Bab 09. Bocah dengan impian

“Mungkinkah?!”

“Kalau kau sudah paham, pakai kaos ini dan pulihkan tenagamu,” kata Ratna melempar sebuah kaos hitam pada pemuda yang sedari tadi bertelanjang dada.

“Terima –.” Ratna telah pergi sebelum Ali menyelesaikan kalimatnya. “Dia terlihat sibuk padahal masih muda begitu, memangnya apa pangkatnya?” gumamnya kemudian kembali pergi ke gudang di sebelah yang merupakan tempat penyimpanan senjata dan makanan.

Ada 3 gudang yang telah dikosongkan dan dijadikan tempat pengungsian serta 1 gudang yang berfungsi sebagai tempat ransum dan persenjataan.

Perutnya bergemuruh dan Ali baru sadar betapa tidak bertenaganya ia. Ingin sekali mengambil semangkok bubur hangat yang dimasak dalam panci besar, tapi kerumunan orang di sekitarnya malah menghilangkan semangat untuk bergerak.

Semuanya saling menyerobot dan ada pula yang bertengkar, para petugas bahkan tidak bisa menenangkan semuanya.

Bukan petugas berseragam tempur yang hitam dan ketat seperti Ratna, melainkan petugas gabungan seperti polisi dan pemadam kebakaran yang secara suka rela membantu.

“Kau sudah makan?” tanya seorang pria paruh baya yang merupakan petugas relawan.

Badannya besar dan ia mengenakan kaos abu-abu serta celana panjang. Ia memberikan sepiring bubur pada Ali dengan senyuman ramah.

“Terimakasih, pak”

Setelah memberikan sepiring bubur, bapak tersebut langsung pergi menangani masyarakat yang lain.

“Alhamdulillah dapat bubur,” ucapnya sebelum memakan bubur itu.

Baru 3 suapan, ia langsung dihampiri seorang gadis kecil yang mungkin masih berumur 7 tahun. Gadis berambut hitam pendek dan wajah yang agak kumal. Baju dan celananya tidak terlihat seperti pakaian bekas tapi debu dan tanah yang menempel membuat Ali berpikir sejenak jika anak itu sebenarnya punya orang tua atau tidak.

“Om, minta buburnya,” kata gadis tersebut memelas.

Ali bukannya tidak mau membagi tapi ia sudah melewati malam yang berat dan tubuhnya berkali-kali meregenerasi. Ia tidak punya kekuatan untuk bergerak dan sudah sewajarnya dia egois.

Pemuda itu memutar tubuhnya, berpura-pura tidak melihat si gadis kecil tadi. Namun gadis itu malah mengejar Ali dan meminta sekali lagi dengan wajahnya yang polos.

Maafkan aku, tapi aku sangat butuh makan,” batin Ali berbalik sekali lagi demi menghindar.

“OM, MINTA BUBURNYA!” Gadis itu melompat memeluk punggung Ali, pemuda itu terkejut dan menjatuhkan piring buburnya.

“ANAK SIALAN!” teriak Ali tapi gadis itu telah berlari menjauh lalu jatuh tersandung.

Ali menghela napas berat, “Kenapa juga aku harus meladeni bocah ingusan?” tanyanya pada diri sendiri sambil menempelkan telapak tangannya di wajah.

Ali berjalan menuju tempat pembagian makanan yang ramai dan saling berdesak-desakan. Ia mengambil sebuah piring kemudian menerobos langsung dengan kekuatan fisiknya yang telah meningkat di atas fisik manusia rata-rata. Ia mengambil bagiannya kemudian segera pergi.

Sekali lagi, Ali melihat gadis tadi meminta bubur pada warga lain dan malah diusir atau ditendang. Ali merasa iba dan ingin membantu. Namun, hal yang membuatnya semakin penasaran adalah gadis itu tidak sedih ataupun menangis saat ditendang, melainkan hanya tersenyum.

Tidak lama setelah ditolak beberapa kali, seorang petugas menyadarinya dan memberikan sepiring bubur. Gadis itu tersenyum gembira dan tiba-tiba terdiam di saat Ali memegang bahunya.

“AMPUN OM! JANGAN PUKUL SAYA!” teriak gadis tersebut melepaskan piringnya dan berusaha lari tapi Ali memegang tangannya.

“Bukan, woi! Aku hanya ingin bicara,” ucap Ali melepaskan genggamannya perlahan, “Tenang, aku hanya ingin bicara.”

Gadis tersebut tidak lagi panik, ia melihat bubur yang ia tumpahkan dan matanya perlahan berkaca.

“Kau bisa ambil ini, aku akan ambil bubur yang lain,” ucap Ali memberikan bubur miliknya.

Gadis itu langsung tersenyum bahagia sementara Ali mengambil sepiring bubur lagi. Ketika Ali kembali, gadis itu telah menghabiskan bubur miliknya dan sedikit menunduk.

Perut gadis itu berbunyi tapi terlalu malu untuk menatap wajah Ali.

Ali menghela napasnya kemudian meletakkan setengah buburnya di atas piring milik gadis itu.

“Kenapa juga aku lakukan ini?” gumamnya lalu duduk di samping gadis tersebut.

Si gadis memakan dengan lahap dengan senyum lebar di wajahnya.

“Siapa namamu?” tanya Ali yang juga mulai ikut makan.

“Desi, namaku desi, om,” jawabnya dengan wajah berseri.

“Eh... Namaku Ali. Eh... Dek Desi, saya bukan Om, saya masih 25 tahun.”

“25 bukan om? Tapi kan udah tua.”

Ali terdiam, tidak bisa membalas dan hanya bisa terima kenyataan kalau dirinya sudah tua.

“Tadi di saat kau ditendang, kenapa kau tidak menangis?” tanya Ali sedikit penasaran.

“Karena mama bilang, kalau mau kuat, harus selalu senyum,” jawabnya dengan wajah polos.

“Dimana mamamu sekarang?”

“Udah mati, dimakan placula tadi malam,” jawabnya enteng sambil melanjutkan makan.

Ali terdiam, saking syoknya, kelima indranya seakan hilang untuk sesaat. Pemuda itu bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa ketika melihat respons Desi.

Ali mengatur napasnya beberapa kali kemudian memutuskan untuk tidak mencari tahu lebih lanjut.

Keduanya hanya makan dalam keadaan diam dan Ali terlalu takut untuk memulai percakapan.

Setelah beberapa saat, bubur keduanya telah habis dan Desi malah bertanya pada Ali.

“Om Ali punya cita-cita gak? Cita-cita sebelum mati dibunuh placula,” tanyanya dengan wajah yang serius.

Oh tuhan, kenapa pembicaraannya berat sekali?” batin Ali meratapi takdirnya.

Ali menghela napasnya, “ Cita-cita?” Ali menatap langit dan di saat itu pula ia sadar, ia tidak punya cita-cita sejak awal.

Seluruh hidup Ali begitu normal. Sekolah, kuliah, kemudian bekerja sebagai karyawan biasa. Bukan anak juara, bukan pula anak bermasalah. Ia hanya mengikuti apa yang disuruh orang tuanya dan pandangan orang-orang di sekitarnya seperti teman dan kerabat.

“Saya mau jadi prajurit PNS,” ucap Desi, “Mama juga gak keberatan. Bapak udah lama mati saat Desi masih kecil. Meski sendiri, mama itu kuat. Desi Juga mau jadi orang kuat seperti mama.”

Kalimat yang menggebu di wajah seorang gadis yang tersenyum lebar, membuat hati Ali terasa tersayat.

“Lalu, meteor datang! Lalu Placula datang! Lalu Desi disuruh sembunyi! Lalu dibilang jangan keluar sampai pagi.” Mata Desi mulai berkaca-kaca, “lalu Desi nangis, lalu mama bilang kalau orang kuat itu tidak menangis, tapi tersenyum, lalu Desi tersenyum, lalu –”

Ali memeluk Desi dengan erat, “orang kuat boleh kok menangis,” ucap Ali sambil sedikit meneteskan air mata.

“Desi k... Kuat. Desi tidak menangis,” balas Desi mencoba menahan air matanya.

“Tidak apa, Desi tetap kuat kok meski menangis, menangislah.”

“Desi k... k...  HUUUWWWAAA!!!”

Desi melepaskan semua kesedihan yang ia tahan, menangis sejadi-jadinya sambil memeluk erat Ali.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top