9

Ada rasa tidak nyaman dalam hatiku, meski Melly tidak berkata apa-apa. Iwan terlihat sangat menyesal dengan kata-katanya. Saat akan pulang, kuhampiri gadis itu dibelakang. Kali ini ia terlihat menunduk. Terlihat kalau ia tengah menghindariku. Ayana dan beberapa temannya yang lain menatap kami aneh.

"Pulang yuk, Mel. Sudah sore."

"Aku naik taksi online saja nanti. Masih mau ngobrol bareng Ayana." Jawabnya pelan.

Kusandarkan tubuh didinding sambil melipat tangan.

"Aku sekalian mau ngomongin rencana mengajar kamu di kampung nelayan kemarin. Kebetulan aku sudah bicara dengan mereka. Kamu masih tertarikkan?"

Ia menatapku kesal, namun masih kubalas dengan senyuman.

"Bulan ini aku sangat sibuk." Ia masih bertahan. Mungkin tadi terlalu kecewa dengan jawabanku.

"Ya sudah, tadinya aku sudah menyusun program untuk mereka. Sementara aku akan meminta teman yang lain untuk mengajar. Kamu bisa menyusul setelahnya, itupun kalau masih berminat." Ucapku kemudian meninggalkan mereka.

Aku bukan tipe laki-laki yang suka membujuk-bujuk perempuan. Untuk apa memaksa seseorang yang tidak tertarik melakukan suatu hal. Yang ada hasilnya pasti akan mengecewakan. Apalagi untuk sebuah pekerjaan sosial. Disana jelas tidak ada uang, hanya ada kepuasan saat melihat orang lain berhasil. Mungkin Melly hanya terbawa oleh rasa kasihan saat menonton film yang kukirim waktu itu.

Melangkah ke ruang depan, kulihat keempat sahabatku masih duduk diposisi semula.

"Gue balik dulu ya, masih ada yang harus dikerjain." pamitku kemudian meninggalkan mereka. Beruntung sejak awal aku sudah mengatakan tidak bisa lama disini. Meski sebenarnya tadi rencana akan membawa Melly jalan dulu, sekedar menghabiskan waktu.

Akhirnya mobilku memasuki jalan tol. Aku tidak ingin kemana-mana lagi. Pulang, beristirahat dan melupakan Melly!

***

"Gue antar lo ya," ucap Ayana saat aku hendak memesan taksi online. Kini tinggal aku sendiri, yang lain sudah pulang duluan.

"Nggak usah, lo kan harus beres-beres." Tolakku, beruntung sahabat perempuanku tidak ada yang tahu mengenai kejadian di ruang tamu tadi. Aku akan menyimpan untuk diriku sendiri.

Namun pertahananku buyar saat Iwan datang dan duduk di depan istrinya.

"Sorry, soal yang tadi." Ucapnya.

"Nggak apa-apa." Jawabku sambil mencoba tersenyum, meski gagal.

"Gue cuma mau bilang, kadang cara berpikir kami kaum pria sedikit berbeda dengan kalian. Dari luar sih, Daud kelihatannya ekstrim, tapi sebenarnya dia jujur dengan kalimatnya. Gue kenal dia dengan baik." Ucap Iwan dengan wajah penuh sesal.

"Ini ada apa sih?" tanya Ayana.

"Biasalah, Daud. Tentang Tiffany."

Ayana hanya mengangguk.

"Daud memang baik ke semua orang, apalagi perempuan. Mungkin Karena pengalaman buruk dimasa lalu. Gue nggak berhak cerita ke elo. Dia lebih berhak menyampaikan sendiri nanti kalau hubungan kalian berlanjut. Itu yang membuat dia dia protektif banget sama perempuan. Bukan karena dia suka, cuma karena ada rasa ingin menjaga. Sayangnya banyak perempuan yang justru mengira Daud suka pada mereka.

Wajar sih, secara dia tampan, pintar, terkenal dan mapan. Tapi yakin deh, dia bukan jenis player. Dia hanya tidak suka kalau ada orang membatasi pergaulannya. Meski itu kekasihnya." Ucap Iwan.

Aku hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa.

"Tadi sebenarnya gue cuma mau ingetin, tentang Tiffany. Karena tahu kalau rekan bisnis gue itu suka sama dia. Tapi dia memang sangat tidak suka kalau disinggung urusan pribadinya. Apalagi Tiffany rekan satu kantornya. Gue paham maksud dia, karena Daud sangat professional kalau bekerja. Apalagi pekerjaannya menuntut untuk selalu bekerjasama dengan banyak orang. Tapi elo, belum tentu bisa menerima, kan?

Kalau lo cari cowok yang akan memperlakukan lo sebagai princess, Daud bukan orangnya. Dia nggak akan mengejar lo, kalau lo ngambek. Bisa jadi juga lupa dengan ulang tahun atau anniversary kalian nanti. Tapi lo akan menjadi satu-satunya milik dia. Bukan karena dia cuek, tapi memang tipe orang yang menghargai privacy. Dia akan membiarkan lo mengambil waktu sebanyak yang lo suka, sampai kemudian lo bersedia bercerita. Dia tumbuh dalam keluarga seperti itu. Bahkan setahu gue orangtuanya nggak pernah nanya kapan menikah."

"Gue masih bingung." Jawabku jujur.

"Sorry, kalau obrolan kita tadi nyakitin elo. Gue antar pulang ya?"

"Iya, gue ikut kok, kan rumah kita sekarang dekat." Ayana menimpali.

Akhirnya aku mengangguk.

***

Dan benar, Daud sama sekali tidak pernah menghubungiku lagi. Sebenarnya aku kesal, tapi mau dibilang apa? Mungkin sikapku yang terlalu kekanakan. Bahkan menolak saat ia hendak membicarakan tentang mengajar di daerah nelayan.

Kuhembuskan nafas pelan, kuraih bunga mawar yang baru dipanen. Kemudian membantu membungkus satu persatu sesuai pesanan. Karena besok adalah hari guru, jadi banyak siswa yang memesan bunga.

Malam ini sepertinya aku harus kembali lembur. Karena seluruh karyawan dan istri mereka juga masih bekerja. Masih ada ratusan yang harus kami kerjakan. Beruntung, mereka sudah terlatih, sehingga bisa bekerja dengan cepat. Semua selesai pukul sepuluh malam. Kuputuskan untuk menginap disini. Jalanan pasti sudah sepi, masih ada trauma kalau harus mengendarai sendirian.

Aku hanya membersihkan tubuh, mengganti pakaian dan langsung masuk ke kamar. Berbaring dibalik selimut tebal nan hangat rasanya sangat menyenangkan. Tadi aku meminta anak salah seorang karyawan untuk menemani. Kuhubungi papa, mengatakan kalau aku tidak pulang, supaya mereka tidak khawatir.

Kemudian kuperiksa ponselku, akhirnya kuganti status WA dengan foto bunga-bunga yang sudah selesai dikerjakan tadi. Tak terasa sudah lebih dua minggu setelah hari itu. Tak ada lagi pesan maupun telepon dari Daud. Awalnya memang ada yang hilang dari hidupku. Tapi kupikir, tak apa lah. Daripada nanti hidupku sengsara.

Entah kenapa, tiba-tiba mataku terpaku pada status WAnya. Ada sebuah gambar selang infus. Diikuti tulisan,

[akhirnya tepar juga.]

Dia sakit? Ya, aku memang sudah lama tidak mengikuti siarannya. Apalagi membuka chat kami, jadi tidak tahu apapun tentangnya. Ada beberapa foto yang menyertai. Sepertinya kunjungan rekan dan juga keluarga. Penasaran, kutelusuri wajah-wajah yang ada difoto tersebut. Sepertinya ada foto orangtuanya. Ibunya sangat cantik, ayahnya juga tampan.

Ting

Sebuah pesan masuk, dari Daud? Tak percaya, namun segera kubaca.

[Dari tadi ngeliatin statusku, ngapain?]

Rasanya wajahku memerah seketika.

[Aku penasaran dengan foto infus. Kamu sakit?]

[Ya, terlalu banyak kegiatan, dan kurang istirahat.]

[Gws]

Selesai mengetik kalimat terakhir, kumatikan ponsel. Enggan berhubungan lebih lanjut. Kupejamkan mata, dan segera tidur.

Pagi hari, aku bangun karena mendengar kesibukan diluar. Karyawan sudah siap dengan dua buah mobil untuk mengantar bunga ke beberapa sekolah dan Jakarta. Aku memilih tetap berbaring di kamar. Sampai kemudian pintu diketuk, mengatakan kalau sarapan sudah siap.

Dengan malas kulangkahkan kaki ke dapur. Ada nasi uduk dan semur tempe tahu. Dengan malas aku makan, tidak ada pilihan disini. Daripada harus sarapan mie instan. Karena masih ngantuk akhirnya selesai sarapan aku kembali tidur.

***

Sore itu, aku dan papa duduk di depan televisi sambil memakan asinan. Saat sebuah berita terikini yang disampaikan dalam bahasa asing muncul dilayar. Aku tahu itu adalah Tiffany. Kutatap layar lekat, sambil mengakui keunggulannya yang diam-diam mulai tidak kusukai. Pronunciation yang sangat fasih, rambut keemasan yang ditata bergelombang. Mata indah, hidung mancung dan bibir penuh. Jelas sangat berbeda dengan aku yang terlihat biasa saja. Bahkan sore ini aku hanya dasteran di rumah.

Papa masih asyik dengan tontonannya, aku tidak ingin mengganggu. Kembali aku pindah ke kamar, kubuka ponsel dan mulai berlayar di dunia maya. Entah kenapa aku mencari berita terbaru tentang Daud. Di youtubenya terlihat aktivitas disebuah perkampungan nelayan. Baru teringat kalau ia benar-benar merealisasikan ucapannya waktu itu.

Bersama beberapa orang dengan seragam kaos. Ia terlihat tengah menonton beberapa ibu yang sibuk belajar membuat bakso sambil menggendong seorang bayi. Sampai kemudian, sang kakak yang kutahu adalah tokoh utama dalam viedo yang dikirimkannya waktu itu datang. Kembali diserahkannya sang adik.

Kemudian menjelaskan mengenai kegiatan mereka hari ini. Ia juga menyampaikan terima kasih untuk para donatur, yang telah membantu. Tak lama muncul video berbagai macam bakso yang sudah selesai dimasak. Akhirnya terlihat mereka makan bersama. Dan kembali Daud memberitahukan, bahwa kegiatan itu masih akan terus berlangsung. Ibu-ibu akan ajarkan mengenai teknis pemasaran, penyimpanan dan juga mengurus ijin ke instansi terkait.

Kuakui keunggulan pria itu, bagaimana Tiffany dan perempuan lain tidak mengejar-ngejar? Lalu bagaimana dengan aku? Apakah jodoh memang harus dikejar? Tidak bisakah aku menunggu saja? Haruskah aku ikut dalam pertarungan itu? Atau pasrah saja menunggu pria lain?

Tapi benarkah apa yang dikatakan Iwan saat kami di mobil? Daud baik, bahkan terlalu baik. Sanggupkah aku kelak bila ia masih mengantar perempuan lain kesana kemari? Siapa yang bisa menjamin hatinya? Sebuah kebiasaan tidak akan mungkin berubah. Sudahlah, ia dengan segala kebintangannya mungkin hanya bisa kunikmati dari jauh. Kuputuskan untuk beristirahat, mumpung hari minggu.

Belum lama memejamkan mata, pintu kamar diketuk.

"Mbak, Mei, dipanggil bapak. Diminta ke rumah eyang Puspito."

Aku segera bangkit, dan berlari. Dibalik, Imah menatap dengan wajah cemas.

"Eyang kenapa?"

"Kata yang jaga, terpeleset di dapur mbak. Nggak bisa jalan lagi."

Tak kujawab, kembali aku berlari ke rumah sebelah. Disana papa sudah menunggu.

"Kita bawa ke dokter saja, Mel?"

Kutatap eyang, perempuan tua itu mengangguk pasrah. Segera kukeluarkan mobil dan membawanya ke rumah sakit terdekat.

***

Aku baru selesai siaran saat Kak Lyo menghubungi.

"Ud, siang ini kemana?"

"Nggak ada acara sih, kenapa?"

"Adik oma yang bungsu sedang di rawat di rumah sakit. Kesana yuk, nggak enak kalau nggak besuk. Secara rumah gue kan nggak terlalu jauh."

"Gue ogah, kalau harus ke keluarga papi."

"Papi nggak akan disana, dia sudah besuk kemarin. Ini aja gue dihubungi sama anaknya eyang. Kan nggak enak, orangnya baik banget."

"Lo mah, nyusahin gue banget, deh."

"Jangan lupa, sebenci-bencinya lo sama papi, lo anaknya juga. Anggap saja berbuat amal baik, mengunjungi orang sakit. Waktu lo sakit juga kan anaknya eyang ada besuk."

Malas mendengar omelan Kak Lyo, akhirnya aku mengiyakan.

"Kita naik apa?"

"Mobil lo aja. Gue tunggu ya?"

Aku hanya mengiyakan, kemudian segera menuju lobby."

***

Happy reading

Maaf untuk typo

31120

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top