Budi, Pukul Tiga Pagi

Bagaimana cara terampuh menghentikan sebuah kebiasaan?

Ada kalanya Budi merasa jika bangun pukul tiga pagi adalah suatu hal positif yang tidak selalu bisa dilakukan orang lain. Namun, di waktu-waktu lain ia berpikir bahwa tidur sampai tengah hari pun sepertinya tidak buruk. Toh, ia tidak punya kewajiban yang harus dilakukan selain makan, tidur, sedikit jalan-jalan agar anak sulungnya tidak mengomel, serta memantau perkembangan politik negara―yang semakin hari semakin ke sini saja.

Kali ini, seperti biasa; seperti hari-hari yang telah lalu, Budi terbangun tepat pukul tiga pagi. Tanpa alarm, tanpa seorang pun membangunkan. Matanya terbuka sendiri. Sadar ia raih begitu saja tanpa ia sadari. Badan yang hampir tujuh puluh tahun ia tempati itu agaknya sudah hapal dan terbiasa hingga Budi sebagai tuan pun tak mampu berbuat banyak.

Matahari masih tidur, sebagai mana istrinya, Giri, mendengkur dengan nikmat. Wanita itu baru saja tidur belum lama. Budi pikir, Giri pasti menyelesaikan salah satu drama korea yang direkomendasikan Septi, anak sulung mereka. Budi sempat ikut menonton, hanya saja kantuk tak dapat ditahan sekitar pukul sebelas. Padahal, dulu tak tidur tiga hari-tiga malam pun ia sanggup.

Budi turun dari ranjang dan membasuh muka. Ia mengambil spot di samping tempat tidur dan duduk bersila setelah menggunakan headphone. Musik instrumen asia terdengar di telinga. Ada seruling, kecapi, kicau burung serta suara percikan air yang selalu berhasil berikan ketenangan. Meditasi di pagi hari adalah yang terbaik dan ia tidak berniat untuk menghilangkan kebiasaan positif satu ini.

Dalam tenangnya, tanpa sadar Budi mengenang soal kemarin. Dulu, ia akan bangun setiap pukul tiga pagi untuk pergi ke pasar guna menggiling daging. Harus sepagi itu, agar bisa mendapat daging sapi bagian paha; bagian terbaik yang akan menghasilkan pentol bakso dengan tekstur menjanjikan. Hujan, dingin, apalagi kantuk bukanlah penghalang. Karena bila ia tidak memaksa diri, anak-anaknya mungkin tidak bisa berangkat sekolah esok hari karena tidak punya ongkos.

Menjadi pedagang bakso tentu bukan cita-citanya. Ia menghabiskan masa muda dengan bahagia meski tidak dengan uang atau kasih sayang melimpah dari orang tua. Budi bersenang-senang sebagai tour guide dan sejumlah pekerjaan di bidang pariwisata. Ia menikmati hidupnya untuk hari itu; untuk dirinya sendiri tanpa beban atau tanggungan selain menanggung diri sendiri.

Menikah dengan Giri adalah―istilahnya―plot twist. Pasalnya, gadis jutek dari bagian kitchen itu benar-benar antipati dengan kehadirannya sebagai petugas front office sekaligus tangan kanan manager hotel tempat mereka bekerja. Siapa sangka, hanya karena masalah pembagian shift membuat mereka berinteraksi dan semakin sering menjalin komunikasi?

Pernikahan mereka bisa dibilang karena kecelakaan. Kendati demikian, rasa dalam dada adalah nyata. Jadi, kalau sudah begini, tunggu apa lagi, kan? Toh, umur sudah cukup. Kerjaan pasti sudah di tangan dan restu orang tua pun diperoleh semudah membalik telapak tangan. Septi lahir tujuh bulan setelah mereka resmi menikah dan dicintai keluarga besar.


Budi dan Giri memiliki Tama delapan tahun setelahnya. Masa-masa kehamilan kedua ini cukup berat. Selain karena tekanan kerja akibat posisi Giri yang cukup vital di sebuah perusahaan swasta, travel yang telah dijalankan Budi pun gonjang-ganjing pasca salah satu rekan melarikan berjuta-juta uang mereka. Pun beredar rumor buruk yang menyebut jika janin dalam kandungan Giri bukanlah anak Budi. Nama salah satu rekan kerja dibawa-bawa karena mereka sering bepergian bersama, padahal rekannya ini juga gagal move on dari mantannya.

"Ya, Dion kan emang sopir buat aku? Kalo aku perginya sama Pak Bos, baru masuk akal gosipnya!"

Tidak tahu saja tetangga-tetangga rempong itu kalau Budi dan Giri membuat Tama lewat program kehamilan agar bisa mendapatkan anak laki-laki.

Kalau boleh berkata jahat, kelahiran Tama seakan menjadi awal dari runtuhnya istana yang dibangun Budi dan Giri dari titik nol. Kantor tempat Giri bekerja pailit karena suatu masalah, travel milik Budi pun tidak bisa berjalan. Entah mengapa, satu demi satu masalah bermunculan dan membuat dunia jadi runyam. Timbul pula masalah pelik dengan keluarga besar. Pernikahan mereka di ujung tanduk, tetapi dua anak tak berdosa menjadi pertimbangan berat.

Pada akhirnya, Budi dan Giri memilih bertahan demi Septi dan Tama. Mereka pergi dari kota dengan sejuta kenangan perjuangan mereka selama ini. Namun ternyata, tidak ada yang benar-benar mudah. Segala macam pekerjaan sudah dicoba. Usaha ini dan itu coba mereka bangun, tetapi kemudian hari, yang mereka dapati hanya kejatuhan mereka untuk kesekian kali. Menjadi pedagang bakso adalah satu-satunya usaha yang tak pernah mati meski menjalaninya pun setengah mati.

Bangun pukul tiga, kembali dari pasar sekitar jam empat atau lima pagi. Sesampai di rumah, Giri sudah bangun dan menyiapkan air panas untuk merebus daging giling tersebut menjadi bola-bola kecil yang menjadi sesuap nasi dan ongkos sekolah anak-anaknya. Kadang terjual habis, kadang habis dimakan sendiri karena banyak tersisa dan tidak bisa dijual kembali. Kurang modal, pinjam sana-sini. Gali lubang, tutup lubang. Untung-untung tidak gulung tikar.

Demikian yang mereka jalani bertahun-tahun.

Meski terlihat remeh, selama masa-masa itu, Budi berhasil membuat anak-anaknya tetap bersekolah. Septi dan Tama berhasil masuk sekolah favorit dan bisa dibilang cukup berprestasi dengan nilai-nilai semester mereka. Septi bahkan berhasil masuk perguruan tinggi impian dan dengan jurusan yang sesuai dengan keinginannya tanpa perlu seleksi.

Budi ingat, tuan rumah pemilik kontrakan mereka beberapa kali mencibir, "Neng Septi gausah kuliah aja, mending kerja, bantu ibu sama bapak cari uang. Buat apa juga sekolah, nanti juga di rumah aja."

Budi dan Giri adalah orang dengan pemikiran terbuka. Pendidikan merupakan satu-satunya investasi yang bisa mereka lakukan demi masa depan anak-anak mereka. Budi tidak punya harta yang bisa diwariskan kelak. Yang bisa ia lakukan waktu itu adalah bekerja keras agar bisa menata masa depan Septi dan Tama tidak jadi seperti dia, si penjual bakso yang kurang tidur dan selalu bangun jam tiga pagi.

Tanpa terasa, iringan musik telah berhenti. Terhitung satu jam sudah ia bermeditasi―yang kali ini lebih seperti renungan ketimbang sekadar mengosongkan pikiran guna nikmati instrumen relaksasi. Budi luruskan kaki yang kebas, rentang tangan seraya regangkan badan yang sering pegal-pegal. Giri masih pulas, bahkan tak bergerak barang seinci.

Ia keluar kamar, menuju dapur dan menyeduh kopi. Jam-jam begini, dulu dia masih sibuk membuat pentol sampai pegal. Sekarang, tidak ada keharusan baginya melakukan hal serupa. Budi bisa melakukan apa yang ia mau. Pun kalau bosan, ada banyak teknologi kekinian yang dapat ia coba; mengikuti berita tidak penting atau; memilih drama korea dan film bagus untuk ditonton bersama Giri nanti.

Tepung terigu dan telur menjadi sasaran kegabutan pria itu kali ini. Dulu, mereka tidak punya cukup uang untuk sekadar jajan. Jadi, kalau bukan Giri, maka Budi yang akan membuat suatu apa pun yang bisa mereka jadikan camilan, salah satunya kue. Terigu, sedikit gula dan air. Ada telur syukur, tidak ada pun tak apa. Adonannya seperti adonan untuk pisang goreng, tetapi tidak ada pisangnya. Tepung kosong yang dituang-tuang asal ke dalam minyak panas. Lumayan sebagai objek kunyah-kunyah waktu sarapan.

Pukul lima pagi, Giri terbangun dan menyusul ke dapur. Di meja makan sudah ada kue dan dua cangkir kopi hangat, buatan Budi semua. Memang suami idaman.

"Tadi kamu udah ngopi?" tanya Giri pasca melihat gelas bekas kopi di wastafel cuci piring. "Septi tau, ngomel lagi dia. Udah tau anaknya cerewet, masih juga dilakuin."

Budi hanya berdehem, membenarkan. "Jangan dibilangin makanya. Cerewet juga dapetnya dari kamu."

"Kamu juga cerewet, ya, kalo lupa!"

"Iya, iya. Aku cerewet." Budi ikut duduk dan menyeruput kopinya. "Abis ini aku mau ke pasar. Mau ikut? Kita cari ikan, pengen sup kepala ikan."

"Siapa yang mau masakin emang?"

"Kamu lah ...."

"Males."

Jutek jawaban Giri justru membuat Budi tersenyum samar. Melihat istrinya tengah menikmati camilan pagi tanpa tekanan seperti ini, ia merasa ringan. Dulu, jam segini, Giri sudah sibuk mengurus ini dan itu untuk menyiapkan jualan. Belum lagi menyiapkan sarapan buat anak-anak mereka sebelum sekolah. Sepergi Budi berjualan pun, pekerjaan rumah masih menumpuk dan Giri kerjakan semua sendiri, dibantu Septi juga Tama kalau sudah pulang sekolah.

"Aku ikut ke pasar. Baru inget, kakak sama adek bilang mau ke sini. Mau tak masakin ayam asam-manis," tukas Giri tiba-tiba. "Sup kepala ikannya untuk makan malam aja, ya?"

Budi tersenyum simpul. "Oke."

Bertahun-tahun dahulu, Budi ke pasar saat subuh untuk mencari bahan jualan. Kini, Budi pergi ke pasar selayaknya bapak-bapak pada umumnya yang menemani istri berbelanja; siap sedia memegangi belanjaan dan sesekali ikut menawar harga barang.

Sesampai di rumah, ternyata sudah ada sebuah mobil tak asing di garasi. Riuh suara anak-anak terdengar dari dalam rumah. Septi keluar menyambut orang tuanya yang baru pulang. "Banyak amat belanjanya, mau bikin prasmanan satu RT apa gimana?"

"Yang belanja aku, kok, kamu yang sewot!" balas Septi, melengos langsung ke dalam dan ajaibnya Septi malah menyusul sang ibu sambil menggerutu ini dan itu.

Budi duduk di teras. Mentari masih hangat dan angin masih sejuk. Dulu, jam-jam begini adalah waktunya ia mengantar Septi ke kampus. Motor butut yang suka batuk-batuk menjadi benda bersejarah yang mengantarkan Septi menjadi sarjana.

Mobil Tama memasuki pekarangan. Si anak bungsu turun bersama keluarga kecilnya. Budi menyambut dengan senang hati dan mengarahkan mereka untuk masuk, absen dulu pada kanjeng ratu. Kembali Budi sendirian di teras depan. Riuh di dalam sana sampai ke telinga, berhasil buat sudut bibir tua itu tertarik naik.

Budi, pagimu bukan lagi pagi yang sibuk. Pagimu tidak lagi dihantui kewajiban membanting tulang. Pagimu sudah tenang. Pagimu sudah menyenangkan dengan cengkrama keluargamu, bersama kicauan burung dan sapuan angin segar. Anak-anakmu sudah sukses, masa tuamu sudah bahagia.

Selamat, Budi. Kamu sudah berhasil. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top