7

Happy weekend... terima kasih buat komen dan votenya....  Rindu pada komentar kalian...

***

Bersepeda bersama papa masih sama mengasyikannya dengan ketika aku kecil. Meski staminanya jauh menurun. Kalau dulu kami bisa sampai ke Ancol, sekarang paling hanya 5 kilometer. Tapi senang rasanya melihat papa masih bugar diusia sekarang. Kuikuti dari belakang sambil menatap rambut yang sudah memutih tersebut. Berbeda dengan mami, papa anti mencat rambut. Selalu beralasan, uban itu membuat ia mengingat setiap waktu yang hilang dan terus mensyukuri apa yang telah datang.

Sampai akhirnya kami kembali ke rumah. Sejak beberapa tahun terakhir kami tidak pernah makan bubur diluar lagi. Karena papa pernah diare. Mami sangat marah ketika itu, dan aku merasa bersalah. Beruntung ada Lyo yang dengan sigap memeriksa papa. Sehingga sakitnya tidak terlalu serius. Tapi itu menjadi pembelajaran bagi kami sekeluarga.

Di meja makan sudah ada roti dan bubur gandum serta buah segar untuk kami. Mami memang sudah lama mengganti menu sarapan pagi. Aku hanya ikut-ikutan, lumayanlah bisa makan sehat dipagi hari. Karena setelahnya aku akan makan diluar. Kami menikmati sarapan bertiga, sampai kemudian mami membuka pembicaraan.

"Ud, bisa nggak kita berangkat ke rumah Lyo jam sebelas?"

"Boleh, nanti bangunkan aku ya. Habis ini aku mau tidur dulu."

"Baru olahraga kok tidur. Tadi malam selesai jam berapa?" tanya papa.

"Jam tigaan, habis itu nggak bisa tidur, aku nonton CNN sama Bloomberg. Tadi jam lima sudah sepedaan."

"Oh ya, Lyo mengingatkan tentang gadis yang mau dia kenalkan sama kamu waktu itu. Dia nanya respon kamu, mau ketemuan apa enggak?"

"Ya kenalkan aja, tapi aku nanti sore nggak bisa. Karena mau siaran."

"Jadi kapan ada waktunya dong?"

"Tumben mami mendesak. Biasanya paling santai? Hati-hati lho mi. apa mami nggak kesepian kalau aku tinggal menikah." Pancingku.

"Bukan untuk menikah, supaya kamu lebih tertata hidupnya."

"Memang hidupku sekarang bagaimana? Berantakan gitu?" balasku pura-pura protes. Meski sebenarnya hanya ingin tahu respon mami.

"Bukan, tapi lihat kamu sampai pagi nggak tidur karena kerja. Seharian juga di kantor. Kapan istirahatnya? Jangan lupa usia kamu sudah berapa? Nanti cepat penyakitan kamu."

Aku hanya tersenyum, kemudian bangkit dan mencium pipi mami.

"Aku baik-baik saja mi, jangan takut. Aku akan mencari kekasih untuk dijadikan  istri, ketika merasa bahwa perempuan itu memang cocok untukku dan mami. Aku nggak mau nanti seperti papi." Selesai berkata demikian, aku beranjak ke kamar.

***

Kami tiba dikediaman Kak Lyo yang mirip istana hampir saat makan siang tiba. Langsung disambut oleh Tante Serra, ibu mertua kakak yang sangat baik. Kemudian beliau memimpin langkah kami menuju kediaman kakak di lantai dua menggunakan lift. Lantai satu biasa dijadikan hall, karena luasnya. Entahlah bagaimana mereka merawat rumah sebesar ini.

Kedatanganku segera disambut oleh Andrea dan Calvin. Kugendong mereka bersamaan sambil tak lupa mencium pipi. Wajah keduanya sungguh menggemaskan dan sekarang terasa semakin berat. Kakakku sendiri sudah menunggu kami dengan wajah pucatnya.

"Lyo nggak mau makan dari kemarin, katanya nunggu rendang." Ucap mertuanya sedih.

"Kemarin waktu datang dia kok nggak ngomong, kan bisa saya buatkan."

"Nah itu, katanya segan, takut saya tersinggung. Padahal kalau lagi hamil kan sah-sah aja ya, mbak. Saya aja dulu waktu hamil Bara, selalu kepingin masakan ibu."

Aku suka pada Tante Serra. Tubuhnya mungil dan wajahnya masih sangat cantik. Tutur katanya lembut, menurut Kak Lyo disini tidak ada yang berani membantah kalimatnya. Termasuk Bang Bara dan seluruh penghuni rumah. Meski begitu, sikapnya tetap santun dan keibuan. Tidak terlihat bossy sama sekali. Rasanya kalau sampai yang membuat masalah dengannya, maka orang tersebutlah yang salah.

Awalnya itu menjadi menjadi batu sandungan dalam rumah tangga mereka. Kakak merasa Bang Bara terlalu menurut pada ibunya. Bahkan seakan mengabaikan kakakku sendiri. Namun semakin kemari, tampaknya mereka tidak punya masalah lagi. Kupikir kakakkulah yang terlalu manja dan belum bisa beradaptasi. Karena dari dulu Kak Lyo menjadi pusat kasih sayang papi, papa dan mami.

Kami kemudian makan bersama, dan benar, kakak tidak ada mual sama sekali. Bahkan ia menyantap lapis legit tiga potong setelah makan. Akhirnya kami semua berbincang di teras belakang.

"Ma, aku mau ngenalin Daud sama Melly yang menata kebun kemarin." Ucap kakak ke ibu mertuanya.

"Oh boleh, anaknya baik sekali lho, Daud. Tante suka sekali sama dia. Kapan ya kalian bisa ketemu?"

"Aku juga bilang begitu, ma. Kan sayang kalau gadis secantik dan sebaik dia nggak dikenalkan sama Daud. Sayang hari ini dia ada acara sampai sore. Terus Daud harus pulang   karena harus siaran."

Aku memilih diam saat kedua perempuan itu memuji Melly dihadapanku. Entah kenapa tiba-tiba terpikir untuk menuliskan sebuah pesan pada gadis itu.

[Lagi dimana? Masih di pesta? Aku lagi di rumah seseorang yang dari tadi sibuk ingin mengenalkan kamu dengan aku. Rasanya pingin teriak, bahwa aku sudah kenal kamu. Eh tapi iya kalau Melly yang dia sebut seorang florist itu adalah kamu. Kalau bukan, aku bisa jadi malu.]

Tak lama pesanku berbalas.

[Bisa jadi orang yang berbeda. Setahuku ada yang bernama Melly juga. Pemilik sebuah toko bunga di Jakarta, lagi dimana?]

Keinginanku untuk membalas segera tertunda saat Andrea dan Calvin naik keatas pangkuanku minta diajak berenang. Segera keinginannya mendapat penolakan dari Kak Lyo. Dan mengatakan mereka harus tidur siang dulu.

Aku sebenarnya ingin membantah, tapi apa daya. Rasanya setiap ibu tidak ingin dibantah oleh siapapun jika itu menyangkut aturan yang sudah dibuatnya. Akhirnya aku mengalah, meski nanti jam tiga sore aku harus ke studio. Untuk memandu sebuah acara debat mengenai berita politik terhangat minggu ini. Yang artinya aku akan mendapatkan protes dari duo kembar besok pagi. Mereka akan mengomeliku dan mengatakan Om Daud jahat! Padahal mereka tidak tahu saja, kalau yang jahat itu adalah mama mereka.

***

Aku sudah siap dengan pakaian rapi saat masuk ke studio dua. Disana sudah ada dua orang tamu yang akan siap dengan pendapat berbeda. Yang satu adalah politikus sekaligus pengacara. Dan yang satu lagi merupakan aktivis LSM yang terkenal vokal.

Aku mengenal keduanya dengan baik. Kemudian menyapa mereka sambil menyampaikan kembali topik yang akan kami bicarakan. Mereka mengatakan sudah siap. Aku hanya tertawa kecil. Dan segera duduk dikursiku saat lampu kamera sudah berubah warna. Perdebatan mala mini akan berlangsung seru. Mengingat keduanya sangat tajam dalam menyampaikan pendapat.

***

Kutonton acara Daud secara live streaming melalui ponsel. Sengaja memasang headset agar tidak ada yang mendengar. Aku malu pada papa, jangan sampai ia tahu kalau aku sedang menstalker Daud. Meski sebenarnya masih sedikit kesal karena ia tidak membalas pesanku tadi siang. Kali ini kami menggunakan sopir karena papa sudah kelelahan. Sementara mama memutuskan untuk menginap di rumah adikku.

Kulihat bagaimana Daud mampu bersikap netral ditengah panasnya perdebatan. Apalagi salah seorang peserta terlihat sangat tidak puas ketika argumennya selalu dipatahkan oleh pihak lawan. Kuakui, jam terbang tinggi membuat Daud terlihat sangat matang dalam mengendalikan emosi. Aku saja kalau berada disana pasti sudah marah. Apalagi ketika beberapa umpatan yang diucapkan dengan kata yang sedikit halus.

Sampai kemudian Daud meminta keduanya memberikan closing. Suasana panas sedikit reda, meski tetap saja ada yang terus bicara meski Daud sudah mengatakan bahwa waktu mereka sudah habis. Aku mematikan ponsel sambil tersenyum.

Baru kali ini aku mengikuti ia membawa acara dari awal sampai akhir. Tadinya berita dan perdebatan bukanlah kesukaanku. Lebih suka mendengarkan musik atau menonton film romantis. Papa benar bahwa aku bagai katak dalam tempurung sekarang. Yang kutahu hanya bunga, bunga dan bunga. Bahkan kalau papa tidak membicarakan tentang pergantian presiden Amerika, aku belum tentu tahu. Sifat yang satu ini kadang membuatku harus lebih banyak diam saat bertemu dengan teman-teman. Karena harus menyimak pembicaraan mereka dengan seksama baru kemudian bisa berkomentar.

Kami tiba dirumah saat waktu menunjukkan pukul Sembilan lewat. Pak Ahmad sopir papa langsung pamit pulang. Aku mengantar papa ke kamarnya terlebih dahulu baru kemudian memasuki kamarku sendiri. Dari tadi papa mengeluh sakit kepala. Selesai mandi aku kembali menuju kamar orangtuaku untuk memberi obat dan juga segelas air hangat.

"Terima kasih, Mei." Ucapnya.

"Papa mau Mei temani?"

"Nggak usah, minum air hangat seperti ini sudah membuat papa baikan."

Aku pamit setelah mengucapkan selamat malam. Dan berjanji dalam hati akan mencek kembali saat tengah malam nanti. Entah kenapa aku lebih dekat dengan papa daripada mama. Mungkin karena papa tidak suka mengomel dan lebih perhatian padaku.

Sesampai dikamar, lampu ponselku berkedip, tanda ada notifikasi masuk. Ternyata Daud.

[Sorry tadi nggak balas pesan kamu. Diajakin nemenin tidur siang sama si kembar. Tapi jangan khawatir yang kusebut si kembar disini adalah keponakanku yang baru berusia empat tahun. Mereka sangat menggemaskan. Setelah itu aku langsung persdiapan siaran.]

Aku tersenyum,

[Nggak apa-apa, aku juga tadi sibuk.]

Segera kurebahkan tubuh di kasur. Karena tidak ada balasan lagi, aku segera memejamkan mata. Hari ini benar-benar melelahkan. Selain sibuk menyapa keluarga, kembali telingaku harus lebih tebal daripada hari biasa. Karena bertemu dengan sepupu mama dan papa.

Ada seorang Budhe yang tadi ingin mengenalkanku pada seseorang. Namun segera mendapat balasan sinis dari keluarga lain yang terkenal nyinyir.

"Ndak usah ngenalkan sama, Melly. Nanti juga ditolak. Dia kalau bukan orang kaya raya pasti Ndak mau. Meski akhirnya harus putus dan berujung di rumah sakit."

Wajahku seketika memerah, bahkan mama sampai meninggalkan ruangan dengan alasan menemui papa. Mungkin beliau malu. Aku hanya bisa tersenyum sedih. Dua kali berpacaran dengan pria yang memiliki nama belakang ternama membuat banyak orang berpikir negatif tentangku.

Kembali terbayang saat berpacaran dengan Chandra. Pria yan terlihat sangat santun itu ternyata menyimpan masalah dengan emosinya. Bukan hanya dengan kata-kata, bahkan ia kerap menyiksa fisikku. Awalnya cuma cubitan yang membuat lenganku membiru. Belum lagi ancaman dan tamparan. Entah kenapa saat itu aku masih bertahan. Tapi yang terakhir, ia marah besar karena aku menolak bertemu dengannya, karena memang sudah lelah menjadi sasaran pelampiasan emosinya.

Aku tersiksa dengan sikap ringan tangannya. Sebelumnya tidak ada yang percaya karena ia selalu bersikap manis di depan orangtuaku. Bahkan ketika itu mama sangat mendukungnya. Ia kemudian menemuiku di kebun. Lalu memukuliku disana karena tidak bersedia menerima ajakannya untuk keluar membicarakan masalah kami. Beruntung ada beberapa karyawan laki-laki yang membantuku dan tidak peduli pada ancamannya.

Aku harus dirawat di rumah sakit. Kejadian tersebut langsung ditangani keluarganya. Dan entah bagaimana kedua orangtuaku bersedia berdamai. Namun sejak itu sampai beberapa bulan, papa selalu menemaniku di kebun!

***

Happy reading

Maaf untuk typo

301020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top