Kenangan dalam Bunga Sang Terkasih

Sudah menjadi rutinitas setiap pagi Keith Holstein pergi mengunjungi rumah kaca di samping rumahnya. Ia juga lebih suka menikmati secangkir teh dan biskuit di sana, tak lupa menyetel lagu dari gramofon kesayangan. Setelah selesai menghabiskan teh dan biskuit, lelaki yang kini berusia 65 tahun itu menyirami tanaman di sana. Seharusnya, pekerjaan itu dilakukan oleh tukang kebun keluarga Holstein, tetapi Keith bersikeras bahwa tanaman di rumah kaca harus dirawat olehnya. Ia juga mengatakan bahwa tubuhnya masih segar bugar supaya lebih meyakinkan. Pada akhirnya, anak tertua Keith mengalah dan meminta tukang kebun merawat tanaman di luar rumah kaca.

Setidaknya sudah 10 tahun Keith yang merawat rumah kaca. Berbagai tanaman tumbuh dengan baik di sana, termasuk bunga geranium yang menjadi favoritnya. Sudah bukan menjadi rahasia lagi jika Keith lebih memberikan perhatian lebih pada geranium, meski ia selalu berkata bahwa semua tanaman di rumah kaca dirawat penuh cinta. Namun, Keith sendiri tidak tahu jika cucunya, Mirabelle, mengetahui alasan kakeknya lebih memperhatikan geranium.

~o0o~

Pagi itu semuanya masih terlihat sama. Tanaman dalam rumah kaca yang tumbuh subur, udara menyegarkan, secangkir teh dan biskuit di atas meja, musik klasik terdengar bahkan mengalahkan kicauan burung di luar sana. Namun, tidak seperti biasanya, Keith tidak langsung menikmati tehnya. Di tangan lelaki itu terdapat sebuah buku yang disampul cokelat. Halamannya sudah terlihat menguning sehingga mengeluarkan aroma khas buku lama.

Keith duduk sembari mata terfokus pada tulisan sambung yang tertoreh di atas kertas. Sesekali dirinya tersenyum lalu memperhatikan rumah kaca. Tulisan yang ada di buku tersebut membangkitkan kembali kenangan lamanya, tentang pertemuannya dengan sang terkasih.

Lama ia membaca sampai tidak sadar seekor kucing menyelinap masuk ke rumah kaca. Sebenarnya, Keith tidak benar-benar menutup pintu tempat itu dengan rapat. Ia terlalu fokus pada buku sampai matanya menyadari ada pergerakan aneh di antara bunga-bunga. Karena rasa penasaran terhadap pergerakan tersebut, Keith lantas meletakan bukunya di atas meja. Bukunya dibiarkan terbuka supaya ia tidak perlu repot-repot mencari halaman terakhir yang dibaca.

Begitu mendekati sumber keanehan, Keith membelalak. Bunga-bunga yang seharusnya mekar dengan cantik hasil dirawat bagai anak sendiri, kini sudah rusak. Salah satunya adalah bunga kesayangannya sendiri, geranium. Pelaku dari pengrusakan tanaman tersebut tak lain adalah kucing jingga yang sibuk mengejar hamster abu-abu milik cucunya. Hati Keith terasa teriris melihat tanaman kesayangannya berakhir mengenaskan dan tentunya lelaki itu marah. Dengan cepat ia mengusir kucing jingga menggunakan sekop, tetapi kucing itu malah terlihat seolah-olah menantang Keith dengan mendesis. Kesal karena reaksi kucing tersebut, Keith makin marah.

"Enyah kau! Dasar kucing tidak berguna!" bentak Keith.

Lagi, kucing jingga itu mendesis sebelum mengeong keras sembari menggigit kaki Keith. Spontan lelaki itu terkejut, ia menjatuhkan sekopnya dan mulai menyentil telinga si kucing. Setelah berhasil dilepaskan, alih-alih pergi, kucing itu malah mengejar Keith untuk kembali menggigit kakinya.

Pada akhirnya, lelaki tua itu harus menghindar sambil mengumpat. Padahal seumur hidupnya, ia tidak pernah seperti itu.

"Vivi! Kucing nakal!" seru Mirabelle. Gadis itu lekas mengambil si kucing sebelum menerkam kaki Keith. "Berhenti atau tidak ada jatah wet food hari ini!"

Setelah berhasil menggendong kucing jingga, gadis itu segera membawanya keluar. Kemudian ia kembali lagi dengan wajah khawatir. "Maaf, Kakek."

Keith tidak menjawab, mata lelaki itu masih melihat bunga geranium yang rusak. Rasa sedih di hatinya meluap, ingin sekali ia menangis karena tak bisa menjaga geranium itu dengan baik. Dalam lubuk hatinya, Keith menyesal tidak memperhatikan sekitar terlebih dahulu sebelum membaca buku lama.

"Kakek, maaf. Aku perbaiki bunganya, ya," ucap Mirabelle.

"Tidak perlu. Memangnya kau mau perbaikinya pakai apa?" tanya Keith seraya memalingkan muka. Lelaki itu pun berjalan menuju kursi di tengah rumah kaca.

"Sihir. Semuanya akan kembali seperti sedia kala."

Keith berdecak, terlanjur kesal pada kejadian tadi meski sebetulnya ia tahu bukan salah cucunya. "Sihir, sihir. Sihir tidak akan bisa mengembalikan apa yang sudah rusak. Urus kucingmu dengan benar!"

Mirabelle membelalak, tetapi dalam sekejap wajahnya berubah datar. Ia tidak mau memperpanjang masalah, pun ia juga merasa bersalah sebab bunga-bunga di sana khususnya geranium adalah kesayangan sang kakek.

Tatkala Mirabelle hendak pergi, Keith memanggilnya. Tadinya, gadis itu pikir sang kakek akan menerima usulannya untuk memperbaiki bunga-bunga yang telah rusak, ternyata ia hanya menyerahkan hamster abu-abu pada cucunya itu.

"Suruh Vilhelm untuk mengurung hamsternya kalau tidak mau jadi santapan kucing. Dasar tidak becus," gerutu Keith sambil membalikkan badan.

"Iya, Kakek." Mirabelle mengembuskan napas pelan, lalu berlari menuju pintu rumah kaca.

Satu hal yang tidak diketahui gadis itu adalah wajah Keith yang berubah sedih karena merasa bersalah pada cucunya. Sepeninggalan Mirabelle, lelaki tua itu memejamkan mata, lalu memijat pelan pelipisnya. Ia menyesal, sebab tidak pernah sekalipun dalam hidupnya memarahi sang cucu. Namun, nasi telah menjadi bubur.

"Katarina, aku bersalah," gumam Keith. "Tidak seharusnya aku marah pada gadis itu. Aku yang tidak becus menjaga bunga kesayanganmu."

Ada alasan lain mengapa Keith selalu bersikeras agar dirinya yang merawat kaca, yaitu janjinya pada mendiang sang istri. 10 tahun lalu sebelum sang istri berpulang, pesan terakhirnya adalah menitipkan rumah kaca pada Keith. Meski 2 anaknya secara sukarela ingin membantu, tetapi Katarina menolaknya. Perempuan yang terbaring lemah di kamarnya itu tidak mau merepotkan anak-anaknya yang sudah bekerja dan memiliki keluarga. Namun, ia juga tak ingin merepotkan suaminya yang sudah tua untuk merawat rumah kaca itu sendirian.

"Tolong jaga saja geranium itu untukku. Bunga itu ... aku." Begitulah pesan Katarina 10 tahun lalu.

Sekarang, geraniumnya sudah rusak, Keith pikir Katarina akan kecewa padanya di alam lain. Satu-satunya hal yang megingatkan ia akan mendiang sang istri sudah tidak sama lagi, dan pagi itu dijalaninya dengan perasaan berkecamuk.

~o0o~

Keesokan harinya, Keith sama sekali tidak punya energi untuk pergi ke rumah kaca. Ia takut untuk menghadapi kenyataan, mengingat kejadian kemarin. Lelaki tua itu kini hanya duduk di balkon lantai dua, memandangi rumah kaca dengan tatapan sedih. Beberapa kali ia mengembuskan napas, lalu bergumam meminta maaf pada mendiang istrinya.

Lama ia berdiam diri di sana, hingga akhirnya tubuh lelaki itu bergerak ketika melihat 2 cucunya melambaikan tangan ke arahnya.

"Kakek, sini. Kami punya kejutan untukmu!" seru Vilhelm.

Keith kembali mengembuskan napas keras, sudah bisa menebak kejutan yang dimaksud. Meskipun tidak bersemangat karena menurutnya bunga geranium yang baru tidak sama lagi, tetapi Keith tetap menghampiri mereka untuk menghargai perasaan cucunya.

Sesuai tebakan, Mirabelle dan Vilhelm memang menunjukkan bunga geranium yang baik-baik saja. Tumbuh sehat seperti Keith yang merawatnya dengan penuh cinta. Sayangnya, lelaki tua itu hanya bisa tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Walaupun begitu, kedua cucunya sudah tahu kakeknya tetap sedih karena geranium yang lama merepresentasikan mendiang istrinya.

"Kakek, kami tahu geranium itu sangat berarti untukmu. Nenek yang menanamnya di sana dan meminta Kakek untuk merawatnya. Kami benar-benar minta maaf karena Vivi dan Grey merusaknya. Jadi, kami pikir dengan mengembalikannya ke semula akan membayar kesalahan kami," ucap Vilhelm dengan nada penuh penyesalan.

Keith menoleh, matanya memperhatikan cucu kembarnya yang sudah remaja. "Sudahlah. Ini saja sudah cukup. Bukan salah kalian."

"Nenek ... meminta Kakek menganggap geranium ini perwujudan dirinya, kan?" tanya Mirabelle.

Keith membelalak, tak menyangka jika cucunya mengetahui hal tersebut. Ia kira hanya dirinya saja yang tahu pesan terakhir Katarina. "Kau memang penuh kejutan, Nak."

Keith kembali memperhatikan bunga geranium, seulas senyuman terukir di wajah. Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat, setidaknya sampai Vilhelm berbisik pada kembarannya.

"Pakai special magic-mu lagi, ya? Kok bisa tahu?"

"Sstt, rahasiaku."

"Sebenarnya, nenekmu pernah bilang padaku jika bunga ini adalah hadiah untukku," tukas Keith sehingga menghentikan obrolan pelan cucu-cucunya.

"Kakek suka bunga?" tanya Vilhelm yang langsung mendapat tepukan pelan di lengannya. "Aku cuma tanya, Mira."

"Aku kira kau sudah tahu, Vil. Pekerjaanku dulu melibatkan tanaman, jadi aku rasa sudah wajar ia memberikan hadiah geranium."

Mirabelle mengernyit, kemudian berkata, "Maaf, Kakek. Apa hanya itu alasannya? Aku pikir ada sesuatu di baliknya."

"Sstt, Mira!" sahut Vilhelm begitu menyadari kembarannya asal bicara.

Keith terdiam sejenak, tampak berpikir. "Hmm ... nenekmu memang pernah bilang kalau bunga itu dia. Mungkin maksudnya harapan nenekmu untukku."

"Geranium memang punya arti kebahagiaan atau keberuntungan jika dijadikan hadiah untuk seseorang," ujar Mirabelle. Mata biru gadis itu terpaku pada bunga geranium.

"Aku rasa memang itu harapan nenekmu padaku." Keith tersenyum, matanya ikut memperhatikan geranium.

"Kenapa kau tanya itu, sih?" Vilhelm memelankan suaranya, sebab ia tidak mau merusak mood yang susah payah mereka bangun demi menyenangkan hati kakek.

"Saat aku memulihkan geranium pakai sihir, aku merasakan ada sihir lain yang melingkupi bunganya. Bukan sihir proteksi, tapi semacam sihir memori."

Perkataan Mirabelle membuat kedua lelaki di sana terkejut. Keith langsung menatap cucunya dengan sorot mata meminta penjelasan. Seumur hidupnya, Keith tidak pernah tahu jika mendiang istrinya menggunakan sihir memori pada tanaman.

"Kakek keberatan jika aku buka sihir memori ini?" tanya Mirabelle setelah lama mepertimbangkan keputusannya.

Keith mengangguk, dengan begitu Mirabelle pun menggunakan sihirnya untuk membuka memori yang tertanam di bunga geranium. Kerlap-kerlip berwarna biru melingkupi kelopak bunganya, sebelum berkumpul dan menyelimuti seluruh bunga yang mekar. Setelah itu, kerlap-kerlip tersebut melayang, membentuk sosok perempuan transparan di hadapan mereka. Perempuan yang sangat Keith kenal. Perempuan yang pernah menghabiskan hidupnya bersama lelaki tua itu. Perempuan yang menanam geranium di rumah kaca.

"Katarina ...." Suara Keith terdengar bergetar, matanya mulai berkaca-kaca. Rasa rindu membuncah di hatinya. Walau sosok di depannya bukan jiwa asli sang mendiang, tetapi fragmen memori yang ditanam ke geranium itu terasa seperti sosok aslinya.

Katarina dalam sihir memori itu tersenyum lembut, lalu berkata, "Halo, Sayang. Kalau kau berhasil menemukan fragmen memoriku, kemungkinan aku sudah tiada. Bagaimana kabarmu, Sayang? Semoga kau baik-baik saja. Bagaimana kabar anak-anak kita?"

Keith mendekati sosok fragmen memori itu dengan pelan. Dalam lubuk hatinya, ia ingin sekali memeluk Katarina. Namun, sosok itu tidak bisa dipeluk.

"Jangan bersedih, Sayang. Aku sudah pernah bilang, kan, kalau aku akan selalu di sisimu. Walau kematian memisahkan kita, perasaanku padamu tidak akan pernah pudar. Ragaku mungkin sudah melebur bersama tanah, tapi aku masih di sini bersamamu. Masih ingatkah bunga pertama yang kau berikan untukku, Sayang?"

Keith terdiam, memorinya berusaha mengingat kembali kenangan puluhan tahun lalu saat memberikan bunga untuk Katarina. "Oh, aku ingat. Itu ... geranium."

"Benar. Sejak saat itu masih mengingatnya dan mengeringkan bunga itu untuk kujadikan pembatas buku. Sayangnya, pembatas itu hilang saat kita pindah ke rumah ini setelah menikah. Maafkan aku karena menghilangkannya. Jadi, sebagai penebusan kesalahanku, aku menanam geranium ini untukmu. Harapanku untukmu dan keluarga kita ada di balik makna bunga ini."

Sosok Katarina itu mengulurkan tangannya seolah-olah sedang menyentuh wajah Keith. Senyuman lembut dicampur rasa sedih dan rindu menghiasi wajah Katarina. "My dear, ingatlah selalu walau kita terpisah, aku akan selalu ada di sini. Bunga itu anggaplah sebagai diriku. Jangan pernah lupakan fakta bahwa aku mencintaimu, Keith."

Setelah mengatakan pesan tersebut, sosok fragmen memori Katarina melayang mendekati bunga-bunga geranium sebelum akhirnya terlihat makin transparan dan menghilang. Tanpa sadar air mata Keith keluar, tetapi lelaki itu cepat-cepat menghapusnya supaya tidak ketahuan oleh dua cucunya.

"Mirabelle, Vilhelm, terima kasih. Kalau bukan karena kalian, aku tidak akan pernah tahu soal sihir memori Katarina."

-selesai-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top