19

Persiapan mama ternyata sudah dimulai keesokan harinya. Beliau mengganti kain gorden dan juga sarung bantal tamu agar terlihat senada. Juga mengeluarkan piranti makan mahal yang selama ini hanya selalu disimpan. Seolah-olah yang datang adalah tamu agung.

Belum lagi ternyata mama bekerja sama dengan adik iparku Chitra mencari tahu tentang siapa Daud sebenarnya. Dan siang ini mama benar-benar heboh saat berbicara dengan salah seorang budhe di Solo. Kudengar obrolan mereka dari balik dinding dapur.

[Calonnya Melly yang sekarang benar-benar hebat mbak. Pernah nonton siaran berita di TV MM? Nah coba deh mbak perhatikan yang namanya Daud Hutama.]

Mama berhenti sejenak, mungkin mendengarkan tanggapan lawan bicaranya.

[Selain terkenal dia juga kaya. Orangtuanya pemilik beberapa jaringan hotel. Bahkan ayahnya adalah Karel Hutama, pengusaha baja yang kaya itu. Pokoknya mbak, nanti kalau acaranya Melly yang di Jakarta harus datang ya.

Belum lagi kakak perempuannya, itu yang menikah dengan pengusaha kaya Bara TedjaMulia. Yang punya banyak usaha di Bali dan Jakarta. Sering lho kakak iparnya itu masuk dalam majalah bisnis.]

Kutinggalkan mama di dapur sambil memijat kepala yang tiba-tiba pusing. Membayangkan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan mama untuk Daud. Ya Tuhan mau ditaruh dimana wajahku kalau nanti mama hanya bertanya seputar kekayaan dan uang? Sementara aku saja yang kekasihnya segan untuk bertanya.

Bagaimana kalau mama tahu bahwa Daud tidak sekaya itu? Meski memang memiliki penghasilan yang cukup besar. Aku sendiri masih bingung dengan isi kepala mama. Kalau mendengar dari pembicaraan mereka, mama pasti menginginkan pesta pernikahan yang mewah dan besar. Sementara yang aku tahu kalau Daud bukan tipe orang yang seperti itu.

***

Malam ini aku datang ke rumah Melly secara resmi dengan status yang baru. Mengenakan kemeja hijau dan juga jeans berwarna biru. Melly sendiri yang membukakan pintu. Ternyata kami mengenakan pakaian dengan warna yang sama.

"Eh tamunya sudah datang." Kulihat ibunya datang menyambut dengan sangat ramah dari arah dalam. Berlebihan sih sebenarnya kalau boleh dibilang.

"Selamat malam, tante." Sapaku ramah.

"Selamat malam, sendiri?" tanyanya sambil melongok keluar. Apa yang sedang dicarinya?

"Iya, saya memang janjinya datang sendiri."

"Ya sudah tidak apa-apa. Ayo masuk."

Kuikuti langkah keduanya. Di ruang tengah sudah ada papa Melly, adik laki-laki serta iparnya yang kemudian kuketahui bernama Rudi dan Chitra. Setelah sejenak berbasa basi kami segera menuju ruang makan.

"Bagaimana kabar pekerjaan kamu?" tanya papa Melly.

"Masih baik, om. Masih jalan semua."

"Kelihatannya sibuk sekali,ya."

"Begitulah om, karena selain bawa acara, saya juga punya program sendiri di stasiun yang sama."

"Youtube, lagi. Bagaimana kamu membagi waktu."

"Kadang sedikit dulit dih. Apalagi sering memandu acara juga dibeberapa tempat. Tapi ya, masih bisa sih ditangani."

"Kamu pakai asisten-asisten gitu?" tanya Chitra.

"Ya, saya punya satu orang. Untuk mengatur jadwal dan mempersiapkan keperluan pribadi sih sebenarnya. Karena kadang memang sudah tidak sanggup mengerjakan sendiri."

"Laki-laki atau perempuan?" tanya mama Melly dengan nada ingin tahu yang jelas..

"Kebetulan perempuan, lebih teliti soalnya. Terutama kalau saya harus ke daerah atau lainnya. Saya sering lupa misal tentang dokumen perjalanan dan obat-obatan."

"Memangnya kamu ada penyakit?"

Pertanyaan mama Melly barusan membuatku merasa bahwa makan malam ini adalah ajang untuk mewawancaraiku. Namun aku berusaha tenang, karena tampaknya tingkat keingintahuan mereka sangat tinggi. Wajarlah, ini menyangkut masa depan Melly.

"Sebenarnya tidak, sekedar vitamin atau obat-obatan biasa. Kita tidak tahu dimana ada apotik di kota yang dituju. Dari pada repot."

"Oh ya, ibu kamu pekerjaannya apa?" lanjut perempuan paruh baya di depanku.

"Mami masih mengelola sebuah toko yang menjual barang-barang branded kebanyakan yang preloved sih. Ada onlinenya juga. Kalau pernah dengar nama Vera Tobing. Itu adalah ibu saya."

"Ya tante tahu, orangnya masih sangat cantik. Beberapa teman dulu pernah beli di ibu kamu. Kalau tante sih memang tidak pernah beli barang bekas, meski memang lebih murah."

Kalimat mama Melly membuatku harus meminum air putih. Aku sedikit tidak suka dengan jawaban itu. Tapi bisa saja dia memang benar, karena aku tahu banyak juga yang berprinsip seperti itu.

"Oh ya, bagaimana kabar Kakak kamu Lyona yang istrinya Bara TedjaMulia?"

Kembali aku mengerenyit, seberapa banyak yang sebenarnya mereka sudah tahu, tapi kenapa masih bertanya?

"Tante kenal kakak saya juga?" tanyaku tak percaya.

Mamanya tersenyum gugup.

"Ya, karena Melly cerita banyak tentang keluarga kamu."

Kuhembuskan nafas kasar, rasanya ia lebih menilaiku dari hal yang bukan menjadi milikku. Dan aku yakin putrinya bukan tipe orang yang seperti itu. Suka membicarakan orang lain.

"Kak Lyo dan keluarganya baik." Jawabku akhirnya. Makan malam ini terasa sangat lama. Aku yang biasa mampu menghadapi nara sumber sekarang malah tidak bisa melakukan apa-apa ditengah gempuran berbagai pertanyaan.

Namun saat kutatap Melly, terselip rasa kasihan padanya. Dari gesture yang diperlihatkan ia sangat tidak nyaman. Aku sendiri memilih untuk melanjutkan makan malam dibawah tatapan penuh penasaran ibu dari kekasihku.

Sampai kemudian sebuah panggilan dari Kak Lyo menghentikan percakapan kami. Aku permisi sebentar untuk menerima panggilan.

"Ada apa kak?"

"Papi masuk rumah sakit. Kata Tante Sarah lumayan parah tadi jatuh di kamar mandi. Lo lagi dimana?"

Kuhembuskan nafas kasar. Ini bukan berita baik untukku.

"Di rumah Melly, ketemu dengan orangtuanya."

"Kalian sudah seserius itu?" tanya Kak Lyo tak percaya.

"Bukan, cuma ketemu biasa. Terus lo sudah ke rumah sakit?"

"Belum, mau bareng? Mumpung anak-anak sudah tidur dan mertua gue bisa bantu jaga mereka. Pulangnya gue bisa bareng Bang Bara, dia belum pulang kantor. Udah deh, lupain dulu yang lalu. Jangan sampai menyesal nanti."

"Gue jemput atau kita ketemu disana? Rumah sakit mana, sih?" akhirnya aku mengalah.

"Citra Persada. Kalau begitu jemput gue, masih di Bogor, kan?"

Aku segera mengiyakan. Lalu kembali ke ruang makan.

"Maaf saya tidak bisa lebih lama disini. Karena ayah saya kebetulan baru saja masuk rumah sakit."

"Apa sakitnya serius?"

"Belum tahu tante, ini mau kesana dulu. Saya juga harus jemput Kak Lyo ke rumahnya."

Kutatap Melly yang wajahnya terlihat khawatir. Kami semua segera beranjak dari ruang makan.

"Hati-hati kalau nyetir." Bisiknya saat mengantarku menuju mobil. Aku hanya membelai rambutnya. Tidak enak melakukan lebih dibawah tatapan kedua orangtuanya.

Segera kujalankan mobil menuju kediaman kakakku.

***

Aku, Kak Lyo dan Bang Bara memasuki rumah sakit saat waktu hampir menunjukkan pukul sebelas malam. Tante Sarah menyambut kami.

"Bagaimana keadaan, papi?" tanya Kak Lyo dengan khawatir setelah kami duduk.

"Belum tahu, menunggu pemeriksaan besok pagi."

"Apa papi masih bisa bergerak, tan?"

"Masih, Lyo. Kemarin sepertinya kecapekan. Habis berenang pagi, langsung ke kantor. Terus ada beberapa pertemuan yang membuat papi kalian harus pulang tengah malam. Sebelumnya juga kan ada riwayat jantung."

Aku hanya mengangguk, karena memang tidak pernah tahu apa yang terjadi pada papi. Kutatap tubuh tua yang tengah terlelap. Yang kutahu adalah ia ayah kandungku. Seseorang yang menyebabkan aku lahir kedunia. Tapi entah kenapa aku selalu merasa ada jarak yang terbentang lebar diantara kami. Trauma akan masa lalu kami yang buruk membuatku harus merubah beberapa keputusan penting dalam hidup.

Hubungan kami tidak pernah membaik sejak perceraian papi dan mami. Apalagi kemudian aku menemukan figure seorang ayah pada diri papa. Meski bukan sekali atau dua kali papi menanyakan kabarku lewat Kak Lyo. Atau malah menawarkan bantuan. Tapi itu tidak pernah meruntuhkan pertahananku.

Aku sendiri tidak tahu menyebutnya dengan kata apa. Bukan membenci, tapi mungkin hanya benteng pertahanan yang kubangun sedemikian tinggi karena takut tersakiti. Mungkin juga karena kami memiliki sifat keras kepala yang sama.

Papi masih tidur nyenyak saat kami pamit pulang. Beruntung ia menemukan pasangan seperti Tante Sarah. Yang masih setia mendampingi meski sudah tua. Aku sibuk bertanya pada hatiku, kenapa semua terasa biasa saja? tidak ada rasa kasihan atau takut kehilangannya? Mungkin akan sangat berbeda jika papa yang sakit.

Mungkin aku lebih sedih saat mendengar satpam atau OB kantor masuk rumah sakit daripada sekarang. Kemana nuraniku? Melihat papi saat ini semua seperti biasa saja.

Kulirik jam dipergelangan tangan, sudah cukup lama kami berada disini. Kak Lyo masih berbincang dengan istri papi.

"Kak, gue balik duluan ya." Ucapku.

"Besok lo siaran?"

"Nggak sih, tapi gue ada meeting persiapan buat program ke Singkawang jam delapan pagi. Berangkat minggu rencana, jadi harus nyiapin bahan untuk rapat."

"Besok kesini?"

"Belum tahu, lihat besok aja." Jawabku sebelum benar-benar pamit. Karena memang aku tidak tahu harus berbuat apa disini.

***

Memasuki rumah, kulihat mami belum tidur, ia masih berada di ruang tengah.

"Katanya papi kamu sakit?"

"Ya, mami sudah tahu?"

"Dari Lyo tadi."

Aku hanya tersenyum kecil. Kakakku memang kadang terlalu heboh.

"Bagaimana keadaanya?"

"Masih tidur sih tadi. Besok baru pemeriksaan lanjutan. Kok mami belum tidur?"

"Mau nanya kabar itu saja tadi. Mau menghubungi Lyo, mami nggak enak. Pasti disana ada tantemu. Nanti disangka mami terlalu mau tahu."

Aku hanya mengangguk kemudian memilih duduk di dekat mami. Ia segera meraih kepalaku untuk berbaring dipangkuannya. Rasanya nyaman sekali.

"Tapi aku bingung dengan diriku sendiri, mi. aku merasa biasa saja. kenapa aku tidak takut kehilangan atau sedih ya?" tanyaku berusaha mengeluarkan uneg-uneg.

"Mungkin karena kalian sudah jarang bersama. Rasa kasih sayang itu kan sebenarnya harus sering dipupuk. Seperti kita yang selalu bertemu, bertegur sapa dan berbagi kabar. Kamu kan selalu menjauh dari papimu."

"Mungkin ya mi. Tadi lama kulihat papi. Tapi rasa itu tidak muncul."

"Kalau begitu mulai sekarang kamu harus semakin sering bertemu dia. Dia sudah tua, usia kita kan tidak tahu."

"Perasaan mami ke papi bagaimana?" pancingku.

Mami tertawa kecil.

"Perasaan mami sudah habis buat dia. Digantikan rasa untuk papa kamu."

"Kayaknya Pak Nicholas benar-benar bikin mami jatuh cinta ya."

"Kalau mami nggak cinta, kami tidak akan menikah dan sudah sekian lama bersama."

Aku tertawa kecil.

"Bagaimana makan malam kamu tadi?"

"Biasa aja, kenapa?"

"Kapan mau ajak mami kesana?"

"Maksudnya? Lamaran?"

"Siapa tahu tahun ini mami mantu lagi."

"Tumben mami ngomong gitu. Biasanya nggak pernah nanya kapan aku menikah. Sabarlah mi, aku dekati dulu. Semoga dia yang terbaik."

"Mami doain, mami suka sama dia, dek."

Kubalas tatapan mami. Aku senang karena tahu bahwa mami jujur dengan kalimatnya.

Happy reading

Maaf untuk typo

141120

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top