6

Aku baru saja memarkirkan mobil di garasi saat  papa muncul.

"Ud, besok pagi kamu siaran?"

"Nggak, pa. kenapa?"

"Mau ajak sepedaan. Keliling sini aja."

"Boleh, bangunin ya. Kayaknya malam ini aku tidur larut. Mau edit video."

"Ok, kalau begitu nanti sepedanya papa periksa dulu."

"Sip, mami mana?"

"Lagi masak dibelakang. Kakakmu kepingin makan rendang katanya."

"Kayak orang ngidam aja."

"Memang lagi hamil, kan?"

"Masak sih, pa? kemarin nggak ada cerita waktu kemari."

"Mungkin lupa ngomong sama kamu."

"Seru nih bakal ada keponakan baru. Aku masuk dulu ya pa."

"Iya, kalau perlu bantuan nanti malam panggil papa."

Aku hanya mengangguk kemudian bergegas mencari mami.

"Hai mi, aku pulang." Bisikku sambil mencium dan memeluk mami dari belakang.

"Hai, kok pulang malam?"

"Baru ketemuan sama teman. Mami masaknya banyak?"

"Lumayan, kamu juga suka kan?"

"Suka sih,"

"Besok siang antar mami dan papa ke tempat kakakmu ya. Sekalian kangen sama si kembar."

"Boleh, tentukan saja jamnya."

"Tadi kamu ambil kue lapis legit mami buat apa?"

"Oh, untuk makan teman di kantor." Jawabku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Yakin kamu untuk di kantor? Kok sepertinya ada yang kamu sembunyikan?"

"Nggaklah, biasa saja." jawabku sambil menjauh. Jangan sampai mami tahu apa yang tengah kulakukan. Bukan mami dan papi yang kutakutkan, tapi Lyo si perempuan super heboh. Ribet nanti urusannya kalau sampai tahu bahwa aku sedang mendekati Mellisa. Karena mami pasti akan cerita ke Kakak.

Kumasuki kamar dengan santai. Kemudian menyalakan lampu juga PC. Malam ini aku harus selesai mengedit video. Supaya besok bisa bersepeda dan mengunjungi Kak Lyo. Jadi tidak harus dikejar lagi oleh pekerjaan.

***

Kuletakkan Lapis legit oleh-oleh Daud di meja makan. Papa yang baru datang dari belakang bertanya.

"Beli dimana, Mei?"

"Dibawain pelanggan tadi, Pa."

Mami yang terlihat menyusul dari belakang segera mendekat.

"Sepertinya buatan sendiri. Karena itu kan kotak kue rumahan? Aromanya beda banget. Pasti enak."

"Kurang tahu, aku ke kamar dulu ya ma." Jawabku, enggan menaggapi. Takut mami akan bertanya lebih jauh.

"Oh ya, itu ada undangan pernikahan dari Ardy mantan kamu, minggu depan di Hotel Mulia. Mami taruh di kamar."

Aku hanya menarik nafas panjang dan memilih berlalu. Ardy adalah satu pria yang dulu dekat denganku. Hubungan kami cukup lama. Berpisah karena berbeda keyakinan. Meski sudah berusaha untuk mencari jalan keluar terbaik, sayang keluarga tidak menyetujui. Jadilah perpisahan menjadi pilihan.

Kuraih undangan mewah yang ada diatas meja. Disana ada foto kedua calon mempelai. Terlihat mesra, bahagia dan serasi. Kembali kuletakkan undangan tersebut. Entah apakah akan datang atau tidak. Tapi rasanya ia memilih mengirimkan hadiah saja. karena tidak nyaman bila harus kesana. Mengingat hampir seluruh keluarga besar pria itu mengenalku dengan baik.

Teringat janji yang diucapkan Ardy.

[kalau kita saling mencintai, Tuhan pasti buka jalan.]

Sayang kenyataannya kami justru berpisah. Tapi aku tidak menyesal. Hanya saja merasa malas kalau nanti menjadi perhatian banyak orang. Apalagi hubunganku dengan orangtua dan keluarganya masih baik sampai saat ini. Dimanapun kami bertemu, tetap saling sapa dan bertanya kabar. Tidak enak nanti dengan istri Ardy.

Kutatap langit-langit kamar. Empat bulan lagi usiaku sudah 31 tahun. Dan sampai sekarang belum terlihat tanda-tanda bahwa aku akan mengakhiri masa lajang. Sementara para mantan kekasihku sudah menikah semua. Rasanya ingin menangis, melepaskan sesak. Ada rasa malu dan sedih yang bercampur jadi satu. Masih asyik dengan lamunan, sebuah pesan masuk ke ponselku.

Daud

[Selamat tidur].

Aku tersenyum, kebetulan ada seseorang yang bisa membuatku mengalihkan perhatian. Aku segera membalas.

Kok belum tidur?

Daud

[Aku masih kerja. Kalau belum ngantuk aku mau kirim satu video. Kamu yang pertama menyaksikan ini. Aku mau minta pendapat kamu kalau boleh.]

OK. Jawabku singkat.

Tak lama, sebuah video masuk ke WAku. Kutonton dengan serius. Menceritakan kegiatan sehari-hari seorang anak diperkampungan nelayan ditepi pantai. Terlihat sangat natural. Bagaimana anak laki-laki tersebut bangun tidur, mengambil air untuk ibunya memasak. Mencuci piring sambil menggendong adiknya dibelakang. Sampai kemudian berangkat ke sekolah.

Setelah pulang, anak tersebut langsung menuju tempat pengupas kerang. Disanalah ibunya bekerja. Diantara banyak lalat ia makan siang sambil menjaga adiknya. Saat sang adik tertidur, ia membantu ibunya mengupas kerang. Sampai kemudian mereka pulang pada sore hari setelah menerima upah. Sang ibu kemudian membeli setengah kilo beras, sedikit minyak, gula dan sabun. Karena hanya itu pendapatan harian mereka.

Aku tersentuh menatap video tersebut. Tiba-tiba kesedihan dan kekecewaan tentang jodoh selama ini lenyap. Tontonan yang lebih mirip film dokumenter tersebut malah membuatku merenung. Betapa beruntungnya hidupku selama ini. Kembali ku rewind video tersebut. Menyaksikan rumah berdinding papan yang sudah bolong-bolong. Juga atap seng yang tidak jauh berbeda. Kubayangkan saat hujan. Tidak ada kamar mandi. Pakaian sekolah yang berwarna kuning dan kusut. Namun semangat terlihat jelas dimata anak itu.

Segera kuhubungi Daud.

"Terima kasih atas videonya. Aku nangis nontonnya. Lihat wajah anak kecil yang selalu tersenyum meski kehidupannya seperti itu."

"Aku berencana mengikutsertakan film itu ke sebuah ajang festival film dokumenter. Karena itu masih maju mundur untuk mensharenya. Salah satu syarat, belum pernah dipublikasikan"

"Kamu sutradaranya?"

"Bisa dibilang begitu. Karena sebenarnya itu hasil kerja sebuah tim. Aku juga sebagai pemilik konsep dan produser."

"Kamu kenal anak itu dan ibunya?"

"Kenal nggak sengaja sebenarnya, saat aku melakukan liputan untuk acaraku, di sebuah perkampungan nelayan. Aku bertemu dia, yang sore itu membeli sebuah mie instant di warung. Ya, ayahnya di penjara karena narkoba. Tapi kemudian meninggal di dalam penjara."

"Apa yang bisa kulakukan untuk mereka?"

"Kalau mau, kamu bisa menjadi ibu asuh bagi pendidikannya. Atau mengajarkan ketrampilan lain pada ibunya agar ia bisa mencari nafkah yang lebih baik lagi. Karena pekerjaan mereka tergantung musim. Itu juga kalau kamu punya waktu, tidak ada paksaan disini."

"Aku mau." Jawabku tegas.

"Kamu yakin? Ini bukan pekerjaan sehari dua hari Mel, ini akan berlangsung dalam hitungan bulan, atau bahkan tahun."

"Aku kosong dihari minggu."

"Keterampilan apa yang kamu bisa selain merangkai bunga?"

"Aku bisa mengajarinya membuat cilok, atau somay, intinya adalah jajanan anak-anak. Berbahan dasar  kepala udang sebagai ganti penyedap. Berbisnis meski kecil-kecilan jauh lebih baik daripada bekerja seperti itu. Anaknya ada dua orang, dan butuh biaya untuk membesarkan mereka."

"Kalau seperti itu, sebaiknya dilakukan berkelompok. Ada seorang temanku yang memiliki yayasan yang fokus pada pemberdayaan kaum perempuan. Kamu bisa bergabung dengan mereka. Asal kuat panas-panasan saja."

"Aku sudah melakukan itu untuk beberapa warga disekitar kebun. Jangan lupa latar belakang pendidikanku adalah guru."

Terdengar tawa Daud diseberang sana.

"Kamu sejak kapan perhatian pada hal seperti itu?" tanyaku.

"Sejak SMP. Pertama lihat yang dilakukan orangtua papaku, mereka sering berbagi. Kemudian mengalir begitu saja sih. Kamu?"

"Saat memutuskan menekuni hobi sebagai pekerjaan. Ada yang hilang dari kehidupanku. Tapi kembali bahwa bisnis harus ditekuni Karena modalnya kan nggak sedikit. Apalagi papa sampai membelikan tanah untuk usahaku. Aku tidak mungkin mengecewakan papa.

Tapi karena aku sangat suka mengajar. Rasanya selalu rindu pada wajah-wajah yang terpaku menatapku saat bercerita. Melihat bagaimana mereka berantem kemudian akur kembali. Sapaan selamat pagi dan siang. Kepuasan batin itu tidak bisa ditukar dengan uang.

Jadilah aku melakukan dengan cara sendiri. Misal mengajarkan istri karyawan seni merangkai bunga. Atau kemarin mengajar masak untuk kegiatan PKK ibu-ibu dikelurahan. Hal kecil sih, tapi senang aja saat melihat wajah mereka bahagia."

"Menyenangkan ya, Mel. Saat hidup kita bisa berguna untuk kemajuan orang lain."

"Sangat, tapi kamu lebih hebat. Bisa kerja ditelevisi dan disaksikan jutaan orang. Sesuatu yang menjadi mimpi banyak anak muda. Dan akhirnya bisa menginspirasi para penonton kamu. Apa memang cita-cita sejak kecil?"

"Sebenarnya nggak sengaja sih. Lulus kuliah di Hubungan Internasional. Nggak tahu mau ngapain. Akhirnya coba-coba melamar di sebuah Job fair. Awalnya tidak kepikiran jadi jurnalis, tapi keterima disana. Hanya saja dari kecil memang aku orangnya kritis, dan selalu mau tahu. Kebiasaan dari rumah sih sebenarnya.

Habis itu melewati banyak tahap perekrutan. Kerja dilapangan dulu. Panas-panasan, kehujanan, menyaksikan langsung sebuah kejadian, dan kita punya akses langsung itu menarik banget. Mencoba menggali informasi pada orang sekitar dan pihak terkait. Menunggu nara sumber untuk diwawancarai sampai tengah malam. Nongkrong bareng teman-teman jurnalis di depan pagar. Sebuah pengalaman hidup yang tidak telupakan. Dan tidak tergantikan oleh uang."

"Tapi penghasilan kan mengikuti kerja keras."

"Kalau yang itu aku setuju. Usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Tapi jangan lupa, ada kerja keras, semangat dan pantang menyerah didalamnya. Kamu pernah putus asa?"

"Pernah, saat mencari-cari celah untuk memasarkan bunga dan bibit. Sampai capek mengadd friend di sosial media. Ditipu orang, bibit yang membusuk saat sampai ditangan pembeli karena salah pengepakan. Teman yang batalin pesanan seenaknya padahal bunga sudah sampai di depan rumahnya. Tapi itu semua pembelajaran sih buat aku.

Awalnya dulu suka nangis, apalagi saat lihat pembukuan yang nggak jelas kapan bakal untung. Tapi lumayan sih, semenjak tahun ketiga, semua mulai stabil. Bisa menggaji orang tepat waktu. Sampai kemudian menemukan celah lain, seperti penyewaan tanaman hias juga merambah ke pembibitan anggrek. Artinya mata harus semakin jeli melihat peluang."

"Aku salut lihat kamu. Terutama tadi malam. Capek kerja tapi masih sempat masak."

Aku tertawa lepas. Seolah beban berat tadi semua lenyap.

"Aku suka makanan rumah. Kalau makan diluar sesekali saja. kebetulan tadi malam mama dan papa ada acara. Jadi sudah pasti tidak ada makanan di rumah. Karena ada kamu, aku masak itu juga cuma sedikit. Balado doang."

"Tapi aku suka, masakan kamu tidak terlalu manis."

Kami masih berbincang tentang banyak hal. Sampai akhirnya Daud mengingatkan.

"Oh ya sudah hampir jam dua pagi, Mel. Sorry banget sudah ganggu istirahat kamu."

"Nggak apa-apa. Aku malah nggak punya teman ngobrol sekarang, kadang insomnia juga. Kamu besok ada acara?"

"Ada janji sama papa mau sepedaan. Siangnya mau ke rumah kakakku. Ya sudah kamu tidur, gih. Besok ada acara ponakan kamu itu kan?"

"Iya, aku harus berangkat pagi."

"Kalau begitu selamat malam, Melly. Senang bisa bermalam minggu sama kamu."

"Oh iya, ini malam minggu ya?"

"Pasti kamu nggak punya pacar, sampai lupa sama hari."

"Iya benar, tapi makasih sudah menemani. Selamat tidur juga." Balasku sambil tertawa.

"Mimpi indah ya, good night."

"Good night." Balasku sambil tersenyum sendiri.

Berbincang selama beberapa jam bersama Daud membuatku lupa waktu. Sudah berapa lama tidak seperti ini? Akhirnya kuraih bantal guling dan berusaha memejamkan mata. Tapi entah kenapa rasanya semakin sulit.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

301020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top