20
Watty maintenance ya, jadi nggak bisa upload dari kemarin. Tq mbak @qnununik. Yang sudah berkabar pagi ini di lapak saya. Abaikan spasi yang terlihat sedikit berantakan. Memamg berubah sendiri. Dan ini sambil saya perbaiki satu persatu.
***
Kukirim pesan setelah masuk ke kamar. Mengabarkan kalau aku sudah tiba di rumah. Kalau ia sudah tidur, maka akan dibaca besok pagi.
[Aku sudah sampai di rumah. Terima kasih atas makan malam tadi. Minta maaf karena tidak bisa menyelesaikan makan malam tadi.]
Namun ternyata dugaanku salah. Melly malah menghubungiku.
"Kok belum tidur?"
"Belum bisa tidur. Aku nggak enak atas sikap mama tadi. Papi kamu bagaimana?"
"Saat kami datang, papi masih tidur. Masih harus menunggu pemeriksaan lengkap besok. Nggak usah dipikirinlah sikap mama kamu. Aku nggak masalah kok."
"Tapi mama nggak seharusnya nanya-nanya kayak gitu."
"Kalau kamu mengira itu akan membuatku mundur, kamu salah. Aku kan pacaran sama kamu, bukan dengan mama kamu. Sepanjang kamu baik-baik saja, aku nggak masalah."
"Besok kamu besuk Om Karel?"
"Kemungkinan ya, kenapa?"
"Apa aku boleh ikut besuk?"
"Boleh, aku ada meeting besok pagi dengan kru yang akan berangkat. Kemungkinan menjelang makan siang selesai. Aku jemput kamu setelahnya."
"Nggak usah jemput, kamu terlalu capek. Aku sekalian ke Jakarta antar Chitra. Tadi Rudy minta aku antar mereka, karena dia ngantor pagi."
"Kamu yang bawa kendaraan atau aku?"
"Kamu juga boleh, jemput di apartemen adikku saja."
"Ok, makasih ya. Oh ya, mengenai ke Singkawang kamu jadi ikut?"
"Sepertinya nggak usah dulu deh. Kondisinya belum terlalu baik. Kapan-kapan saja ya. Kamu nggak marah kan?"
"Nggaklah, senyamannya kamu aja. Tidur dulu gih, sudah malam."
"Kamu masih mau kerja?"
"Masih. Ada beberapa yang harus kusiapkan untuk keberangkatan."
"Jangan tidur terlalu larut, mending bangun lebih pagi besok. Supaya kamu tetap fit."
"Siap Bu Daud." Jawabku. Membuat Melly tertawa kemudian membalas.
"Kamu ih."
Bisa kubayangkan bagaimana bentuk mata bulan sabit dan senyum malu-malu miliknya. Paling tidak kini aku sudah mulai belajar untuk meredam sedikit egoku. Setelah tiba di rumah aku akan memberi kabar. Meski saat awal dulu rasanya sulit sekali.
***
Bangun pagi aku disambut adik ipar dan mama dimeja makan. Mobil Rudy sudah tidak ada, berarti ia sudah pergi.
"Bagaimana kabar papinya Daud? Itu ayah kandungnya kan?" tanya mama penuh rasa ingin tahu.
"Katanya tergantung pemeriksaan hari ini, ma. Kemarin waktu sampai disana papinya sudah tidur. Setahu aku Om Karel ayah kandungnya."
"Apa hubungan mereka baik-baik saja? Mama kok nggak pernah lihat foto-foto mereka ya? Padahal kita sudah cari-cari ya, Chit?"
Seketika aku bingung mau menjawab apa.
"Mungkin dia memang malas upload dan share mengenai kehidupan pribadi ke banyak orang, ma."
"Tapi foto-foto dia dan ayah tirinya ada kok. Banyak malah! Bagaimana sebenarnya hubungan mereka?"
"Aku belum tahu sejauh itu, ma."
"Kamu harus cari tahu. Ibaratnya jangan seperti membeli kucing dalam karung. Pelajari juga asal bibit, bobot dan bebetnya. Jangan seperti yang dulu, keluarganya saja berantakan, bagaimana tidak suka memukuli anak orang?"
Mama kembali mengingatkan tentang mantan kekasihku. Kepalaku terasa sakit seketika. Kuhentikan menyuap nasi goreng.
"Bisa nggak sih dilupakan saja? Ya sudah aku mau ke kebun saja."
"Kamu gimana sih? Itu supir papa nggak masuk. Siapa nanti yang mengantar Chitra ke Jakarta? Rudy sudah duluan tadi pagi. Kamu sudah janji kan tadi malam?"
"Mau pulang jam berapa, Chit?"
"Setelah sarapan aja, mbak."
Aku hanya mengangguk.
***
Paginya aku kembali beraktifitas seperti biasa. Selesai semua pukul dua belas siang. Melly mengatakan bahwa ia sudah berada di mal dan membawa mobil. Kubiarkan saja mobilku terparkir di kantor. Kemudian memilih naik ojek online kesana. Kami makan siang sebelum ke rumah sakit.
"Kamu nggak capek?" tanyaku.
"Lumayan sih, beruntung mama nggak ikut. Jadi kita bisa sedikit lebih bebas."
Kutatap wajahnya yang masih tampak kesal. Kuurungkan niat bertanya lebih jauh. Kami menuju rumah sakit tempat papi dirawat. Sesampai disana, papi masih bangun dan tersenyum menyambut kedatangan kami.
"Hai, pi. Bagaimana kabar?" sapaku sambil menyalami.
"Sudah lebih baik. Kamu?" Jawab papi sambil menatap Melly.
"Baik sih. Kenalkan, ini Melly."
Mereka segera bersalaman. Termasuk dengan Tante Sarah.
"Kamu dan Lyo kemari tadi malam?"
"Ya, tapi papi sudah tidur." Jawabku sambil duduk disisi ranjang.
"Terima kasih, karena sudah mau datang." Jawab papi sambil menatapku lekat. Kubalas tatapannya sambil tersenyum.
Kunanti debaran dalam hatiku, tetap tidak ada. Semua terasa biasa saja. Kalau dihitung-hitung sudah berapa lama kami tidak bertemu? sepertinya sejak pernikahan Kak Lyo. Cukup lama ternyata. Melihat kami sama-sama diam. Tante Sarah mengajak Melly ke ruang tamu. Sepertinya ingin memberi ruang bagi kami berdua. Tempat papa dirawat memang ruangan VVIP. Dengan fasilitas yang sangat lengkap. Mungkin sekalian menjaga privacy karena pasti banyak yang akan membesuk.
"Terima kasih sudah datang." Ucap papi saat kami benar-benar hanya tinggal berdua. Aku mengangguk.
"Itu tadi kekasih kamu?"
"Ya."
"Kalian sudah serius?"
"Niatnya sih gitu, tapi masih terlalu jauh kalau untuk menikah."
Papi tersenyum kecil.
"Sebentar lagi menantu papi ada tiga berarti."
Aku mengerenyitkan dahi. Tiga? Paham akan kebingunganku papi berkata, "Sean akan menikah. Memang sih masih terlalu muda sebenarnya. Baru mau dua puluh tiga."
Aku hanya mengangguk, karena memang tidak pernah lagi bertemu dengannya.
"Bagaimana kabar mami kamu?" tanya papi dengan suara sangat pelan. Ada sedikit kesesakan terdengar.
""Mami sehat." Jawabku.
"Apa dia bahagia?"
Aku mengangguk, papi seperti menghembuskan nafas lega.
"Mamimu adalah perempuan yang sangat baik. Jangan mengecewakan dia. Apa dia sudah mengenal kekasihmu?"
"Sudah."
Papi menarik nafas dalam. Matanya menerawang.
"Kenapa tidak pernah mau menerima bantuan papi selama ini?"
"Karena aku merasa apa yang diberikan papa dan mami sudah cukup. Bukankah hidup hanya butuh kata cukup, pi?"
"Ya kamu benar. Kamu sudah sangat dewasa, dan papi melewatkan banyak waktu dan proses bersama kamu."
Kali ini aku yang tertawa kecil. Ini pertama kali kami bisa mengobrol lama.
"Kamu suka main golf, Ud?"
"Suka sekali sih enggak. Cuma kadang mau sih. Kenapa? Papi mau kita main bareng?"
"Kamu mau?" tanya papi tak percaya.
"Kalau papi sudah sembuh. Main di rumah Bang Bara juga asik. Meski mini, tapi lumayan."
"Papi minta maaf tentang masa lalu." Ucapnya sambil menatapku sendu.
"Aku sudah melupakan semua. Dikubur aja, aku tetap bersyukur dengan kejadian dulu. Karena itu mungkin aku bisa tumbuh seperti sekarang. Tuhan selalu mempunyai cara untuk membentuk umatnya kan, pi?"
"Tidak mau gabung dengan papi? Maksudnya berkecimpung dalam dunia bisnis?"
"Tidak tertarik, lebih suka dunia jurnalis." Tolakku halus.
"Beritahu papi kalau kamu berubah pikiran. Papi akan dengan senang hati menerima kehadiran kamu di kantor."
Aku hanya tertawa sambil mengangguk. perbincangan kami terhenti karena papi harus beristirahat. Menurut Tante Sarah, tadi pagi papi mengikuti sejumlah test kesehatan. Akhirnya aku dan Melly pamit. Setelah berjanji akan berkunjung sepulang dari Singkawang.
Dalam perjalanan pulang Melly bertanya.
"Setelah ini kita mau kemana?"
"Mobilku di kantor. Mau main ke apartemenku?" tanyaku.
Ia setuju, lalu kami menuju Jakarta pusat. Setelah sebelumnya berbelanja makanan kecil. Apartemenku berada di lantai 28.
"Sorry agak berantakan."
"Nggak apa-apa sih."
Kami kemudian duduk berdua di sofa sambil memakan camilan.
"Kamu capek?" tanyaku.
Melly mengangguk, kubaringkan kepalanya ke pangkuanku. Ia menurut. Kutatap wajahnya yang tampak letih. Kubelai rambutnya yang hitam dan hanya diikat satu dan terlihat berantakan. Tapi justru membuatnya semakin cantik.
"Kamu cantik seperti ini." Ucapku.
Melly membelai rahangku, kuraih jemarinya dan mencium punggung tangannya.
"Diluar sana banyak yang lebih cantik dari aku."
"Tapi mereka nggak ada yang kayak kamu. Suka over thinking terhadapku."
Ia tertawa dan menarik tangannya dari genggamanku. Namun kutahan karena memang enggan melepaskan.
"Nggak tahu kenapa aku gampang banget berpikiran buruk. Trauma masa lalu mungkin."
"Karena mantan kamu yang suka memukul itu?"
"Kamu tahu darimana?" tanyanya heran.
"Aku banyak tahu tentang kamu."
Ia kemudian menelan salivanya dan menatapku dengan wajah sedih.
"Awalnya aku mengira ia hanya terlalu mencintaiku, sehingga tidak pernah membiarkan aku pergi sendiri kemana-mana. Tapi lama-lama ia seperti mengikatku terlalu erat."
"Awalnya?"
Kulihat Melly terdiam sejenak. "Dia cemburu saat aku jalan bersama teman lama. Kadang kan aku sering reuni kecil-kecilan. Kemudian sering mencengkeram lengan atau tanganku terlalu erat saat kami ribut. Sampai kadang tangan dan lenganku biru-biru. Semakin lama ia semakin berani menampar dan memukul."
"Kamu tidak menghindar atau mengadu pada orang terdekat dengan bukti yang ada?"
"Saat itu aku malu kalau ketahuan orang. Lagi pula aku merasa mencintainya. Biasalah perempuan, kadang terbuai dengan perhatian yang berlebihan saat kami seelsai bertengkar. Berulang kali aku minta putus sebenarnya tapi ia memohon terus menerus dan bodohnya aku selalu memaafkan. Sampai kemudian kejadian pemukulan di rumah kebun. Saat aku harus masuk rumah sakit."
"Setelah itu kalian ada bertemu?"
Ia menggeleng. "Orangtuanya mengirimnya ke Paris. Entah bagaimana kabarnya sekarang. Mantan kamu ada berapa?"
"Tiga sih sejauh ini."
"Putus kenapa?"
"macam-macam. Ada yang karena tidak cocok, potensi LDR juga."
"Kenapa LDR jadi masalah buat kamu?"
"Aku tidak percaya pada hubungan jarak jauh. Pasangan itu butuh kedekatan secara fisik seperti kita sekarang. Bisa saja kami kemudian menemukan orang lain yang membuat nyaman. Lalu hidup berpura-pura sehingga akhirnya harus berbohong pada pasangan masing-masing. Jelas itu tidak akan sehat."
"Tapi kami perempuan juga bisa setia kok."
"Aku yakin sih, tapi nggak kepingin aja hidup dalam tekanan. Mikirin sedang apa dan bersama siapa dia disana. Yang pasti sih aku percaya bahwa hanya orang-orang yang sangat beruntung yang bisa menjalaninya. Sayang orang itu bukan aku."
"Lalu mantan kamu itu?"
"Setahun disana dia menikah dengan mahasiswa asal Indonesia juga."
"Anda belum beruntung." Ucapnya. Membuatku gemas. Aku baru menyadari kalau ia memiliki gigi kelinci.
"Aku justru beruntung, ketemu kamu disaat sekarang. Mengingat bagaimana buruknya hubungan kita dulu."
"Aku terlalu kekanakan untuk kamu yang sudah seperti ini. Kadang aku aja benci pada diriku sendiri." Jawabnya sambil bangkit dari pangkuanku.
Kutatap mata indahnya.
"Aku kangen kita seperti ini terus." Bisikku.
"Kamu kan sibuk, aku juga."
Kutatap matanya lama, kudekatkan bibir kami. Perlahan mata indah itu menutup. Seakan memberiku ijin untuk menyentuh kelembaban bibirnya.
***
Sabaaaaaaaar.....
Happy reading
Maaf untuk typo
141120
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top