8

Tunggu I LOVE YOU versi ebook yaaaaaa... bentar lagi bisa kalian baca. Ada 5 extra part. 2 ditengah, 3 diakhir. Menjawab semua pertanyaan tentang, Karel, Diana, dan selingkuhan Karel.

***

"Om Daud jahat, kemarin Calvyn ditinggal waktu tidur. Katanya mau berenang." Terdengar protes keponakanku dari ujung sana. Wajahnya terlihat memerah karena habis menangis. Ingin rasanya kuhapus air mata yang mengalir deras itu.

"Papa kamu mana? Ajak papa kan bisa?"

"Aku maunya sama Om Daud. Kalau papa nggak mau ngelepas. Dipegang terus."

"Ya sudah, nanti akhir minggu bilang mama. Nginap disini, ya." Bujukku.

Terdengar ia bertanya pada Kak Lyo. Namun sepertinya tidak diijinkan. Kali ini bukan lagi seorang yang menangis melainkan keduanya. Jadilah layar diponselku mulai terlihat tidak fokus. Terdengar rengekan dan teriakan. Sampai akhirnya diambil alih oleh ibu mereka.

"Lo ngapain sih bikin anak gue nangis?"

"Nah lo kenapa nggak ngasih mereka nginap disini?"

"Nanti lo repot, ud. Nggak ada yang ngurus mereka."

"Kan ada pengasuhnya, dan gue sama mami ngawasin."

"Entar makanannya?"

"Emang selama ini lo dikasih makan apa sama mami? Gede juga kan lo? Itu malah kemarin sibuk minta dibikinin rendang. Lo kira mami nggak tahu gizi? Lo makin lama makin aneh, mirip ama Bang Bara."

"Daud! Itu orangnya disini."

"Mana dia, gue mau ngomong. Enak aja ponakan gue nggak boleh ke rumah opungnya."

Sedetik kemudian kulihat wajah abang iparku dilayar.

"Bang, gue mau ajak Calvyn dan Andrea nginap di rumah weekend ini? Minggu pagi gue balikin, boleh?"

"Boleh, supaya sekalian ibunya bisa istirahat. Itu kakak kamu setiap saat ngomel karena si kembar. Kasihan anak-anak kalau segala hal dibatasi terus."

Aku akhirnya tersenyum lebar, namun kulihat dilayar wajah Kak Lyo cemberut menahan kesal. Aku paham, ia adalah ibu yang sangat protektif. Meski setahuku Bang Bara memiliki jiwa petualang yang tinggi.

***

Sepanjang minggu kegiatanku hanya berkisar pada kantor dan mengisi beberapa acara diluar. Mami sendiri tampak mempersiapkan kedatangan cucunya penuh semangat. Papa akan menjemput mereka hari jumat, sepulang sekolah. Sementara Kak Lyo mulai sibuk memberikan daftar do dan don't untuk kedua anaknya. Yang sudah pasti sebagian besar akan kulanggar.

Akhirnya si kembar tiba di rumah. Hari itu aku langsung pulang ke tempat mami. Begitu mobilku memasuki garasi keduanya langsung menyerbu dan minta diajak jalan-jalan keliling. Aku menyanggupi. Kadang kasihan melihat mereka, karena rumah Bang Bara jauh dari keramaian. Kami berhenti sejenak membeli es krim. Kedua keponakanku menikmati sampai habis. Sementara pengasuh mereka hanya bisa diam.

Aku sangat tidak suka melihat cara Kak Lyo membesarkan mereka. Ya, memang Bang Bara kaya raya, dengan segala bisnisnya. Tapi kedua keponakanku bukanlah porselen yang harus selalu dijaga dengan ketat. Sesampai di rumah keduanya mandi, dan langsung makan. Sesuai perjanjian kami tadi. Aku masih berbaring ketika mereka memasuki kamar.

"Om, Vyn dan Rea tidur disini ya?"

"Ok, kalian masih ngompol nggak?"

Keduanya menggeleng.

"Sudah minum susu?"

Mereka langsung mengangguk. akhirnya ku geser kasur ke dekat dinding. Dan membiarkan mereka berbaring disisi kanan dan kiriku. Sebelum tidur kami masih menonton film anak-anak bersama. Sesuatu yang jarang mereka dapatkan saat bersama ibunya.

Mungkin karena tidak tidur siang keduanya segera terlelap. Kupotret mereka, lalu kukirim pada mamanya. Kak Lyo langsung menghubungiku.

"Mereka sudah minum susu?"

"Sudah."

"Sudah, pee?"

"Sudah."

"Sudah doa malam?"

"Sudah, kak. Udah lo tenang aja disana. Siap-siap dikelonin Bang Bara. Anak lo aman. Tadi makannya banyak kok." Balasku.

Setelah menyelesaikan tugasku, kukirim foto keduanya pada Melly. Ia langsung membalas.

"Itu anaknya Bu Lyo?"

"Iya, dia kakakku. Kebetulan anak-anak menginap disini."

"Tidur bareng kamu?"

"Iyalah, mereka mau menginap disini karena ada aku. Palingan besok aku berangkat siaran,  mami yang menemani."

"Aku suka melihat mereka, sopan banget sama orang yang datag ke rumah Bu Lyo."

"Kayak omnya dong?" godaku.

Melly tertawa kencang,

"Kamu ke tempat Ayana nggak hari minggu? Kalau kesana biar aku jemput."

"Nggak usahlah, Jakarta-Bogor itu jauh. Mending aku bawa mobil sendiri. Habis waktu berapa jam kamu nanti buat bolak balik."

"Ya nggak apa-apa. Aku sekalian antar si kembar. Kan nggak jauh dari kamu. Paling pulangnya aja yang agak malam."

"Kamu nggak siaran?"

"Minggu ini enggak, ada event sebuah partai, dan kebetulan bukan aku yang meliput. Jam siaranku digunakan oleh mereka."

"Ya sudah, jam berapa?"

"Aku kabari setelah keluar dari rumah si kembar ya."

"Ok."

***

Jadilah minggu pagi aku siap-siap mengantar si kembar dan berkunjung ke rumah Iwan. Dengan sedikit drama dari Andrea yang tidak mau pulang. Ternyata karena papa berjanji mengajaknya ke sebuah area permainan terbuka. Sementara seharian kemarin hujan. Akhirnya semua selesai setelah aku berjanji akan membawa mereka pada hari kamis.

Menyetir sambil membawa dua anak kecil ternyata sesuatu sekali. Mereka selalu mengganggu sepanjang jalan dengan bertanya ini dan itu. Belum lagi saat melihat bis besar. Mereka akan berteriak sambil melompat. Aku hanya menggelengkan kepala.

Saat ada lampu merah kuhubungi Melly, sayang tidak diangkat. Mungkin sedang sibuk pikirku. Aku memang sengaja tidak menelepon sejak tadi, karena takut dia terlalu lama menunggu.

Saat kami tiba, Bang Bara sudah menunggu di depan pintu utama. Ia segera memeluk anak-anaknya.

"Kak Lyo mana, Bang?" tanyaku.

"Ada di belakang, sedang ada temannya yang membenahi taman mawar mama."

Aku terdiam sejenak. Jangan-jangan Melly sedang disini.

"Kamu disuruh langsung ke belakang."

"Kayaknya nggak bisa deh, bang. Aku ada janji sama teman."

"Sebentar saja, Ud. Nanti bisa ngambek kakak kamu seharian. Lagian kayaknya perempuan itu yang mau dikenalkan ke kamu."

Aku segera menghembuskan nafas kasar. Namun akhirnya mengikuti langkah sang empunya rumah. Benar, kakakku sedang duduk di sebuah sofa berwarna putih dengan Mellisa. Ternyata memang perempuan yang dimaksud adalah sama. Aku sendiri memilih untuk pura-pura tidak tahu.

Duo kembar segera berlari kepangkuan ibu mereka. Sementara aku dan abang mengikuti dari belakang. Melly menatap sekilas namun akhirnya memilih memperhatikan Calvyn dan Andrea.

"Ud, sini. Ini lho yang kakak mau kenalin kemarin. Mel, ini adikku, Daud."

Aku mengulurkan tangan sambil menyebut namaku. Demikian juga Melly. Kami berusaha bersikap senatural mungkin agar Kak Lyo tidak curiga. Meski dalam hati aku mau tertawa. Paling tidak aku mau ia merasa berguna karena sudah mengenalkan kami.

Tak tahan dengan suasana disana, akhirnya aku pamit. Kak Lyo langsung mengeluarkan jurusnya.

"Sekalian antar Melly ya, Ud. Tadi dia naik taksi kesini."

"Boleh, mau diantar kemana?" tanyaku sambil pura-pura menatap Melly penuh rasa penasaran.

"Rumahku tidak jauh dari sini."

"Paling dua puluh menit, Ud."

"Ok, berangkat sekarang yuk." Ajakku.

Melly bangkit dan kami pamit. Begitu keluar dari gerbang rumah Bang Bara, kami tertawa keras.

"Lucu ya, bisa bohongin dia." Teriakku.

"Iya, aku tadi sudah mau ketawa. Karena sejak bertemu Bu Lyo promosiin kamu terus."

"Dia tuh paling semangat mau jodohin aku ke kamu. Nggak apa-apa supaya dia bahagia."

"Dia cerita apa saja tentang aku?"

"Biasa saja. tentang kamu yang gila kerja, terus suka makan dan menjadi om favorit anak-anaknya."

"Ya, itu masih yang baik-baiknya, untung dia nggak cerita ke kamu tentang kejelekanku. Kita langsung ke rumah Iwan?"

"Boleh, tapi berhenti di toko kue dulu ya. Aku nggak enak kalau nggak bawa apa-apa."

Aku mengangguk.

***

Iwan dan Ayana sudah siap menyambut kami semua. Ada banyak makanan dimeja belakang. Rumah yang cukup luas itu masih terasa lengang. Melly langsung ke dapur, bergabung dengan perempuan lain. Sementara para pria duduk di ruang tengah sambil menonnton televisi.

"Rumah lo bagus, Wan." Ucapku. Aku suka desain interiornya. Ada banyak ornament kayu bercampur metal. Tapi keduanya bisa tampil cantik saat berdampingan.

"Ayana yang urus. Gue cuma tinggal bayar. Gimana progress dengan Melly?"

"Biasa aja, dia orangnya asyik diajak ngobrol, baik dan keibuan sih. Betah sih duduk lama-lama didekat dia. Tapi masih sebatas itu, kan baru sebulan. Terus kita sama-sama sibuk."

"Gue nggak salah ngomong kan waktu itu?"

Aku menggeleng, karena memang itulah penilaianku tentang Melly sekarang ini.

"Kemarin Tiffany diving di kepulauan Sangihe ya." Tanya temanku Donny.

"Ya, ada gunung berapi bawah laut kan disana, Mahengetang. Kenapa?"

"Keren banget tuh cewek. Body kayak model VS, tapi berani menyelam ditempat begitu. Nyalinya gede banget." Balas Donny.

"Memang keren sih dia, nggak cuma pinter tapi logikanya jalan banget."

"Lo sama sekali nggak suka sama dia? Gue lihat waktu pesta Iwan, kalian gandengan." Tanya Ahmad.

"Gue sih biasa aja. Cuma kayaknya dia ada perasaan. Meski nggak terlalu kelihatan. Berapa kali minta ditemenin ke club meski sekedar minum. Sering bawain makanan juga ke kantor. Dan hampir semua yang dia bawa adalah kesuakan gue. Hasil tanya-tanya iseng saat lagi ngobrol di kantin."

"Respon elo?" tanya Iwan.

"Ya gue temenin, tapi nggak lama, paling sampai jam sebelas malam. Habis itu gue antar pulang."

"Jangan-jangan dengan sikap lo itu, dia merasa ada harapan. Bagaimana dengan Melly nanti?" tanya Iwan lagi.

"Gue belum memutuskan."

"Lo kayak ngasih harapan sama dua perempuan, bro. bisa saja menyakiti keduanya nanti."

"Apa gue tidak boleh berteman dengan siapapun saat sedang melakuakn pendekatan dengan seseorang? Siapapun perempuan itu harus mengerti bagaimana gue sebenarnya. Gue nggak akan mendua, tapi dia tetap harus tahu batasannya. Gue paling nggak suka sama perempuan yang cemburu nggak jelas."

"Yang pasti gue nggak mau kalau lo nyakitin Melly, dia terlalu baik untuk disakiti. Kalau memang masih ragu, jangan dekati dia. Mending gue kenalin sama orang lain."

"Lo nggak bisa memaksakan kehendak sama gue, bro. Belum ada hubungan apapun dengan antara gue sama Melly. Kalau lo mau kenalin dia sama orang lain karena merasa gue nggak layak buat dia, nggak masalah! Tapi jangan menuduh sesuatu yang lo nggak tahu kebenarannya!" balasku tak suka.

Aku bukan petualang, apalagi ingin mempermainkan perempuan. Pengalaman mami diselingkuhi papi sampai saat ini masih membekas. Aku hanya tidak suka saat seseorang menuduh sesuatu yang tidak pernah kulakukan.

"Gue nggak nuduh elo, tapi cuma mengingatkan, jangan sampai lo kejebak sama perasaan lo sendiri. Nanti lo pacaran sama Melly terus hati lo ternyata di Tiffany. Lo mau bagaimana? Siapa yang bakal lo pertahankan? Lo bakal nyakitin anak orang!" teriak Iwan.

"Sorry." suara seseorang menghentikan perdebatan kami. Dan Melly berdiri dengan anggun disana. Terlihat jelas dari wajahnya, kalau ia mendengar pembicaraan kami. Aku hanya bisa menghembuskan nafas kasar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top