22
Buat kalian yang tinggal di Malaysian dan Singapura. Sudah bisa beli Novel saya ya. Melalui @kyoona_gallery melalui aplikasi SHOPEE di negara masing-masing.
Yuuk kita mulai konfliknya Bang Daud dan Mbak Melly.
***
Demam ditambah kelelahan membuat kondisi tubuhku drop. Dan hasil lab pun sangat mengecewakan. Selain tifus Lambungku juga ikut-ikutan bermasalah. Kenapa sakit jadi rombongan begini datangnya?
Hari sudah sore saat aku bangun. Dan cukup kaget karena mami dan papa sudah duduk disofa ruang rawat inapku. Masalah baru akan muncul dengan segera. Kalau ibunda ratu Vera sudah menampakkan wajah datar. Benar, mami menatapku marah.
"Kenapa kamu nggak kasih tahu kalau lagi sakit? Mami dapat telepon dari Melly tadi pagi. Sudah hari ketiga malah ternyata."
"Aku kira kecapekan biasa, Mi. karena kena hujan. Ditambah mengikuti kegiatan Pak Menteri ke daerah."
"Untung Bara bisa mengurus keberangkatan mami dan papa. Coba kalau enggak, kan kasihan Mbak Ratna."
Aku hanya bisa diam. Tidak berani menatap wajah mereka. Beruntung papa tidak mengatakan apa-apa. Tapi aku yakin, saat kami berdua saja nanti akan banyak wejangan yang kuterima.
"Melly juga kasihan, dia khawatir sekali sama kamu. Bisa nggak sih kamu memikirkan perasaan orang lain? Berapa kali mami bilang, jangan bekerja tanpa kenal waktu. Kamu bukan robot. Tubuh kamu punya batasan. Jawaban kamu apa? Iya, mi. Tenang, mi. Aku tahu kok. Terus sekarang apa kamu kira mami bisa tenang? Untung masih di Indonesia, coba kalau kamu tugas diluar."
Aku hanya diam menunduk. Ternyata mami masih melanjutkan.
"Kamu sudah tiga lima. Sudah tua! Jadi bukan waktunya untuk menganggap sepele kesehatan. Bekerja boleh, tapi harus punya batasan!"
Aku memilih mendengarkan wejangan yang entah kapan habisnya. Sambil menatap papa yang tersenyum dibelakang mami.
***
Hari kelima, akhirnya aku sudah boleh pulang. Kali ini kami naik pesawat bertiga. Di Bandara Melly dan Kak Lyo menjemput. Sepertinya mereka bekerja sama dengan mami. Ia menatapku kesal, namun tidak mengatakan apapun.
Sesampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar. Kali ini Melly menemani. Aku masih harus makan bubur karena memang pencernaanku bermasalah. Ia menyuapiku dengan sabar namun tetap belum bicara apa-apa. Sampai kemudian aku merasa bahwa kami memang harus bicara.
"Sorry, kemarin bikin kamu panik."
Wajah cemberut membuatnya semakin menggemaskan. Kalau tidak menyadari pintu kamar setengah terbuka, aku pasti sudah melumat bibirnya dengan rakus.
"Kamu tuh, umur sudah 35, tapi kenapa nggak mikir kesehatan. Makan nggak tepat waktu, istirahat kurang. Kalau kamu masih umur 20an, mungkin semua akan baik-baik saja. Tapi sekarang kan beda?" kembali omelan ala mami terdengar.
"Ya sih, tapi kalau nggak kerja aku bingung mau ngapain."
"Ya kan kamu bisa istirahat. Matanya dimeremin juga lama-lama tidur. Jangan dibiasakan kerja terus sampai tengah malam. Mana sebelum subuh kamu sudah harus berangkat lagi. Begitu terus sepanjang hari."
Kutatap wajahnya yang terlihat kesal. Enggan menanggapi kaena khawatir akan berbuntut panjang, akhirnya aku menjawab, "terima kasih ya."
"Buat?"
"Karena sudah menyayangi aku sebesar ini."
"Aku sedih tahu nggak karena tidak bisa kesana. Mau berangkatpun tidak enak sama Tante Vera."
Kubelai rambut hitamnya penuh rasa bersalah.
"Kamu harus istirahat berapa lama?" lanjutnya.
"Setidaknya tiga hari lagi. Setelah ini kontrol ke dokter. Padahal aku sedang menghemat jatah libur. Supaya nanti bisa cuti panjang."
"Memang berpengaruh?"
"Mestinya sih tidak, tapi lihat nantilah bagaimana peraturan baru. Aku belum baca banget, karena memang nggak pernah seperti ini."
"Setelah ini, boleh deh kamu kurangin kegiatan. Yang di youtube jangan terlalu sering. Jangan kayak dikejar target gitu."
Kuhembuskan nafas kasar. Sebenarnya bisa saja aku mengatakan ya, lalu nanti kulakukan kembali. Tapi aku bukan tipe seperti itu, lebih suka jujur meski akhirnya kami harus berbeda pendapat.
"Bekerja itu seperti nafas buatku. Setiap sedang sendiri kepalaku sudah langsung berpikir, setelah ini buat program apa lagi? Rasanya tidak akan semudah itu untuk bisa berubah. Sorry kalau jawabanku mengecewakan kamu."
"Terus aku seperti apa buat kamu?" rajuknya.
"Kamu adalah energi yang tidak ada habisnya buat aku. Bisa melihat kamu disini saja sudah bikin aku kepingin cepat sembuh. Sering main kesini ya nanti."
Wajahnya terlihat sedikit senang.
"Kesini kalau kamunya nggak ada, buat apa?"
"Iya juga sih. Kasihan kamu kalau harus nyetir jauh. Bisa-bisa malah kamu yang sakit. Kalau begitu biar aku cepat sembuh aja, supaya bisa ngapelin kamu ke Bogor."
Kali ini wajahnya benar-benar tersenyum lepas. Dan aku suka!
***
Selama beristirahat di rumah, otomatis kegiatanku sangat terbatas. Belum lagi kepala terasa pusing dan makan tidak enak. Tadi pagi papi datang berkunjung bersama Tante Sarah. Dan ini adalah pertama kali setelah sekian puluh tahun. Mami dan papa menyambut mereka dengan baik. Meski kulihat ada kecanggungan dalam komunikasi mereka. Tapi kuakui kedua orangtuaku kini jauh lebih bijaksana.
Papi sendiri masih terlihat lemah, namun sudah jauh lebih baik. Menurut Tante Sarah hanya tinggal pemulihan saja. Bingung hendak melakukan apa setelah mereka pulang, aku menulis sebuah status di Instagram pribadiku
[Hai gadis manis berambut panjang. Aku sudah merindukanmu.]
Lalu kuupload bersama foto Melly yang tengah sibuk memotong bunga dari arah belakang dan jarak yang cukup jauh. Ia sendiri tidak tahu kalau aku mengambil fotonya saat itu. Segera akunku banjir komentar. Terutama dari teman dekat. Kubaca satu persatu sambil tersenyum, namun sengaja tidak kubalas. Sampai kemudian Iwan and the gang muncul satu persatu.
Iwan.0609
Kayaknya gue kenal, bro.
Ahmad_Neja
Udah officially aja. Kapan makan-makannya?
Ronny-Agst
[Hmm... kayaknya kalau ngapel ada yang jauh nih.]
Dan masih banyak lagi yang memberikan komentar. Aku hanya tertawa. Senang rasanya saat akhirnya bisa mengabarkan pada orang lain tentang hubungan kami. Aku serius dengannya, semoga ia mengerti.
***
Kutatap ponsel yang sejak tadi tertinggal di kamar karena kesibukan di kebun. Beberapa missed calls dari Ayana terlihat disana. Apakah ini sangat penting? Segera kuhubungi kembali.
"Ada apa, Ay?"
"Lo mah jahat, masak jadian dengan Daud diam-diam aja?"
Aku mengerutkan kening. Dari mana ia tahu?
"Lo dapat kabar dari mana?"
"Tuh di IG Daud. Dia upload foto lo dari belakang. Sampai heboh banget sekarang, apalagi fans perempuannya. Meski nggak ngetag dan sebut nama. Gue jelas tahu kalau itu elo."
"Sebentar." Balasku sambil memutuskan sambungan. Segera kubuka akun Daud. Dan benar, disana tengah ramai komentar baik dari teman-teman maupun para penggemarnya. Sebagian besar yang tidak mengenalku meminta agar ia menunjukkan wajahku.
Entah kenapa aku justru senang Karena ia mengabarkan tentang hubungan kami. Tapi akhirnya memutuskan tidak memberi komentar. Hanya membaca tanggapan orang lain mengenai status Daud yang telah berubah. Para penggemar perempuannya banyak yang kecewa. Meski sebagian terlihat mendukung. Aku hanya bisa tersenyum.
Semoga ini menjadi awal dari seriusnya hubungan kami. Karena jujur aku sudah lelah mencari kekasih diusia seperti ini. Paling tidak aku tahu sekarang, kalau kami sudah setahap lagi lebih maju.
***
Tak terasa hubungan kami hampir memasuki satu tahun. Aku sudah sering berkunjung ke kediaman orangtua Melly. Juga beberapa kali ikut dalam kegiatan keluarga mereka. Sampai kemudian pada suatu malam, orangtuanya mengajakku bicara tanpa ada melly. Aku kemudian menebak apa yang ingin mereka bicarakan. Dan setelah sedikit berbasa basi, ternyata dugaanku benar.
"Om ingin bicara tentang hubungan kamu dengan Melly. Kalian sudah sama-sama dewasa. Apa kamu serius dengan Melly?" tanya pria didepanku itu dengan tenang.
"Saya serius, om."
"Apa kalian sudah punya rencana untuk jenjang berikutnya mengingat usia sudah sama-sama matang."
"Ada sih rencana kesana. Tapi saya belum bilang ke Melly. Dan ada juga beberapa kesepakatan nanti yang memang harus saya bicarakan dengan dia terlebih dahulu." Jawabku jujur.
"Misalnya?" tanya ibunya. Orang yang sebenarnya selama ini paling ingin tahu tentang hubungan kami.
Kupilih kata yang paling tepat untuk menyampaikan keinginanku.
"Dari dulu saya berniat untuk tinggal di rumah orangtua saya setelah menikah-"
Wajah ibu Melly berubah seketika dan langsung memotong kalimatku.
"Kalau menurut tante, sebaiknya jangan tinggal di rumah orangtua kamu. Tidak baik untuk kalian. Dimana-mana hubungan mertua dan menantu perempuan tidak ada yang mulus. Jangan sampai hubungan mertua menantu memburuk lalu menimbulkan masalah nantinya."
Aku terdiam mendengar kalimatnya. Ada rasa tidak suka, namun masih memilih menahan diri. Kulanjutkan kalimatku.
"Sampai saat ini sebenarnya saya juga berpikir bahwa rumah mereka terlalu jauh dari kebun milik Melly. Sementara kalau saya yang pindah kemari, seluruh pekerjaan saya ada di Jakarta. Dan saya masih sangat mencintai pekerjaan serta tidak berniat melepaskan. Sama juga dengan Melly, dia pasti berat mengabaikan kebun, karena sudah membangun bisnis dari awal. Karena itu saya masih mencoba mencari solusi, tante."
"Kalau menurut tante, sebaiknya memang kalian pindah ke Bogor. Dari sini juga ada tol kan? Jakarta Bogor tidak jauh kok. Kasihan Melly, apalagi kalau dari rumah kamu. Belum lagi berurusan dengan mertua. Dia tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah lho Daud."
Aku benar-benar tidak suka dengan kalimatnya. Terasa melecehkan mami. Tidak pernah terbayangkan memiliki mertua dengan tipe ini. Jauh berbeda dengan Melly.
"Ibu saya tidak seperti itu. Dia baik kok. Lagipula di rumah ada beberapa orang asisten rumah tangga. Saya jamin Melly tidak akan melakukan pekerjaan kasar, kecuali kalau dia mau."
Tapi kemudian ayah Mellylah yang membalas kalimatku.
"Om sependapat dengan tantemu. Kasihan Melly kalau nanti harus menyetir begitu jauh setiap harinya. Dia perempuan, kesehatannya juga harus dipikirkan. Lagipula om takut dia tidak bisa beradaptasi dengan keluarga kamu. Dia tidak pernah tinggal bersama orang lain sebelumnya. Jangan sampai nanti setelah ada masalah baru kalian pindah rumah."
Pendapat mereka benar-benar menyulitkanku.
"Begini saja, kalau kalian mau, nanti om akan membantu mencarikan rumah di daerah sini. Supaya kalian tidak perlu terlalu jauh dari kebun Melly. Om yakin harganya tidak semahal di Jakarta."
Aku tersinggung dengan kalimat ayahnya. Aku masih bisa mencari rumah sendiri untuk keluargaku kelak. Masalahnya bukan pada harga rumah, tapi pekerjaan kami yang sama-sama jauh.
"Saya akan bicarakan dulu dengan Melly bagaimana baiknya, om."
"Melly anak yang penurut Daud. Dia selalu mempertimbangkan nasehat orangtuanya." Jawab mama Melly dengan senyum penuh kemenangan. Seketika aku terdiam karena memang tidak tahu harus menjawap apa.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
211120
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top