Bab 8
Seorang perempuan berpakaian serba hitam sedang merias diri di depan cermin besar. Wajahnya yang cantik walau di hiasi kerutan tipis. Di usianya yang menginjak angka 37 tahun, ia tetaplah perempuan paling cantik bagi Issac. Helga Zeldan, Perempuan yang menyandang status sebagai nyonya Zeldan. Perempuan itu tetap jadi nomer satu di hati Isaac. Helga perempuan luar biasa yang berada di belakang kesuksesan Issac.
Helga memoles wajahnya dengan make up tipis lalu mengambil gaun malam yang bewarna hitam pekat, warna favoritnya.
"Nyonya tuan sedang menunggu anda." Si tua Issac yang tak sabaran. Helga mengoleskan lipstik pada bibirnya sebelum mengambil tas tangan mewah bewarna rosegold.
"Aku selesai sebentar lagi." Helga menggerutu, tak biasanya Issac minta di temani hadir di acara perkumpulan pebisnis dunia hitam. Tak perlu berdandan lama, Helga bergegas turun lalu mencium pipi suaminya sebelum berangkat menggandeng lengan suaminya.
"Kenapa kau suruh aku menemanimu? Tak biasanya kau begitu manja minta aku temani."
"Di sana, nanti ada klan Montana. Aku mau kau membaca salah satu pemimpin mereka." Helga tahu kekhawatiran Issac selalu saja berhubungan dengan klan Montana, mereka tak begitu kuat namun sangat solid. " Ini tentang ketua klannya baru. Kata Alfonso ia punya cadangan nyawa."
"Tak ada manusia yang seperti itu. Lagi pula kenapa kau gunakan cara kasar dan kotor untuk menyingkirkannya? Bukannya sudah biasa kalian bersaing dalam dunia bisnis."
"Elang berbeda, dia kuat, pintar, punya cara sendiri dan tentu masih sangat muda." Helga tak mengerti dunia Issac yang dipenuhi darah itu. Selama ini ia hanya berperan sebagai istri, pembaca peluang bisnis dan tentu dengan sedikit kekuatannya Helga menjadi pelindung Issac.
Mereka sudah sampai di sebuah Club malam elit. Beberapa orang menyambut Issac yang baru saja keluar dari mobil lemousine. Issac mengapit lengan istrinya agar keduanya beriringan jalan.
Mereka melangkah layaknya raja dan ratu sebelum Issac sendiri menghentikan langkah keduanya.
"Ada apa?" Helga mengikuti pandangan mata suaminya yang mulai merabun akibat usia senja.
"Itu Elang yang aku ceritakan tadi." Issac menatap penuh rasa tak suka pada pemuda tampan berbalut jas hitam. Pemuda yang menurut Helga punya aura pekat dan bau darah yang lebih amis dari pada Issac.
"Pantas saja kamu iri. Kau benar dia lebih hebat darimu. Elang punya masa lalu yang mengajarkan dia bertahan hidup dan selalu dekat dengan kematian." Helga mencoba membaca aura Elang dari jarak jauh. "Apa kita perlu menyapanya?"
"Tak perlu, aku lebih tua biar dia menyapaku terlebih dahulu." Dasar Issac si kaku, kalah hebat lantas mengaku tua.
"Selamat malam tuan dan nyonya Zeldan," sapa Derrick dengan pantas dan hormat sedang Elang hanya tersenyum pelit lalu menundukkan kepalanya untuk memberi penghormatan kepada Issac yang lebih senior.
"Malam."
"Bagaimana kalau kita bergabung satu meja untuk membicarakan bisnis?" Tawaran Helga cukup menarik namun dapat membuat Elang menjauhkan diri. Elang tak suka berbasa-basi pada orang yang hampir menghilangkan nyawanya. Tanpa mengurangi kesopanan, Elang pamit pergi sedang Derrick tersenyum canggung. Tahu bahwa ketuanya tak akan mau menyapa sang musuh bebuyutan.
"Maaf kami harus pergi."
"Dasar sombong, cihh." Issac meludah dan Helga mengambilkan selembar tisu lalu mengelap mulut suaminya Lalu mengelus-elus lengan Issac dengan lembut.
"Ketua Montana itu menarik, disekitar aura gelapnya ada semburat aura emas."
"Apa maksudnya itu?"
"Dia punya pelindung, seorang gadis murni." Issac mencoba mengingat sesuatu, suatu keterangan yang sangat penting dari Alfonso.
"Aku kira Alfonso membual, dia bilang gagal membunuh Elang karena ada seorang gadis menghalanginya." Leher Helga seperti tertarik sangat kuat hingga menoleh.
"Besok pertemukan aku dengan. Alfonso." Issac menuruti keinginan Helga namun apa gadis yang di maksud Helga benar-benar pelindung Elang, yang mungkin sama kuatnya dengan Helga. Kalau seperti itu gawat, keselamatan Issac juga terancam.
🐘🐘🐘🐘🐘🐘🐘🐘🐘🐘🐘🐘🐘
Api melahap dengan sangat dahsyat. Semuanya jadi merah membara, asap mengepul dimana-mana. Rumah yang semuanya terbuat dari bahan kayu itu, lama-lama terkikis habis jadi abu yang menyala merah.
Uhuk... uhuk....
Kemuning terbatuk-batuk, ia mulai kehabisan nafas. Pemandangan di sekitarnya hanya ada api namun ia harus tetap mencari keberadaan sang nenek. Ia tak peduli jika nyawanya juga terancam, yang terpenting ia harus menemukan neneknya.
"Padma..." Panggil neneknya lirih dan lemah sekali. Perempuan paruh baya itu tergeletak di lantai kayu, di kelilingi oleh kobaran api. Akhirnya Kemuning bisa lega, melihat neneknya masih bernafas. Dengan bersusah payah ia menembus kepulan asap. Neneknya harus ia selamatkan. Namun sepertinya kematian lebih dekat dengan sang nenek. Sebuah kayu penyangga rumah roboh dan menimpa sang nenek tanpa belas kasihan. Selanjutnya ada sebuah ledakan dasyat yang tak bisa Kemuning hindari.
"NENEK!!"
Teriaknya keras lalu tubuhnya di paksa sadar dari mimpi buruk. Ini semua hanya mimpi namun Kemuning meminta jadi nyata, andai dia ada bersama neneknya, andai ia bisa menyelamatkan nyawa orang yang membesarkannya itu atau lebih baik jika Kemuning ikut mati saja dari pada hidup sebatang kara.
Semua hanya angannya, nyatanya Kemuning duduk di atas ranjang empuk dengan nyawa yang masih menempel. Kemuning bisa tidur enak, makan enak sedang neneknya tak ada lagi di dunia ini. Air matanya mulai luruh membasahi pipi, ia rindu neneknya, rindu hutannya. Andai saja ia tak kabur, mau mendengarkan apa kata neneknya.
Kemuning lalu memandang langit malam melalui jendela kamarnya. Mendung terlalu pekat hingga sang rembulan tak nampak atau ia memang enggan muncul sebab di sini terlalu banyak cahaya lampu. Kemuning merasa kesepian sekarang, ia berjalan keluar kamar menuju balkon lalu duduk menekuk lututnya di atas kursi.
Di saat ia merasa sendiri, seekor kunang-kunang datang mendekatinya, cahayanya tak begitu terang karena kalah dengan merahnya cahaya lampu.
"Hai, bisa kau ajak kawan-kawanmu kemari?" Kemuning mencoba berbicara dengan binatang itu. Seperti mengerti, hewan bercahaya itu lalu terbang pergi, datang kembali bersama beberapa temannya. Kemuning tersenyum lalu menggerakkan jari telunjuknya. Para kunang-kunang itu mengikuti arah gerakan yang Kemuning buat. Sungguh menyenangkan, setidaknya kehadiran mereka bisa mengobati rindu Kemuning kepada hutan.
"Kau belum tidur?" Kemuning kaget ketika mendengar seseorang menyapanya. Ia menoleh ke belakang, ada Elang yang sedang berdiri tepat di depan pintu balkon.
Elang yang baru saja pulang dari Club malam, melihat jendela kamar Kemuning yang masih terbuka. Ia kira ada bahaya yang mengintai nyawa Kemuning. Kenyataannya, gadis berparas Ayu itu malah bermain dengan para kunang-kunang.
"Sudah, tapi aku terjaga karena haus." jawabnya sebagai alasan logis. Tak mungkin menceritakan mimpi buruknya. Memang nasib sialnya, kemalangan sang nenek penyebabnya Elang namun Kemuning tak bisa membenci laki-laki ini, mencaci makinya atau sekedar menyalahkan.
"Jangan pergunakan kekuatanmu sembarangan, tak semua orang di luar sana baik." Elang mendekat, mengikis jarak. Ikut duduk di samping Kemuning.
"Apakah aku tak punya kegiatan selain harus berdiam diri di rumah?" Elang tersenyum walau tubuhnya amat lelah sekali. Kegiatan apa yang bisa di lakukan oleh gadis ini. "Kau punya kebun bunga yang tak terawat, bolehkah aku merawatnya?"
"Tentu saja boleh, pergunakanlah kebun itu." Mata Kemuning yang sebulat bola kelereng itu berbinar. Ia diijinkan untuk mengurus tanaman milik Elang. "Aku sebenarnya akan mendatangkan seorang guru untukmu?"
"Untuk apa? Aku sudah bisa membaca dan menulis."
"Untuk hidup menulis dan membaca saja tak cukup. Ada banyak hal yang mesti kau pelajari." Elang menarik tubuh Kemuning untuk berdiri tegak. Ia menggiring gadis itu ke arah ranjang. "Sekarang tidurlah, selamat malam."
Entah perasaan apa yang Kemuning rasakan, ada sedikit ketakutan yang bercampur dengan kehangatan. Di sadari tidak Kemuning terpesona dengan sosok Elang yang begitu baik padanya.
Sedang Elang sendiri menganggap Kemuning adalah seorang gadis yang harus ia jaga. Tak pantas jika ia mengembangkan perasaan cinta. Bagi dunianya yang terlalu kelam dan kejam, sebuah rasa yang disebut cinta tak bisa dimasukkan ke sana.
"Kau begitu perhatian pada gadis itu?" tanya Derrick tiba-tiba. Elang lupa karena terlalu fokus memikirkan keselamatan Kemuning, ia jadi melupakan Derrick yang masih tertinggal di dalam mobil.
"Dia telah banyak menolongku, neneknya meninggal karena diriku".
"Iya aku tahu itu namun sampai kau akan terus menjaganya? Sampai dia menikah dan punya pasangan lain? Atau kau sendiri yang akan menikah dengannya?" Elang memalingkan wajahnya dari Derrick sambil berkacak pinggang galak. Ia mengecap lidahnya sebelum membasahi bibir.
"Omong kosong apa yang kau katakan, tentu aku akan mencarikan pasangan untuknya." Derrick menggeleng sedikit lalu menyalahkan pematik sebelum menghembuskan asap ke udara dengan menghisap sebatang rokok filter.
"Jujur kalian cocok, Kemuning di butuhkan dalam hidupmu. Dia bisa memberimu sedikit warna putih."
Elang menganggap omongan Derrick hanya bualan. Ia tahu Derrick terlalu sering membahas masalah perkawinan, pengganti untuk Elena. Baginya sebuah pernikahan hanya akan memperumit keadaan, menghasilkan anak yang sama liarnya seperti Elang. Masa kecil Elang begitu mengerikan. Ia pernah menjadi mencuri, merampok, membunuh hanya demi sesuap nasi. Ia bahkan jadi anjing tuan Montana, menjilat kakinya agar tetap hidup. Sungguh jika Elang bisa, ia sudah meminta amnesia saja. Memulai kehidupannya dari awal tanpa catatan kriminal tentu ia akan keluar dari dunia hitam.
"Karena si putih tak akan bisa bernapas jika di tempatkan ke area yang gelap tanpa cahaya."
Derrick tahu saat mata Elang melihat Kemuning ada sebuah pandangan yang aneh di sana. Pandangan yang tak pernah ia temui atau Derrick lewatkan saat Elang bersama Elena dulu. Entahlah Elang selalu menghindar dengan rasa yang dinamakan cinta. Dengan Elena mungkin Elang sekedar suka atau hanya sebatas balas budi.
Tanpa mereka sadari, Sabrina menguping pembicaraan keduanya. Ia mengepalkan jarinya jadi satu. Tak bisa dibiarkan jika nanti hati Elang condong ke arah gadis itu. Elena sudah tak ada namun kenapa tetap saja Sabrina tak bisa masuk ke hati Elang. Apa usahanya kurang keras, atau Elang saja yang tak mau membuka hatinya. Dulu ia mengalah pada Elena karena rasa balas budi, merasa Elang memang benar-benar mencintai perempuan yang sudah ada anggap kakak itu tapi kini Elena tak ada, apa Sabrina akan melepas Elang kembali? Tentu tidak, ia akan memisahkan Kemuning dan Elang dengan berbagai cara termasuk cara kotor.
💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top