Sebuah Kutukan
[ Start :
6/4/2019
12.15 ]
⏮️
Sebuah Kutukan
⏭️
Ada desir aneh dalam jantungku saat Lota, mantan pacarku, memanggilku ke halaman belakang sekolah yang sepi saat hari terakhir UNBK. Lota, yang notabene jarang tersenyum dan terkenal bersikap dingin terhadap lawan jenis, malah tersenyum lebar saat mengajakku. Senyumnya manis; bukan berarti hatiku langsung luluh lantak saat melihatnya, sebab aku sudah memiliki gebetan baru.
"Mau ngomongin apa, Ta?" tanyaku, bergidik kedinginan saat angin berembus dan menjatuhkan daun-daun kering dari pohon Beringin. Hari ini memang mendung dan berangin. Sekali lagi hatiku berdesir, tapi tidak nyaman.
"Cahya ...," Lota memanggil, tanpa membalikkan badan, "Kamu ingat ceritaku, tentang keinginanku untuk bunuh diri itu?"
Aku bergeming.
Aku ingat, tentu aku ingat. Kejadian itu merupakan kali pertama aku melihat Lota tampak begitu rapuh, bagai beling yang dengan mudah tersapu bersama debu.
Badanku merinding saat mengingat cerita Lota kala itu. Tentang bagaimana dia dulu dirisak, tentang bagaimana orangtuanya selalu bertengkar, tentang meja makan dingin yang tak pernah menyediakan makanan rumah, tentang perut yang disayat silet sebab takut bila menyayat lengan, malah akan timbul kecurigaan.
Tanpa sadar, aku bergidik. Kisah Lota itu sangat mengerikan bagiku; hanya mengingatnya membuatku takut setengah mati, sekaligus bersyukur hidup dikelilingi oleh orang yang mencintaiku.
"I-ingat," jawabku, tergagap. Aku tak tahu mengapa aku tergagap, juga berkeringat dingin. Padahal, angin sejuk baru saja berembus melewati sosokku, sosok Lota dan pohon Beringin.
"Waktu itu ... sebelum cerita ke kamu, aku bilang 'tolong jangan berkomentar', kan?" Lota bertanya, jelas enggan bicara langsung ke inti. Aku tidak pandai bicara penuh makna tersirat begini. Lagipula, memangnya dia pernah bicara begitu, ya?
"... Um, maaf, aku lupa," ujarku jujur. Tungkai kiriku bergerak sedikit ke belakang, menyamping. Aku benar-benar ingin pergi sekarang.
Lota bersiul pelan, entah mengapa terdengar kecewa. "Enggak apa-apa," ucap Lota ringan secara mendadak, "Itu penting, tapi, yah sudahlah."
Lota tertawa pelan, ceria, tapi mengindikasian kesedihan serta kekecewaan. Ketiga emosi itu seharusnya membuatku bersimpati, tapi entah mengapa, yang diriku pikirkan adalah cara agar bisa cepat-cepat angkat kaki dari sini.
Namun, belum sempat aku bicara, Lota sudah melanjutkan. Suaranya lebih tenang dibanding tadi.
"Waktu aku cerita begitu ...," Lota memulai, masih memunggungiku, "... cuma kamu yang aku punya. Aku percaya padamu. Karena ada kamu, aku percaya bisa lepas dari kegelapanku sendiri.
Aku pinta kamu agar jangan berkomentar, jangan bicarakan. Tapi kamu enggak mendengarkan aku. Kamu berkomentar.
Saat itu, aku masih punya masa depan. Hidupku memang susah, tapi aku masih berharap. Aku ingin kamu tahu bahwa serusak apa diriku, aku bakal berdiri dan bahagia. Aku bisa melewati semua itu."
Kali ini, badan Lota menyamping. Tak sepenuhnya menghadap badanku, tapi cukup untuk membuatnya menoleh ... dengan mata terbelalak dan senyum yang begitu ceria tapi lebih kosong daripada sumur yang mengering. Barulah setelah itu, Lota melanjutkan:
"... tapi kamu mengecewakanku."
Lota tertawa pelan, nyaris hening. Pada akhirnya, dia menghadap badanku dengan mata yang lebih kosong dari mata ikan mati dan senyum yang lebih hampa dari isi dompetku.
Entah mengapa, aku bergeming seolah kakiku terpaku di tanah. Gadis itu mengambil kesempatan ini untuk perlahan melangkah maju. Semakin dia melangkah, semakin dingin keringatku, semakin berdegup tegang hatiku, semakin berat kepalaku.
Aku menundukkan kepala, hanya untuk menatap Lota yang sedikit membungkuk agar bisa memandangku. Gadis itu tersenyum lebar, tapi rusak, bagai badut yang kehilangan kewarasannya.
Aku meneguk ludah, membuat senyum Lota sedikit bergeronyot. Kemudian, gadis itu meletakkan kedua telapak tangannya di telingaku, mencengkeram sisi kepala dengan kuat.
Lota memajukan wajahnya ke arah wajahku hingga napas kami bertabrakan, menciptakan udara panas penuh karbon dioksida.
"Kamu menghilangkan harapanku," bisik Lota, terkikik layaknya boneka rusak, "Maka aku akan mengutukmu."
Kemudian, hal yang dilakukan Lota setelahnya membuat mataku terbelalak dan tubuhku bergeming.
Lota ... menciumku.
Dengan tatapan penuh kebencian, dia melumat bibirku. Bukan ciuman panas. Meski begitu, bibirnya pada bibirku sudah cukup meneriakkan seberapa bencinya dia kepadaku, seberapa aku telah merusak masa depannya.
Lota menggigit bibir bawahku sampai berdarah, sebelum melepaskan ciumannya. Kemudian, dia mengambil langkah sambil tersenyum puas, sebelum akhirnya pergi dari halaman belakang sekolah dengan tawa penuh kemenangan terdengar dari mulutnya.
Aku tetap bergeming, tak bergerak, tak berkedip.
Itu ciuman pertamaku dan Lota sukses membuatku merasa ngeri.
Tatapan gadis itu tercetak dalam benakku. Dia berhasil membuatku ngeri sampai-sampai tak mau mencium makhluk bernama 'perempuan' lagi.
Lota telah berhasil mengutukku.
[ Finish :
8/4/2019
06:35 ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top