini?!"

"Cih!" decih Ady dengan amarahnya yang sudah sampai ke ubun-ubun.

Ady langsung berbalik dan meninggalkan kami diikuti orang-orang yang bisa disebut anak buahnya. Ternyata ia adalah tipe orang yang suka kabur dari masalah.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Kayonna kepadaku.

"Tidak, terima kasih atas pertolongannya," ucapku sambil tersenyum ke arahnya.

"Oh ya, aku Kayonna Axton, salam kenal," ucapnya sambil mengulurkan tangannya.

Aku menjadi gugup secara tiba-tiba. Jantungku berdegup kencang. Perasaan apa ini?

"Ha-Harrison Cole," ucapku sambil menerima uluran tangannya.

Aku terdiam beberapa saat. Menjaga posisiku dengannya tetap seperti ini. Aku menatap matanya yang tulus tanpa berkedip sekali pun.

"Kayonna!"

Sebuah suara membuatku dengannya terkejut. Aku melepaskan tangannya, membuat posisi kami berbeda. Ia mengalihkan pandangannya dariku.

"Maaf, sepertinya aku harus pergi. Semoga kita bisa berjumpa lagi!" ucapnya sambil berjalan pergi menjauhiku.

"Ah, baiklah. Sampai jumpa lain waktu!"

Pada kenyataannya pertemuan itu menjadi pertemuan pertama dan terakhirku dengan Kayonna. Kami tidak pernah bertemu lagi setelah itu. Ada yang berkata ia pindah sekolah, ada juga yang berkata ia memanggil guru ke rumahnya.

***

Beberapa Tahun Kemudian

Harumnya bunga mawar menyambutku saat tiba di rumah. Akhirnya aku pulang dari liburanku selama beberapa hari di Perancis. Aku benar-benar merindukan suasana rumah yang hangat.

"Aku pulang!" ucapku sambil membuka pintu rumah.

"Selamat datang kembali! Ibu akan membawakan barang-barangmu," ucap Ibu sambil mengambil tas yang kubawa.

"Ah, itu tidak perlu. Aku bisa membawanya sendiri Ibu," ucapku menolak bantuannya.

"Tapi sekarang kau sudah ditunggu Ayah di ruangannya."

"Eh?! Ada apa Ibu?" ucapku dengan sedikit terkejut.

"Entahlah, Ibu juga tidak tahu. Sepertinya ada hal yang penting. Pergilah dan Ibu akan mengurus barang-barangmu."

"Baiklah kalau begitu Ibu, terima kasih," ucapku sambil menyerahkan semua barang bawaanku kepadanya.

Aku berjalan menuju ruangan ayahku. Entah mengapa kali ini aku merasakan ada hal yang berbeda. Kegelapan yang samar menjadi lebih kuat. Apakah ini hanya perasaanku saja?

Aku mencoba tidak menghiraukannya, tapi kegelapan itu semakin kuat. Kegelapan itu seakan-akan ingin memakanku dan menyeretku ke dalamnya. Hal itu membuatku berlari agar segera sampai.

Aku membuka pintu ruangan ayahku dan mendapati hal berbeda darinya. Ia menatapku tajam dengan maniknya yang merah itu. Tidak ada lagi senyuman di wajahnya yang lembut. Ia duduk sambil meletakkan tangannya di meja.

"Ada apa Ayah memanggilku? Apa Ayah marah kepadaku?"

"Aku tidak pernah marah kepadamu. Mungkin hari ini sudah saatnya kau mengetahui sesuatu." Nada bicaranya berubah, sangat berbeda dari biasanya. Ia menjadi orang yang sangat berbeda. Kemana ayahku yang dulu?

"Sesuatu? Sesuatu apa Ayah?"

"Selama ini kau tidak pernah tahu apa pekerjaanku bukan? Sekarang kau sudah cukup dewasa, kau harus mengetahui suatu kebenaran."

"Kebenaran? Apa Ayah menyembunyikan sesuatu dariku?" Mengingat aku ini bukan anak kandungnya tentunya wajar jika ia merahasiakan suatu hal dariku.

"Aku adalah Iblis di antara manusia."

"Apa maksudmu Ayah?"

"Aku adalah orang yang menumpahkan darah setiap nyawa yang berpotensi mengkhianati kerajaan. Aku adalah seorang pembunuh. Baik ia bersalah atau tidak, jika Yang Mulia Ratu menghendakinya, aku akan membunuhnya. Mungkin kau akan menganggapku penjahat setelah mengetahui ini."

"Kau tidak bercanda 'kan Ayah?!"

"Tentu saja tidak. Lagipula aku mempunyai alasan mengangkatmu sebagai anak. Sebenarnya aku ingin menjadikanmu penggantiku."

Aku terdiam. Mataku terbelalak lebar. Keringat dingin mengalir dari tengkukku. Tidak kusangka orang yang selama ini kusangka seorang malaikat justru menjadi iblis di dalam hidupku.

"Maafkan aku Ayah, bagaimana jika aku tidak ingin menjadi Iblis sepertimu?"

"Aku tidak akan memaksamu, tapi pikirkanlah apa yang sudah kau terima selama ini."

"Kau memintaku balas budi?"

"Itu terserah padamu. Jika kau memilih ya, itu akan lebih baik. Jika tidak, aku tidak akan memaksamu. Sekarang, kembalilah ke kamarmu dan beristirahatlah. Aku akan menunggumu memikirkannya," ucapnya yang terdengar seperti mengusirku secara halus.

"Baiklah Ayah."

Aku keluar dari ruangan Ayah dengan sedikit rasa tidak percaya dan kekecewaan. Aku langsung melangkah menuju kamarku dan mengurung diri untuk beberapa waktu.

Otakku terus berputar, berpikir dengan pilihanku. Aku ingin menolak menjadi Iblis, tetapi aku harus membalas budinya selama ini. Aku tidak ingin menjadi makhluk yang menumpas darah sesamanya sendiri walau itu demi kerajaan, Ratu Victoria, atau siapa pun.

"Sudah kuputuskan, aku tidak akan mengotori tanganku dengan darah. Pasti ada cara lain yang lebih baik kalau itu hanya untuk membalas budi."

Aku melangkahkan kakiku ke luar kamar dengan sebuah keputusan yang memang dari awal adalah pilihanku. Aku menuju ruangan ayahku, tapi aku tidak menemukannya berada di tempat. Aku memutuskan untuk keluar ke halaman rumahku untuk mencari angin segar.

CPRAT!

Darah merah terciprat ke bunga mawar merah dan mengukir berbagai bentuk abstrak. Beberapa di antaranya berubah menjadi mawar merah yang pedih. Mataku terbuka lebar melihat sebuah kenyataan yang tak pernah kulihat, ayah dan ibuku terluka.

Sebilah pedang memantulkan sinar matahari ke arahku, membuat pandanganku menjadi silau. Tetapi, aku masih sanggup melihat apa yang ada di depanku. Ayah dan ibuku jatuh dengan cairan merah yang membasahi pakainnya. Di hadapannya, ada orang asing yang sama sekali tidak kukenal.

"Ayah! Ibu!" teriakku.

Aku berlari dengan panik mendekati mereka berdua. Ibuku tergeletak tak berdaya bersimbah darah, ia sudah meninggalkan dunia ini. Ayahku sendiri sedang berada di antara hidup dan mati. Ini semua membuatku marah.

Aku menatap siapa yang telah melakukan hal yang sangat keterlaluan kepada ayah dan ibuku. Seorang pria dengan rambut perak tengah membalas tatapanku dengan sorot manik merahnya dengan pandangan yang mematikan. Kacamata merah yang dipakainya tak mampu menghalangi pandangannya dan kalau kuperhatikan kacamata itu tidak mempunyai lensa. Ia menyeringai lebar ke arahku sambil memegang pedangnya yang berkilauan. Jubah hitam yang dipakainya tertiup angin, melambai ke arahku seakan mengajakku kepada kematian.

"Rupanya anak angkatnya yang tidak tahu apa-apa datang juga," ucapnya sambil menghunuskan pedang ke arahku.

"Ja-jangan lukai dia. Da-dasar penjahat," ucap ayahku terbata-bata dengan darah yang keluar dari mulutnya.

"Siapa yang kau sebut penjahat, penjahat?"

"Siapa kau?!" teriakku.

"Aku? Aku adalah pembela keadilan di mana aku membela orang yang bersalah diberi kesempatan kedua dan memperbaiki kesalahannya. Aku juga orang yang menentang semua kejahatan yang dilakukan kerajaan terhadap semua orang. Aku perwakilan orang-orang tidak bersalah yang sudah mati. Panggil aku Francis."

"Da-dasar banyak bicara kau."

"Lalu karena itu kau berencana membunuh orang tuaku?! Bukankah itu lebih jahat! Apa kau pikir dengan seperti itu kau bisa menjadi pahlawan keadilan!"

Air mataku keluar dengan sendirinya, membasahi tanah yang kuinjak. Aku merasa tertekan dengan apa yang sedang kuhadapi. Sebenarnya aku juga tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Sudah kusangka kau memang tidak tahu apa-apa. Kau tidak akan pernah mengerti apa yang kulakukan sekarang. Baiklah, sampai jumpa keluarga jahat," ucapnya sambil berbalik.

"Tunggu! Jangan kabur!"

"Aku tidak pernah kabur. Aku hanya merasa tugasku di sini sudah selesai," ucapnya lalu menghilang di antara dedaunan yang tertiup angin.

"Sialan!" umpatku penuh kemarahan.

"Ha-harry."

"Ayah! Bertahanlah!" ucapku sambil berbalik arah dan mendekatinya.

Aku memegang tangannya erat-erat. Aku bersiap untuk mengangkat tubuhnya. Aku tidak ingin kehilangan satu nyawa lagi setelah ibuku di depan mataku.

"Aku akan membawamu ke rumah sakit, Ayah!"

"Ti-tidak perlu. Waktuku su-sudah habis."

"Jangan berkata seperti itu Ayah!"

Burung-burung gagak berdatangan, seakan tahu apa yang akan terjadi. Datang dengan menyambut kematian yang penuh dengan kesedihan seorang anak yag selama ini hidup dengan bantuan dua orang yang sebenarnya sama sekali tidak ia kenal latar belakangnya.

"Ha-hanya satu pesanku. To-tolong jangan mengecewakanku di sana."

"Maksudmu?! Kaumenyuruhku melakukan itu?!"

"S-Selamat tinggal, H-Harry."

"Ayah?!"

Air mataku menetes membasahi pipiku, kesedihanku tumpah. Mawar yang selama ini tumbuh dan mekar, layu dibasahi darah segar yang mengukir sayatan yang dalam di hati.

Sinar merah menghilang, diikuti dengan tertutupnya mata yang selama ini memberiku kehidupan. Tubuh yang selalu melindungiku kini terbujur kaku di hadapanku. Kedua orang tuaku sudah mati di depan mataku sendiri.

Aku menghentikan tangisku dan menatap langit yang tidak bersalah penuh kebencian. Amarahku naik ke puncak dan merenggut tubuhku. Aku mengutuk diriku karena tidak bisa melakukan apa-apa. Aku marah kepada sang takdir yang selalu berjalan. Yang paling utama, aku marah kepada Tuhan yang telah mengendalikan takdir dan waktu.

"Tuhan! Dulu aku berdoa kepadamu agar hidupku lebih baik dan kau mengabulkannya! Sekarang mengapa kau mengambil itu semua dariku! Apa kau ingin aku menjauh darimu?! Baiklah jika begitu. Mulai detik ini aku akan keluar dari agamamu! Mulai sekarang tujuanku hanya untuk membalas dendam kepada orang yang kau kirim untuk membunuh ayah dan ibuku agar mereka bahagia! Hanya itu yang bisa kulakukan untuk membalas budi!"

Petir dengan cahaya putih yang suci menyambar seakan menentang keputusanku. Rintik hujan mulai jatuh dan menghantamku dengan keras seperti peluru. Tetapi, tidak ada yang bisa menghentikan obsesiku untuk membunuh sang pembunuh walaupun alam ataupun Tuhan menghentikanku. Aku akan memberontak kepada siapa saja yang menghalangi jalanku yang dipenuhi kegelapan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top