3

Kutatap Iwan yang sudah mengenakan pakaian pengantin. Berbeda dengan sosok yang sehari-hari selalu mengenakan jeans dan kaos saat bekerja. Ia terlihat siap menghadapi hari ini. Meski masih ada kecemasan membayang diwajahnya.

"Udah, lo santai aja." Ucapku.

"Gimana mau santai, gue mau menghalalkan anak orang pagi ini. Kalau sampai lupa mengucapkan ijab Kabul, habis gue."

"Kan udah lo hapal juga dari kemarin. Pasti bisa lah."

"lo sih enak, biasa menghapal script dan ngomong di depan banyak orang. Nah, gue?"

Aku tertawa kemudian menepuk bahunya pelan. Dia bukan orang pertama yang kulihat seperti itu. Rata-rata calon pengantin pria akan nervous saat berhadapan dengan ayah kekasihnya. Kucoba sedikit mengalihkan perhatiannya.

"By the way, cantik juga ya temannya Ayana, si Mellisa itu."

"Kan gue udah bilang dari kemarin, lo nggak percaya sih."

"Semoga nanti gue bisa jalan disamping dia, mau lihat langsung."

"Tenang semua sudah diatur Ayana." Balasnya sambil tersenyum. Aku lega, akhirnya Iwan sudah lebih nyaman. Tak lama, rombongan kami dipanggil untuk ikut berbaris bersama keluarga. Orangtua Iwan juga sudah memasuki kamar. Siap untuk mengantar putra mereka menuju pelaminan.

Aku ikut dibarisan belakang. Kami menyusuri lorong hotel dan harus memasuki lift berbeda. Karena Iwan memang lebih dahulu memasuki ruangan. Sampai kemudian bertemu dengan rombongan bridesmaid sehingga kami masuk bersama.

Aku berjalan disisi perempuan yang bernama Melly. Dari samping dia boleh juga. Putih, tinggi dan yang membuatku tertarik adalah, sekilas mirip mami. Lekuk tubuhnya bolehlah, terlihat jelas dari kebaya yang sangat pas melekat. Kulitnya juga terlihat bercahaya, tipe perempuan yang tanpa make up pun sudah cantik. Yang paling menarik perhatianku adalah mata bulan sabit dan hidungnya.

Tapi nantilah, aku belum sempat berbincang dengannya, secantik apapun perempuan kalau attitudenya tidak bagus dan tidak nyambung diajak ngobrol aku akan mundur. Akhirnya rombongan kami memasuki ruangan, lalu duduk di kursi yang telah disediakan. Kulirik Melly yang berkali-kali mengusap airmata sambil menatap pelaminan. Aku tahu ada rona bahagia disana. Dan sangat khas perempuan disaat seperti ini. Menangis terharu!

Aku sudah sering menyaksikan itu, entah dilakukan mami ataupun Kak Lyo. Dan yang paling membuat mereka heboh setelahnya adalah tentang eyeliner. Jadi segera kuangsurkan sapu tangan yang biasa ada disaku.

"Hapus airmata kamu. Sayang kalau eye linernya nanti luntur."

Melly menatapku sekilas, ada sinar tak percaya disana. Namun akhirnya bibir itu tersenyum sambil mengucapkan, "terima kasih."

Kembali kamu fokus pada acara di depan sana yang baru dimulai. Kami semua menjadi saksi saat Iwan mengucapkan akadnya hanya dalam satu tarikan nafas. Aku ikut lega, demikian juga seluruh hadirin. Acara selanjutnya adalah penandatanganan buku nikah, kemudian foto bersama. Tidak butuh waktu lama, sesi pertama selesai.

Kemudian pengantin diarak menuju sebuah pelaminan kecil yang sudah disiapkan. Untuk melakukan prosesi adat sunda. Kami hanya menyaksikan dari jauh. Aku sendiri tidak terlalu tertarik karena seseorang disampingku jauh lebih menarik.

"Kamu, Melly kan?" sapaku.

"Ya, kamu Daud, kan?"

Aku tersenyum. "Ya, setahuku namaku belum berubah. Iwan ada cerita tentang kamu."

Ia melirikku sekilas, ada tawa kecil yang sengaja ditahan. Ternyata ia juga memiliki lesung pipi. "Ayana juga cerita, senang berkenalan dengan kamu." Balasnya.

"Ayana cerita apa saja?"

"Sekilas aja sih." Jawabnya singkat.

Aku mengangguk tanda mengerti, mungkin ia sungkan membicarakan tentang rahasia perempuan. Di depan sana sedang dilangsungkan acara sungkeman.

"Kamu sampai acara nanti malam kan?" Tanyaku lagi.

"Ya, kenapa?"

"Ikut after party?"

"Sepertinya ya, tapi mungkin aku akan pulang duluan."

"Kenapa?"

"Orangtuaku bingung kalau anak gadisnya harus pulang pagi."

"Anak mami?" godaku.

Wajahnya seketika memerah, bibirnya sedikit ditekuk tanda tak suka dengan kalimatku.

"Setiap rumah memiliki aturan sendiri." Balasnya pelan.

Aku mengangguk tanda mengerti. Artinya ia adalah perempuan yang penurut, dan orang rumahan. Kelihatan sih dari gesturenya saat ini. Kucoba menggali apa yang menjadi nilai lebih selain tubuh yang proporsional dan suara lembut khas mami. Kuakui ia memang terlihat semakin mirip dengan ibuku dirumah.

"Aku senang saat Iwan mengatakan akan menggunakan adat lengkap. Meski biaya yang dikeluarkan tidak sedikit, tapi itu menunjukkan penghargaan terhadap leluhur dan keluarga besarnya. Menurut kamu bagaimana?" tanyaku memancing opininya.

"Aku suka, kita orang Indonesia asli kan? Yang dari kecil sudah membaur dengan adat istiadat. Di rumah, mamaku sering membuat bubur merah putih yang dibagikan kepada tetangga saat aku baru sembuh dari sakit. Sebenarnya sesuatu yang kecil sih, tapi itu kan semacam tradisi. Tetap aja senang melihatnya."

"Ya, di rumah kami juga sampai sekarang masih ada tradisi orang batak yang kental."

"Kamu batak?"

"Separuh sih," jawabku singkat. Sebenarnya ini adalah pancingan apakah ia merespon lebih lanjut.

"Separuhnya lagi?"

"Chinesse plus Manado dan Jawa. Kamu nggak lihat wajahku."

Seketika ia menatapku. Kubalas tatapannya dengan membuka mataku selebar mungkin.

"Tapi nggak terlalu ketahuan."

"Mungkin karena dari kecil aku terbiasa hidup dilingkungan orang Indonesia. Kami juga tinggal di rumah yang tetangga kanan kiri adalah orang Indonesia asli. Teman mainku juga mereka semua."

"Bisa bahasa Mandarin?"

"Bisa, waktu kecil aku terbiasa mendengar bahasa hokkien dalam pembicaraan di keluarga opa. Tapi banyakan pakai bahasa Indonesia juga sih. Aku belajar bahasa Mandarin sewaktu SMU. Kamu?"

"Bisa bahasa Jawa. Inggris kalau dengan papa. Kami wajib menggunakan bahasa Inggris waktu masih anak-anak sampai SMU. Mungkin papa ingin melatih kemampuan anak-anaknya. Tapi kemarinya sih sudah tidak lagi."

Aku hanya mengangguk, perkenalan singkat ini sudah lebih dari cukup. Fix dia lolos kriteria pertama.

Entah kenapa aku sangat berhati-hati dalam memilih. Bukan karena pemilih sebenarnya. Tapi dengan kesibukan yang hampir dua puluh empat jam diluar rumah, tidak mungkin mencari perempuan manja yang terus menerus merengek minta ditemani.

Meski memang sebenarnya aku menjadikan mami sebagai role model untuk mencari calon istri. Papa sangat beruntung, karena mami memang perempuan yang benar-benar tahu dimana posisinya. Tak jarang saat papa marah-marah. Mami akan diam tapi tidak mengabaikan. Sehingga selama pernikahan mereka yang hampir dua puluh tahun, tidak sekalipun kulihat mereka bertengkar, apalagi dihadapan kami.

Bahkan terhadap papiku pun mami bisa bersikap santai. Tidak ada hal yang bisa membuat mereka bertengkar. Mami lebih memilih diam, namun saat ia merasa sudah waktunya bicara. Mami bisa menjadi orang yang sangat menakutkan. Tapi itu jarang terjadi.

Kembali kutatap kedepan, ternyata sedang ada acara suap-suapan. Sebuah tradisi yang begitu indah saat dipandang. Apalagi dipandu oleh MC yang pembicaraanya sedikit menjurus. Saat kulirik ke samping ternyata Melly juga tengah tertawa kecil. Matanya terlihat berbinar bahagia.

***

Malam harinya kami ikut mengiringi pengantin masuk ke dalam ballroom. Melly masih disampingku. Kali ini ia mengenakan dress panjang menyapu lantai berbahan brokat berwarna bronze bercampur marun. Cukup seksi dengan belahan yang hampir setengah paha. Bagian dadanya juga terlihat terbuka. Aku sedikit kaget tadi, karena ia yang terlihat pemalu ternyata berani mengenakan gaun seterbuka itu.

Tapi sekali lagi, ia tidak berjalan dengan cara menonjolkan keseksiannya. Tapi sangat elegan, baik itu tatapan maupun bahasa tubuhnya. Tidak ada kesan murahan sama sekali. Beberapa penggemarku mengambil potret dari samping. Aku yakin dari sudut tertentu pasti ada wajahnya disana. Namun sekali lagi, ia sama sekali tidak memanfaatkan keadaan. Apa memang ia tidak ada rasa padaku? Pertanyaan itu muncul menghantui.

Acara malam ini fokus pada pengantin dan perayaan. Karena kami sudah melakukan sesi foto tadi. Kami duduk di dua meja. Kecuali aku yang sibuk mondar mandir Karena mengenal beberapa tamu yang pernah menjadi nara sumberku. Termasuk beberapa pakar politik dan juga public figure. Aku memang terbiasa menjalin hubungan baik dengan mereka. Karena percaya suatu saat nanti kami pasti akan bertemu lagi dalam satu event.

Sampai kemudian seseorang menemui dan langsung menggamit lenganku. Tiffany ternyata.

"Hai, kesini juga?" tanyaku.

"Ya, undangan dari Iwan. Kebetulan aku ikut bergabung di bisnis start up miliknya. Tapi aku hanya tanam modal. Tidak terlalu aktif."

"Wow, aku kalah selangkah." Balasku.

"Kalah apa? Subscriber kamu itu sudah belasan juta. Banyakan penghasilan kamu dong."

"Enggaklah, oh ya sudah makan" tanyaku.

"Belum masih mencari meja." Jawabnya.

"Dimejaku ada kursi kosong satu, mau bergabung? Sekalian kukenalkan pada yang lain."

Tiffany hanya tersenyum kemudian mengikuti langkahku. Aku masih menggenggam jemarinya erat. Karena memang sudah sering bertemu dan kami cukup akrab. Bagi kami itu adalah hal biasa. Kuperkenalkan ia pada rekan yang ada di mejaku. Semua menyambut Tifany degan ramah. Termasuk Mellisa yang menatapnya dengan takjub.

Tiffany yang ramah segera bisa membaur dengan orang-orang sekitarnya. Kami semua berbincang tentang banyak hal. Beberapa orang mengambil potret kedekatan kami berdua. Aku yakin besok pasti sudah ada dikolom gossip. Karena memang Tiffany tengah berada dipuncak kariernya. Dan aku juga dikenal sebagai youtuber dan news anchor yang sukses.

Banyak pihak yang menunggu kapan aku akan memperkenalkan pasangan pada khalayak ramai. Dan kemunculan Tiffany malam ini pasti menimbulkan rasa penasaran banyak orang. Tapi aku memilih tidak peduli. Karena satu gossip akan cepat berlalu, diganti dengan yang lain. Apalagi kalau tidak ditanggapi.

Acara berlangsung sampai jam sepuluh malam sesuai jadwal. Akhirnya kami semua memutuskan untuk langsung menuju sebuah bar. Merayakan hari ini bersama para sahabat dekat pengantin. Aku sebenarnya sudah sangat lelah. Ditambah besok harus siaran pagi.

Mellisa terlihat lebih banyak diam sekarang. Mungkin lelah pikirku. Akhirnya aku mendekatinya.

"Kamu ikut after party?"

"Ikut sih, tapi cuma sebentar saja."

"Kita pulang bareng ya, biar aku ada alasan."

Ia menatapku tak percaya.

"Alasan apa?"

"Aku tidak boleh minum banyak. Karena besok harus bekerja. Mengantar kamu pulang pasti akan menjadi alasan terbaik."

"Aku bawa mobil sendiri."

"Aku akan ikuti kamu dari belakang, bagaimana?"

"Apa nanti tidak ada yang cemburu?"

Aku tertawa,

"Tidak ada, aku jamin itu."

"Termasuk Tiffany?"

"Dia hanya rekan kerja, tidak lebih. Kami memang dekat tapi bukan sebagai sepasang kekasih."

Akhirnya sahabat Ayana itu mengangguk. Meski aku melihat keraguan diwajahnya. Apapun itu aku tidak peduli. Yang penting bisa pulang sedikit cepat malam ini.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

24020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top