4
Ada yang ingat waktu Vera ultah, dan Nico sedang di rumah orangtuanya? Kok saya jadi senyum sendiri membayangkan adegan itu ya? Nicoooooo... masih ada satu nggak dimuka bumi ini yang kayak kamuuuu...
Dan baru nyadar, Daud itu ngeselin banget ya waktu kecil. Suka ganggu papa Nico sama Mami Vera kalau lagi berduaan.
***
Jujur sebenarnya jantungku berdegup kencang. Bukan apa-apa, karena malam ini Daud malah mengantarku pulang ke Bogor. Ya Tuhan, mimpi apa semalam? Katakanlah aku kegeeran, tapi setelah setahun lebih tidak pacaran. Wajarkan ada harapan lebih? Meski akhirnya harus sedikit kuredam agar rasa itu tidak tumbuh terlalu cepat. Takut kalau sebenarnya Daud terpaksa. Atau sekedar tidak enak kalau melihat ada perempuan pulang tengah malam sendirian. Kan, tipe laki-laki ada banyak?
Kenapa? Tadi aku melihat bagaimana seorang Tiffany bersikap disamping Daud. Meski mengerti bahwa lingkup pergaulan mereka memang seperti itu. Tapi ada rasa tidak nyaman. Padahal keduanya terlihat santai. Apa Tiffany tidak ada rasa pada Daud? Yang setahuku masih satu kantor. Atau malah Daud yang seperti pria kebanyakan, susah menentukan pilihan.
Aku jelas tidak ada apa-apanya jika harus dibandingkan dengan Tiffany. Dia cantik, pintar, terkenal dan memiliki segudang prestasi. Sementara aku? Oh my God, hanya seorang penjual bunga yang kebetulan dikenal banyak orang. Jadi apa sebenarnya alas an pria itu? Hanya karena ingin pulang cepat? Jarak Jakarta-Bogor jelas tidak dekat. Apalagi pakai acara menyetir sendiri.
Kutatap dari kaca spion sekilas, mobilnya masih mengikutiku. Meski sebenarnya sedikit lega, apalagi saat melewati jalan tol seperti ini. Kadang aku takut kalau harus sendirian di dalam mobil. Daud masih mengendarai dengan kecepatan stabil. Dengan jarak sekitar lima meter dari mobilku.
Tak lama kami keluar dari tol dan langsung menuju ke kompleks rumah. Kubunyikan klakson, Daud membalas dengan menyorotkan lampu yang artinya Ia mengerti aba-abaku. Kami sudah hampir sampai. Segera kuhubungi papa, menyatakan kalau aku sebentar tiba di rumah. Biasanya papa yang akan membukakan gerbang untukku. Ia tidak akan tidur kalau aku belum pulang.
Sekitar tiga menit kemudian kami sudah sampai. Segera satpam perumahan membukakan pintu untukku.
"Mang, yang dibelakang satu ya. Teman saya."
"Iya, neng."
Kembali kujalankan mobil setelah mengucapkan terima kasih. Sampai kemudian tepat berada di depan rumah. Mobil Daud kemudian berhenti dibelakang mobilku. Papa sudah menunggu didepan.
Aku turun dari mobil. Kemudian memperkenalkan mereka.
"Pa, ini Daud. Tadi dia disuruh Ayana dan Iwan antar Mei pulang." Ucapku.
"Selamat malam, om." Sapa Daud ramah sambil mengulurkan tangannya..
"Selamat malam. Terima kasih sudah mengantar Mei. " balas papa menyambut uluran tangan pria di depannya. Hal yang biasa dilakukan saat ada laki-laki mengantarku pulang. Tapi jangan ditanya setelah itu, papi lebih mirip singa dalam menjaga anaknya.
"Kalau begitu saya pulang dulu, om."
"Pulang kemana?"
"Ke Jakarta."
"Kamu orang Jakarta? Apa nggak kejauhan? Ini sudah mau jam satu pagi." Tanya papi kaget.
"Nggak apa-apa, kalau malam sih cepat. Kan nggak macet."
"Atau menginap disini saja dulu? Nanti kamu ngantuk bahaya."
"Tidak usah, saya biasa tidak tidur malam."
Papa kemudian seakan meneliti wajahpria itu lekat, dan akhirnya tersenyum lebar.
"Kamu Daud Hutama yang pembaca berita itu bukan?"
Mendengar pertanyaan papa, wajah Daud terlihat sumringah.
"Iya om. Makanya saya harus pulang karena besok ada siaran pagi."
"Wah, setiap pagi saya selalu menonton kamu siaran. Saya senang kalau kamu yang bawa acara. Apalagi kalau wawancara tokoh politik."
"Saya senang sekali kalau om suka. Kalau begitu pamit dulu. Karena jam empat saya sudah harus berangkat ke studio."
"Saran om kamu istirahat saja sebentar disini. Setelah itu baru berangkat langsung. Tidak ada apa-apa kok. Lagi pula masih ada kamar kosong. Nanti om yang bangunkan. Saya biasa bangun pagi."
Daud menatapku seakan minta persetujuan, aku hanya mengangguk. Kemudian pria itu ikut masuk kedalam rumah. Baru kali ini papa sepertinya respect terhadap teman laki-lakiku. Bahkan sampai mengajak istirahat di rumah, padahal baru pertama bertemu. Aku lantas mengekori mereka dari belakang.
"Kamu tidur saja, biar papa yang menunjukkan kamar nak Daud." Ujar papa.
Aku hanya mengangguk, kemudian masuk ke dalam kamarku sendiri. Baru saja menutup pintu, teringat bahwa kasur di kamar tamu belum diberi sprei. Bergegas aku mengambil sprei dan membawanya kembali ke kamar tamu. Dan benar, disana papa terlihat kebingungan.
Segera kupasang kain penutup kasur dan juga sarung bantal. Kemudian pamit keluar.
***
Gila, ada apa sampai papa Melly memintaku untuk istirahat disini? Berbagai pertanyaan memasuki kepalaku. Kutatap langit-langit kamar. Bukannya tidur aku malah berkhayal. Takut kalau nanti malah orangtua gadis itu berpikir bahwa aku adalah calon menantunya. Oh God, please help me. Bisikku dalam hati.
Kulirik jam dipergelangan tangan, sudah hampir pukul 1.30 pagi. Kupejamkan mata berharap bisa tidur sejenak. Apalagi udara disini cukup dingin. Entah berapa lama tertidur, seseorang mengetuk pintu kamarku.
"Nak Daud, sudah lewat jam tiga."
Aku yang memang sangat mudah terbangun dengan sigap bangkit dari atas tempat tidur lalu membuka pintu.
"Terima kasih pak. Kalau gitu saya pamit dulu."
"Ini kamu minum dulu tehnya. Supaya perutmu hangat."
Kuterima segelas teh manis dari tangannya. Kemudian membawa ke ruang depan untuk memakai sepatu.
"Pamitkan saya ke Melly ya, pak."
"Iya, nanti saya sampaikan."
Aku kembali menyeruput tehku baru kemudian masuk ke mobil dan menuju Jakarta.
***
Aku bangun pukul lima pagi dan menyadari kalau Daud sudah pulang. Karena pintu kamar tamu yang terletak didepan kamarku sudah terbuka. Rumah ini memang cukup besar. Dulu papa bekerja di Departemen Keuangan. Rumah ini dibeli sebelum beliau pensiun, hanya untuk tempat beristirahat sebenarnya. Papa dan mama jarang tinggal disini. Karena adikku Rudi sudah menikah. Kadang mereka disana untuk menjaga cucu. Lebih sering tinggal di Solo, dekat dengan keluarga mereka..
Aku yang meminta keduanya menginap disini karena merasa tempat ini terlalu besar untuk kutinggali sendiri. Meski ada dua orang pembantu rumah tangga. Kulangkahkan kaki ke dapur. Mama sudah bangun memasak sarapan.
"Pagi ma, papa kemana, ma?" tanyaku sambil mencium pipinya.
"Nonton Tv, lagi nunggu berita. Tadi malam katanya Daud yang biasa siaran pagi menginap disini sehabis mengantar kamu?"
"Iya, papa yang minta."
"Kalian baru kenal?"
"Ya, dikenalkan Ayana waktu pesta. Kenapa, ma?"
"Nggak apa-apa, apa dia tertarik sama kamu?"
Kuputar kedua bola mata. Yakin, sebentar lagi nyanyian lagu rutin akan terdengar.
"Kamu sudah tiga puluh lebih. Mulailah mencari yang serius. Kamu itu cantik, berpendidikan, mandiri. Mosok sih susah cari suami? Makanya jangan pilih-pilih. Kalau sudah cocok langsung menikah. Kamu perempuan lho, ada batas masa subunya. Makanya dulu mama nggak suka waktu adikmu melangkahi. Ya begini ini, kamu jadi jauh jodohnya."
"Bukan jauh jodoh, ma. Memang belum ketemu. Nanti kalau aku sembarangan bawa orang, mama pasti pasti protes." Kalimat pembelaan diriku juga masih sama.
"Ya itu sekarang ada Daud yang ngantar tadi malam? Kenapa kamu tidak mendekati? Nggak usah malu, siapa tahu cocok. Kamu selama ini cuma menunggu saja, kapan dapatnya?"
Aku seketika kesal dengan omelan mama.
"Aku saja baru kenal sehari, masak menanyakan keseriusan orang. Nggak etis, ma."
"Kalau laki-lakinya potensial seperti dia, ya wajar kan. Jangan terlalu pasif. Jodoh itu nggak akan datang kalau kamu cuma tahunya rumah dan kebun. Itu salah satu alasan mama dulu nggak suka saat papamu beli kebun."
Aku benar-benar kesal pada omelan mama.
"Mama kok kayak takut sekali aku nggak laku?"
"Lha iya, kamu umur berapa sekarang. Mantan-mantanmu juga nggak ada yang benar. Yang cemburuanlah, yang suka memukul sampai kamu masuk rumah sakit. Yang selingkuh sama teman rekan bisnisnyalah. Ada yang bagus, eh putus juga. Selalu saja salah memilih. Masak sih tidak ada pria baik diluar sana? Kemarin dijodohin kamu nggak mau. Makanya kalau ada laki-laki yang suka, jangan lagi mikir macem-macem. Turunkan standard kamu. Sekarang kamu maunya bagaimana?"
"Cari yang cocok lah, ma."
"Kalau cari yang cocok, sampai mati kamu nggak akan ketemu. Karena nggak ada pasangan yang benar-benar cocok. Yang namanya menikah itu menerima kekurangan dan kelebihan pasangan. Ada yang baik, berbeda sedikit saja kamu sudah menyerah. Kapan menikah kalau begitu?" omel mama.
Aku hanya diam, beruntung tak lama papa masuk ke dapur. Ia membelai bahuku pelan. Kemudian dengan matanya memberi kode agar aku pergi.
"Mau kemana kamu?" bentak mama.
"Mandi, ma. Langsung mau ke kebun. Banyak pesanan karena sudah kutinggal dua hari."
"Makanya jadi perempuan itu jangan terlalu mandiri juga. Kamu merasa tidak butuh laki-laki. Mentang-mentang sudah punya uang sendiri, menganggap remeh orang lain. Siapa laki-laki yang betah sama kamu."
"Ya sudahlah ma, kasihan anaknya pagi-pagi sudah kena omel. Kamu tuh nggak capek apa dari dua tahun lalu ngomong begitu terus?"
Samar masih kudengar suara papa membelaku. Memang rasanya sedikit jengkel ketika bangun pagi harus mendengar omelan. Bisa jadi mood sepanjang hari akan memburuk. Kadang rasanya mau menangis, saat mendengar komentar orang bahwa aku terlalu pilih-pilih sampai akhirnya salah memilih. Bahkan beberapa pria yang dijodohkan denganku sudah menikah dan punya anak. Malah kelihatannya hidup mereka adem.
Karena itu mungkin mama malu pada teman atau keluarga yang pernah menjodohkan putranya denganku. Tapi mau bagaimana lagi? Hati kan tidak bisa dipaksa? Rasanya aku memang butuh kegiatan untuk bisa mengalihkan emosi yang memuncak. Kubuka pintu ruang tamu, dan segera membuka sprei. Saat akan kutaruh dibelakang, aroma parfum Daud mampir di indra penciumanku. Entah apa merk parfumnya. Tapi aku suka karena tidak terlalu kuat.
Akhirnya setelah membereskan kamar, aku mandi. Berdandan sedikit dan siap untuk ke kebun. Di meja sudah ada sarapan untuk kami semua. Mama memang hebat, meski sambil mengomel citarasa masakannya tidak berubah. Apa semua ibu-ibu seperti itu? Tapi beruntung aku tidak bertemu dengannya. Mungkin sedang jalan pagi keliling kompleks bersama tetangga sebelah, Eyang Puspito, begitu aku biasa memanggil. Orangnya ramah dan baik. Sering mengirimkan makanan saat aku sedang sendirian di rumah. Mungkin sebagai balasan karena aku sering memberikan bunga mawar padanya.
Selesai sarapan aku pamit pada papa yang tengah menonton televisi.
"Pa, Mei berangkat ya. Bilangin pamit sama mama."
"Iya, hati-hati. Nanti siang papa kesana."
Aku hanya mengangguk dan pergi setelah mencium pipinya. Papa memang suka berkebun. Mungkin karena itu, ia lah orang yang paling mendukung hobby menjadi pekerjaanku.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
26020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top