Wasiat Mencari Pusaka

Selagi pikiran ini berisik, Bejo tidak ingin banyak yang mengusik. Ketika sang istri menghembuskan napas terakhir, gemerlap dalam pandangan serta jiwanya ikut runtuh dan padam. Berbanding terbalik kala masih lima puluh tahun lalu, saat ia masih belia. Pria tua dan kawanannya aktif melakukan pergerakan berbekal bambu runcing, ilmu kanuragan, dan pusaka; penyerangan, persembunyian, manipulasi energi, serta muslihat untuk mengusir para Londo. Kini Indonesia sudah merdeka, begitupun dengan jiwa kawan-kawannya yang sudah mengudara. Terakhir dua tahun lalu, Bejo berjalan tegap dengan perawakan ramping dengan setelan serba hitam seolah mengurung kerangka raganya untuk datang menabur bunga terakhir di makam sahabatnya. Tertulis pada nisannya: Rudi.

Bejo memilih menetap di hutan pada pegunungan belakang. Tepatnya pada posko yang sebelumnya terdiri atas gubuk kecil dan ruang bawah tanah; setelah sekian tahun anaknya melakukan renovasi agar pak tua ini dapat bernaung aman. Dengan peternakan kecil, pepohonan bertanda silang warna-warni, kiriman setiap bulan oleh pesuruh anaknya dapat memastikan keadaan Bejo yang renta. Tidak adanya listrik dan suara hewan nokturnal menjadi pengisi setiap malam.

Terdengar kokokan ayam disertai dengan semburat jingga mampir di jendela kaca menandakan bahwa fajar telah tiba. Bejo menggaruk kepala beruban, kemudian menyantap kudapan ikan bakar bekas lauk semalam beserta lalap rebusan daun ketela hasil panen kebun belakang rumah. Sedikit kesulitan ia mengunyah. Kaca jendela menampilkan pantulannya yang sedang tersenyum dengan gigi rompal dan beberapa tanggal. Warnanya menguning karena rokok keretek yang setiap pagi disesap ketika usia paruh baya.

Bejo berniat mengambil busur dan anak panah untuk melakukan rutinitas pagi setelah sarapan. Jendela dibuka sehingga remang cahaya memudahkan Bejo saat mengambil anak panah. Ia berdiri di dekat kasur berbau apek. Tangannya meraih sesuatu berbentuk silinder empuk.

"Ini guling," ucap Bejo, "dimana busurku?"

Tangan kurus Bejo meraba laci meja, kemudian menemukan kotak balok yang berisi beberapa gulungan kertas. Ia meraih satu yang sobek dan membukanya, terlihat gambar naga kecil, "Hmm, tidak berguna, bisa nih jadi dibakar buat bikin ikan asap."

Bejo akhirnya menemukan panah dan busur yang tercantol di paku dinding. Ia segera mengambil dengan langkah tergesa-gesa dan membawanya ke dapur untuk mengambil ceret air putih panas.

Pemandangan pepohonan menyambut lansia itu setelah membuka pintu ruang tamu. Kadang Bejo mendengar suara rintihan dari pepohonan di depan kala memanah. Namun, ceritanya hanya ditanggapi seperti angin lalu oleh anaknya.

Bejo hanya menghela napas mengingat itu. Fokusnya beralih tangan dan busur yang sedang ditarik agar anak panah melesat mengenai target. Bejo menyipit, bayangan pohon itu selalu mengganda setiap kali. Bejo membuktikan ketajaman instingnya dengan memanah tanda silang kuning di batang pohon. Sepersekian detik terdengar sesuatu yang berbeda dari rintihan misterius, yakni suara ringikan lantang kuda dan teriakan seorang pemuda.

Bejo berlari mendekati arah suara yang melenceng jauh dari bidikan. Semakin dekat terlihat jelas seekor kuda meringkuk dengan pemuda yang sedang terguling di serasah daun. Bejo jongkok dan mengelus kuda coklat muda itu.

"Pak, bisa-bisanya sambutan anda seperti ini." Pemuda itu mencoba bangkit dengan uluran tangan Bejo.

"Maaf ya, nak, aku salah sasaran, kenapa kau tidak berteriak saja biar aku mendengar suaramu?" tanya Bejo sembari mengelus dan menarik pelan busur panah dari pinggiran paha kuda itu. Darah menetes pelan bersama dengan ringikan kencang serta kaki kuda yang bergerak memberontak sekejap.

"Lukanya dalam, tapi sepertinya terkena vena, syukurlah," lanjut Bejo, "mari baluri dengan kunyit biar nggak infeksi, terus kita lilit pakai kain ya, nak? Maafkan pak tua ini," lirih Bejo menunduk melihat kuda yang tergeletak lemas.

"Apa yang membuatmu kemari?" Bejo membuka suara lagi sembari mengelus-ngelus kepala kuda dan bernostalgia dengan kuda lamanya yang mirip, tetapi yang ini lebih bersih serta rapi.

"Bapak nggak mengenali saya?" Pemuda itu malah bertanya balik, ia mencondongkan wajah berharap pria tua itu mengenalinya.

Bejo menyipitkan mata. Ia berusaha mengingat tetapi yang terbayang hanyalah kuda itu, "Aku ingat kuda itu mirip kudaku dulu, nak, " ucapnya pelan, "Aku dulu pernah menungganginya ketika perang bersama kawanku, atau melakukan piknik dengan mendiang istriku tercinta, dia cantik sekali."

"Iya, Bu Siti memang jelita, bahkan meski kulitnya keriput."

Bejo mengangguk, "Kamu tau nama istriku?"

Lelaki itu mengangguk, "Tentu, waktu muda dan bapak menggendongku," ia mengulurkan tangan, "perkenalkan nama saya Senin, lahir hari senin 25 tahun lalu. Cucu dari Mbah Rudi."

Bejo menepuk pundak pria itu, "Astaga, Nak, kamu ternyata sudah dewasa ya, padahal kayak baru setahun yang lalu kugendong."

Mereka berdua akhirnya berbincang-bincang dan duduk di teras rumah setelah mengobati kuda coklat muda itu. Bejo menceritakan pengalamannya tinggal di hutan. Sementara, Senin mendengarkan dan turut menceritakan bagaimana hari-harinya di kota.

"Ketika usia 25 tahun, saya membuka surat wasiat dari kakek saya, Mbah Rudi, katanya saya disuruh barter kuda dan senjata itu, Pak," jelas Senin.

Bejo mengingat-ingat senjata yang dimaksud. Seketika bayangan kertas tua yang akan dibakar terpampang jelas disertai dengan isinya. Hampir saja ia bakar kertas itu.

Bejo izin mengambil peta itu. Ia teringat dengan sebuah perjanjian dan sihir yang kerap kali dilakukan bersama temannya, seperti dengan pedang pusaka.

"Kau datang terlalu pagi dan ini bagus untuk jalan-jalan. Inilah peta dari pusaka mandraguna itu. Kau bisa memanggil roh naga sebagai kekuatan tambahan." Bejo menunjuk jalur pada peta dan gambar tanda naga, "Pertama-tama, kita harus naik dulu ke atas gunung belakang karena memang tempatnya agak tinggi. Kemudian menyusuri sungai."

Senin mengetuk-ngetuk kaki di lantai, telunjuknya menyentuh meja sembari menimang akan mengiyakan atau melayangkan protes, bagaimana bisa, "Pedangnya di sungai?" Akhirnya keluar juga protesnya.

Bejo menggeleng, "Kurang tepat, nak. Pedang itu ada di balik air terjun, jadi kita harus berenang."

"Pak Bejo tidak harus ikut, aku bisa sendiri, bapak istir-"

"Tidak." Bejo memotong cepat, "Aku masih kuat, nak. kau nanti bisa kesasar, sudahlah, serahkan padaku. Kita berpetualang bareng ya, senang rasanya punya kawan lagi di usia 72 tahun ini." Bejo tersenyum menampilkan gigi rompangnya.

"Bapak masih tujuh puluh tahun," koreksi Senin.

Bejo memiringkan kepala, "Ah, yang benar saja? Apakah wajahku terlihat lebih muda?"

Senin tersenyum, "Tentu, bapak masih tampan dan kuat, habis ini kita berangkat."

Bejo berdiri, "Aku siapkan keperluannya, nak. Kudaku Waluyo diikat di sini saja."

Senin mengangguk pasrah dan percaya dengan rencana Bejo yang mungkin sudah hapal medan di sini. Sembari menunggu, ia meminum air putih hangat dari cangkir tua dan melihat jarum jam arlojinya menunjukkan pukul setengah tujuh. Tak lama, Bejo keluar dari rumah membawa tas selempang berisi botol minuman dan makanan terbungkus daun pisang.

"Ayo kita berangkat!"

***

Senin mengusap keringat di dahi. Tenggorokannya kering. Sementara itu, ia melirik, Bejo jauh lebih bertenaga. Heran bercampur takjub melihat pak tua itu sudah berada pada dataran landai di atasnya, sementara dirinya masih berjalan---nyaris merayap---pada dataran curam berbatu dengan lutut gemetar.

Selang beberapa menit, mereka berjalan bersama di tempat yang jauh lebih landai. Senin mengatur napas dan meminum airnya cepat seperti keledai.

Bejo tersenyum teringat dengan masa muda yang sama loyonya dengan pemuda itu. Namun, tempat, dorongan untuk hidup sejahtera, dan ajakan teman untuk mengusir penjajah begitu kuat. Malu rasanya ketika teman-temannya memanggilnya Bujainah sebagai panggilan waria ketika ia menolak ajakan. Alhasil, ia terpaksa pergi ke pertempuran dengan berbagai medan. Kian lama mental dan fisiknya menjadi kuat, bahkan ketika sudah tua.

Mereka kembali melihat peta, "Arah barat." Bejo melihat panah di peta, "Lihatlah lumut dan bagian gelap di pohon itu, ke arah sana, ya." Lansia itu menunjuknya.

Setelah melangkah jauh ke arah barat, mereka beristirahat tiga puluh menit, dan kembali melanjutkan perjalanan. Padahal sudah pukul setengah sembilan ketika Senin melirik arloji. Langit terlihat buram oleh lembaran kabur tipis. Napas mereka mengepul. Senin hanya mengandalkan Bejo yang bermata rabun. Andai matanya bisa ditukar dengan Bejo hanya beberapa jam saja, agar pak tua itu tidak cerewet bertanya.

Suara geraman terdengar sekejap membuat langkah kaki mereka berhenti dan saling tatap seolah memberikan kode.

"Aku lupa membawa celuritku," bisik Bejo.

Terlambat sudah, sosok itu berdiri sekitar lima meter dari mereka. Bulu gelap, badan besar, dan moncong panjang berjalan mendekat. Bejo memasang kuda-kuda dan mengacungkan ranting yang diambil dari bawah kakinya; naasnya Senin lari.

"Pak, jangan setor nyawa," teriak Senin kembali menghampiri dan jongkok membelakangi Bejo. Tangannya menarik Bejo agar pria itu segera naik ke punggungnya dan berlari dikejar hewan itu. Agak jauh, Bejo berceloteh, "Celeng itu kencang larinya, daripada lari terus, mending manjat pohon."

Sebelumnya Senin berlari zig zag untuk mengelabuhi babi hutan. Mereka memutuskan untuk memanjat beringin di depannya. Persetan dengan genderuwo yang mungkin akan mengamuk, mereka lebih takut jadi santapan babi hutan dengan sanak familinya yang kelaparan.

Senin memanjat pohon besar itu, agak lambat karena pegangannya licin oleh lumut. Setelahnya disusul Bejo. Dari kejauhan mereka melihat babi hutan itu berbalik dan berjalan menunduk.

Setelah sekitar setengah jam, akhirnya mereka turun kemudian berjalan pelan dengan tubuh gemetaran. Mereka diam, hanya terdengar suara langkah kaki, detak jantung masing-masing, dan suara gemericik air semakin jelas pun deras. Rasa lelah itu seolah terbayar oleh suara air terjun sebagai tujuan sudah dekat dan kian terlihat.

Bejo dan Senin menjeburkan diri ke air setelah menyisakan pakaian dalam saja. Air jernih, sedikit berbuih, dan menampakkan bebatuan di dasar. Rasa dingin mengalir dari kaki hingga kepala dan menyegarkan isi pikirannya.

"Pak, petanya!" teriak Senin dengan jari telunjuk mengarah pada peta itu.

"Oh iya," jawab Bejo panik. Ia ke daratan dan membuka gulungan itu dengan setiap sudut ditindih batu. Kemudian, pak tua itu kembali ke air. Mereka berenang mendekati air yang jatuh dari tebing. Mereka saling tatap dan menguatkan diri. Ujung jari tangan membelah tirai air raksasa itu. Pukulan dari benda runcing seperti menancap di sepanjang punggung dan kaki. Arus air seperti mendorong mereka masuk semakin dalam, sehingga kaki dan tangan semakin aktif bergerak untuk menyeimbangkan diri. Gradasi arus air terasa memelan tetapi masih begitu kencang. Di depan mereka terlihat sebuah lorong gelap tempat pusaka itu berada. Senin naik ke permukaan lebih dulu kemudian mengulurkan tangannya pada Bejo. Mereka berdua menarik napas sebelum memasuki lorong gua yang tidak begitu panjang dengan bergandengan tangan.

Hanya beberapa langkah, akhirnya mereka sampai pada ujung gua.

"Harusnya di sini, pusaka itu akan menyala," ucap Bejo disahut gema, "tapi, kenapa tidak bercahaya?"

Mereka serentak meraba dinding lembab kemudian pada tanah berair. Senin menemukan sesuatu panjang, keras, dan bersisik kemudian mengangkatnya meskipun berat.

Bejo langsung peka oleh sentuhan dari sesuatu yang panjang dan menggeliat, "Sepertinya, puluhan tahun dibiarkan, pusaka itu menjadi naga."

Mereka segera membawa pusaka itu mendekati mulut gua dengan gemetar. Kian lama semakin jelas, warna sisik putih terbujur lemas, besar, dengan kepala seperti bentuk trapesium bervolume. Bejo berteriak kencang dan mundur hingga terjungkal jatuh ke dalam air. Senin segera menghempaskan makhluk itu dan terjun ke air untuk menolong Bejo.

Kepala mereka naik ke permukaan. Bejo pun membuka suara, "Kita harus pergi." Napasnya menderu, "harusnya naga itu berwujud hitam, bukan ular putih seperti piton albino."

Tak lama kemudian, ular itu membuka mata dan menatap tajam ke arah keduanya. Kedua lelaki itu segera menenggelamkan diri dan mengayuhkan kaki untuk menjauh lebih cepat dari sebelumnya. Setelah sampai di tepian sungai, tangan kanan Bejo meraih peta itu; sementara tangan kirinya meraih tangan Senin dan menariknya naik ke pohon besar di depan.

"Bagaimana Pak Bejo? Hilang sudah pusaka itu." Senin berkata dengan gundah saat duduk di dahan besar.

Bejo menggelar peta itu, tidak salah kan? Ia ikut panik, siapa yang mencuri? Bejo melihat peta dan mendapati bahwa perkamen itu membayang dengan tulisan menerawang. Alisnya menaut, dahinya berkerut melihat keanehan ini. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah dilakukan dengan kawannya dahulu. Teknik manipulasi dengan air, Bejo ingat. Jebakan dan sobekan kertas. Kertas bagian atas yang disobek adalah petunjuk; sementara peta ini adalah informasi penipu sekaligus penunjuk. Musuh yang mengincar akan datang ke air terjun dan mendapati ular besar sebagai efek jera. Syukur-syukur kalau mereka tergigit dan termakan.

Bejo menggaruk tengkuk yang tidak gatal sembari menyengir. Terlihat peta itu membayang gambar serta keterangan naga yang berada di bawah lantai tepatnya pada bawah kasurnya dan akhirnya ditunjukkan pun diceritakan pada Senin dengan rasa sungkan. Senin hanya bisa mendengus pelan, batinnya lansia memang pikun.

"Maafkan Pak Tua pikun ini ya, nak. Ternyata kita malah terjebak sama jebakan kita sendiri," ucap Bejo sambil meringis.

"Jebakan Pak Bejo," ralat Senin singkat.

Bejo tertawa sumbang, ia pun mengeluarkan bingkisan daun pisang yang berisi makanan, "Ayo kita makan dan melupakan ini semua."

Senin pun menelan kesal dan memaafkan Bejo. Ia mengangguk, "Ayo, Pak."

Kini yang mereka pikirkan adalah bagaimana cara kembali dengan selamat tanpa bertemu babi hutan. Bayangan semakin tinggi, Senin melihat jam tangan anti airnya menunjukkan pukul 09.55. Waktu pagi pemuda itu dihabiskan berpetualang dengan pak tua pikun yang sama seperti lansia pada umumnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top