23

Pertemuan dengan orangtua Melly malam itu tidak memberikan jalan keluar. Bukan karena aku masih bertahan dengan prinsip. Tapi memang tidak suka ketika seseorang mencampuri urusan pribadiku. Kuakui, setiap orangtua pasti ingin anaknya bahagia. Tapi ini akan menjadi pernikahan kami. Yang seharusnya ditanya itu adalah pendapat Melly. Lalu kenapa orangtuanya yang ribut?

Apalagi mendengar kalimat terakhir ibunya. Terlihat jelas benar-benar ingin memperlihatkan kekuasaan atas putrinya. Tidak heran kalau selama ini Melly sebagai sosok yang selalu ragu dalam mengambil keputusan. Meski dari sisi positif aku menganggap kalau itu adalah cara mereka melindungi putri satu-satunya.

Kesal dengan pembicaraan tadi, kupacu mobil dengan kecepatan tinggi. Melepaskan beban yang benar-benar mengganggu pikiran. Belum apa-apa masalah besar ini sudah menanti kami. Rasanya aku masih emosi, tapi kucoba menghapus, karena jalan keluar kami hanya ada diantara aku dan melly.

***

Melly menghubungiku saat masih di jalan tadi. Namun tidak kuangkat. Akhirnya kuhubungi kembali setelah tiba di apartemen, sambil berbaring di tempat tidur. Malam ini sengaja tidak menginap di rumah mami, khawatir kalau mereka bisa membaca masalahku melalui wajah yang kusut.

"Ada apa, Mel? Sorry tadi sedang nyetir."

"Mama dan papa tadi ngomong apa? Mereka nyinggung perasaan kamu?"

"Memangnya mereka bilang apa ke kamu?"

"Tentang kamu."

"Tadi mereka menanyakan keseriusanku. Tapi ada beberapa hal yang kelihatannya membuat mereka tidak sepakat denganku."

"Tadi mama ada tanya tentang tinggal dimana setelah menikah?"

"Pendapat kamu bagaimana?"

"Aku juga sebenarnya lebih suka tinggal di rumah sendiri daripada bersama mertua. Tapi bukan itu sih yang terpenting. Jarak antara rumah orangtua kamu dan kebun kan terlalu jauh. Tapi sebaliknya, kalau kamu pindah kesini pasti kejauhan. Mau jam berapa kamu berangkat ke kantor?"

Aku menghembuskan nafas kasar.

"Nantilah kita pikirkan solusinya."

"Apa benar kamu ingin tinggal di rumah orangtua kamu setelah menikah?"

"Benar sih, yang pasti karena aku juga tahu, mami bukan tipe yang suka mencampuri urusan orang. Kak Lyo juga tinggal bersama mertuanya, kan? Kecuali kalau aku merasa ibuku nyinyir, pasti tidak akan membawa istriku untuk tinggal di rumah. Karena pasti itu nggak baik buat kamu."

"Aku akan coba bicara dengan papa dan mama. Kamu nggak ada masalah kan?"

"Nggaklah. Intinya ada dikamu. Aku tidak dalam posisi meminta kamu melawan keinginan orangtua. Tapi pikirkanlah yang terbaik buat kita."

"Aku akan coba pikirkan."

Berbicara dengan Melly membuatku sedikit lebih tenang. Minimal ia tidak seperti kedua orangtuanya.

***

Kuhampiri mama yang tengah sarapan sendirian.

"Pagi, ma. Papa mana?"

"Pagi, Mel. Ayo sarapan. Papamu ke rumah Pak RT katanya."

Kuambil posisi duduk di depan mam. Semua terlihat biasa, sampai kemudian mama membuka kembali pembicaraan tentang Daud.

"Sudah bicara dengan Daud tentang dimana kalian akan tinggal?"

"Belum diputuskan, kenapa, ma?"

"Ya kamu harus omongin dari sekarang. Ini bukan main-main lho. Tentang kelangsungan kebun bunga kamu. Papa dan mama nggak mau kalau nanti bisnis kamu terlantar karena menikah. Sudah berapa banyak uang yang tertanam disana?"

"Nantilah aku bicara pelan-pelan. Ini tidak mudah, ma. Karena di Jakarta saja, Daud harus berangkat kerja jam tiga pagi. Bagaimana kalau tinggal di Bogor? Aku kan nggak bisa egois. Meski senang tinggal disini karena udaranya lebih sejuk."

"Kamu jangan mau mengalah dari awal. Laki-laki itu bisa menginjak harga diri kamu nantinya. Apalagi dia ada keturunan Batak. Pasti orangnya keras."

Selera makanku seketika hilang. Tapi kucoba untuk memberikan pengertian pada mama.

"Daud bukan keras ma, tapi tegas. Dia tipe orang yang mempertimbangkan segala sesuatu sebelum mengambil keputusan. Aku percaya dia akan bijaksana dalam memutuskan. Lagipula ini kan hanya tentang tempat tinggal."

"Ini bukan tentang itu. Masalahnya kamu sebagai perempuan jangan lemah didepan laki-laki. Kamu itu pengusaha lho. Bisnis kamu sudah mulai besar. Kamu punya uang. Belum tentu Daud bisa memberikan uang bulanan sebesar penghasilan kamu. Karena itu kamu harus bisa bertahan tentang ini. Jangan sampai dia yang menguasai kamu nanti.

Memang sih penghasilan dia besar, belum lagi job sampingan yang hampir tiap minggu ada. Tapi kamu tidak miskin saat menikah dengan dia. Dan ingat jangan sampai karena masalah ini, dia pura-pura berhenti bekerja karena ingin membantu bisnis kamu. Meski keluarga dia kaya, mama tidka yakin dengan dia."

Aku hanya menggeleng. Mama sudah berpikir terlalu jauh.

"Ingat nasehat mama. Berapa banyak sepupu kamu yang akhirnya menderita karena mengikuti keinginan suami mereka. Cuma di rumah buat masak dan ngurus anak. Ke salon saja sebulan sekali katanya sudah nggak sempat. Menikah itu supaya kamu bahagia, bukan jadi babu untuk keluargamu nanti."

"Akan kubicarakan dengan Daud, ma." Jawabku akhirnya. Kemudian beranjak dari meja makan. Lebih lelah mendengarkan wejangan mama selama lima belas menit. daripada mengurus kebun mawar seharian.

Segera aku berangkat ke kebun mawar. Kulirik jam tangan, masih sangat pagi sebenarnya. Daud sendiri mungkin masih siaran. Tapi lebih baik menenangkan diri disana.

***

Beberapa minggu kemudian, Daud muncul di kebun. Ia memilih naik kereta api seperti biasa. Karena kupikir juga sangat melelahkan kalau harus menyetir sejauh itu. Toh, disiang hari kereta tidak terlalu padat. Dan seperti katanya, bisa tidur sebentar. Hobby tidur Daud memang sedikit menggangguku. Tapi mau bagaimana lagi? Karena kesibukan, hal tersebut menjadi sesuatu yang mahal baginya.

Kadang aku berpikir. Kalau hubungan kami ini adalah sesuatu yang menakjubkan. Perbedaan sifat, tujuan hidup dan juga kepribadian. Dia yang gila kerja, aku santai. Dia yang hidupnya tertata rapi, aku yang nggak terlalu ngoyo dalam menjalankan sesuatu. Dia yang tegas, aku yang peragu. Tuhan sepertinya memang mempertemukan kami dengan kekurangan masing-masing. Untuk saling melengkapi.

Sesampai di stasiun, aku menjemputnya. Terlihat jelas kalau ia baru bangun. Dan seperti biasa ia akan melanjutkan tidurnya sementara aku kembali bekerja. Begitu terus sampai pekerjaanku selesai. Dan kami akan berbincang sampai jam tujuh malam. Sebelum aku mengantarnya kembali ke stasiun.

Kuhidangkan ubi panggang dan segelas teh untuknya. Daud makan dengan lahap.

"Ubinya manis."

"Iya, aku tanam di belakang."

"Banyak panennya?"

"Lumayan, mau bawa untuk tante Vera?"

Ia mengangguk. "Aku suka ubi dan singkong. Apalagi kalau singkongnya direbus dulu sebelum digoreng. Enak sekali." Balasnya.

Aku hanya tersenyum.

"Aku sudah berpikir, semoga kamu setuju." Ucapnya kemudian.

"Tentang?"

"Aku berencana membeli rumah di daerah sentul. Nggak terlalu jauh dengan kamu juga aku."

AKu terdiam sejenak. Memang untukku tak terlalu jauh, tapi Daud? Ia terlalu banyak mengorbankan diri untuk hubungankan kami kelak.

"Itu terlalu jauh untuk kamu. Mau jam berapa ngantor?"

"Nggak usah mikirin aku. Nanti gampanglah. Cari supir kalau nggak. Supaya bisa istirahat di jalan."

"Tapi supir mana yang mau kerja jam 3 pagi?"

"Gampanglah, yang penting kamu nanti nggak kejauhan. Paling nanti kita weekend ke Jakarta. Atau gantian ke tempat orangtua kamu. Supaya mereka nggak kesepian."

Entah kenapa aku tiba-tiba berpikir lain.

"Bagaimana kalau kita di Jakarta saja. Menjelag kamu libur, baru kita di bogor."

Ia mengacak rambutku.

"Bisa juga sih sebenarnya. Tapi apa kamu yakin membantah orangtua kamu? Katanya nggak mau tinggal sama mertua."

"Kamu punya apartemen, kan?"

"Ada sih, tapi kamu tahu kalau apartemenku kecil?"

"Nggak apa-apa, aku akan baik-baik saja."

Kami kemudian sama-sama diam. Sambil menikmati semilir angin sore. Kemudian ia berkata, "kamu yakin kan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius dengan aku?"

Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Aku bukan orang kaya seperti Bang Bara. Aku mungkin tidak bisa menuruti semua permintaan kamu kelak. Tapi aku akan berusaha membuat kamu bahagia, meski mungkin tidak sempurna."

Kugenggam tangannya untuk meyakinkan. "Aku nggak pernah menilai kamu dari segi finansial. Aku juga nggak sempurna. Dan belum yakin bisa jadi istri yang baik seperti mami kamu."

"Kok mami?"

"Lho, kan kamu sayang sama Tante Vera?"

"Aku sayang mami bukan berarti menuntut kamu menjadi seperti dia. Kalian dua pribadi yang berbeda. Jadi aku sudah boleh ngomong sama orangtuaku nih?" ucapnya sambil memainkan kedua alisnya.

Aku mengangguk sambil tersenyum kemudian meletakkan kepala di bahunya.

***

Saat pulang malam harunya, mama menunggu di depan.

"Kok malam? Antar Daud lagi?"

"Iya, kenapa, ma?"

"Kalian ngobrolin apa?"

"Dia mau ngomong sama maminya tentang keseriusan kami."

Wajah mama langsung terlihat sumringah.

"Terus kamu sudah ngomong soal rumah itu?

"Daud rencana mau beli rumah di daerah sentul, Ma."

"Kalau mau cari rumah, yang tempatnya nyaman. Nanti mama cari yang bagus untuk kalian."

"Tapi aku sudah bilang dia, kalau sebaiknya nggak usah. Aku akan sedikit mengalah. Kami akan tinggal di apartemennya empat hari. Dan di rumah kebun atau disini tiga hari. Jadi cukup adil, kan? Kasihan kalau dia harus berangkat tengah malam ke kantor."

"Tapi sebaiknya kalau dia mau beli rumah, jangan kamu halangi. Supaya nanti kalian tetap punya rumah sendiri."

"Mubasir juga, ma. Kalau nanti nggak ditempati."

"Kamu jadi perempuan jangan sebodoh ini. Bagus kalau dia beli rumah. Apalagi kalau dibeli atas nama kamu sebagai hadiah pernikahan. Mama yakin dia sanggup. Apalagi keluarganya selalu saling mendukung. Kamu harus pintar-pintar cari celah supaya uang Daud nantinya jatuh ke kamu."

Aku hanya menggelengkan kepala. Mama sepertinya sudah melampaui batasannya.

"Sudahlah ma, biar nanti kami putuskan. Lagian belum ada anak juga."

"Justru semua harus dipikirkan sejak sekarang. Kamu terlalu lemah dengan pasangan."

"Apa mama juga dulu seperti itu waktu mau menikah dengan papa?" tanyaku pelan.

Mama tidak menjawab, malah meninggalkanku sendirian. Aku benar-benar lelah dengan segala yang ada. Kenapa masalah kecil seperti itu saja bisa membuat orangtuaku ribut? Bagaimana kalau kami tinggal berbeda pulau? Aku kira apa yang dilakukan Daud akhir-akhir ini adalah sebuah jalan keluar. Dimanapun kami tinggal, tetap bisa memanfaatkan transportasi publik. Jadi kenapa mesti diributkan lagi?

***

Happy reading

Maaf untuk typo

221120

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top